Ragam Penafsiran Ayat Poligami

Abstrak

Poligami memang selalu menampilkan banyak kontroversi, baik dari orang orang non-muslim maupun orang orang muslim. Meskipun poligami diperbolehkan dalam al-Qur’an dengan syarat tertentu, tetapi dalam pengaplikasiannya poligami masih memiliki perspektif yang tidak terlalu baik dalam masyarakat, pandangan tersebut bukan tanpa alasan, dengan beberapa dampak negatif yang diketahui masyarakat atas poligami tentunya. Dalam beberapa hal dan yang paling sering diangkat dari poligami adalah keadilan, serta sikap rela perempuan atas tindakan di-madu tersebut, terlepas dari tujuan pribadi atau alasan lainnya. Tulisan ini akan mengangkat bagaimana keadilan menjadi dasar utama dalam poligami dan sedikit membahas tentang hal yang terkait seperti anak yatim.

 Kata Kunci: poligami, keadilan, anak yatim

 

Pendahuluan

Keobjektifan pembacaan terhadap suatu tema tidak akan terlepas dari tujuan yang akan disimpulkan dari pembacaan tersebut, bisa dilihat dari tema poligami masih menjadi tema kontroversi bila dibahas dan dikaji, menghasilkan pihak yang pro serta kontra. Tentu saja dua hal ini menjadi pertimbangan pengkajian yang tak pernah usai. Lebih dari itu, ada beberapa tokoh dalam mengkaji ini lebih memilih sisi lain dari pada ini, nilai dari hukum poligami misal, yang menyangkut terhadap keadilan yang sebenarnya maupun tujuan yang dibangun saat ayat poligami itu turun.

Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan pembacaan keragaman penafsiran tentang ayat poligami, dari perbedaan makna term “keadilan” dalam ayat yang berbeda yang diindikasi masih memiliki hubungan yang terikat sampai penyebab serta tujuan ayat poligami turun, yang dibilang untuk menyelamatkan janda serta anak yatim, tentunya setiap kesimpulan dari pengkajian ini akan selalu berbeda sesuai dengan asumsi dan permasalahan yang dibangun. Kemudian dari pada itu, kajian ini tidak lebih dari perbedaan pengetahuan dalam suatu kajian, serta memberikan sedikit pembacaan berbeda dengan melihat tujuan tertentu

Pengertian dan Sejarah Poligami

Poligami berasal dari kata poly dan gami. Poly berarti banyak dan gami berarti nikah, artinya banyak nikah. Istilah ini digunakan bagi fenomena dimana manusia yang melakukan banyak nikah.[1] Artinya yang telah mempunyai seorang istri dan menikah lagi tanpa menceraikan istri yang pertama.

Berabad-abad sebelum Islam datang dan diwahyukan, masyarakat manusia diberbagai belahan dunia, telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan.[2]

Tentunya, suatu kebiasaan tidak akan mudah hilang begitu saja, pun dengan poligami tentunya hal ini sudah ada ejak zaman Arab pra islam. Sebelum Islam datang, setidaknya dikenal empat macam jenis perkawinan:[3]

  1. perkawinan istibda’, yaitu perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan dan setelah menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena kebangsawananya dengan maksud mendapatkan anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian setelah hamil suami mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri.
  2. perkawinan al-maqthu’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan ibu tirinya, sudah menjadi tradisi arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri mendiang ayahnya. Dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri itu sampai sampai anak tersebut dewasa.
  3. perkawinan al-rahthun, yaitu perkawinan poliandri, perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya, lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang ditunjuk itu harus mau menerima dan mengakui bahwa bayi itu sebagai anaknya.
  4. perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah, masyarakat Arab ketika itu menganggap hal yang demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.
  5. perkawinan badal, adalah sebuah perkawinan dimana dua orang suami bersepakat tukar menukar istri tanpa melalui talak, tujuannya semata-mata untuk memuaskan hasrat seksual mereka.
  6. perkawinan al-syigar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya (tukar menukar anak atau saudara perempuan).

semua bentuk pernikahan pra Islam ini sangat terkait dengan situasi antropologi historis masyrakat pada saat itu.[4] artinya, hal tersebut ada dan terjadi ditengah-tengah nilai yang berlaku pada saat itu. didalam poligami saat itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.

Ayat Tentang Poligami dan Ragam Penafsirannya

Syariat islam memperbolehkan poligami dengan batasan empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. [5]Sebagaimana dalama firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 3:

Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa Ayat 3)

Menurut Syahrur, ayat tersebut memiliki jenis kalimat yang ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumnya yaitu karena menggunakan kata “wain….” kata ini merupakan kalimat bersyarat dalam konteks hak tehadap anak yatim yang terkait dengan surat al-Nisa’ ayat 2. sedangkan bila dilihat dari sudut pandang hudud, maka ayat tersebut memiliki kaitan yang erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial. Selain itu ayat tersebut memiliki dua macam al-hadd yaitu al-hadd al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kauf (secara kualitas).[6]

Secara kuantitas surat An-nisa ayat 3 ini menjelaskan bahwa jumlah minimum istri yang diperbolehkan adalah satu dan jumlah maksimal adalah empat.[7] Dan bila ada seseorang yang beristri lebih dari itu dia telah menyalahi hudud Allah. Pemahaman seperti ini menurut Syahrur disepakati tanpa melihat konteks dan kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).[8]

Menurut Syahrur secara kualitas, sirri yang diamaksudkan disini adalah perawan (bikr) atau janda (armalah). Bila dilihat dari ayat tersebut jelas menggunakan shigah syarth yaitu dengan kata lain bagi istri pertama tidak disyratkan apakah dia perawa atau janda tetapi untuk istri selanjutnya disyaratkan janda yang mempunyai anak yatim.[9]

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. Dalam Surat An-Nisa ayat 129:

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah maha pengampun, maha penyanyang.

Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. [10]

Dalil berdasarkan hadis, terdapat beberapa hadis membolehkan poligami di antaranya “Rasulullahsaw berkata kepada ghailand bin salamah ketika ia masuk Islam dania memiliki 10 istri” milkilah 4 orang istri dan ceraikanlah lainnya”. (H.R. al-Nasa’i). Secara adaptatif kedua ayat diatas dipahami kebolehan poligami sifatnya bersyarat, secara kuantitas maksimal 4 orang dan secara kulaitas dapat berlaku adil. Meskipun demikian perdebatan di kalangan ulama tidak pernah selesai, interprtasi egitu beragam baik syarat kualitas maupun syarat kuantitasnya.[11]

Menurut Abduh, apabila seorang laki-laki mampu memberikan hakhak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan kacaulah penghidupan keluarga. Padahal tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tanggaadalah adanya kesatuan dan saling menyanyangi antar anggota keluarga. Ini menunjukkan bahwa Abduh sangat menekankan keadilan kualitatifyang hakiki, seperti perasaan sayang dan kasih, yang semuanya tidak dapat diukur dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang digunakan oleh al-Qur’an yaitu ‘adalah, yang memang memiliki makna yang lebih kualitatif.[12]

Bahkan Muhammad Abduh berfatwa bahwa poligami itu hukumnya haram. Dengan alasan: pertama, hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain. Syeikh Muhammad Abduh juga menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri istrinya. Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul[13]

Bagi Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kasyaf mengatakan, bahwa poligami itu suatu rukhshah(keringanan) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadlan ketika dalam perjalanan.[14] Berbeda dengan Syaltut, ia mengatakan bahwa keadilan itu diserahkan kepada setiap individu, apakah orang itu mampu berlaku adil dalam berpoligami, kemudian dia jawab sendirilah depan Allah.[15] sedang al-Ghazali mengatakan dalam Islam, lelaki bujang yang tidak mampu menikah dianjurkan puasa, menurutnya seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil. Ghazali melihat dalam pernikahan tidak boleh ada paksaan. Seorang wanita boleh menerima atau menolak untuk dimadu.[16] Berbeda lagi dengan Yusuf al-qardlawi ia amengatakan ia tidak setuju terhadap pendapata yang mengtakan bahwa poligami itu haram. Hukumnya tetap boleh, bukan karna haram karena melihat kepada berbagai kemaslahatan. Orang yang melakukan poligami harus berkeyakinan penuh bahwa dia mampu berlaku adil tanpa khawatir terjatuh dalam kezaliman seperti keetrangan surah An-nisa’ ayat 3.[17]

Dilihat dari kesejarahan, menikah merupakan fenomena sosial, dan surat An-Nisa ayat 3 itu turun untuk menjawab, atau sebagai solusi atas fenomena sosial yakni guna menyelamatkan para janda dan anak yatim serta harta mereka. Kemudian dari pada itu, pada zaman sekarang poligami tidak hanya dianggap melulu sebagai permasalahan, melainkan juga sebagai solusi, dengan catatan hal hal yang mendesak mengharuskan untuk berpoligami, populasi wanita lebih banyak dari kaum lelaki misal, menjadi salah satu alasan nantinya. Kesimpulan sederhana diambil dari penafsiran sederhana yang disampaikan oleh bapak Hasan Mahfudh.

Kesimpulan

            Tema poligami memang tidak akan ada habisnya jika dibahas, selalu menampilkan sisi lain jika di interkoneksikan dengan pendekatan lain. dalam makalah ini penulis hanya menampilkan keragaman penafsiran serta hal hal apa saja yang menyangkut dengan tema ini, seperti keadilan saja terdapat banyak pendapat tentangnya, tentu pendapat pendapat itu tidak terlepas dari keobjektifan si penafsir. Lebih dari pada itu, penulis menyimpulkan bahwa zaman pada mileniall poligami menjadi suatu permasalahan bukan suatu solusi. [Siti Amilatus Solihah]

Footnote

[1] Budhi Rajab, “meninjau poligami: perspektif antropologis dan keharusan mengubahnya” dalam jurnal perempuan, no 31, hal 70. Lihat juga, Siti Musdah Mulia, Islam menggugat Poligami, Yogyakarta: Gramedia, Pustaka Utama, 2004, hal 43. Bandingkan dengan Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996, hal, 84.

[2] Siti Musdah Mulia, Islam menggugat Poligami, hal 45.

[3] Abraham Silo Wilar, Poligami Nabi, Yogyakarta: Pustaka Rhlah, 2006, hal 37-38

[4] Leila Ahmed, Wanita dan Gneder dalam Islam: akar-akar historis perdebatan modern, Jakarta: lentera Basritama, 1992, hal 45-49.

[5] Edi darmawijaya, “poligami dalam hukum islam dan hukum positif(tinjauan hukum keluarga turki, tunisia dan indonesia) dalam ” Gender equality: Iternasional journal of child and gender studies, Vo; 1. No 1, Maret 2015,hal 29.

[6] Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan,” dalam Sawwa, volume 7. Nomor 2, april 2012, hal 8.

[7] Lebih dari itu, bilangan dua, tiga dan empat pada surat An-Nisa ayat 3 trsebut harus dipahami sebagai finalitas (ihdad) yang hanya berlaku pada masa awal Islam (masa kenabian). Ayat tersebut sangat bersifat sosiologis, historis dan ekonomis. Jumlah empat merupakan terobosan yang berani dari Islam seklaigus sebagai koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku pada saat itu. Kemudian, kalau dilihat dari sisi kebolehan poligami, berdasarkan perspektif munasabah ayat bi al ayat yang dibolehkan adalah mengawini janda-janda yang mempunyai anak yatim. Akan tetapi, dalam realitasnya ayat ini oleh para pemegangnya sering dieksploitasi untuk kepentingan pribadi. Mohammad Syahrur mengemukakan bahwa isu krusial dalam ayat-ayat poligami adalah keadilan pada janda-janda dan anak-anak yatim. lihat lebih lanjut Ali Imron HS, “menimbang poligami dalam hukum perkawinan” dalam jurnal ilmiah ilmu hukum QISTI Vol 6 no. 1 januari 2012. Hal 11-12.

[8] Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan,” dalam Sawwa, volume 7. Nomor 2, april 2012, hal 8.

[9] Ibid.

[10] Ibid. Lihat juga Quraish Shihab, Wacana al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, hal 111.

[11] Nispul Khoiri, “Poligami Dalam Hukum Kekeluargaan Islam: Indonesia, Turki, Tunisia, dan afganistan” dalam An-Nasdwah, Vol XVIII, No 1, januari-juni 2013, hal 117.

[12] Siti Hikmah, Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan, , hal 9.

[13] Bahkan menurut Abduh praktek poligami merupakan praktek perbudakan. Islam tidak mengajarkan hal seperti itu. fenomena ini menurut Abduh adalah jahiliah yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Lihat lebih lanjut Edi darmawijaya, “poligami dalam hukum islam dan hukum positif(tinjauan hukum keluarga turki, tunisia dan indonesia), hal 30.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

Kajian Atas Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin ar-Razi

Pendahuluan

Keyakinan umat Islam bahwa Alquran adalah kitab suci yang akan berlaku abadi sepanjang masa ternyata sejauh ini adalah merupakan salah satu alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayat Alquran menjadi tugas umat yang tak pernah berakhir. Tafsir sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dari kandungan Alquran telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Terjadinya keanekaragama dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan, berbagai faktorpun dapat menimbulkan keragaman dari tafsir itu sendiri yaitu berupa perbedaan keenderungan, interest, dan motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan lingkungan hidup yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua itu yang kemudian melahirkan berbagai corak penafsiran yang selanjutnya berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.[1]

Fakhrudin ar-Razi adalah salah satu pemikir muslim yang ikut serta menyumbangkan keilmuannya dalam khazanah dunia tafsir. Ar-Razi adalah seoran ilmuan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang mendalam. Salah satu tulisannya dituangkan kedalam kitab tafsir yang diberi judul Mafatih al-Ghaib. Di titik inilah kemudian makalah ini akan berbicara mengenai siapa Fakhrudin ar-Razi, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana perjalanan pendidikan serta karirnya dalam khazanah keilmuan Islam. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap segala hal tentang tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, dan bagaimana esensi-esensi yang ada dalam kitab tersebut.

 

Biografi Fakhruddin ar-Razy

Namanya yaitu Abdullah bin Umar bin Husein bin Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri at-Tubrustani ar-Razi yang dikenal dengan Fakhruddin (ar-Razi) dan dikenal sebagai Ibn al-Khatib As-Syafi’i. Lahir di kota al-Ray (kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan sebelah timur laut Taheran) dalam keluarga Shafi’i dan Ash’ari pada 25 Ramadhan tahun 543/544 H atau 1149-1150 M. pendidikan pertamanya didapat dari ayahnya sendiri, yakni Diya al-Din Umar yang dikenal sebagai Khatib al-Ray.[2]

Terkenal sebagai Imam dalam tafsir dan ilmu kalam, ilmu logika, dan ilmu bahasa ini melambungkan kepopulerannya di kalangan penguasa pada zamannya dan juga masyarakat umum. Ia mendulang ilmu dari ayahnya sejak lahir hingga sampai ayahnya meninggal dan melanjutkannya pembelajarannya ke daerah Khawarizmi dan Khurasan dengan berguru kepada Kamal as-Sam’ani, Majd al-Jili, dan dari para ulama lain yang hidup pada masanya. Beliau banyak belajar tentang ushul dan fiqh dari Imam Syafi’i dan juga banyak menggali ilmu tentang ilmu kalam dari Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Selain terkenal sebagai seorang ahli fiqh, ia juga dikenal sebagai ahli nasehat (ceramah) sampai dikatakan ia memberi nasehat dengan bahasa arab dan non-arab. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh ar-Razi terkenal sangat menyentuh hati oleh pendengarnya.

Fakhruddin ar-Razi setidaknya telah menempuh dua perjalan intelektual dalam hidupnya. Perjalanan pertama yakni ke Khurasan. Pada fase perjalanan Khurasan ini beliau mengalami sebuah perdebatan pendapat yang keras dengan kaum Mu’tazilah yang notabenenya adalah lawan dari mazhab teologinya, karena sejak lahir ar-Razi mengikuti mazhab Sunni Asya’irah yang diwarisinya dari ayahanda. Karena memang kondisi sosial yang memiliki akidah dan madzhab yang memang tidak cocok, dan juga banyaknya tekanan yang datang, ar-Razi pun melanjutkan perjalanan intelektualnya yang kedua, yakni menuju ke Bukhara dan dilanjutkan ke Samarkand dan kembali lagi ke Bukhara. Pada saat di Bukhara beliau juga mengalami kesulitan yang mana para ulama di daerah itu melakukan penentangan terhadap pendapat-pendapat yang disampaikannya. Setelah itu beliau kembali ke tanah kelahirannya di Al- Ray. Dalam hidupnya ar-Razi juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik seperti sultan Baihuddin Sam (w. 602 M) dan sultan kabir (sultan di Khurasan). Ar-Razi terkenal dengan keahliannya dalam bidang tafsir, juga dikenal sebagai filosof Islam hingga akhirnya ar-Razi mendapatkan julukan ‘Fakhr al-Din’, julukan lain yang disematkan kepadanya ialah Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. Nama Fakhruddin ar-Razi melambung pada  saat abad ke- 6 H, semasa dengan nama gurunya yakni Imam Syafi’i dan masih terus terdengar hingga masa sekarang.

Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga Sunni kental dengan mazhab Asy’ariyah, sejak kecil beliau banyak mendapatkan pengajaran berbagai ilmu dan ar-Razi berhasil menghapal kitab seperti asy-Syamil al-Ushul ad-Din karya Imam al-Haramain yang membahas ilmu kalam, kitab al-Mu’tamad karya Hasan al-Bahsri, dan kitab al-Musytasyfa karya al-Ghozali. Kedua kitab tersebut membahas masalah ilmu ushul fikih beraliran Sunni.[3] Pengajaran-pengajaran kitab yang didapatkannya dan sesuai dengan aliran yang dianutnya, membuat Fakhruddin ar-Razy semakin kuatnya pemahaman akidah ar-Razi atas ajaran Islam berdasarkan paham Sunni itu sendiri. Sehingga sangat jelas pemikiran al-Razi mengenai kefilsafatan banyak dipengaruhi oleh pendahulunya atau ulama klasik seperti Hasan al-Bahsri, Imam Ghozali bahlan pemikiran filusuf Yunani seperi Aristoteles.[4]

Dalam persoalan fikih, ar-Razi bisa disebut cukup fanatik terhadap mazhab Syafi’i, terbukti dari pendapat-pendapatnya yang terlihat mengunggulkan pendapat Imam Syafi’i ketimbang mazhab lain. Walaupun terkadang terlihat ar-Razi melakukan kritik beberapa pendapat Syafi’i, misalnya dalam hal wajibnya witir, wajibnya zakat buah, dan tanaman serta bolehnya minum khamr jika tidak ada air, beliau mengikuti Imam Abu Hanifah. Diantara kitab karyanya dalam masalah fiqih adalah at-Thariqah al-‘Aliyah yang terdiri dari 4 jilid dan Syarah al-Wajiz dari al-Ghozali.[5] Dari gurunya tersebut, ia banyak memperbincangkan mengenai pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah yang berlandaskan  rasional, sehingga pola pikir ar-Razi pun sangat mengedepankan akal. Bahkan pemikirannya terkenal dengan konsep penggabungan kalam dan filsafat, sehingga ia dijuluki sebagai mujadid dalam bidang ilmu kalam.[6]

Setelah perjalanan ilmiahnya ia kembali ke tempat kelahirannya, Ray. Di sana ia menjalin hubungan dengan beberapa penguasa Khurasan saat itu yaitu Bahaudin Sam dan raja-raja setelahnya, sampai ia bertemu dengan seorang Raja yang terkenal di Khurazan, yaitu Khawarizm. Di Khurazan tersebut, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi menjadi tokoh agama. Usaha Al-Razi dalam menjalin hubungan dengan para penguasa, salah satunya bertujuan untuk membendung kekuatan Tartar agar tidak merebut wilayah Islam yang pada masa itu umat Islam dari segi politik, ilmu pengetahuan dan  aqidah di bawah pemerintahan Dinasti Abbasyiah sedang melemah, berbagai berita kekhawatiran dan ketakutan muncul pada saat itu, seperti berita perang salib berada di Syam, berita bangsa Tatar di bagian Timur yang menghimpit kaum muslimin untuk bebas bergerak dan berkembasng. Pada saat itu perbedaan madzhab dan aqidah sangatlah kuat di Ray yang mana terbagi ke dalam 3 golongan, yaitu Syafi’i, Hanafi dan Syi’ah. Banyak pula aliran ilmu kalam, yang menjadi perdebatan panjang diantara mereka, dan yang paling terkenal adalah Syiah, Mu’taadah, Murjiah, Bathiniyah dan Al-Karrosiyah.[7] Akan tetapi usaha ini tidak berlangsung lama.[8]

Ar-Razi wafat pada hari raya idul fitri tahun 606 H di kota Ray. Ada yang mengatakan beliau wafat karena diracuni dan ada pula pendapat lain yang menyatakan beliau wafat karena sikap permusuhan dari golongan al-Karramiyyah yang menuduh Imam ar-Razi sebagai orang kafir dan telah melakukan dosa besar. Sehingga disimpulkan penyebab kematiannya adalah karena terjadinya perdebatan sengit tentang masalah akidah dengan kelompok Karramiyyah hingga sampai pada tahap pengkafiran satu sama lain. Fakhruddini ar-Razy wafat disebabkan oleh racun, walaupun memang belum ditemukan siapa pembunuhnya.[9]

Ar-Razi memiliki banyak karya di berbagai bidang keilmuan, Fakhruddin ar-Razy telah menulis lebih dari seratus buku yang salah satunya yaitu sebagai berikut:

  • Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib)
  • Aja’ib Alquran (The Mysteries of the Qur’an)
  • Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd’ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan
  • Al-mahsul fi ‘Ilm al-Usul
  • Al-Mutakallimin fi ‘Ilm al-Kalam
  • Ilm al-Akhlaq
  • Kitab al-Firasa
  • Kitab al-Mantiq al-Kabir
  • Kitab al-Nafs wal-ruh wa Shsrh Quwa-huma
  • Mabahith al-Mashriqiyya fi Ilm al-Ilahiyyat wa al-Tabi’iyyat
  • Matalib al-‘Aliya
  • Muhasal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin
  • Nihayat al-‘Uqul fi Dirayat al-Usul
  • Risala al-Huduth
  • Sharh al-Isharat
  • Sharh Asma’ Allah al-Husna
  • Sharh Kulliyyat al-Qanun fi al-Tibb
  • Sharh Nisf al-Wajiz li’il-Ghazali
  • Sharh Uyun al-Hikmah

 

Latar Belakang Penulisan Tafsir Mafatih al-Ghaib

Kitab tafsir ini merupakan kitab yang paling banyak dijadikan sandaran para mufasir, karena isinya yang bisa diterima oleh akal atau rasional. Bisa dikatakan bahwa tafsir ini tidak ada duanya karena cakupannya memuat banyak disiplin keilmuan seperti nahwu, balaghah, filsafat, dan ilmu lainnya. Ar-Razi berusaha menggabungkan teori ilmiah dengan Alquran, terutama pada ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Pada permasalahan kebenaran akal dan wahyu, ar-Razi menjelaskan secara detail dan rasional sehingga tidak ditemukan kontradiktif.

Ar-Razi tidak pernah menuliskan mukaddimah dalam karyanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memperhatikan sendiri bagaimana kondisi pada masa karyanya lahir. Jika dianalisa dari kondisi lingkungan pada masa lahirnya tafsir Mafatih al-Ghaib, bahwa tujuan ditulisnya tafsir ini antara lain:

  1. Melindungi Alquran dan menjelaskan ayatnya dengan metode ‘aqli untuk memperkuat akidahnya. Untuk menanggapi para filosof dan ulama ilmu kalam, ar-Razi menjelaskan serasional mungkin dan detail pada tafsirnya untuk menghilangkan perkara yang subhat.
  2. Ar-Razi meyakini bahwa Allah memiliki dua keadaan, suatu keadaan yang bisa dilihat yaitu wujud dari penampakan alam yang mati dan hidup, dan keadaan yang bisa dibaca yaitu Alquran. Apabila semakin dalam berfikir alam pertama, maka akan bertambah pemahamannya pada alam kedua (Alquran). Hal seperi inilah yang mendasari ar-Razi menggunakan ‘aqli untuk memahami ayat Alquran.
  3. Balaghah dan manhaj ‘aqli adalah materi untuk menafsirkan Alquran dan menggunakannya untuk menta’wilkan ayat-ayat Alquran. Ar-Razi benar-benar memonopoli kekuatan para mufasir muktazilah seperti Abu al-Qasim al-Balkhi, Abu Bakar al-Asham, Abu Ali al-Jubba’i, Abu Muslim al-Isfahani, Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Isa bin Ali al-Rummani dan Zamakhsyari. Ar-Razi menggunakan manhaj ‘aqli tetapi ia memecah pertaliannya dengan mengikuti inti susunannya tetapi tidak pada pokok-pokoknya dan menggunakan pemikiran ahlus sunnah wal jama’ah. Begitulah kiranya tiga alasan pokok ditulisnya tafsir Mafatih Ghaib[10]

 

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib

Anatomi Kitab

Kitab ini sesuai dengan nama yang disandangnya yakni Tafsir Kabir (tafsir besar). Ibnu Khalkan berpendapat bahwa dalam kitab ini terdapat banyak hal yang unik dan jarang ditemui dalam tafsir manapun.[11] Sistem penulisannya mengikuti urutan Tartib Mushafi. Tafsir berjumlah 32 juz dan disusun dalam 16 jilid, berikut rincian juz Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib:

Juz Pembahasan Kitab Jml Hal.
1 Mukaddimah kitab, Tafsir isti’adzah, basmalah, dan QS. al-Fatihah 279
2 QS. al-Baqarah ayat 1 – 34 265
3 QS. al-Baqarah ayat 35 – 109 275
4 QS. al-Baqarah ayat 110 – 167 239
5 QS. al-Baqarah ayat 168 – 210 239
6 QS. al-Baqarah ayat 211 – 254 226
7 QS. al-Baqarah ayat 256 – QS. Ali Imran ayat 25 241
8 QS. Ali Imran ayat 26 – 129 244
9 QS. Ali Imran Ayat 130 – QS. an-Nisa ayat 16 247
10 QS. an-Nisa ayat 17 – 93 248
11 QS. an-Nisa ayat 94 – QS. al-Maidah ayat 43 247
12 QS. al-Maidah ayat 44 – QS. al-An’am ayat 53 255
13 QS. al-An’am ayat 54 – QS. al-An’am ayat 152 251
14 QS. al-An’am ayat 153 – QS. al-A’raf ayat 145 251
15 QS. al-A’raf ayat 146 – QS. at-Taubah ayat 13 248
16 QS. at-Taubah ayat 14 – QS. at-Taubah ayat 129 247
17 QS. Yunus ayat 1 – QS. Hud ayat 44 248
18 QS. Hud ayat 45 – QS. ar-Ra’du ayat 2 243
19 QS. ar-Ra’du ayat 3 – QS. an-Nahl ayat 11 244
20 QS. an-Nahl ayat 12 – QS. al-Isra’ ayat 60 243
21 QS. al-Isra’ ayat 61 – QS. Maryam ayat 98 265
22 QS. Taha ayat 1 – QS. al-Anbiya ayat 199 240
23 QS. al-Hajj ayat 1 – QS. an-Nur ayat 35 249
24 QS. an-Nur ayat 36 – QS. al-Qashash ayat 55 272
25 QS. al-Qashash ayat 56 – QS. Saba’ ayat 54 280
26 QS. Fathir ayat 1 – QS. az-Zumar ayat 52 296
27 QS. az-Zumar ayat 53 – QS. al-Jatsiyah ayat 37 279
28 QS. al-Ahqaf ayat 1 – QS. an-Najm ayat 29 319
29 QS. an-Najm ayat 30 – QS. ash-Shaff ayat 14 325
30 QS. al-Jum’ah ayat 1 – QS. al-Mursalat ayat 50 292
31 QS. an-Naba’ ayat 1 – QS. ad-Dhuha ayat 11 229
32 QS. asy-Syarh ayat 1 – QS. an-Nas ayat 6 226

 

 

Sejarah Pencetakan

Tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari 32 Juz yang disusun menjadi 16 jilid. Pencetakannya tidak semerta dicetak secara full, namun mengalami beberapa kali pencetakan:

  1. Pencetakan pertama di Kairo, Yulaq, dari tahun 1278 – 1289 H. Pada selang waktu tersebut baru dicetak 6 jilid.
  2. Pencetakan kedua masih di Kairo pada tahun 1309 H. Pada pencetakan ini bertambah 2 jilid dibandingkan pencetakan sebelumnya menjadi 8 jilid
  3. Pencetakan ketiga dilakukan di Kostantiniah pada tahun 1307 H.
  4. Pencetakan keempat dicetak oleh Muhammad Husein Ilmi pada tahun 1335 H. di daerah Teheran
  5. Pencetakan kelima dilakukan kembali di Kairo oleh percetakan Bahiyyah dan sebagai editornya, Muhammad Yuhyi ad-Din, dari tahun 1352 – 1357 H. dengan jumlah lengkap 32 juz dalam 16 jilid.
  6. Pencetakan Tafsir Mafatih al-Ghaib yang telah lengkap 32 juz ini dilakukan kembali di Beirut oleh Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi dan di Iran oleh Dar al-I’lam al-Islami pada tahun 1405 H.
  7. Tafsir lengkap 32 Juz yang disusun dalam 16 jilid ini dicetak kembali di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘Alamiah dengan tambahan satu jilid tersendiri sebagai fihris tafsirnya pada tahun 1411 H. oleh Ibrahim dan Ahmad Ahmad Syamsuddin.[12]

 

Serba-serbi Tafsir

Kitab ini masuk dalam periode pertengahan[13], atau dalam literatur lain masuk dalam era aformatif.[14] Ar-Razi menulis tafsirnya dari tahun 595 H, dan selesai pada tahun 663 H. Konon, ar-Razi  belum sempat menyelesaikan kitabnya, tetapi sampai dimana beliau menulis tafsirnya dan siapa yang menyempurnakan masih menjadi persoalan yang sulit ditemukan jawabannya. Pengarang kitab Kasyf adz-Dzunnun mengatakan bahwa yang menyempurnakan tafsir ini adalah Syaikh Najm ad-Din Ahmad bin Muhammad al-Qomuli (w. 727 H) dan Syihab ad-Din Ibn Khalil ad-Dimasyqi (w. 639 H). Kemudian adz-Dzahabi melakukan penelusuran terhadap pendapat ini dan berkesimpulan bahwa ar-Razi menulis tafsirnya sampai pada surat al-Anbiya kemudian dilanjutkan oleh Syihab ad-Din tetapi belum sempurna, selanjutnya disempurnkana oleh Najm ad-Din. Tetapi adz-Dzahabi tidak menolak adanya kemungkinan kedua orang tersebut masing-masing menyempurnakan tafsir ar-Razi.[15] Alasan pendapat ini didasarkan pada pernyataan ar-Razi di akhir surat-surat tertentu mengenai waktu dan tempat, beliau menyelesaikan tafsirnya terhadap surat-surat tersebut. Termasuk surat-surat tertentu setelah surat al-Anbiya’ yang diduga bukan tulisan ar-Razi. Misalnya, di akhir surat Ibrahim yang terdapat kata-kata “al-Mushannif” padahal dirinya sendiri adalah mufassir itu sendiri. Mushanif di situ menulis bahwa tafsir surat ini selesai pada hari jum’at, akhir Sya’ban tahun 601 H. Di gurun Baghdad, kita mohon kepada Allah terbebas dari kehinaan neraka. Sesungguhnya Allah adalah raja yang dermawan, maha penyayang lagi maha kuasa, dengan pujian kepada Allah dan taufiq-Nya serta sholawat dan salam-Nya atas penutup Nabi, Muhammad SAW dan keluarganya.”[16]

Sementara dalam Mukaddimah cetakan tafsir ini menjelaskan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ditulis oleh ar-Razi dengan sempurna sebagaimana hasil penelitian al-Imari yang tertuan dalam karyanya tentang ar-Razi.[17]

Banyak perdebatan yang berkembang mengenai apakah Imam Razi menyelesaikan kitabnya secara utuh atau hanya sebagian saja. Ali Muhammad al-‘Imariz mengutarakan pendapatnya dalam kitabnya tentang imam ar-Razi setelah meneliti tentang simpang siur pendapat yang beredar bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara utuh.[18]

Metode Penulisan

Dari seluruh pernyataan yang ada, pada akhir surat tertentu terlihat bahwa ar-Razi menafsirkan Alquran tidak secara berurutan sesuai mushaf Alquran. Misalnya surat Yunus selesai lebih dulu yaitu pada bulan Rajab tahun 601 H. Dari surat at-Taubah yang selesai pada bulan Ramadhan tahun 601 H.

Untuk susunan penyajian kitabnya, pertama dituliskan Nama Surat, lalu klasifikasi makkiyah atau madaniyyahnya, dilanjutkan dengan penyebutan ayat. Lalu disebutkan juga perincian mana yang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dalam surat tersebut, serta waktu susunan penurunan surat. Barulah setelah itu masuk ke dalam ayat, dan dilanjutkan dengan tafsirnya.

Dalam menguraikan tafsirnya, ar-Razi menggunakan beberapa model pengungkapan yaitu problematika (al-mas’alah) dan tanya jawab (su’al-jawab) :

  1. Problematika (al-mas’alah)

pada bagian ini ar-Razi berusaha menyajikan analisanya secara fokus pada beberapa problematika yang dinilai penting. Di antara pembahasannya adalah mengenai gramatikal (nahwu), dan perbedaan pendapat kalangan Ushuliyyin, mufassirin, dan fuqaha terhadap kandungan ayat.

  1. Tanya jawab (su’al-jawab)

pada bagian ini ar-Razi mempertajam analisanya dalam bentuk pertanyaan dalam menggunakan logika, kemudian ar-Razi memberikan juga jawabannya.

  1. Jika ditemukan perbedaan qiraat dalam pembacaan suatu ayat maka akan dicantumkan bagaimana perbedaan qiraah tersebut. Hal ini bisa dilihat salah-satunya pada saat membahas lafadz yarta’ wa yal’ab dimana dalam tafsirnya ar-Razi menyampaikan perbedaan bacaan oleh imam Ibnu Katsir, Imam Nafi’, Abu Amr dan Ibnu Amir, Ahli Kufah, dan qiro’ah ba’id.[19] Terkadang juga disebutkan mengenai faedah-faedah yang dapat diambil dari ayat itu.[20]
  2. Disamping itu, ar-Razi acap kali menceritakan pribadinya secara spesifik dalam tafsirnya. Misalnya, kesedihannya sebab kematian putranya yang masih muda diceritakan dalam tafsir surat Yunus. Di dalam tafsir tersebut ar-Razi menceritakan bahwa hatinya sedang dirundung kesedihan yang mendalam karena wafatnya putra beliau dan juga meminta kepada siapapun yang membaca karyanya ini untuk ikut mendoakan.[21]

 

Metode Penafsiran Tafsir Mafatih al-Ghaib

Dalam tafsirnya ar-Razi sangat menekankan aspek munasabah (kesesuaian)  antar ayat dan antar surat, mengaitkan antara akhir surat dan awal surat, seperti akhir surat al-Infithar  dengan awal surat al-Muthaffifin.[22] Pada munasabah kedua tersebut adalah contoh munasabah yang paling mudah diidentifikasi. Pada Akhir surat al-infithar ditunjukkan betapa agungnya peristiwa qiyamat dan yang menguasai hari tersebut adalah Allah, ini sekaligus berfungsi sebagai peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Lalu disambunglah dengan surat al-muthaffifin yang membahas mengenai siksa.[23]

Imam Razi saat mengungkap ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan pendapat-pendapat fiqh lainnya juga. Walaupun begitu tetap ada kecenderungan kepada mazhab yang dianutnya yakni mazhab Syafi’i.[24] Kita bisa lihat hal ini dalam pembahasan Surat al-Baqarah ayat 222 yang membahas mengenai haid. Di situ dicantumkan bahwa menurut Imam Syafi’i masa paling cepat haid adalah sehari-semalam dan paling lama ialah 15 hari. Pendapat ini juga yang dipegang oleh Ali bin Abi Thalib, al-Auza’i, dan Ishaq. Setelah itu dicantumkan pendapat Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri bahwa masa haid paling cepat adalah 3 hari 3 malam dan paling lama 10 hari. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tak ada batasan khusus mengenai waktu haid, walaupun haid itu hanya terjadi sesaat ataupun hingga berhari-hari, maka tetap disebut dengan haid. Namun pada keterangan lain mengenai haid ini banyak yang diambil dari mazhab Syafi’i seperti perbedaan darah haid dan darah istihadhah.[25]

Tafsir Mafatih al-Ghaib saat membahas mengenai ideologi kalam,  dimana pembahasan masalah-masalah kalam atau teologi, ar-Razi menggunakan pendapat Sunni Asy’ariyah, oleh karena itu kitabnya penuh dengan penolakan terhadap aliran muktazilah dan golongan-golongan lain yang tidak sejalan. Setiap ayat yang berkaitan dengan akidah dan mazhab di beberkan dan diikuti dengan pendapat golongannya atau pendapatnya sendiri. Dan memang kebanyakan saat membahas mengenai ayat-ayat ideologi kalam, ar-Razi mengutip pendapat Muktazilah lalu memberikan retorika pembanding yang berlandaskan Sunni Asya’irah[26]

 

Corak dan Ittijah tafsir Mafatih al-Ghaib

Menurut Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut. Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.[27]

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib bisa disebut juga memanglah sebuah karya keilmuan yang besar. Sehingga pengkaji pun akhirnya menyimpulkan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ini bercorak tafsir yang berada di bawah naungan filsafat. Di sini yang dimaksud bukan berarti mengambil pendapat-pendapat para filsuf, namun tafsir ini disajikan dengan mengungkapkan dari pertanyaan-pertanyaan mendasar kefilsafatan. Hal ini bisa kita lihat pada penafsiran ar-Razi terhadap QS. Yusuf ayat 4. Pada ayat ini dipertanyakan mengenai bagaimana bintang, matahari, dan bulan itu bersujud? Padahal mereka adalah benda mati. Di sini tafsir ar-Razi mengambil pendapat dari para filsuf yang beranggapan bahwa bintang-bintang merupakan makhluk hidup yang juga dapat berfikir. [28]

Sumber Penafsiran

Tafsir mafatih al-Ghaib secara umum menggunakan sumber ra’yu (tafsir yang berbasis pada nalar), dan menggunakan metode tahlili (analitis) dalam penyajiannya. karena memang di dalamnya setiap ayat dianalisa dari berbagai sudut, seperti bahasa, riwayat, filsafat, dsb. Walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen sudut pandang penafsiran dengan jumlah fann keilmuan yang sama.[29]

Imam Razi dalam menulis tafsirnya selain menggunakan analisanya sendiri (ra’yu), juga mengambil pendapat ulama-ulama lain. Dalam bidang tafsir mengambil pendapat seperti Ibnu Abbas, Ibnu al-Kalbiy, Mujahid, Qatadah, Muqatil bin Sulaiman, dan lain-lain. Dari sudut pandang bahasa mengambil pendapat dari ahli riwayat, seperti al-Ashmu’i, Abi Ubaidah, dll, dan pendapat ulama, seperti al-Farra’, az-Zujaj, dll.[30] Imam ar-Razi juga mengambil pendapat dari kalangan muktazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam Zamakhsyari. Imam Zamakhsyari merupakan pengarang kitab Tafsir al-Kasysyaf. Kitab al-Kasysyaf merupakan kitab yang memiliki takwil tafsir, serta bahasa yang bagus yang banyak dianut oleh mufassir generasi setelahnya Imam Razi menghadirkannya dalam kitab ini karena ingin menolak hujjah-hujjahnya.[31]

Kritik Terhadap Kitab Mafatih al-Ghaib

Ahli nahwu yang juga seorang mufassir, Abu Hayyan, berkomentar bahwa kitab Tafsir Kabir ar-Razi disebut sebagai tafsir yang tidak konsisten. Awalnya membahas mengenai tentang huruf alif lalu pada berikutnya berubah membahas neraka-surga. Seakan-akan tidak ada sistematisasi yang ada dalam tafsir tersebut. Bahkan ar-Razi pun mengucapkan bahwa dalam tafsirnya terdapat segala hal kecuali tafsir itu sendiri.[32] Al-Imam at-Tuty juga ikut memberikan komentar dalam kitab tafsirnya al-Iksir fi ‘Ilmi at-Tafsir. Ia menyatakan belum pernah melihat tafsir yang paling banyak celanya kecuali tafsir al-Qurthuby dan tafsir Fakhruddin ar-Razi.[33]

Penutup

            Dari banyak pendapat yang mengatakan tentang selesai tidaknya penulisan kitab Mafatih al-Ghaib, pengkaji setuju dengan pendapat Ali Muhammad al-‘Imariz yang mengutarakan dalam kitabnya bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara menyeluruh. Tafsir ini dapat dikatakan tafsir ilmi pada masanya, sumber penafsirannya yaitu ra’yu dan metode penulisannya yaitu tahlili. Kitab ini merupakan salah satu kitab fonumenal yang mengkomparasikan ayat Alquran dan berbagai keilmuan lainnya dengan pembahasan yang cukup detail. Pengkomparasian tersebut bukan hanya satu ayat dengan keilmuan namun antara ayat satu dengan ayat lainnya pun dipertimbangkan walaupun memeng Tafsir Kabir ini belum bisa lepas dari pakaian subjektifis dari mu’alifi ketika berbicara tentang kalam ideologi dan fiqh. Tafsir Mafatih al-Ghoib  adalah sebuah objek yang sangat menarik untuk dikaji oleh penggiat Alquran dalam berbagai sudut pandang. [Miftah/Zee/Erika]

 

Daftar Pustaka

Abrahamov, Binyamin, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992).

Adz-Dzahabi, M. Husein, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005.

___________, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Al-Imari, Ali Muhammad Hasan, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969.

Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981.

Ghafur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Hayyan, Abu, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.

Hitti, Philip K, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H.

Khalkan, Ibnu, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H.

Ma’sumi, M. Saghir Hasan, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967.

Mahmud, Mani Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012.

_________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Rahardjo, M. Dawam, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

Saeed, Abdullah, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016.

 

Footnote

[1] Alquran selalu berinteraksi dengan dunia manusia yang selalu berubah-ubah, baik sisi sosial dan politiknya. Dan pada kenyataannya Alquran mampu mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Silahkan tengok, M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

[2] M. Saghir Hasan Ma’sumi, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967, hal. 356-360.

[3] Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 319.

[4] Binyamin Abrahamov, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992), hal. 133-140.

[5] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981, hal 5.

[6] Ibid., hal. 28.

[7] Ibid., hal. 4.

[8] Hal ini karena raja dari kesultanan Khawarizm yaitu Alaudin Muhammad Takasy yang sangat dekat dengan al-Razi, berhasil dikalahkan oleh bangsa Tartar dibawah kepemimpinan Jengis Khan. Di hadapan gerombolan orang-orang barbar, dengan pasukan sebanyak 60.000 orang. Penumpasan raja Alaudin Muhammad Takasy ini atas perintah dari sultan Abbasyiah, yaitu al-Nahsir yang merasa khawatir terhadap kekuasaan Khawarizm yang sebelumnya berhasil merebut kekuasaan Abbasyiah atas wilayah Persia, Bukhara, Samarkand dan Ghaznah. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 612-613.

[9] Muhammad Husein adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hal. 270

[10] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 652-655

[11] Ibnu khalkan, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H, hal. 249.

[12] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 650-651.

[13] Dinamika sejarah perkembangan tafsir periode pertengahan ditandai dengan bergesern;ya tradisi penafsiran dari tafsir bi al-ma’tsur ke tafsir bi ar-ra’yi. Penggunaan rasio semakin kuat. Tafsir pada periode ini juga lebih mengarah ke afirmasi (penegasan dan pembelaan) terhadap ideologi keilmuan dan mazhab penafsirnya. Implikasinya, banyak tafsir bermunculan dengan warna dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab para penafsirnya. Batas abad pertengahan ialah abad III – IX H. / 9 – 15 M. Lihat, Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012, hal. 89-90.

[14] Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the golden age atau al-‘asr adz-dzahaby). Karena memang pada masa ini Islam benar-benar memimpin peradaban dunia. Perkembangan ilmu melaju pesat, juga termasuk keilmuan dalam tafsir. Lihat Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 61.

[15] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 207.

[16] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 154.

[17] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9-10

[18]Ibid.

[19] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 99.

[20] Ibid., hal. 87.

[21] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 17, hal. 183.

[22] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 88. Lihat juga, Saiful Amin Ghafur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013, hal. 74.

[23]  Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 31, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 88.

[24] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 323.

[25] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 6, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 71-72.

[26] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hal. 146.

[27] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 324-325.

[28] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 88.

[29]Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016. Hal. 133.

[30] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9.

[31] Ibid.

[32] Abu Hayyan, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, hal. 219.

[33] Ali Muhammad Hasan al-Imari, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969, hal. 110.

Tafsir Al-Qur’anul Majied An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy

Pendahuluan

Kehadiran kitab-kitab tafsir pada awal abad ke-20 tidak bisa dilepaskan dengan faktor politik pada masa itu, yakni dalam rangka merebut kemerdekaan karena kehadiran para kolonial di Indonesia. Selain menjajah dalam hal fisik, para kolonial juga tidak menginginkan masyarakat Indonesia pandai dalam hal baca tulis. Untuk itu, kitab-kitab tafsir yang berkembang saat itu memiliki peran dan kontribusi yag cukup signifikan dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama kepada masyarakat. Setelah kemerdekaan, nuansa kitab-kitab tafsir sedikit mengalami pergeseran terutama dalam kontennya. Penyajian kitab-kitab tafsir pra kemerdekaan jauh lebih sederhana dibanding kitab-kitab pasca kemerdekaan.[1]

Di antara kitab-kitab yang ditulis secara utuh pada era tersebut antara lain; Tafsir Al-Qur’an Karim karya H. Mahmud Yunus, kemudian Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an karya Ahmad Hasan, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya H. A. Halim Hasan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami.[2]  Selanjutnya dalam pembahasan kali ini penulis akan sedikit menjabarkan kitab tafsir yang muncul pada era yang sama yakni kitab tafsir karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang berjudul Tafir al-Qur’anul Majid An-Nur.

 

Biografi M. Hasbi Ash-Shiddieqy

Nama lengkap Hasbi adalah Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ia dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhoksumawe, Aceh Utara. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Husayn bin Muhammad Su’ud, seorang ulama tersohor yang memiliki sebuah pesantren, ibunya bernama Teuku Amrah, putri Teuku ‘Abd al-‘Aziz.  Ayahnya adalah keturunan ke-36 dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Diusia yang masih kecil Hasbi sudah merantau untuk menimba ilmu di berbagai pesantren kawasan Aceh. Pertama, Hasbi mengaji di pesantren Teuku Abdullah Chik di Peyeung, di sinilah beliau banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya  di Pesantren Teuku Chik di Bluk Bayu dan pesantren-pesantren lainnya yang menjadi tempat persinggahan Hasbi dalam menimba ilmu-ilmu agama.[3]

Setelah selesai menimba ilmu agama di kampung halaman, kemudian pada tahun 1926 ia melanjutkan pengembaraanya ke Pulau Jawa yakni di Surabaya. Setibanya di Surabaya, Hasbi menimba ilmu di Madrasah al-Irsyad Surabaya yang diasuh langsung oleh Syaikh Ahmad as-Sukarti, seorang ulama yang berasal dari Sudan yang memiliki pemikiran modern pada masa itu. Di madrasah inilah Hasbi mengambil pelajaran takhassus (spesialis) dalam bidang pendidikan dan bahasa selama kurang lebih 2 tahun.[4]

Kemudian, dengan bekal yang dimilikinya, Hasbi mulai terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik. Pada tahun 1928 Hasbi telah memimpin sekolah al-Irsyad di Lhoksumawe. Disamping itu, Hasbi juga giat melakukan  dakwah di Aceh dalam rangka mengembangkan paham pembaruan serta memberantas syirik, bid’ah, dan khurafat. Kariernya sebagai pendidik seterusnya di baktikan sebagai direktur  Darul Mu’allimin Muhammadiyah di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tahun 1940-1942. Disamping itu, Hasbi juga membuka Akademi Bahasa Arab.[5] Sebagai seorang pemikir yang banyak mengerahkan pikirannya dalam bidang hukum Islam, maka pada zaman Jepang Hasbi diangkat sebagai anggota Pengadilan Agama Tertinggi di Aceh. Selain itu, Hasbi juga aktif dalam bidang politikdan menjadi anggota konstituante pada tahun 1930.

Setelah selesai menunaikan tugasnya sebagai anggota konstituante, Hasbi lebih banyak berkecimpung di dunia Perguruan Tinggi Agama Islam. Pada tahun 1960, Hasbi dipercaya memegang jabatan sebagai dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sampai tahun 1972. Pada tahun itu pula Hasbi diangkat sebagai guru besar (profesor) dalam ilmu syariah di IAIN Sunan Kalijaga. Selain itu, Hasbi juga pernah memegang jabatan sebagai dekan fakultas syariah Universitas Sultan Agung di Semarang, dan rektor Universitas al-Irsyad di Surakarta (1963-1968) disamping itu Hasbi juga mengajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.[6] Sampai pada akhirnya, aktifitas dan kiprah Hasbi di dunia pendidikan baru terhenti ketika ajalnya menjemput pada hari Selasa, 09 Desember 1975.

Kendati Hasbi telah wafat, namun karya-karyanya masih tetap hidup hingga saat ini, diantaranya; Koleksi Hadis-hadis Hukum yang terdiri dari 9 jilid, Mutiara Hadis 1 (Keimanan), Mutiara Hadis 2 (Thaharah dan Shalat), Mutiara Hadis 3 (Shalat), Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf, dan Haji), Mutiara Hadis 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad), Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Pedoman Shalat, Pedoman Puasa, Pedoman Zakat, Pedoman Haji, dan lain sebagainya.[7]

 

Gambaran Kitab Tafsir al-Qur’an Majid An-Nur

Latar belakang penulisan kitab

Kitab tafsir ini mulai ditulis oleh Hasbi Ash-Shiddieqy sejak tahun 1952 sampai tahun 1961 di sela-sela kesibukannya dalam mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan bekal pengetahuan, semangat, dan keinginannya untuk menghadirkan sebuah kitab tafsir dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan, Hasbi berhasil menyusun sebuah kitab tafsir yang didektekan langsung kepada serorang pengetik dan langsung menjadi naskah siap cetak. Cetakan pertama diterbitkan oleh CV Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1956, kemudian cetakan kedua pada tahun 1965 yang dicetak setelah Hasbi wafat dan sudah diedit oleh kedua puteranya yakni Nouruzzaman dan Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy.[8]

Tidak ada penjelasan mengapa Hasbi memilih nama An-Nur untuk karya tafsirnya ini. Seperti yang diungkapkan oleh Yunahar Ilyas dalam bukunya yang berjudul “Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufassir” menyebutkan bahwa dalam pengantarnya Hasbi memberi judul “Penggerak Usaha”, setelah menjelaskan secara ringkas kenapa beliau menulis kitab tafsir dalam bahasa Indonesia, kemudian Hasbi menyatakan: “…kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadis yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal menyusun tafsir ini yang saya namai An-Nur (cahaya).[9] Kitab tafsir ini mengalami dua kali cetakan, cetakan pertama terdiri dari 30  juz, sedangkan cetakan kedua terdiri 5 jilid (jilid 1 terdiri dari 4 surat pertama, jilid 2 terdiri dari 6 surat berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surat berikutnya, dan jilid 5 terdiri dari 72 surat yang terakhir).[10] Dalam menyusun kitab ini, Hasbi banyak berlandaskan pada sumber-sumber ayat al-Qur’an, riwayat Nabi SAW, riwayat sahabat dan tabi’in, serta mengutip dari rujukan-rujukan mu’tabar seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Qasimi, dan lain sebagainya. [11]

 

Metode, Sistematika & Bentuk Penulisan Kitab

Metode yang digunakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqi adalah metode tahlili yang ditulis runtut sesuai urutan ayat dan mushaf. Sedangkan untuk sistematika penulisannya, diawali dengan menulis ayatnya kemudian terjemahan dan tafsirannya. Untuk penulisan ayatnya, tidak pasti jumlah ayat yang ditulis. Kemudian, untuk tafsirannya Hasbi menafsirkan tidak selalu per ayat, kadang Hasbi menafsirkan satu ayat dengan di penggal-penggal menjadi beberapa bagian. Namun, kebanyakan Hasbi menafsirkan ayat sesuai tanda waqof yang ada.

Dalam menafsirkan penggalan ayat itu pula Hasbi menuliskan kembali bacaan ayat namun dengan tulisan huruf latin, beserta terjemahnya. Selanjutnya, setelah selesai menafsirkan Hasbi menambahkan dengan kesimpulan di bagian akhirnya. Penulisan yang digunnakan Hasbi dalam kitab tafsir ini juga masih menggunakan model penulisan zaman dahulu, yakni penulisan huruf “y” menggunakan huruf “j”. Hasbi juga mencantumkan pendapat-pendapat ulama dan hadis-hadis dalam penafsirannya. Selanjutnya, pada setiap akhir kitabnya Hasbi juga mencantumkan semacam daftar isi yang berisi fasal-fasal dan hal-hal ataupun makna yang terkandung dalam suatu ayat.

Selanjutnya mengenai bentuk penafsirannya, seperti yang diungkapkan Yunahar Ilyas dalam cetakan kitab berikutnya Hasbi menjelaskan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an dia lebih banyak menyarikan dari tafsir al-Maraghi di samping  merujuk kepada kitab-kitab tafsir lainnya, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Qasimi, dan Tafsir Al-Wadhih. Karena bentuk penafsiran Al-Maraghi adalah al-tafsir bi ar-ra’yi , sedangkan penafsiran Hasbi kebanyakan adalah intisari dari  Tafsir Al-Maraghi, maka dapat disimpulkan bahwa Hasbi juga mengggunakan bentuk penafsiran yang sama dengan yang digunakan oleh Al-Maraghi.

 

Corak Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur

Tasir al-Qur’anul Majid An-Nur memiliki banyak cakupan corak penafsiran, ada yang menyebutkan kitab tafsir ini bercorak ‘adabi ijtima’i, hal ini dapat dipahami secara umum dari latar belakang kitab tafsir ini disusun, yakni Hasbi Ash-Shiddieqy ingin mencoba menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia dalam berbagai aspek. Selain itu kitab tafsir ini tidak seperti Tafsir Al-Manar ataupun Fi Zhilal Al-Qur’an  yang nuansa sastra begitu kuat dalam penggunaan gaya bahasanya. Namun, dalam kitab tafsir ini justru kelemahannya terletak pada gaya bahasa yang digunakan Hasbi. Bahasa Indonesia yang digunakan Hasbi bernuansa bahasa Indonesia terjemah Arab,sehingga pengaruh gaya bahasa atau uslub bahasa Arab sangat terasa dalam bahasa yang digunakan Hasbi.[12]

 

Contoh Penafsiran

Qs. Al-Anfal: 45-46:

ياايهاالذين اٰمنوا اذا لقيتم فئةً فاثنتوا واذكرواالله كثيرًا لعلكم تفلحون (45) واطيعواالله ورسوله ولاتنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا انّ الله مع الصّابرين (46)

 

TERDJEMAHANNJA.

Wahai segala mereka jang telah beriman, apabila kamu djumpai djama’ah musuh maka wadjiblah kamu bertahan dalam memerangi mereka dan ingat olehmu akan Allah dengan sebanjak-banjaknja semoga menjiapkan kamu untuk mendapat kemenangan (45). Dan ta’atilah olehmu akan Allah dan RasulNja dan djangan kamu berbantah-bantahan lalu kamu mendapat kegagalan dan hilanglah tenagamu, dan bersabarlah kamu, bahwasanja Allah beserta orang² jang sabar (46).[13]

TAFSIRNJA.

  1. JÂ AIJJUHA ‘LLADZÎNA ÂMANÛ IDZÂ LAQÎTUM FI-ATAN FATSBUTÛ = Wahai segala mereka jang beriman, apabila kamu djumpai djama’ah musuh, maka wadjiblah kamu bertahan dalam memerangi mereka.

Jakni: Wahai segala mereka jang beriman dan akan RasulNja, apabila kamu memerangi sesuatu golongan orang kafir dan kamu mendjumpai mereka dalam medan pertempuran, maka wadjiblah atas kamu, bertahan dalam memerangi mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi mereka, serta djanganlah sekali-kali kamu lari, meninggalkan medan pertempuran; karena tetap bertahan itulah suatu keutamaan, sebagaimana lari dari medan pertempuran adalah dosa besar.[14]

  1. WA ‘DZKURU ‘LLÂHA KATSÎRÂ = Dan ingat olehmu akan Allah dengan sebanjak-banjaknja.

Jakni: Banjakkan olehmu menjebut Allah dalam masa bertempur itu dengan hati dan lidah, karena dengan menjebut Allah-lah tenteram segala djiwa dan dengan menjeruNjalah terhindar segala bentjana.

Ringaksnja, tetaplah bertahan diwaktu bertemu dengan musuh dan membanjakkan menjebut Allah.[15]

 

Penutup

Kitab Tafsir karya Hasbi Ash-Shidieqy yang berjudul Tafsir al-Qur’anul Majied merupakan salah satu kitab tafsir yang muncul di era pasca kemerdekaan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kitab tafsir ini mengalami dua kali cetakan dengan cetakan pertama terdiri dari 30 juz sedangkan pada cetakan kedua terdiri dari 5 jilid. Penafsiran dalam kitab ini tergolong sangat singkat dan disertai pendapat-pendapat ulama serta hadis-hadis Nabi, namnun hanya beberapa saja. Corak yang menonjol dari kitab tafsir ini adalah ‘adabi ijtima’i, yang mencoba menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang ada di Indonesia dalam berbagai aspek.

 

Daftar Pustaka

Sudariyah, “Konstruksi Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy”, SHAHIH, Vol. 3 Nomor 1, 2018.

Miswar, Andi, “Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV Nomor 1, 2015.

Khairudin, Fiddian & Syafril, “Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, 2015.

 

Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: LABDA PRESS, 2006.

 

Nursalim, M., Keautentikan Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, SKRIPSI Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan: Lampung, 2017.

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majied “An-Nur”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, Juz XXVIII, 1973.

 

Footnote

[1] Sudariyah, “Konstruksi Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy”, SHAHIH, Vol. 3 Nomor 1, 2018, hlm. 94.

[2] Ibid.,

[3] Ibid, hlm. 95.

[4] Ibid.,

[5] Andi Miswar, “Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV Nomor 1, 2015, hlm. 85.

[6] Ibid.,

[7] Fiddian Khairudin & Syafril, “Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, 2015, hlm. 87.

[8] Ibid, hlm. 97.

[9] Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: LABDA PRESS, 2006, hlm. 74.

[10] M. Nursalim, Keautentikan Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, SKRIPSI Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan: Lampung, 2017, hlm. 46-47.

[11] Ibid.,

[12] Ibid, hlm. 87.

[13] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majied “An-Nur”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, Juz XXVIII, hlm. 11.

[14] Ibid.,

[15] Ibid.,

Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya Syu’bah Asa

 

Pendahuluan

Secara garis besar penafsiran Al-Qur’an mengalami tiga generasi, yaitu: periode klasik[1], periode pertengahan[2], dan periode kontemporer.[3] Pada ketiga generasi tersebut tentunya kitab tafsir akan mengalami perbedaan, entah dari segi corak atau metode yang digunakan dalam penafsiran masing-masing pengarangnya tergantung konteks pada masa itu.

Periode kontemporer ini dari abad kedua belas sampai saat ini. Tafsir pada periode ini merupakan ikhtisar dan kumpulan dari tafsir-tafsir periode klasik dan pertengahan, disamping itu ada juga pendapat-pendapat dan ijtihad.[4] Gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang sangat kritis melihat produk-produk penafsiran Al-Qur’an.[5] Penafsiran Al-Qur’an pada periode ini dilatarbelakangi dengan tujuan pembaharuan pemikiran dan pemahaman Islam.[6]

Di Indonesia sendiri, perkembangan karya tafsir lahir dari ruang sosial-budaya yang beragam. Sejak era ‘Abd ar-Rauf As-Sinkili (1615-1693 M) pada abad 17 M hingga era M. Quraish Shihab pada era awal abad 21 M. Pada rentang waktu lebih empat abad itu, karya-karya tafsir AL-Qur’an Indonesia lahir dari tangan para intelektual Muslim dengan basis sosial yang beragam. Mereka ini juga yang memainkan peran sosial yang beragam pula, seperti sebagai penasehat pemerintah (mufti), guru, atau kiai di pesantren, surau atau madrasah.[7] Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas salah satu kitab tafsir periode kontemporer yaitu dalam cahaya Al-Qur’an yang ditulis Syu’bah Asa.

Tentang Penulis

Syu’bah Asa lahir dari keluarga religius di Pekalongan pada tanggal 21 Desember 1941. Ayahnya seorang pengusaha batik di lingkungan penghafal AL-Qur’an di desa Kerandan, Pekalongan Selatan. Ketika masih duduk di bangku Madrasah Menengah ia telah mempelajari dengan baik sirah Nabi Muhammad SAW. diusia yang muda ia telah menulis novel remaja “cerita di pagi cerah” seteah karangan pertamanya dimuatdi majalah batik pada 1957.[8]

Pada Desember 1960, ia masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat. Selama menjadi mahasiswa ia mengajar anak-anak dan berkhutbah. Ia menjadi guru pengganti di sekolah dulu ketika belajar ilmu balaghah. Selama dua tahun, ia menjadi dosen muda partikelir mata kuliah ekstrakulikuler drama di fakultas IKIP Negeri yakni tempat bertemu dengan calon istrinya.[9] Selain itu ia juga belajar privat kitab kuning kepada seorang kiai di Lempuyangan. Pernah juga menjadi santri kalong di Krapyak Yogyakarta.[10]

Kemudian pada era tahun 1950-1969, Syu’bah dikenal sebagai seniman dan aktif di teater Muslim serta bengkel teater Yogyakarta.[11] Pada tahun 1970, ia menjadi redaktur musik di majalah Ekspres yang merupakan cikal bakal majalah Tempo. Ketika di Tempo, ia merupakan penulis kritik teater yang paling tajam dan ajek. Pada saat itu, ia menjabat sebagai redaktur senior yang sebelumnya menjadi redaktur pelaksana kompartemen agama dan budaya. Dengan jabatannya ini, ia banyak menulis tentang agama dan permasalahan sosial.[12]

Setelah keluar dari majalah Tempo pada 1987, ia menjadi ketua sidang redaksi majalah Editor, lalu pindah menjadi Wakil Pimpinan redaksi Harian Pelita. Di ujung karir sebagai wartawan, ia bekerja di majalah Panji Masyarakat. Disinilah ia menulis tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, tepat di akhir penghujung kekuasaan rezim Orde Baru. Syu’bah menghembuskan nafas terakhirdi Rumah Sakit Pusat Islam Muhammadiyyah, Pekajangan, Pekalongan Jawa Tengah Pada Ahad, 24 Juli 2011 pukul 17.00 WIB pada usia kurang lebih 70 tahun.[13]

Latar Belakang Penulisan Tafsir

Buku tafsir ini bermula dari artikel-artikel tafsir yang ditulis Syu’bah Asa di majalah mingguan Panji Masyarakat setiap minggu. Jika dilihat dari data yang disertakan di setiap akhir tulisannya, tulisan tulisan itu dibuat dalam rentang waktu 1997 hingga 1999. Sebagai kumpilan artikel yang terpenggal dan demi publikasi media massa, tema-tema yang diambil Syu’bah Asa sangat beragam dan kontekstual yakni sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang muncul pada saat tafsir itu ditulis . judul “Dalam Cahaya Al-Qur’an” yang dipakai dalam buku ini sendiri sebetulnya adalah nama rubrik di majalah Panji Masyarakat yang sengaja disediakan bagi Syu’bah untuk menulis artikel tersebut.[14]

Setiap ayat yang dikemukakan dalam tafsir ini disesuaikan dengan kejadian waktu itu dan saat itu. Karena memang tafsir ini bermula dari tafsir yang dimuat dalam Panji Masyarakat. Sehingga setiap ayatnya merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa yang populer di Indonesia. Tafsir ini bisa dikatakan sesuai dengan jiwa-zaman (Zeit geist) pada periode Reformasi. Dengan membaca tafsir ini orang akan tahu bagaimana kaum intelektual Islam (paling tidak penulisnya) membaca zamannya dari sudut pandang Al-Qur’an.[15]

 

Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Polituk

Dalam tafsir ini memiliki 57 tema yang kemudian dibagi menjadi tujuh bagian. Secara keseluruhan bagian tersebut berbicara tentang masalah-masalah kontekstual yang terjadi di Indonesia, seperti keadilan, pelanggaran HAM, kekerasan, kekuasaan yang korupsi dan keberagaman yang sebatas stempel.[16]

Dalam segi penulisannya ia menggunakan model tematik yaitu dengan fokus pada satu ayat yang dianggap relevan dan penting dengan tema pembahasannya. Kemudian penulisan ayatnya, ia hanya menuliskan terjemahannya saja yang disebutkan surat keberapa dan ayatnya. Letak terjemahannya dituliskan dibawah tema yang akan ia tafsirkan. Misalnya dalam pembahasan tema kepada bangsa-bangsa, kemudian ia letakkan terjemahan dibawahnya Q. 49: 13,[17] sebagai ayat yang relevan; tentang agama-agama dikutip Q. 2: 148.[18] Pada satu ayat yang dipilih, ia kemudian akan menghubungkannya dengan ayat yang lain dengan memanfaatkan teori munasabah. [19] Dan pada saat mengurai produk tafsir biasanya ia mengkomparasikan pendapat beberapa mufassir kemudian ia mentarjihnya atau hanya menampilkannya saja.[20]

Syu’bah Asa dalam melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an ia merujuk pada berbagai sumber. Pertama Al-Qur’an, ketika ia menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an maka ia menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain. Contohnya pada tema Kepada Bangsa-bangsa yaitu Q.S. Al-Hujurat: 13 yakni:

Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[21]

 Para ulama, menafsirkan laki-laki dan perempuan pada ayat diatas dengan tiga tafsiran, yaitu Adam dan Hawa, ibu dan bapak bagi tiap orang, sperma dan telur. Namun yang jadi krusial adalah kata “bangsa-bangsa” dalam terjemahan diatas. Sedangkan pengertian “bangsa” saat ini anakronistis, apalagi bila dihubungkan dengan nation state, negara bangsa yang lebih merujuk kepada kesatuan politik daripada keturunan, sehingga tidak bisa dicari padanannya dalam struktur masyarakat Arab. Karena bangsa adalah pengundangan kesetaraan harkat dan laranga terhadap sikap diskriminatif jenis apapun. Kemudian ayat tersebut akan dihubungkan dengan surah Rum ayat 22.[22]

Kedua, hadis. Ketika mengutip hadis biasanya beliau tidak merujuk langsung pada kitab hadis namun mengutip dari tafsir karya mufassir lain.[23] Ketiga, merujuk pada tafsir-tafsir lain. Contohnya pada tema Kepada Bangsa-bangsa, ia menafsirkan dengan Q.S. Al-Hujurat: 13. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syu’bah Asa menggunakan penafsiran Thabari dan Qurthubi untuk pembahasan makna sya’b dan qabilah.[24] Dan yang keempat, menggunakan ijtihad mufassir.

Kemudian dalam bukunya juga Syu’bah Asa menggunakan analisis sosio-historis sebagai salah satu aspek penting. Tafsir ini tidak terpaku pada asbab al-nuzul sebagai rujukan utama, tetapi mufassir mengajak pembaca merasuki berbagai kondisi masyarakat saat suatu teks terproduksi. Hal ini dilakukan dalam rangka menemukan makna ayat yang sesuai. Tampilan dari uraiannya memang terkesan pendek. Kemungkinan ini disebabkan resiko tafsir yang ditulis untuk sebuah media massa mingguan. Selain itu penulis juga dikejar deadline dan halaman yang disediakan juga dibatasi sehingga kurang leluasa dalam menjabarkan suatu ayat.[25]

Pendekatan yang digunakan dalam tafsir ini yaitu kontekstual, dimana beliau memandang realitas kehidupan sebagai medan keberangkatan penafsiran. Pendekatan kontekstual yang ditempuh Syu’bah Asa dalam buku tafsirnya adalah sebagai usaha memposisikan Al-Qur’an sebagai kritik sosial. Di tengah euforia reformasi, pada saat tafsir ini ditulis, berbagai tuntutan agar bangsa Indonsia berbenah. Karya tafsir ini gerakannya dari praksis ke reflektif yakni daro bawah ke atas. Oleh karena itu membaca tafsir dengan pendekatan kontekstual ini, pembaca harus pandai dan jeli dalam mecari hal-hal yang umum dari pernyataan yang konkret.[26]

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’bah Asa adalah respon dari peristiwa-peristiwa yang muncul pada Indonesia saat itu. Dalam buku tafsirnya terdiri dari 57 tema yang dibagi menjadi tujuh bagian. Dimana ditulis dengan metode tematik. Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis. (Nur Khasanah)

  

Daftar Pustaka

Aliyah, Himatul, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, Desember 2015.

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990).

Gusmian, Islah,  “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016.

Gusmian, Islah,  “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika”, Nun, Vol. 1, No. 1, 2015.

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2003).

Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014.

Musbikin, Imam, Mutiara Al-Qur’an, (Madiun: Jaya Star Nine, 2014).

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2011).

Permono, Syaichul Hadi, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975).

 

Footnote

[1] Tafsir masa ini dimulai dari abad pertama hingga abad ketiga hijriyah. Tafsir pada masa klasik ini dimulai dari penafsiran Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat, lalu penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, hlm. 226

[2] Pada generasi pertengahan (permulaan abad ke-4 sampai abad ke-11), ini menafsirkan Al-Qur’an dengan dasar dirayah (tafsir bil ma’qul), yaitu tafsir dengan berdasarkan ilmu nahwu, balaghah dan lain sebagainya. Mereka membersihkan kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat israiliyyat dan nashraniyyat, dan mulai pemeriksaan itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk akal dan keterangan-keterangan yang nyata. Tafsir model seperti ini dikembangkan oleh golongan mu’tazilah. Dalam abad ini pula seluruh ayat i’tiqad ditafsirkan dengan mempergunakan fikiran. Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975), hlm. 76-77.

[3] Imam Musbikin, Mutiara Al-Qur’an, (Madiun: Jaya Star Nine, 2014), hlm. 27.

[4] Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam), hlm. 77-78.

[5] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2011), hlm. 58-59.

[6] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 31.

[7] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika”, Nun, Vol. 1, No. 1, 2015, hlm. 4.

[8] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 69.

[9] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, Desember 2015, hlm 359.

[10] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 69.

[11] Ibid.

[12] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 478.

[13] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 69.

[14] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 95.

[15] Kuntowijoyom “Kata Pengantar” dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. x.

[16] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 70.

[17] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 3.

[18] Ibid., 9.

[19] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 70.

[20] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, hlm. 365.

[21] Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13.

[22] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 7-8.

[23] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, hlm. 367.

[24] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 8.

[25] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, 210-211.

[26] Ibid., 154.

Kotak Saran Untuk Penggiat Al-Qur’an

Al-Qur’an secara turun-temurun menjadi warisan Islam yang tak lekang oleh masa. Sejarah membuktikan bahwa Al-Qur’an telah mempertahankan eksistensinya selama berabad-abad semenjak masa turunnya Al-Qur’an sendiri. Kesuksesan eksistensi tersebut dapat terlaksana berkat adanya umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab sucinya.

Namun dedikasi umat Islam kepada Al-Qur’an semakin hari dirasa semakin kehilangan ruhnya. Seperti sebuah fisik kosong tanpa nilai. Hal ini dapat dirasakan dalam berbagai macam kegiatan Qur’ani, baik dalam sisi para santri tahfidz Al-Qur’an, akademisi Al-Qur’an, ataupun para mubaligh yang selalu membersitkan ayat Al-Qur’an dalam setiap ceramahnya.

Ruh yang dimaksudkan yakni kepasrahan total diri kepada Al-Qur’an. Pasrah di sini ialah dedikasi diri yang diniatkan sepenuhnya kepada Al-Qur’an. Segala yang dilakukan berasaskan Al-Qur’an dan demi memulyakan Al-Qur’an. Mari introspeksi diri masing-masing….

Dalam dunia tahfidz Al-Qur’an, perkembangan peminat pengahafal Al-Qur’an menjadi booming setelah adanya acara televisi yang bertemakan tentang tahfidz Al-Qur’an. Masyarakat saling berlomba untuk mencetak anaknya menjadi hafidz-hafidzah. Ini merupakan respon yang luar biasa positif dan sangat baik. Dan tentunya menjadi sebuah sebuah semangat tersendiri bagi kalangan Qur’ani. Pada sisi ini yang menjadi instropeksi adalah banyaknya penghafal Al-Qur’an yang memikirkan tentanga berbagai metode untuk cepat menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya, namun kurang perhatian terhadap “sisi unik” yang tersirat pada Al-Qur’an. Semisal, asbab an-nuzul (sebab turun) dari sebuah surat, tafsir-tafsirnya, ataupun masalah-masalah yang dibahas pada sebuah ayat. Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab suci mati yang hanya menjadi objek untuk dihafalkan saja, melainkan sebuah kitab suci yang telah hidup melewati berbagai sejarah peradaban manusia yang membacanya.

Di sisi lain ada kaum intelektual Al-Qur’an. Wilayah ini meliputi para santri-santri yang belajar kitab-kitab tafsir, para sarjana Al-Qur’an, pengamat, penulis, dan lain sebagainya. Akademisi Al-Qur’an mengambil bagian besar dalam memeriahkan kajian-kajian Al-Qur’an dan membuat terobosan-terobosan baru dalam memahami Al-Qur’an. Secara tidak langsung kajian-kajian tersebut ikut meregenerasi makna-makna Al-Qur’an terus menerus hingga sampai saat ini. Di sisi akademik yang perlu diperhatikan ialah seringnya para akademisi memandang Al-Qur’an sebagai sebuah objek kajian ataupun penelitian, dan terkadang lupa diri hingga mengomentari Al-Qur’an tersebut, atau menyalahkan pendapat orang lain yang juga memiliki pendapat dalam memahami Alquran. Kita sadar dan mengakui bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang benar, namun juga kita harus akui bahwa petunjuk pemahaman Al-Qur’an kepada pembacanya pun berbeda-beda.

Terakhir dalam dunia dakwah. Al-Qur’an yang merupakan asas dasar dalam kehidupan menjadi sebuah refrensi yang wajib dimasukkan dalam setiap dakwah dan ceramah. Dakwah merupakan wadah interaksi yang kuat dan paling berpengaruh bagi masyarakat untuk memahami tentang Islam dan Al-Qur’an. Juga menjadi saluran penting dalam membentuk kepribadian individu agar faham tentang Islam rahmatan li al-‘alamin yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Yang menjadi instropeksi di sini adalah banyak pendakwah yang manis di bibir namun kelakuannya patut dicibir. Walaupun memang tak harus menjadi Nabi dulu untuk mengingatkan atau memberi ilmu kepada masyarakat (kalau dalam istilah santri biasa disebut dengan kaburo maqtan). Namun lebih baik lagi jika perilaku juga mencerminkan apa yang disampaikan, karena kebanyakan pendakwah menjadi panutan masyarakat.

Sebagai kesimpulan, alangkah baiknya jika ketiga aspek ini dilakukan dan dijalankan dengan rasa berpasrah diri kepada Al-Qur’an secara total. Mengapa demikian? Pada nyatanya dalam tiga aspek ini, ada segelintir orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah objek ataupun alat. Hafidz-hafidzah yang merasa telah memiliki ‘kunci surga’ dan tak berusaha untuk memahami kandungan Al-Qur’an, penggiat dan aktivis Al-Qur’an yang sibuk dengan berbagai teori namun lupa bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi umat, dan mubaligh-penceramah yang sibuk mencari ayat agar sesuai dengan temanya.

Abdi Qur’an adalah orang-orang yang ketika ketiganya ini telah dipupuk dengan pondasi yang kuat bahwa segalanya dilakukan hanya demi Al-Qur’an dan untuk Al-Qur’an. Seorang hafidz-hafidzah akan dengan senang menghafal sekaligus belajar memahami apa yang dibacanya. Seorang santri dan sarjana akan memahami Al-Qur’an dan mencoba mempraktikannya dalam berkehidupan. Seorang dai akan menjelaskan Al-Qur’an dengan segenap kemampuan keilmuan yang mumpuni dan berusaha agar tidak kaburo maqtan. Sebagai penutup, sungguh indah membayangkan adanya sosok yang mampu dan bisa meraih ketiganya sekaligus. [M. Miftahuddin]

KULIAH TAFSIR PESANTREN Oleh: KH. Dr. Ali Nurdin

Apa definisi tafsir Alquran? Tafsir adalah usaha untuk menjelaskan ayat-ayat Allah sesuai dengan maksud Allah dan sesuai dengan kemampuan manusia. Jika dipecah, definisi ini bisa dibagi menjadi empat unsur bagian. Pertama, sebuah usaha untuk menjelaskan. Kedua, yang menjadi objeknya adalah ayat-ayat Allah. Ketiga, berniatkan sesuai dengan maksud Allah. Keempat, sesuai dengan kemampuan manusia. Fokus pembahasan kali ini ada pada bagian keempat, yakni tentang kemampuan manusia.

Bagaimanakah penjelasan mengenai kemampuan manusia dalam tafsir? ialah tentang kompetensi manusia yang terdiri dari tiga unsur atau biasa disebut dengan syarat-syarat seorang mufassir (penafsir). Ada tiga unsur yang harus dimiliki oleh seorang mufassir ialah, pertama, Sikap/etika (dalam dunia tafsir biasa disebut dengan adab), maksudnya adalah seorang mufassir dalam menafsirkan Alquran tetap ditujukan sebagai sebuah petunjuk bagi manusia (65%). Kedua, seorang mufassir harus memiliki kemampuan akademik atau kognitif, contohnya seperti mengerti tentang bahasa Arab atau kaidah tafsir dan sebagainya (25%). Ketrampilan, seperti pemilihan bahasa (diksi) dsb (15%).

Jika dilihat dari kriteria di atas, pada perkembangannya seorang penafsir bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang tidak memiliki unsur pertama, yakni etika. Kaum orientalis sebagian besar masuk ke dalam kriteria ini, juga banyak akademisi lain yang tidak memilki unsur pertama dan hanya unsur yang kedua dan ketiga. Kelompok ini melihat ayat hanyalah sebagai ayat. Ilmu hanyalah sebuah ilmu. Sehingga tidak diperhatikan bagaimana sebuah penafsiran akan berpengaruh kepada masyarakat luas. Biasa dilabeli dengan kaum liberal. Kedua, kaum tekstualis yang hanya terfokus pada syarat pertama dan tidak memiliki syarat kedua dan ketiga sehingga akhirnya hanya menggunakan terjemah saja. Contohnya adalah Ibnu Muljam. Ketiga, tafsir pesantren adalah tafsir moderat yang berusaha menyeimbangkan segala aspek tersebut, yakni juga tidak lepas dari pemikiran dan kemampuan akademik dan tetap bertujuan unutk membuat orang melakukan hal baik (sebagai sebuah petunjuk).

Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah bahwa pemahaman tekstual lebih banyak ditemukan. Menurut penelitian sebuah Pusat Studi Alquran, presentase tekstualis ini mencapai 60%. Hal ini mudah dibuktikan, jika kita googling pembahasan mengenai tafsir, maka pemahaman tekstuallah yang marak. Sedangkan untuk pemahaman liberal, hanya menempati presentase sedikit. Kebanyakan pemahaman ini marak di kalangan akademik.

Kenyataan lain yang dihadapi adalah pendidikan sekarang dari TK sampai SMA sangat jarang menerapkan mengenai ‘sikap/etika’. Pada dasarnya kecerdasan ada yang berupa SQ dan IQ namun yang penting adalah metakognitif yakni kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya kepada hal lain.

Tawaran tafsir pesantren yang moderat dan seimbang (tawassuth) adalah, pertama saat menafsirkan sebuah ayat, mufassir harus mengerti realitas yang sekarang dan fakta yang berlangsung, misalkan Indonesia yang memang model masuknya Islam secara damai. Hal ini berbeda dengan adanya istilah “islamophobia” yang ada di wilayah lain dimana Islam datang dari para buruh, model perang, dsb. Karena itu pertimbangannya pun harus berbeda. Kedua, harus mengerti skala prioritas. Misalkan ayat innamalmukminuuna ikhwah adalah konsep dasar fundamental yang jangan sampai hal ini rusak karena masalah furu’yyah. Syariah satu, fiqh banyak, maksudnya adalah syariah Allah hanya satu namun fiqhnya banyak. Contohnya adalah sholat. Sholat merupakan perintah Allah namun kenyataanya caranya berbeda-beda. Ketiga, harus seimbang antara teks dengan konteks. Jangan sampai ayat yang bisa dipahami secara teks harus diperkosa dengan kontekstual. Contoh ayat mudahnya adalah tentang poligami, orang yang propoligami dan yang menolaknya akan mengeluarkan ayat-ayat yang sesuai. Contoh lainnya lagi adalah pada ayat hubbussyahawati …… kata al-khoil di situ bisa dimaknai sebagai kendaraan mobil. Keempat, dalam memahami ayat harus komprehensif (jangan sepotong-potong). Yakni mempertimbangkan ayat-ayat lain juga. Seperti ayat-ayat perang. Ayat-ayat perang harusnya difahami sebagai proteksi saat diserang, dan tidak difahami pada masa damai. Karena banyak pertimbangan ayat lain. Kelima, harus dipahami mana ayat membahas tentang keyakinan dan mana yang membahas tentang a’mal (perbuatan). Surat Ibrahim tentang keyakinan seperti pohon yang baik, dimana akar yang menancap kuat maka semakin tidak terlihat. Ini dijelaskan bahwa akidah semakin menancap kuat maka semakin tidak terlihat. Contoh, wa man yabtaghi ghoirol….. ayat ini adalah ayat yang harus diyakiini. Hal ini akan bertabrakan dengan ayat wa laa tasubbulladzina yad’una….. dimana ini merupakan ayat perbutaan. Saran yang diberikan adalah jangan suka mengadili keyakinan orang lain. [Muhammad Miftahuddin]

Kajian Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun Karya Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi

 

Pendahuluan

Sepanjang berjalannya waktu, kajian terhadap al-Qur’an tidak pernah lekang oleh zaman. Usia penafsiran al-Qur’an sama dengan usia al-Qur’an itu sendiri.[1] Sejak al-Qur’an diturunkan proses penafsiran pun langsung terjadi dimana Nabi Muhammad saw sebagai mufasir pertamanya.[2] Kajian terhadap al-Qur’an inilah yang juga merambah dan dirasakan nyata di Indonesia.Tempat-tempat kajian terhadap al-Qur’an di Indonesia pada masa itu bermula dari tempat-tempat seperti surau, langgar, masjid hingga pesantren.Bahkan pesantren sampai saat ini masih menjadi sentral kajian al-Qur’an. Al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan.[3]Hal inilah yang kemudian menjadikan diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengenal kata usai. Namun ibarat samudera yang luas dan dalam, itulah al-Qur’an yang tidak akan pernah mengalami kekeringan walaupun telah, sedang dan akan terus di kaji dari berbagai segi dan metodologi. Tuntutan agar al-Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik sebagai pedoman dan petunjuk hidup untuk umat manusia, terutama di zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti.

            Diantara ulama tafsir yang turut memperkaya khazanah tafsir adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (975-1058 M/ 364-450 H).Al-Mawardi dipandang sebagai tokoh pewaris dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mawardi meninggalkan karya monumental dengan namaal-Nukat wa al-‘Uyun. Seperti yang telah penulis ungkapkan, bahwa setiap mufassir mempunyai setting history-nya sendiri, begitu juga al-Mawardi. Banyak faktor yang telah memberikan andil dalam penulisan al-Nukat wa al-‘Uyun, sehingga menghasilkan penafsiran yang cenderung rasional. Menarik untuk dikaji bagaimana al-Mawardi mendialogkan ilmu yang menjadi keahliannya, serta melihat seberapa besar jabatannya menjadi qadhi berimplikasi pada beberapa ayat-ayat hukum dalam kitab tafsirnya al-Nukat wa al-‘Uyun.

 

Biografi Penulis

Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun merupakan sebuah karya kitab tafsir yang ditulis oleh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i al-Baghdadi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 346 H / 974 M. Al-Mawardi merupakan nisbat kepada ma’ al-ward (ma’: air; al-ward: mawar), yaitu sebutan untuk profesi keluarga al-Mawardi sebagai pembuat dan penjual air bunga mawar.[4] Sedangkan al-Bashri merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah. Sebutan al-Syafi’i menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syafi’i. Sementara al-Bagdadi merupakan nisbat kepada tempat al-Mawardi menghabiskan lebih banyak masa hidupnya hingga ia wafat di sana yaitu kota Baghdad pada tahun 450 H/1058 M.[5]

Tahqiq dan Publikasi

Berdasarkan analisa penulis, kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn ditulis pada masa daulah Dinasti Abbasiyah di  bawah supremasi Dinasti Buwaihi (945-1055).[6] Dalam muqodimahnya al-Mawardi mengungkapkan alasannya menulis kitab al-Nukat wa al-‘Uyun. Berawal dari fakta bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah maknanya. Maka al-Mawardi pun membagi ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada ayat yang zhahir dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut.Kemudian al-Mawardi melanjutkan perkataannya bahwa terhadap ayat-ayat yang zhahir dan jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar membacanya saja. Namun terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya, al-Mawardi menawarkan dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihad (rasional). Inilah yang membuat al-Mawardi merasa terpanggil jiwanya untuk ikut berkontribusi dengan cara menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan-kumpulan ta’wil dan tafsir. terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.[7]

Tafsir al-Mawardi termasuk kitab tafsir singkat yang mencakup ayat-ayat Al-Qur’an secara komplit dengan metode bayani dan adabi (metode interpretasi dan sastra). Al-Mawardi memperhatikan aspek-aspek bahasa sehingga beliau memaparkan asal-usul kata dan menjelaskan maknanya dengan mengambil penjelasan dari peribahasa dan syair yang terkait kemudian menghubungkannya dengan makna yang dikehendaki oleh ayat. Dalam tafsir ini, beliau juga menghimpun berbagai pandangan dari ulama terdahulu dan terkini serta tidak lupa untuk memberikan penjelasan dan komentar pada semua ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan.[8]

Sebelum memulai penafsiran, penulis menyampaikan beberapa kajian pendahuluan yang mencakup keterangan alasan penyusunan buku dan metodologi penulisan yang beliau gunakan. Penulis menyinggung segi i’jaz Al-Qur’an, dan menjelaskan hukum bahwa ijtihad untuk mengungkap makna-makna Al-Qur’an merupakan tindakan yang dibenarkan serta mendorong untuk senantiasa memahami dan merenungi makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an.[9]

Seusai memberikan pengantar tentang tafsir yang beliau susun dan karakteristik utama yang dimilikinya, ia berkata :

“Makna eksplisit yang gamblang dapat dipahami dengan sekedar membaca, sedangkan makna yang terpendam sulit diungkap dan ditangkap kecuali dengan dua cara, yaitu memahami riwayat yang ada dan melakukan ijtihad. Melihat kondisi seperti ini, saya terobsesi untuk secara khusus menyingkap makna yang terpendam dan menginterpretasikan ayat yang mengandung makna njlimet melalui kitab ini. Saya akan menyampaikan berbagai pandangan ulama generasi awal dan generasi berikutnya serta kesepahaman dan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Saya juga akan mengutarakan makna alternatif yang muncul di dalam benak saya. Makna alternatif yang saya maksudkan untuk membedakan antara pandangan saya pribadi dengan pandangan yang kutipkan dari ulama terdahulu.Saya tidak akan berkomentar tentang makna eksplisit ayat karena saya anggap pembaca telah mampu mengerti dan memahaminya sendiri dengan baik, agar tulisan saya nantinya lebih fokus dan lebih intens membahas makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat Al-Qur’an“.[10]

Kitab ini pernah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1412 H/1992 M, yang di tahqiq oleh Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim yang seluruhnya sebanyak 6 jilid dengan ukuran 24 cm,[11] dengan jumlah halaman:

  • Jilid I berisi muqqodimah pentahqiq, muqqodimah mushonnif, surat al-Fatihah sampai An-Nisa’ (548 halaman).
  • Jilid II berisi surat al-Maidah sampai surat Hud (512 halaman).
  • Jilid III berisi surat Yusuf sampai al-Anbiya’ (477 halaman).
  • Jilid IV berisi surat al-Hajj sampai surat Fatir (480 halaman).
  • Jilid V berisi surat Yasin sampai surat As-shof (531 halaman).
  • JilidVI berisi surat al-Jum’ah sampai surat an-Nas, disertai dengan daftar isi. Urutan surat ini didasarkan pada urutan mushaf roshm Utsmani (380 halaman).

Pada tahun 1402 H/1982 M, kitab ini pernah diterbitkan oleh Kementrian Wakaf Kuwait.[12] Karya lain dari al-Mawardi selain al-Nukat wa al-‘Uyun, di antaranya, al-Ahkam al-Shultahinyyah, Adabul Wazir “Qawanin al-Wizarah wa Siyasat al-Mulk“, Adab al-Dunya wa al-Din, Adab al-Qashi. Ini merupakan bagian dari buku Al-Hawi, Nashihat Al-Muluk, Al-Amtsal wa Al-Hikam.[13]

Resepsi Masyarakat

Sebagaimana pernyataan Sayyid Ali al-Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum. Mengenai riwayat Israiliiyyat, sikap al-Mawardi, meskipun tafsir yang ia tuliskan tergolong singkat, cenderung mengutip hadis-hadits tidak valid dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Beliau juga tidak jarang menyampaikan kabar Israiliyyat yang nyeleneh. Sebagai contoh, al-Mawardi mengadopsi cerita tentang Harut dan Marut dari tukang cerita Yahudi. Selain itu juga cerita tentang Nabi Sulaiman dan dialog diantara beliau dengan setan serta cerita lain yang diselipkan ke dalam tafsirnya. Anehnya, al-Mawardi tidak menunjukkan gelagat untuk menjauhi atau bahkan mengkritik cerita-cerita tersebut.[14]

Untuk persoalan teologi, al-Mawardi berhalauan Mu’tazilah meski dari tampilan luar beliau tidak menyatakan secara gamblang bahwa beliau termasuk pengikut paham tersebut. Terkadang ia mengarahkan ke pemikiran tersebut secara lembut dan terkadang al-Mawardi menyuguhkan kepada kita selaku pembaca berbagai bentuk penafsiran sederhana terhadap suatu ayat padahal sebenarnya diantara pendapat-pendapat yang disebutkan tidak ada satu pun pendapat yang bertentangan dengan pola pikir Mu’tazilah. Al-Subky sebagaimana yang dikutip oleh peneliti Dr. ‘Adnan Zurzur di sela-sela pembiacaraan biografi Al-Mawardi telah menyusun artikel sederhana yang membahas Tafsir Al-Mawardi dan kritikan tajam yang ia layangkan kepada al-Mawardi. Al-Subky berkata[15]:

“Tafsir Al-Mawardi sangat berbahaya karena memuat konten yang menipu maupun mengecoh yang berisi takwil orang-orang sesat. Konten tesebut disematkan dengan tampilan yang apik sehingga tidak terlacak kecuali oleh para ahli. Di sisi lain, penulis juga seorang yang tidak begitu dikaitkan dengan sindikat penyebaran sekte Mu’tazilah sehingga konten tersebut mungkin diragukan dan semakin sulit untuk ditelusuri. Penulis hanya menyatakan bahwa beliau berijtihad tetapi secara diam-diam beliau mengarahkan pembaca untuk menyetujui sikap-sikap sekte teologi Mu’tazilah”.

Di akhir kalimat, Al-Subky berkata :

“Al-Mawardi bukan seorang Mu’tazilah tulen karena beliau tidak selalu sejalan dengan pemikiran-pemikiran pokok paham Mu’tazilah semisal dalam kasus “ Al-Qur’an adalah Makhluk’. Namun, beliau sepakat dengan Mu’tazilah dalam memahami konsep Qadar[16] Allah.”

Setelah mengutip respon Al-Subki terhadap Tafsir Al-Mawardi. ‘Adnan Zurzur turut memberikan komentar sebagai berikut:

“Bagaimana pun juga, Al-Mawardi telah meletakkan tafsir beliau diatas fondasi aliran Mu’tazilah dan metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Terlepas dari persoalan apakah Al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka pada beberapa kasus atau tidak dan terlepas apakah beliau menyatakan degan tegas mengikuti aliran Mu’tazilah ataupun tidak.”

Corak Tafsir Al Mawardi

            Menurut bentuk atau sumbernya, tafsir Imam al-Mawardi adalah termasuk ke dalam golongan tafsir bi al-ma’tsur, yaitu sesuatu yang bersumber dari nash al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasul, para sahabat, dan para tabi’in. Menurut Iyaziy, tafsir al-Mawardi ini tergolong tafsir lughawi, karena seringnya beliau menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan pendekatan sastra melalui berbagai syair.[17]

            Namun demikian, corak bahasa bukan satu-satunya corak tafsir al-Mawradi, karena tafsir ini memiliki karakteristik dalam beberapa bidang di antaranya:

  1. Mengumpulkan berbagai pendapat salaf dan khalaf terkait makna ayat
  2. Analisis bahasa yang mendalam di dalam menjelaskan makna ayat
  3. Keahliannya dalam bidang fiqh

            Bila ditinjau dari muqoddimah Tafsir al-Mawardi, sang pengarang yaitu Abu Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry mengatakan bahwa penafsirannya bercorak pada sastra bahasa yang menggunakan beberapa pena’wilan-pena’wilan dari berbagai ulama, baik dari ulama salaf sampai ulama’ khalaf, sehingga banyak pendapat tentang suatu pembahasan ayat atau surat di dalamnya, sehingga terdapat pula kesamaan-kesamaan atas penawilannya dan begitupun yang bertentangan.[18]

Langkah-Langkah Penafsiran

            Produk penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari seorang mufassir. Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahliliy, ijmaliy, muqarin dan mawdhu’iy.[19]

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini, setidaknya dapat diketahui melalui pernyataan al-Mawardi dalam muqaddimah tafsirnya, sebagaimana yang telah penulis ungkapkan pada sub gambaran umum kitab yang menjadi karakteristik tersendiri bagi al-Mawardi.Al-Mawardi menginterpretasi ayat Al-Qur’an dengan cara menyebutkan nama surat, memastikan status makkiyah atau madaniyyah dan menuturkan riwayat-riwayat yang ma’tsur terkait dengan surat. Baru kemudian menjelaskan tafsirannya dengan disertai asbab al-nuzul. Setelah itu, beliau lantas mulai menjelaskan makna kosakata dan menyebutkan latar belakang ayat diturunkan. Orientasi al-Mawardi berkisar pada aspek Bayyani dan asal-usul bahasa dengan berbekal pemahaman terhadap peribahasa atau syair yang terkait. Kemudian iamenjelaskan beberapa komentar ulama yang beliau didapati secara global dan menjabarkan masing-masing pendapat secara berurutan, semisal terdapat empat atau tiga komentar. Iabiasanya juga menyebutkan nama ulama yang berkomentar serta melakukan analisa untuk menentukan pendapat mana yang lebih kuat. Namun, al-Mawardi juga tak jarang hanya sekedar mengutip beberapa komentar ulama tanpa menyertakan analisa lebih lanjut.[20]

Berdasarkan analisa Sayyid Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mawardi juga menjelaskan perbedaan bacaan (qira’at).Diantara metode lain yang digunakan penulis adalah memaparkan berbagai pandangan fiqh yang berlandaskan pada penjelasan Imam Al-Syafi’i saat beliau menafsirkan ayat-ayat bermuatan hukum. Meski demikian, al-Mawardi secara tersirat juga merujuk pada pandangan dari Madzhab berhalauan Ahlus Sunnah yang lain.Sikap yang dipegang teguh oleh al-Mawardi adalah menggunakan rasio untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Makna lebih mendalam tidak mungkin diungkap kecuali dengan mengerahkan usaha lebih dalam merenungi ayat dengan akal. Al-Mawardi tidak hanya membahas kasus-kasus yang bersifat penting dan mendasar serta tidak menyetujui pemahaman yang dangkal. Beliau juga menentang orang yang tidak memperbolehkan menyingkap makna Al-Qur’an dengan bekal ijtihad akal yang tidak disokong oleh teks real dan valid yang diriwayatkan dari generasi terdahulu dengan dalih bahwa rasul pernah berkata : “ Orang orang mengkaji Al-Qur’an dengan rasionya, Ia jelas-jelas salah meski ia memperoleh kebenaran.”[21] Menanggapi kelompok tersebut, al-Mawardi dengan lantang melontarkan sangkalan sebagai berikut :

“Orang dengan tingkat intelektualitas yang rendah dan wawasan yang minim tidak berani melangkah lebih jauh. Mereka memaknai hadis tersebut dengan dangkal lantas menolak segala bentuk usaha ilmiah untuk mengungkap lebih jauh makna Al-Qur’an meski dengan berbekal dalih yang berbobot, selama usaha tersebut secara tekstual tidak dibarengi dengan riwayat yang valid atau diakui legalitasnya. Ini merupakan penyelewengan dari perintah Allah yang mengajak berdialog dengan hamba-Nya melalui bahasa Arab (yang jelas). Dia telah mengingatkan bahwa diantara makna rumit yang tersimpan di dalam Al-Qur’an, terdapat teka-teki dan misteri yang sulit dicerna. Makna tersebut akan tetap jadi teka-teki dan misteri selama kita tidak menyelami firman Allah. Allah menjelaskan lebih lanjut kandungan makna tersebut ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami serta mampu memutus komunikasi yang tidak sinkron antara Allah dan hamba serta Allah telah melapangkan kepada hamba-Nya jalan untuk menapaki hukum-hukum yang terpendam sebagaimana firman Allah : “Pasti akan diketahui oleh orang-orang diantara kalian yang mengungkapnya“. Andai kata pemahaman mereka (kelompok yang tidak setuju penggunaan rasio dalam penafsiran Al-Qur’an) benar, niscaya firman Allah tidak akan bisa dipahami dan maksud dari firman tersebut tidak pula dapat ditangkap. Dengan kata lain firman Allah hanya akan menjadi teka-teki yang tetap menjadi misteri. Hal ini tidak mungkin dikehendaki Allah. Dengan demikian, pemikiran mereka yang menolak telah terbantahkan dan mentakwil ayat Al-Qur’an merupakan alternatif demi mencapai pemahaman yang memadai ketimbang hanya mengandalkan pemaknaan ayat dari bungkus luarnya saja. Semoga Allah menyelamatkanku dari pemahaman yang menyatakan pasrah menerima Al-Qur’an dengan segala misterinya yang mengarah pada tindakan untuk tidak menggunakannya.”[22]

Sumber Penafsiran

Di dalam menafsirkan al-Mawardi menggunakan sumber-sumber, diantaranya:

Qira’at

Al-Mawardi memperhatikan aspek keanekaragaman qiraat. Untuk ranah ini, ia mengacu pada buku-buku yang ada di zamannya, semisal kitab Ibnu Khawalih yang berjudul Al-Qiraat As-Syadzzat, Al-Hujjat fi ‘Ilal Al-Qiraat Al-Sab’i karya Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ahmad Al-Farisi dan kitab Al-Muhtasab fi Tabyin Wujuh Syawaz Al-Qiraat dan kitab Al-Iidah yang sama-sama ditulis oleh Abul Fath ‘Utsman bin Jinni.[23]

Tafsir bil Ma’tsur

Merujuk Kitab “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an” karangan Ibn Jarir al-Thabari[24] merupakan kitab tafsir yang menjadi referensi dalam tafsir al-Mawardi. Misalnya saja, dalam menafsirkan Surat al-Nisa’ [4]: 34.

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا

Potongan ayat واهجروهن في المضاجع dikomentari oleh al-Mawardi dengan mengemukakan lima pendapat, dan pada poinke-5 al-Mawardi mengutip pendapat al-Thabari sebagai berikut:

والخامس: هو أن يربطها بالهجار وهو حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر الطبري.

Kelima, istrinya diikat dengan “al-hajjar”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas ketika pembuahan. Ini adalah pendapat Abu Ja’far al-Thabari.[25]

 

Selain itu, ia juga menukil dari Muqotil bin Khayyan dan Muhammad bin Ishaq bin Yasar teman seperjuangannya.[26]

Sumber Bahasa dan Nahwu

Dalam bahasa semantik dan nahwu al-Mawardi menggunakan sumber yang banyak dan beraneka ragam, seperti menukil dari al-Kasai, al-Farai, al-Ahfaz, Tsa’lab, Mubarad, Az-Zujaj. Dari sekian pengarang dalam kajian makna-makna al-Qur’an mendapat sumber dari Ubaydah dari kitabnya Majaz al-Quran dan Rumani dari kitabnya Jami’ liIlmil Quran, seperti menukil dari Kholil bin Ahmad, Syaibuwiyah, dan Umar bin Ila’.[27]

Sumber Fiqh

Pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad. Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, al-Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’. Pada tahun 423 H, al-Qadir wafat. Maka anaknya al-Qa’im menggantikannya sebagai khalifah.Karir al-Mawardi pada masa khalifah al-Qa’im (1031-1074 M) semakin meningkat.Ia mulai menampakkan perannya yang penting dalam pemerintahan khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Di samping itu, pada saat itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran).[28]

Contoh Penafsiran Al-Mawardi terhadap Kata Khalifah: Suatu Kompirasi

            Arti khalifa adalah secara etimologi berasal dari kata kholafa, yakhlufu yang memiliki beberapa pengertian yaitu mengganti, memberi ganti, dan menanempati tempatnya. kata khalifah sendiri mempunyai pengertian pengganti atau penguasa.[29] Kata khalifah dalam al-Qur’an setelah ditelusuri dengan Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi ditemukan bahwa khilafah juga berasal dari kha-la-fa yang berarti kepemimpinan. Hal ini terdapat dalam berbagai makna.Pertama, generasi pengganti.Kedua, suksesi generasi dan kepemimpinan.Ketiga,proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah. Keempat, pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah.Jadi, kata khilafah atau khalifah dalam arti kepemimpinan jelas ada di dalam al-Qur’an.[30]

Ayat yang akan disinggung untuk menjelaskan tentang kepemimpinan Islam akan diwakili dalam surat al-Baqoroh ayat 30 dan surat Shad ayat 26 yang menurut hemat penulis cukup mewakili keberadaankata khalifah dalam al-Quran dan mampu menjelaskan secara komprehensif arti khalifah dalam konteks kepemimpinan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[31]

            Al-Mawardi menafsirkan bahwa ayat ini dinilai dengan penyampaian keputusan Allah pada para malaikat tentang rencananya mennciptkan manusia di bumi. Penyampaian ini bias jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama atau Adam dengan nyaman, pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mufadhil. Ketika mendengar rencana tersebut, para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Pernyataan itu juga bias lahir dari penamaan Allah terhadap malaikat yang akan diciptakan itu dengan khalifah, Kata ini mengesakan makna pelerai perselisihan dan penegak hokum sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya yang pasti mereka (malaikat) bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencanaNya dan bisa saja bukan Adam yang mereka maksud dalam hal berselisih, merusak, dan menumpahkan darah anak cucunya.[32]

Berbeda dengan Al-Zamakhsary ketika menafsirkan khalifa di dalam al-Qur’an terkait surah al-Baqarah ayat 30.Dalam tafsirnya Zamakhsyari yakni al-Kasyaf menjelaskan, bahwa manusia di turunkan ke muka bumi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, kesemuanya memiliki potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah di muka bumi.kesemuanya itu merupakan bagian dari hal yang ditakdirkan oleh Allah SWT.[33] Hal tersebut menurut hemat penulis tak lepas dari hadis Rasululllah yang mengungkapkan bahwa semua muslim adalah pemimpin bagi muslim lainnya, dan dilanjutkan hingga komponen terkecil. Sehingga potensi-potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah adalah menjadi suatu keniscayaan.

Kholifah adalah orang yang kedudukannya sebagai pengganti atau bertugas menggantikan selain-Nya.Adapun makna dari “kholifah darimu sekalian”, adalah karena mereka sekalian adalah penduduk bumi, maka mereka menjadi kholifah bagi Adam dan semua keturunan-keturunannya.Mengenai apakah pengucapannya dalam maksud kata khalifa itu sendiri dengan menggunakan lafal kholaif ataukah khulafa’?Zamakhsyari lebih memaksudkan atau menekankan pada penggunaan kholifah Adam.Tujuan dari mengambil kata tersebut adalah untuk menyebut anak turunnya Adam, seperti dalam contoh penuturan konteks kata Abil Qabailah dengan menggantinya menjadi Mudhor dan Hasyim. Atau yang diharapkan dari ungkapan “pengganti” atau “penerus”, maka yang dimaksudkan adalah satu atau sama saja dari beberapa opsi tersebut.[34]

Adapun dibaca kholiqoh, maka yang Zamakhsyari maksudkan adalah “pengganti dariku”, karena adam adalah pengganti Tuhan di muka bumi-Nya begitujuga dengan nabi-nabi yang lainnya.[35]Jadi, Zamakhsyari memberikan penekanan pada penggunaan redaksi kata yang berbeda-beda tersebut tak lepas dari maksud yang diharapkan berbeda-beda. Sebagaimana apa yang dihadirkan pada beberapa penggunaan redaksi yang berbeda-beda di atasa. Namun, bukan berarti yang disajikan dengan redaksi yang berbeda-beda tersebut memiliki dampak makna yang berebda pula. Namun, di beberapa konteks juga ada beberapa redaksi yang berbeda, namun memiliki implikasi makna yang sama saja atau serupa.

Ayat lain yang berbicara tentang khalifah di antaranya adalah surat Shad:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”[36]

Kesimpulan

            Tafsir karangan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i yang berjudul al-Nukat wa al-Uyun ini mencakup seluruh ayat-ayat al-Quran (30 juz utuh). Karakter yang sangat menonjol dari al-Mawardi adalah tafsir bi al-ra’yi. Menurut al-Mawardi, yang namanya tafsir adalah menyibak yang samar ke yang jelas, sehingga bisa dikatakan apa gunanya sebuah tafsir yang memaparkan sesuatu yang telah diketahui oleh halayak umum. Secara umum, kitab tafsir ini dapat dicirikan sebagia berikut: menghimpun pendapat-pendapat ulama tafsir yang lain, baik sebelumnya maupun sezamannya. Analisa yang mendalam dari sisi kebahasaan.Keterlibatan dalam membatasi beberapa pendapat yang ada, meskipun tanpa disertai penyebutan sumber pengambilannya.Tidak hanya terbatas pada hadis-hadis, ragam bacaan, da hukum-hukum fiqih.Pendukung fanatik madzhab Syafi’i, bahkan termasuk salah satu tokohnya. Dan yang terakhir yakni menghimpun pendapat-pendapat ahli kalam, sekaligus menarjihnya. [Ariyanto & Ning Dian Kamelia]

 

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013, hal 105-106.

[2] Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2006, hal. 377.

[3]Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi penafsiran secara terus-menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer. Karena al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan bukan saja untuk orang-orang dulu di zaman Nabi saw, tetapi juga untuk orang sekarang bahkan sampai hari kiamat. Prinsip-prinsip universal al-Qur’an dapat dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular. Uraian selengkapnya, baca Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Perss, 2012, hal. 154.

[4] Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1dalam tarjamatul muallifSayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim (Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1992), hlm. 9.

[5] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawarth with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 1.

[6] Dinasti ini berdiri atas prakarsa Abu Syuja’ Buwaih, yaitu seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya: ‘Ali (‘Imad al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah) dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah). Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani ‘Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih ‘Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn Kali dari dinasti Saman. Dengan berdirinya Dinasti Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, bergandengan dengan kaum Syi’ah. Akibat persahabatan kaum Mu’tazilah dengan kaum Syi’ah Zaidiyah, karya-karya kaum Mu’tazilah pada periode kebangkitan kedua banyak yang diamankan, dan mulai pertengahan kedua pada masa abad ini banyak diterbitkan. Lihat, Machasin, “Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah: Masa Kemunduran” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 113. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Darasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 69.

[7]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 6.

[8] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, t. th.),  hlm. 726.

[9]Ibid.

[10]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun,hlm.6. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa al-Mawardi berusaha keluar dari paradigma tafsir konvensional, yang menafikan peranan makhluk dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat.Sebagaimana yang diungkapkan Kholid Utsman as-Sabt, yaitu “Di dalam al-Qur’an secara umum jika Allah menafikan peranan makhluk akan suatu hal dan menetapkan diriNya, maka secara bersamaan Allah telah menafikan persekutuan untuk Allah sendiri” Ini artinya ta’wilan hanya Allah yang mengetahui. Lihat, Kholid bin Utsman as-Sabt, Qawaid at-TafsirJam’an wa Dirasatan, Vol. 2, bab Nafi (Madinah: Dar Ibnu Affan, t. th), hlm. 520.

[11] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 723.

[12]Ibid.

[13]Ibid., hlm. 724. Lihat juga al-Nukat wa al-‘Uyun dalam muqoddimah Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim, Juz 1, hlm. 9.

[14] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[15] Ibid, hlm. 727. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Di sini kaum Mu’tazilah lebih menekannkan penggunaan rasio dalam menafsirkan. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 82.

[16]Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat utlak lagi.Sepert terkandung dalam uraian nadhir, kekeuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham muktazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.Tuhan tidak bisa lagi bebrbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak adil bahkan dzolim.Ibid., hlm. 119.

[17]Iyaziy, Al-Mufasirun…, hlm. 723

[18]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, hlm. 6

[19] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 3.

[20] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[21]Ibid.,hlm. 728.

[22]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 34-35. Apa yang diungkapkan al-Mawardi sama halnya seperti yang diungkapkan Thabathaba’i. Ia berpendapat tentang ayat mutasyabbihat, yaitu “dapat dipahaminya seluruh al-Qur’an oleh semua manusia, tak terkecuali terhadap ayat-ayat yang selama ini dikelompokkan oleh ulama sebagai ayat mutasyabbihat yang diposisikan secara diametral dengan ayat muhkamat. Ayat mutasyabbihat adalah ayat yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang tidak dapat diketahui makna hakikinya kecuali Allah.Anggapan ini, jelas Thabathaba’i tidak sesuai dengan QS. Ali Imran [3]: 7 dan ayat lain. Karena, dalam pandangannya al-Qur’an dengan jelas mensifati dirinya dengan sifat-sifat seperti cahaya, petunjuk, dan penjelas.Dengan sifat-sifatnya ini, setiap manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahui maksud al-Qur’an. Lihat, Wahyono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam “Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an” Karya Muhammad Husein Ath-Thabathaba’i (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008), hlm. 81.

[23]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 7.

[24] Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib At-Thabari, imam mujtahid mutlak, pengarang banyak kitab, dari keluarga Amal Tabrustan. Lahir di Tabrustan hatun 224 H, meninggalkan negerinya untuk menuntut ilmu pada usia 12 tahun pada tahun 236 H. Melalangbuana ke berbagai negeri seperti Mesir, Syam, Irak, lalu menetap di Baghdad hingga tutup usia tahun 306 H. Merupakan salah satu imam terkenal yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Menurut Adz-Dzahabi, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an merupakan tafsir terhebat, paling termasyhur dan menjadi rujukan pertama dalam tafsir naqli (bi al-ma’tsur), selain itu juga menjadi rujukan penting bagi tafsiraqli (bi ar-ra’yi) karena mengandung istinbath, pemaparan berbagai pendapat disertai tarjih yang berpegang pada nalar dan penelitian yang akurat. Lihat, selengkapnya Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm. 147-149.

[25]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 482.

[26]Ibid.hlm. 7.

[27]Ibid.

[28] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawardi with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 11.

[29] Ahmad Awarson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif), 1997, hal. 362.

[30] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an Karim, (T.T: TP, T.TH), hlm. 521.

[31] QS. Al-Baqarah [2]: 30.

[32]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 93-98.

[33] Abi Al-Qasim Muhammad ibn Umar Az-Zamakhsary, Al-Kasyaf (Riyadh: Maktabah Al-Abikan, t.t), hlm. 251.

[34]Ibid.

[35]Ibid.

[36] QS. Shad [38]: 26.