Kajian Atas Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin ar-Razi

Pendahuluan

Keyakinan umat Islam bahwa Alquran adalah kitab suci yang akan berlaku abadi sepanjang masa ternyata sejauh ini adalah merupakan salah satu alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayat Alquran menjadi tugas umat yang tak pernah berakhir. Tafsir sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dari kandungan Alquran telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Terjadinya keanekaragama dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan, berbagai faktorpun dapat menimbulkan keragaman dari tafsir itu sendiri yaitu berupa perbedaan keenderungan, interest, dan motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan lingkungan hidup yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua itu yang kemudian melahirkan berbagai corak penafsiran yang selanjutnya berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.[1]

Fakhrudin ar-Razi adalah salah satu pemikir muslim yang ikut serta menyumbangkan keilmuannya dalam khazanah dunia tafsir. Ar-Razi adalah seoran ilmuan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang mendalam. Salah satu tulisannya dituangkan kedalam kitab tafsir yang diberi judul Mafatih al-Ghaib. Di titik inilah kemudian makalah ini akan berbicara mengenai siapa Fakhrudin ar-Razi, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana perjalanan pendidikan serta karirnya dalam khazanah keilmuan Islam. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap segala hal tentang tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, dan bagaimana esensi-esensi yang ada dalam kitab tersebut.

 

Biografi Fakhruddin ar-Razy

Namanya yaitu Abdullah bin Umar bin Husein bin Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri at-Tubrustani ar-Razi yang dikenal dengan Fakhruddin (ar-Razi) dan dikenal sebagai Ibn al-Khatib As-Syafi’i. Lahir di kota al-Ray (kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan sebelah timur laut Taheran) dalam keluarga Shafi’i dan Ash’ari pada 25 Ramadhan tahun 543/544 H atau 1149-1150 M. pendidikan pertamanya didapat dari ayahnya sendiri, yakni Diya al-Din Umar yang dikenal sebagai Khatib al-Ray.[2]

Terkenal sebagai Imam dalam tafsir dan ilmu kalam, ilmu logika, dan ilmu bahasa ini melambungkan kepopulerannya di kalangan penguasa pada zamannya dan juga masyarakat umum. Ia mendulang ilmu dari ayahnya sejak lahir hingga sampai ayahnya meninggal dan melanjutkannya pembelajarannya ke daerah Khawarizmi dan Khurasan dengan berguru kepada Kamal as-Sam’ani, Majd al-Jili, dan dari para ulama lain yang hidup pada masanya. Beliau banyak belajar tentang ushul dan fiqh dari Imam Syafi’i dan juga banyak menggali ilmu tentang ilmu kalam dari Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Selain terkenal sebagai seorang ahli fiqh, ia juga dikenal sebagai ahli nasehat (ceramah) sampai dikatakan ia memberi nasehat dengan bahasa arab dan non-arab. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh ar-Razi terkenal sangat menyentuh hati oleh pendengarnya.

Fakhruddin ar-Razi setidaknya telah menempuh dua perjalan intelektual dalam hidupnya. Perjalanan pertama yakni ke Khurasan. Pada fase perjalanan Khurasan ini beliau mengalami sebuah perdebatan pendapat yang keras dengan kaum Mu’tazilah yang notabenenya adalah lawan dari mazhab teologinya, karena sejak lahir ar-Razi mengikuti mazhab Sunni Asya’irah yang diwarisinya dari ayahanda. Karena memang kondisi sosial yang memiliki akidah dan madzhab yang memang tidak cocok, dan juga banyaknya tekanan yang datang, ar-Razi pun melanjutkan perjalanan intelektualnya yang kedua, yakni menuju ke Bukhara dan dilanjutkan ke Samarkand dan kembali lagi ke Bukhara. Pada saat di Bukhara beliau juga mengalami kesulitan yang mana para ulama di daerah itu melakukan penentangan terhadap pendapat-pendapat yang disampaikannya. Setelah itu beliau kembali ke tanah kelahirannya di Al- Ray. Dalam hidupnya ar-Razi juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik seperti sultan Baihuddin Sam (w. 602 M) dan sultan kabir (sultan di Khurasan). Ar-Razi terkenal dengan keahliannya dalam bidang tafsir, juga dikenal sebagai filosof Islam hingga akhirnya ar-Razi mendapatkan julukan ‘Fakhr al-Din’, julukan lain yang disematkan kepadanya ialah Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. Nama Fakhruddin ar-Razi melambung pada  saat abad ke- 6 H, semasa dengan nama gurunya yakni Imam Syafi’i dan masih terus terdengar hingga masa sekarang.

Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga Sunni kental dengan mazhab Asy’ariyah, sejak kecil beliau banyak mendapatkan pengajaran berbagai ilmu dan ar-Razi berhasil menghapal kitab seperti asy-Syamil al-Ushul ad-Din karya Imam al-Haramain yang membahas ilmu kalam, kitab al-Mu’tamad karya Hasan al-Bahsri, dan kitab al-Musytasyfa karya al-Ghozali. Kedua kitab tersebut membahas masalah ilmu ushul fikih beraliran Sunni.[3] Pengajaran-pengajaran kitab yang didapatkannya dan sesuai dengan aliran yang dianutnya, membuat Fakhruddin ar-Razy semakin kuatnya pemahaman akidah ar-Razi atas ajaran Islam berdasarkan paham Sunni itu sendiri. Sehingga sangat jelas pemikiran al-Razi mengenai kefilsafatan banyak dipengaruhi oleh pendahulunya atau ulama klasik seperti Hasan al-Bahsri, Imam Ghozali bahlan pemikiran filusuf Yunani seperi Aristoteles.[4]

Dalam persoalan fikih, ar-Razi bisa disebut cukup fanatik terhadap mazhab Syafi’i, terbukti dari pendapat-pendapatnya yang terlihat mengunggulkan pendapat Imam Syafi’i ketimbang mazhab lain. Walaupun terkadang terlihat ar-Razi melakukan kritik beberapa pendapat Syafi’i, misalnya dalam hal wajibnya witir, wajibnya zakat buah, dan tanaman serta bolehnya minum khamr jika tidak ada air, beliau mengikuti Imam Abu Hanifah. Diantara kitab karyanya dalam masalah fiqih adalah at-Thariqah al-‘Aliyah yang terdiri dari 4 jilid dan Syarah al-Wajiz dari al-Ghozali.[5] Dari gurunya tersebut, ia banyak memperbincangkan mengenai pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah yang berlandaskan  rasional, sehingga pola pikir ar-Razi pun sangat mengedepankan akal. Bahkan pemikirannya terkenal dengan konsep penggabungan kalam dan filsafat, sehingga ia dijuluki sebagai mujadid dalam bidang ilmu kalam.[6]

Setelah perjalanan ilmiahnya ia kembali ke tempat kelahirannya, Ray. Di sana ia menjalin hubungan dengan beberapa penguasa Khurasan saat itu yaitu Bahaudin Sam dan raja-raja setelahnya, sampai ia bertemu dengan seorang Raja yang terkenal di Khurazan, yaitu Khawarizm. Di Khurazan tersebut, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi menjadi tokoh agama. Usaha Al-Razi dalam menjalin hubungan dengan para penguasa, salah satunya bertujuan untuk membendung kekuatan Tartar agar tidak merebut wilayah Islam yang pada masa itu umat Islam dari segi politik, ilmu pengetahuan dan  aqidah di bawah pemerintahan Dinasti Abbasyiah sedang melemah, berbagai berita kekhawatiran dan ketakutan muncul pada saat itu, seperti berita perang salib berada di Syam, berita bangsa Tatar di bagian Timur yang menghimpit kaum muslimin untuk bebas bergerak dan berkembasng. Pada saat itu perbedaan madzhab dan aqidah sangatlah kuat di Ray yang mana terbagi ke dalam 3 golongan, yaitu Syafi’i, Hanafi dan Syi’ah. Banyak pula aliran ilmu kalam, yang menjadi perdebatan panjang diantara mereka, dan yang paling terkenal adalah Syiah, Mu’taadah, Murjiah, Bathiniyah dan Al-Karrosiyah.[7] Akan tetapi usaha ini tidak berlangsung lama.[8]

Ar-Razi wafat pada hari raya idul fitri tahun 606 H di kota Ray. Ada yang mengatakan beliau wafat karena diracuni dan ada pula pendapat lain yang menyatakan beliau wafat karena sikap permusuhan dari golongan al-Karramiyyah yang menuduh Imam ar-Razi sebagai orang kafir dan telah melakukan dosa besar. Sehingga disimpulkan penyebab kematiannya adalah karena terjadinya perdebatan sengit tentang masalah akidah dengan kelompok Karramiyyah hingga sampai pada tahap pengkafiran satu sama lain. Fakhruddini ar-Razy wafat disebabkan oleh racun, walaupun memang belum ditemukan siapa pembunuhnya.[9]

Ar-Razi memiliki banyak karya di berbagai bidang keilmuan, Fakhruddin ar-Razy telah menulis lebih dari seratus buku yang salah satunya yaitu sebagai berikut:

  • Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib)
  • Aja’ib Alquran (The Mysteries of the Qur’an)
  • Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd’ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan
  • Al-mahsul fi ‘Ilm al-Usul
  • Al-Mutakallimin fi ‘Ilm al-Kalam
  • Ilm al-Akhlaq
  • Kitab al-Firasa
  • Kitab al-Mantiq al-Kabir
  • Kitab al-Nafs wal-ruh wa Shsrh Quwa-huma
  • Mabahith al-Mashriqiyya fi Ilm al-Ilahiyyat wa al-Tabi’iyyat
  • Matalib al-‘Aliya
  • Muhasal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin
  • Nihayat al-‘Uqul fi Dirayat al-Usul
  • Risala al-Huduth
  • Sharh al-Isharat
  • Sharh Asma’ Allah al-Husna
  • Sharh Kulliyyat al-Qanun fi al-Tibb
  • Sharh Nisf al-Wajiz li’il-Ghazali
  • Sharh Uyun al-Hikmah

 

Latar Belakang Penulisan Tafsir Mafatih al-Ghaib

Kitab tafsir ini merupakan kitab yang paling banyak dijadikan sandaran para mufasir, karena isinya yang bisa diterima oleh akal atau rasional. Bisa dikatakan bahwa tafsir ini tidak ada duanya karena cakupannya memuat banyak disiplin keilmuan seperti nahwu, balaghah, filsafat, dan ilmu lainnya. Ar-Razi berusaha menggabungkan teori ilmiah dengan Alquran, terutama pada ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Pada permasalahan kebenaran akal dan wahyu, ar-Razi menjelaskan secara detail dan rasional sehingga tidak ditemukan kontradiktif.

Ar-Razi tidak pernah menuliskan mukaddimah dalam karyanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memperhatikan sendiri bagaimana kondisi pada masa karyanya lahir. Jika dianalisa dari kondisi lingkungan pada masa lahirnya tafsir Mafatih al-Ghaib, bahwa tujuan ditulisnya tafsir ini antara lain:

  1. Melindungi Alquran dan menjelaskan ayatnya dengan metode ‘aqli untuk memperkuat akidahnya. Untuk menanggapi para filosof dan ulama ilmu kalam, ar-Razi menjelaskan serasional mungkin dan detail pada tafsirnya untuk menghilangkan perkara yang subhat.
  2. Ar-Razi meyakini bahwa Allah memiliki dua keadaan, suatu keadaan yang bisa dilihat yaitu wujud dari penampakan alam yang mati dan hidup, dan keadaan yang bisa dibaca yaitu Alquran. Apabila semakin dalam berfikir alam pertama, maka akan bertambah pemahamannya pada alam kedua (Alquran). Hal seperi inilah yang mendasari ar-Razi menggunakan ‘aqli untuk memahami ayat Alquran.
  3. Balaghah dan manhaj ‘aqli adalah materi untuk menafsirkan Alquran dan menggunakannya untuk menta’wilkan ayat-ayat Alquran. Ar-Razi benar-benar memonopoli kekuatan para mufasir muktazilah seperti Abu al-Qasim al-Balkhi, Abu Bakar al-Asham, Abu Ali al-Jubba’i, Abu Muslim al-Isfahani, Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Isa bin Ali al-Rummani dan Zamakhsyari. Ar-Razi menggunakan manhaj ‘aqli tetapi ia memecah pertaliannya dengan mengikuti inti susunannya tetapi tidak pada pokok-pokoknya dan menggunakan pemikiran ahlus sunnah wal jama’ah. Begitulah kiranya tiga alasan pokok ditulisnya tafsir Mafatih Ghaib[10]

 

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib

Anatomi Kitab

Kitab ini sesuai dengan nama yang disandangnya yakni Tafsir Kabir (tafsir besar). Ibnu Khalkan berpendapat bahwa dalam kitab ini terdapat banyak hal yang unik dan jarang ditemui dalam tafsir manapun.[11] Sistem penulisannya mengikuti urutan Tartib Mushafi. Tafsir berjumlah 32 juz dan disusun dalam 16 jilid, berikut rincian juz Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib:

Juz Pembahasan Kitab Jml Hal.
1 Mukaddimah kitab, Tafsir isti’adzah, basmalah, dan QS. al-Fatihah 279
2 QS. al-Baqarah ayat 1 – 34 265
3 QS. al-Baqarah ayat 35 – 109 275
4 QS. al-Baqarah ayat 110 – 167 239
5 QS. al-Baqarah ayat 168 – 210 239
6 QS. al-Baqarah ayat 211 – 254 226
7 QS. al-Baqarah ayat 256 – QS. Ali Imran ayat 25 241
8 QS. Ali Imran ayat 26 – 129 244
9 QS. Ali Imran Ayat 130 – QS. an-Nisa ayat 16 247
10 QS. an-Nisa ayat 17 – 93 248
11 QS. an-Nisa ayat 94 – QS. al-Maidah ayat 43 247
12 QS. al-Maidah ayat 44 – QS. al-An’am ayat 53 255
13 QS. al-An’am ayat 54 – QS. al-An’am ayat 152 251
14 QS. al-An’am ayat 153 – QS. al-A’raf ayat 145 251
15 QS. al-A’raf ayat 146 – QS. at-Taubah ayat 13 248
16 QS. at-Taubah ayat 14 – QS. at-Taubah ayat 129 247
17 QS. Yunus ayat 1 – QS. Hud ayat 44 248
18 QS. Hud ayat 45 – QS. ar-Ra’du ayat 2 243
19 QS. ar-Ra’du ayat 3 – QS. an-Nahl ayat 11 244
20 QS. an-Nahl ayat 12 – QS. al-Isra’ ayat 60 243
21 QS. al-Isra’ ayat 61 – QS. Maryam ayat 98 265
22 QS. Taha ayat 1 – QS. al-Anbiya ayat 199 240
23 QS. al-Hajj ayat 1 – QS. an-Nur ayat 35 249
24 QS. an-Nur ayat 36 – QS. al-Qashash ayat 55 272
25 QS. al-Qashash ayat 56 – QS. Saba’ ayat 54 280
26 QS. Fathir ayat 1 – QS. az-Zumar ayat 52 296
27 QS. az-Zumar ayat 53 – QS. al-Jatsiyah ayat 37 279
28 QS. al-Ahqaf ayat 1 – QS. an-Najm ayat 29 319
29 QS. an-Najm ayat 30 – QS. ash-Shaff ayat 14 325
30 QS. al-Jum’ah ayat 1 – QS. al-Mursalat ayat 50 292
31 QS. an-Naba’ ayat 1 – QS. ad-Dhuha ayat 11 229
32 QS. asy-Syarh ayat 1 – QS. an-Nas ayat 6 226

 

 

Sejarah Pencetakan

Tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari 32 Juz yang disusun menjadi 16 jilid. Pencetakannya tidak semerta dicetak secara full, namun mengalami beberapa kali pencetakan:

  1. Pencetakan pertama di Kairo, Yulaq, dari tahun 1278 – 1289 H. Pada selang waktu tersebut baru dicetak 6 jilid.
  2. Pencetakan kedua masih di Kairo pada tahun 1309 H. Pada pencetakan ini bertambah 2 jilid dibandingkan pencetakan sebelumnya menjadi 8 jilid
  3. Pencetakan ketiga dilakukan di Kostantiniah pada tahun 1307 H.
  4. Pencetakan keempat dicetak oleh Muhammad Husein Ilmi pada tahun 1335 H. di daerah Teheran
  5. Pencetakan kelima dilakukan kembali di Kairo oleh percetakan Bahiyyah dan sebagai editornya, Muhammad Yuhyi ad-Din, dari tahun 1352 – 1357 H. dengan jumlah lengkap 32 juz dalam 16 jilid.
  6. Pencetakan Tafsir Mafatih al-Ghaib yang telah lengkap 32 juz ini dilakukan kembali di Beirut oleh Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi dan di Iran oleh Dar al-I’lam al-Islami pada tahun 1405 H.
  7. Tafsir lengkap 32 Juz yang disusun dalam 16 jilid ini dicetak kembali di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘Alamiah dengan tambahan satu jilid tersendiri sebagai fihris tafsirnya pada tahun 1411 H. oleh Ibrahim dan Ahmad Ahmad Syamsuddin.[12]

 

Serba-serbi Tafsir

Kitab ini masuk dalam periode pertengahan[13], atau dalam literatur lain masuk dalam era aformatif.[14] Ar-Razi menulis tafsirnya dari tahun 595 H, dan selesai pada tahun 663 H. Konon, ar-Razi  belum sempat menyelesaikan kitabnya, tetapi sampai dimana beliau menulis tafsirnya dan siapa yang menyempurnakan masih menjadi persoalan yang sulit ditemukan jawabannya. Pengarang kitab Kasyf adz-Dzunnun mengatakan bahwa yang menyempurnakan tafsir ini adalah Syaikh Najm ad-Din Ahmad bin Muhammad al-Qomuli (w. 727 H) dan Syihab ad-Din Ibn Khalil ad-Dimasyqi (w. 639 H). Kemudian adz-Dzahabi melakukan penelusuran terhadap pendapat ini dan berkesimpulan bahwa ar-Razi menulis tafsirnya sampai pada surat al-Anbiya kemudian dilanjutkan oleh Syihab ad-Din tetapi belum sempurna, selanjutnya disempurnkana oleh Najm ad-Din. Tetapi adz-Dzahabi tidak menolak adanya kemungkinan kedua orang tersebut masing-masing menyempurnakan tafsir ar-Razi.[15] Alasan pendapat ini didasarkan pada pernyataan ar-Razi di akhir surat-surat tertentu mengenai waktu dan tempat, beliau menyelesaikan tafsirnya terhadap surat-surat tersebut. Termasuk surat-surat tertentu setelah surat al-Anbiya’ yang diduga bukan tulisan ar-Razi. Misalnya, di akhir surat Ibrahim yang terdapat kata-kata “al-Mushannif” padahal dirinya sendiri adalah mufassir itu sendiri. Mushanif di situ menulis bahwa tafsir surat ini selesai pada hari jum’at, akhir Sya’ban tahun 601 H. Di gurun Baghdad, kita mohon kepada Allah terbebas dari kehinaan neraka. Sesungguhnya Allah adalah raja yang dermawan, maha penyayang lagi maha kuasa, dengan pujian kepada Allah dan taufiq-Nya serta sholawat dan salam-Nya atas penutup Nabi, Muhammad SAW dan keluarganya.”[16]

Sementara dalam Mukaddimah cetakan tafsir ini menjelaskan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ditulis oleh ar-Razi dengan sempurna sebagaimana hasil penelitian al-Imari yang tertuan dalam karyanya tentang ar-Razi.[17]

Banyak perdebatan yang berkembang mengenai apakah Imam Razi menyelesaikan kitabnya secara utuh atau hanya sebagian saja. Ali Muhammad al-‘Imariz mengutarakan pendapatnya dalam kitabnya tentang imam ar-Razi setelah meneliti tentang simpang siur pendapat yang beredar bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara utuh.[18]

Metode Penulisan

Dari seluruh pernyataan yang ada, pada akhir surat tertentu terlihat bahwa ar-Razi menafsirkan Alquran tidak secara berurutan sesuai mushaf Alquran. Misalnya surat Yunus selesai lebih dulu yaitu pada bulan Rajab tahun 601 H. Dari surat at-Taubah yang selesai pada bulan Ramadhan tahun 601 H.

Untuk susunan penyajian kitabnya, pertama dituliskan Nama Surat, lalu klasifikasi makkiyah atau madaniyyahnya, dilanjutkan dengan penyebutan ayat. Lalu disebutkan juga perincian mana yang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dalam surat tersebut, serta waktu susunan penurunan surat. Barulah setelah itu masuk ke dalam ayat, dan dilanjutkan dengan tafsirnya.

Dalam menguraikan tafsirnya, ar-Razi menggunakan beberapa model pengungkapan yaitu problematika (al-mas’alah) dan tanya jawab (su’al-jawab) :

  1. Problematika (al-mas’alah)

pada bagian ini ar-Razi berusaha menyajikan analisanya secara fokus pada beberapa problematika yang dinilai penting. Di antara pembahasannya adalah mengenai gramatikal (nahwu), dan perbedaan pendapat kalangan Ushuliyyin, mufassirin, dan fuqaha terhadap kandungan ayat.

  1. Tanya jawab (su’al-jawab)

pada bagian ini ar-Razi mempertajam analisanya dalam bentuk pertanyaan dalam menggunakan logika, kemudian ar-Razi memberikan juga jawabannya.

  1. Jika ditemukan perbedaan qiraat dalam pembacaan suatu ayat maka akan dicantumkan bagaimana perbedaan qiraah tersebut. Hal ini bisa dilihat salah-satunya pada saat membahas lafadz yarta’ wa yal’ab dimana dalam tafsirnya ar-Razi menyampaikan perbedaan bacaan oleh imam Ibnu Katsir, Imam Nafi’, Abu Amr dan Ibnu Amir, Ahli Kufah, dan qiro’ah ba’id.[19] Terkadang juga disebutkan mengenai faedah-faedah yang dapat diambil dari ayat itu.[20]
  2. Disamping itu, ar-Razi acap kali menceritakan pribadinya secara spesifik dalam tafsirnya. Misalnya, kesedihannya sebab kematian putranya yang masih muda diceritakan dalam tafsir surat Yunus. Di dalam tafsir tersebut ar-Razi menceritakan bahwa hatinya sedang dirundung kesedihan yang mendalam karena wafatnya putra beliau dan juga meminta kepada siapapun yang membaca karyanya ini untuk ikut mendoakan.[21]

 

Metode Penafsiran Tafsir Mafatih al-Ghaib

Dalam tafsirnya ar-Razi sangat menekankan aspek munasabah (kesesuaian)  antar ayat dan antar surat, mengaitkan antara akhir surat dan awal surat, seperti akhir surat al-Infithar  dengan awal surat al-Muthaffifin.[22] Pada munasabah kedua tersebut adalah contoh munasabah yang paling mudah diidentifikasi. Pada Akhir surat al-infithar ditunjukkan betapa agungnya peristiwa qiyamat dan yang menguasai hari tersebut adalah Allah, ini sekaligus berfungsi sebagai peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Lalu disambunglah dengan surat al-muthaffifin yang membahas mengenai siksa.[23]

Imam Razi saat mengungkap ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan pendapat-pendapat fiqh lainnya juga. Walaupun begitu tetap ada kecenderungan kepada mazhab yang dianutnya yakni mazhab Syafi’i.[24] Kita bisa lihat hal ini dalam pembahasan Surat al-Baqarah ayat 222 yang membahas mengenai haid. Di situ dicantumkan bahwa menurut Imam Syafi’i masa paling cepat haid adalah sehari-semalam dan paling lama ialah 15 hari. Pendapat ini juga yang dipegang oleh Ali bin Abi Thalib, al-Auza’i, dan Ishaq. Setelah itu dicantumkan pendapat Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri bahwa masa haid paling cepat adalah 3 hari 3 malam dan paling lama 10 hari. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tak ada batasan khusus mengenai waktu haid, walaupun haid itu hanya terjadi sesaat ataupun hingga berhari-hari, maka tetap disebut dengan haid. Namun pada keterangan lain mengenai haid ini banyak yang diambil dari mazhab Syafi’i seperti perbedaan darah haid dan darah istihadhah.[25]

Tafsir Mafatih al-Ghaib saat membahas mengenai ideologi kalam,  dimana pembahasan masalah-masalah kalam atau teologi, ar-Razi menggunakan pendapat Sunni Asy’ariyah, oleh karena itu kitabnya penuh dengan penolakan terhadap aliran muktazilah dan golongan-golongan lain yang tidak sejalan. Setiap ayat yang berkaitan dengan akidah dan mazhab di beberkan dan diikuti dengan pendapat golongannya atau pendapatnya sendiri. Dan memang kebanyakan saat membahas mengenai ayat-ayat ideologi kalam, ar-Razi mengutip pendapat Muktazilah lalu memberikan retorika pembanding yang berlandaskan Sunni Asya’irah[26]

 

Corak dan Ittijah tafsir Mafatih al-Ghaib

Menurut Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut. Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.[27]

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib bisa disebut juga memanglah sebuah karya keilmuan yang besar. Sehingga pengkaji pun akhirnya menyimpulkan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ini bercorak tafsir yang berada di bawah naungan filsafat. Di sini yang dimaksud bukan berarti mengambil pendapat-pendapat para filsuf, namun tafsir ini disajikan dengan mengungkapkan dari pertanyaan-pertanyaan mendasar kefilsafatan. Hal ini bisa kita lihat pada penafsiran ar-Razi terhadap QS. Yusuf ayat 4. Pada ayat ini dipertanyakan mengenai bagaimana bintang, matahari, dan bulan itu bersujud? Padahal mereka adalah benda mati. Di sini tafsir ar-Razi mengambil pendapat dari para filsuf yang beranggapan bahwa bintang-bintang merupakan makhluk hidup yang juga dapat berfikir. [28]

Sumber Penafsiran

Tafsir mafatih al-Ghaib secara umum menggunakan sumber ra’yu (tafsir yang berbasis pada nalar), dan menggunakan metode tahlili (analitis) dalam penyajiannya. karena memang di dalamnya setiap ayat dianalisa dari berbagai sudut, seperti bahasa, riwayat, filsafat, dsb. Walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen sudut pandang penafsiran dengan jumlah fann keilmuan yang sama.[29]

Imam Razi dalam menulis tafsirnya selain menggunakan analisanya sendiri (ra’yu), juga mengambil pendapat ulama-ulama lain. Dalam bidang tafsir mengambil pendapat seperti Ibnu Abbas, Ibnu al-Kalbiy, Mujahid, Qatadah, Muqatil bin Sulaiman, dan lain-lain. Dari sudut pandang bahasa mengambil pendapat dari ahli riwayat, seperti al-Ashmu’i, Abi Ubaidah, dll, dan pendapat ulama, seperti al-Farra’, az-Zujaj, dll.[30] Imam ar-Razi juga mengambil pendapat dari kalangan muktazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam Zamakhsyari. Imam Zamakhsyari merupakan pengarang kitab Tafsir al-Kasysyaf. Kitab al-Kasysyaf merupakan kitab yang memiliki takwil tafsir, serta bahasa yang bagus yang banyak dianut oleh mufassir generasi setelahnya Imam Razi menghadirkannya dalam kitab ini karena ingin menolak hujjah-hujjahnya.[31]

Kritik Terhadap Kitab Mafatih al-Ghaib

Ahli nahwu yang juga seorang mufassir, Abu Hayyan, berkomentar bahwa kitab Tafsir Kabir ar-Razi disebut sebagai tafsir yang tidak konsisten. Awalnya membahas mengenai tentang huruf alif lalu pada berikutnya berubah membahas neraka-surga. Seakan-akan tidak ada sistematisasi yang ada dalam tafsir tersebut. Bahkan ar-Razi pun mengucapkan bahwa dalam tafsirnya terdapat segala hal kecuali tafsir itu sendiri.[32] Al-Imam at-Tuty juga ikut memberikan komentar dalam kitab tafsirnya al-Iksir fi ‘Ilmi at-Tafsir. Ia menyatakan belum pernah melihat tafsir yang paling banyak celanya kecuali tafsir al-Qurthuby dan tafsir Fakhruddin ar-Razi.[33]

Penutup

            Dari banyak pendapat yang mengatakan tentang selesai tidaknya penulisan kitab Mafatih al-Ghaib, pengkaji setuju dengan pendapat Ali Muhammad al-‘Imariz yang mengutarakan dalam kitabnya bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara menyeluruh. Tafsir ini dapat dikatakan tafsir ilmi pada masanya, sumber penafsirannya yaitu ra’yu dan metode penulisannya yaitu tahlili. Kitab ini merupakan salah satu kitab fonumenal yang mengkomparasikan ayat Alquran dan berbagai keilmuan lainnya dengan pembahasan yang cukup detail. Pengkomparasian tersebut bukan hanya satu ayat dengan keilmuan namun antara ayat satu dengan ayat lainnya pun dipertimbangkan walaupun memeng Tafsir Kabir ini belum bisa lepas dari pakaian subjektifis dari mu’alifi ketika berbicara tentang kalam ideologi dan fiqh. Tafsir Mafatih al-Ghoib  adalah sebuah objek yang sangat menarik untuk dikaji oleh penggiat Alquran dalam berbagai sudut pandang. [Miftah/Zee/Erika]

 

Daftar Pustaka

Abrahamov, Binyamin, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992).

Adz-Dzahabi, M. Husein, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005.

___________, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Al-Imari, Ali Muhammad Hasan, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969.

Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981.

Ghafur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Hayyan, Abu, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.

Hitti, Philip K, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H.

Khalkan, Ibnu, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H.

Ma’sumi, M. Saghir Hasan, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967.

Mahmud, Mani Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012.

_________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Rahardjo, M. Dawam, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

Saeed, Abdullah, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016.

 

Footnote

[1] Alquran selalu berinteraksi dengan dunia manusia yang selalu berubah-ubah, baik sisi sosial dan politiknya. Dan pada kenyataannya Alquran mampu mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Silahkan tengok, M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

[2] M. Saghir Hasan Ma’sumi, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967, hal. 356-360.

[3] Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 319.

[4] Binyamin Abrahamov, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992), hal. 133-140.

[5] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981, hal 5.

[6] Ibid., hal. 28.

[7] Ibid., hal. 4.

[8] Hal ini karena raja dari kesultanan Khawarizm yaitu Alaudin Muhammad Takasy yang sangat dekat dengan al-Razi, berhasil dikalahkan oleh bangsa Tartar dibawah kepemimpinan Jengis Khan. Di hadapan gerombolan orang-orang barbar, dengan pasukan sebanyak 60.000 orang. Penumpasan raja Alaudin Muhammad Takasy ini atas perintah dari sultan Abbasyiah, yaitu al-Nahsir yang merasa khawatir terhadap kekuasaan Khawarizm yang sebelumnya berhasil merebut kekuasaan Abbasyiah atas wilayah Persia, Bukhara, Samarkand dan Ghaznah. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 612-613.

[9] Muhammad Husein adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hal. 270

[10] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 652-655

[11] Ibnu khalkan, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H, hal. 249.

[12] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 650-651.

[13] Dinamika sejarah perkembangan tafsir periode pertengahan ditandai dengan bergesern;ya tradisi penafsiran dari tafsir bi al-ma’tsur ke tafsir bi ar-ra’yi. Penggunaan rasio semakin kuat. Tafsir pada periode ini juga lebih mengarah ke afirmasi (penegasan dan pembelaan) terhadap ideologi keilmuan dan mazhab penafsirnya. Implikasinya, banyak tafsir bermunculan dengan warna dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab para penafsirnya. Batas abad pertengahan ialah abad III – IX H. / 9 – 15 M. Lihat, Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012, hal. 89-90.

[14] Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the golden age atau al-‘asr adz-dzahaby). Karena memang pada masa ini Islam benar-benar memimpin peradaban dunia. Perkembangan ilmu melaju pesat, juga termasuk keilmuan dalam tafsir. Lihat Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 61.

[15] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 207.

[16] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 154.

[17] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9-10

[18]Ibid.

[19] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 99.

[20] Ibid., hal. 87.

[21] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 17, hal. 183.

[22] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 88. Lihat juga, Saiful Amin Ghafur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013, hal. 74.

[23]  Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 31, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 88.

[24] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 323.

[25] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 6, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 71-72.

[26] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hal. 146.

[27] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 324-325.

[28] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 88.

[29]Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016. Hal. 133.

[30] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9.

[31] Ibid.

[32] Abu Hayyan, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, hal. 219.

[33] Ali Muhammad Hasan al-Imari, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969, hal. 110.

Tafsir Al-Qur’anul Majied An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy

Pendahuluan

Kehadiran kitab-kitab tafsir pada awal abad ke-20 tidak bisa dilepaskan dengan faktor politik pada masa itu, yakni dalam rangka merebut kemerdekaan karena kehadiran para kolonial di Indonesia. Selain menjajah dalam hal fisik, para kolonial juga tidak menginginkan masyarakat Indonesia pandai dalam hal baca tulis. Untuk itu, kitab-kitab tafsir yang berkembang saat itu memiliki peran dan kontribusi yag cukup signifikan dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama kepada masyarakat. Setelah kemerdekaan, nuansa kitab-kitab tafsir sedikit mengalami pergeseran terutama dalam kontennya. Penyajian kitab-kitab tafsir pra kemerdekaan jauh lebih sederhana dibanding kitab-kitab pasca kemerdekaan.[1]

Di antara kitab-kitab yang ditulis secara utuh pada era tersebut antara lain; Tafsir Al-Qur’an Karim karya H. Mahmud Yunus, kemudian Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an karya Ahmad Hasan, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya H. A. Halim Hasan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami.[2]  Selanjutnya dalam pembahasan kali ini penulis akan sedikit menjabarkan kitab tafsir yang muncul pada era yang sama yakni kitab tafsir karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang berjudul Tafir al-Qur’anul Majid An-Nur.

 

Biografi M. Hasbi Ash-Shiddieqy

Nama lengkap Hasbi adalah Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ia dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhoksumawe, Aceh Utara. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Husayn bin Muhammad Su’ud, seorang ulama tersohor yang memiliki sebuah pesantren, ibunya bernama Teuku Amrah, putri Teuku ‘Abd al-‘Aziz.  Ayahnya adalah keturunan ke-36 dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Diusia yang masih kecil Hasbi sudah merantau untuk menimba ilmu di berbagai pesantren kawasan Aceh. Pertama, Hasbi mengaji di pesantren Teuku Abdullah Chik di Peyeung, di sinilah beliau banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya  di Pesantren Teuku Chik di Bluk Bayu dan pesantren-pesantren lainnya yang menjadi tempat persinggahan Hasbi dalam menimba ilmu-ilmu agama.[3]

Setelah selesai menimba ilmu agama di kampung halaman, kemudian pada tahun 1926 ia melanjutkan pengembaraanya ke Pulau Jawa yakni di Surabaya. Setibanya di Surabaya, Hasbi menimba ilmu di Madrasah al-Irsyad Surabaya yang diasuh langsung oleh Syaikh Ahmad as-Sukarti, seorang ulama yang berasal dari Sudan yang memiliki pemikiran modern pada masa itu. Di madrasah inilah Hasbi mengambil pelajaran takhassus (spesialis) dalam bidang pendidikan dan bahasa selama kurang lebih 2 tahun.[4]

Kemudian, dengan bekal yang dimilikinya, Hasbi mulai terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik. Pada tahun 1928 Hasbi telah memimpin sekolah al-Irsyad di Lhoksumawe. Disamping itu, Hasbi juga giat melakukan  dakwah di Aceh dalam rangka mengembangkan paham pembaruan serta memberantas syirik, bid’ah, dan khurafat. Kariernya sebagai pendidik seterusnya di baktikan sebagai direktur  Darul Mu’allimin Muhammadiyah di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tahun 1940-1942. Disamping itu, Hasbi juga membuka Akademi Bahasa Arab.[5] Sebagai seorang pemikir yang banyak mengerahkan pikirannya dalam bidang hukum Islam, maka pada zaman Jepang Hasbi diangkat sebagai anggota Pengadilan Agama Tertinggi di Aceh. Selain itu, Hasbi juga aktif dalam bidang politikdan menjadi anggota konstituante pada tahun 1930.

Setelah selesai menunaikan tugasnya sebagai anggota konstituante, Hasbi lebih banyak berkecimpung di dunia Perguruan Tinggi Agama Islam. Pada tahun 1960, Hasbi dipercaya memegang jabatan sebagai dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sampai tahun 1972. Pada tahun itu pula Hasbi diangkat sebagai guru besar (profesor) dalam ilmu syariah di IAIN Sunan Kalijaga. Selain itu, Hasbi juga pernah memegang jabatan sebagai dekan fakultas syariah Universitas Sultan Agung di Semarang, dan rektor Universitas al-Irsyad di Surakarta (1963-1968) disamping itu Hasbi juga mengajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.[6] Sampai pada akhirnya, aktifitas dan kiprah Hasbi di dunia pendidikan baru terhenti ketika ajalnya menjemput pada hari Selasa, 09 Desember 1975.

Kendati Hasbi telah wafat, namun karya-karyanya masih tetap hidup hingga saat ini, diantaranya; Koleksi Hadis-hadis Hukum yang terdiri dari 9 jilid, Mutiara Hadis 1 (Keimanan), Mutiara Hadis 2 (Thaharah dan Shalat), Mutiara Hadis 3 (Shalat), Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf, dan Haji), Mutiara Hadis 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad), Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Pedoman Shalat, Pedoman Puasa, Pedoman Zakat, Pedoman Haji, dan lain sebagainya.[7]

 

Gambaran Kitab Tafsir al-Qur’an Majid An-Nur

Latar belakang penulisan kitab

Kitab tafsir ini mulai ditulis oleh Hasbi Ash-Shiddieqy sejak tahun 1952 sampai tahun 1961 di sela-sela kesibukannya dalam mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan bekal pengetahuan, semangat, dan keinginannya untuk menghadirkan sebuah kitab tafsir dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan, Hasbi berhasil menyusun sebuah kitab tafsir yang didektekan langsung kepada serorang pengetik dan langsung menjadi naskah siap cetak. Cetakan pertama diterbitkan oleh CV Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1956, kemudian cetakan kedua pada tahun 1965 yang dicetak setelah Hasbi wafat dan sudah diedit oleh kedua puteranya yakni Nouruzzaman dan Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy.[8]

Tidak ada penjelasan mengapa Hasbi memilih nama An-Nur untuk karya tafsirnya ini. Seperti yang diungkapkan oleh Yunahar Ilyas dalam bukunya yang berjudul “Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufassir” menyebutkan bahwa dalam pengantarnya Hasbi memberi judul “Penggerak Usaha”, setelah menjelaskan secara ringkas kenapa beliau menulis kitab tafsir dalam bahasa Indonesia, kemudian Hasbi menyatakan: “…kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadis yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal menyusun tafsir ini yang saya namai An-Nur (cahaya).[9] Kitab tafsir ini mengalami dua kali cetakan, cetakan pertama terdiri dari 30  juz, sedangkan cetakan kedua terdiri 5 jilid (jilid 1 terdiri dari 4 surat pertama, jilid 2 terdiri dari 6 surat berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surat berikutnya, dan jilid 5 terdiri dari 72 surat yang terakhir).[10] Dalam menyusun kitab ini, Hasbi banyak berlandaskan pada sumber-sumber ayat al-Qur’an, riwayat Nabi SAW, riwayat sahabat dan tabi’in, serta mengutip dari rujukan-rujukan mu’tabar seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Qasimi, dan lain sebagainya. [11]

 

Metode, Sistematika & Bentuk Penulisan Kitab

Metode yang digunakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqi adalah metode tahlili yang ditulis runtut sesuai urutan ayat dan mushaf. Sedangkan untuk sistematika penulisannya, diawali dengan menulis ayatnya kemudian terjemahan dan tafsirannya. Untuk penulisan ayatnya, tidak pasti jumlah ayat yang ditulis. Kemudian, untuk tafsirannya Hasbi menafsirkan tidak selalu per ayat, kadang Hasbi menafsirkan satu ayat dengan di penggal-penggal menjadi beberapa bagian. Namun, kebanyakan Hasbi menafsirkan ayat sesuai tanda waqof yang ada.

Dalam menafsirkan penggalan ayat itu pula Hasbi menuliskan kembali bacaan ayat namun dengan tulisan huruf latin, beserta terjemahnya. Selanjutnya, setelah selesai menafsirkan Hasbi menambahkan dengan kesimpulan di bagian akhirnya. Penulisan yang digunnakan Hasbi dalam kitab tafsir ini juga masih menggunakan model penulisan zaman dahulu, yakni penulisan huruf “y” menggunakan huruf “j”. Hasbi juga mencantumkan pendapat-pendapat ulama dan hadis-hadis dalam penafsirannya. Selanjutnya, pada setiap akhir kitabnya Hasbi juga mencantumkan semacam daftar isi yang berisi fasal-fasal dan hal-hal ataupun makna yang terkandung dalam suatu ayat.

Selanjutnya mengenai bentuk penafsirannya, seperti yang diungkapkan Yunahar Ilyas dalam cetakan kitab berikutnya Hasbi menjelaskan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an dia lebih banyak menyarikan dari tafsir al-Maraghi di samping  merujuk kepada kitab-kitab tafsir lainnya, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Qasimi, dan Tafsir Al-Wadhih. Karena bentuk penafsiran Al-Maraghi adalah al-tafsir bi ar-ra’yi , sedangkan penafsiran Hasbi kebanyakan adalah intisari dari  Tafsir Al-Maraghi, maka dapat disimpulkan bahwa Hasbi juga mengggunakan bentuk penafsiran yang sama dengan yang digunakan oleh Al-Maraghi.

 

Corak Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur

Tasir al-Qur’anul Majid An-Nur memiliki banyak cakupan corak penafsiran, ada yang menyebutkan kitab tafsir ini bercorak ‘adabi ijtima’i, hal ini dapat dipahami secara umum dari latar belakang kitab tafsir ini disusun, yakni Hasbi Ash-Shiddieqy ingin mencoba menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia dalam berbagai aspek. Selain itu kitab tafsir ini tidak seperti Tafsir Al-Manar ataupun Fi Zhilal Al-Qur’an  yang nuansa sastra begitu kuat dalam penggunaan gaya bahasanya. Namun, dalam kitab tafsir ini justru kelemahannya terletak pada gaya bahasa yang digunakan Hasbi. Bahasa Indonesia yang digunakan Hasbi bernuansa bahasa Indonesia terjemah Arab,sehingga pengaruh gaya bahasa atau uslub bahasa Arab sangat terasa dalam bahasa yang digunakan Hasbi.[12]

 

Contoh Penafsiran

Qs. Al-Anfal: 45-46:

ياايهاالذين اٰمنوا اذا لقيتم فئةً فاثنتوا واذكرواالله كثيرًا لعلكم تفلحون (45) واطيعواالله ورسوله ولاتنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا انّ الله مع الصّابرين (46)

 

TERDJEMAHANNJA.

Wahai segala mereka jang telah beriman, apabila kamu djumpai djama’ah musuh maka wadjiblah kamu bertahan dalam memerangi mereka dan ingat olehmu akan Allah dengan sebanjak-banjaknja semoga menjiapkan kamu untuk mendapat kemenangan (45). Dan ta’atilah olehmu akan Allah dan RasulNja dan djangan kamu berbantah-bantahan lalu kamu mendapat kegagalan dan hilanglah tenagamu, dan bersabarlah kamu, bahwasanja Allah beserta orang² jang sabar (46).[13]

TAFSIRNJA.

  1. JÂ AIJJUHA ‘LLADZÎNA ÂMANÛ IDZÂ LAQÎTUM FI-ATAN FATSBUTÛ = Wahai segala mereka jang beriman, apabila kamu djumpai djama’ah musuh, maka wadjiblah kamu bertahan dalam memerangi mereka.

Jakni: Wahai segala mereka jang beriman dan akan RasulNja, apabila kamu memerangi sesuatu golongan orang kafir dan kamu mendjumpai mereka dalam medan pertempuran, maka wadjiblah atas kamu, bertahan dalam memerangi mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi mereka, serta djanganlah sekali-kali kamu lari, meninggalkan medan pertempuran; karena tetap bertahan itulah suatu keutamaan, sebagaimana lari dari medan pertempuran adalah dosa besar.[14]

  1. WA ‘DZKURU ‘LLÂHA KATSÎRÂ = Dan ingat olehmu akan Allah dengan sebanjak-banjaknja.

Jakni: Banjakkan olehmu menjebut Allah dalam masa bertempur itu dengan hati dan lidah, karena dengan menjebut Allah-lah tenteram segala djiwa dan dengan menjeruNjalah terhindar segala bentjana.

Ringaksnja, tetaplah bertahan diwaktu bertemu dengan musuh dan membanjakkan menjebut Allah.[15]

 

Penutup

Kitab Tafsir karya Hasbi Ash-Shidieqy yang berjudul Tafsir al-Qur’anul Majied merupakan salah satu kitab tafsir yang muncul di era pasca kemerdekaan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kitab tafsir ini mengalami dua kali cetakan dengan cetakan pertama terdiri dari 30 juz sedangkan pada cetakan kedua terdiri dari 5 jilid. Penafsiran dalam kitab ini tergolong sangat singkat dan disertai pendapat-pendapat ulama serta hadis-hadis Nabi, namnun hanya beberapa saja. Corak yang menonjol dari kitab tafsir ini adalah ‘adabi ijtima’i, yang mencoba menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang ada di Indonesia dalam berbagai aspek.

 

Daftar Pustaka

Sudariyah, “Konstruksi Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy”, SHAHIH, Vol. 3 Nomor 1, 2018.

Miswar, Andi, “Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV Nomor 1, 2015.

Khairudin, Fiddian & Syafril, “Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, 2015.

 

Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: LABDA PRESS, 2006.

 

Nursalim, M., Keautentikan Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, SKRIPSI Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan: Lampung, 2017.

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majied “An-Nur”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, Juz XXVIII, 1973.

 

Footnote

[1] Sudariyah, “Konstruksi Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy”, SHAHIH, Vol. 3 Nomor 1, 2018, hlm. 94.

[2] Ibid.,

[3] Ibid, hlm. 95.

[4] Ibid.,

[5] Andi Miswar, “Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV Nomor 1, 2015, hlm. 85.

[6] Ibid.,

[7] Fiddian Khairudin & Syafril, “Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, 2015, hlm. 87.

[8] Ibid, hlm. 97.

[9] Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: LABDA PRESS, 2006, hlm. 74.

[10] M. Nursalim, Keautentikan Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, SKRIPSI Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan: Lampung, 2017, hlm. 46-47.

[11] Ibid.,

[12] Ibid, hlm. 87.

[13] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majied “An-Nur”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, Juz XXVIII, hlm. 11.

[14] Ibid.,

[15] Ibid.,

Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya Syu’bah Asa

 

Pendahuluan

Secara garis besar penafsiran Al-Qur’an mengalami tiga generasi, yaitu: periode klasik[1], periode pertengahan[2], dan periode kontemporer.[3] Pada ketiga generasi tersebut tentunya kitab tafsir akan mengalami perbedaan, entah dari segi corak atau metode yang digunakan dalam penafsiran masing-masing pengarangnya tergantung konteks pada masa itu.

Periode kontemporer ini dari abad kedua belas sampai saat ini. Tafsir pada periode ini merupakan ikhtisar dan kumpulan dari tafsir-tafsir periode klasik dan pertengahan, disamping itu ada juga pendapat-pendapat dan ijtihad.[4] Gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang sangat kritis melihat produk-produk penafsiran Al-Qur’an.[5] Penafsiran Al-Qur’an pada periode ini dilatarbelakangi dengan tujuan pembaharuan pemikiran dan pemahaman Islam.[6]

Di Indonesia sendiri, perkembangan karya tafsir lahir dari ruang sosial-budaya yang beragam. Sejak era ‘Abd ar-Rauf As-Sinkili (1615-1693 M) pada abad 17 M hingga era M. Quraish Shihab pada era awal abad 21 M. Pada rentang waktu lebih empat abad itu, karya-karya tafsir AL-Qur’an Indonesia lahir dari tangan para intelektual Muslim dengan basis sosial yang beragam. Mereka ini juga yang memainkan peran sosial yang beragam pula, seperti sebagai penasehat pemerintah (mufti), guru, atau kiai di pesantren, surau atau madrasah.[7] Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas salah satu kitab tafsir periode kontemporer yaitu dalam cahaya Al-Qur’an yang ditulis Syu’bah Asa.

Tentang Penulis

Syu’bah Asa lahir dari keluarga religius di Pekalongan pada tanggal 21 Desember 1941. Ayahnya seorang pengusaha batik di lingkungan penghafal AL-Qur’an di desa Kerandan, Pekalongan Selatan. Ketika masih duduk di bangku Madrasah Menengah ia telah mempelajari dengan baik sirah Nabi Muhammad SAW. diusia yang muda ia telah menulis novel remaja “cerita di pagi cerah” seteah karangan pertamanya dimuatdi majalah batik pada 1957.[8]

Pada Desember 1960, ia masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat. Selama menjadi mahasiswa ia mengajar anak-anak dan berkhutbah. Ia menjadi guru pengganti di sekolah dulu ketika belajar ilmu balaghah. Selama dua tahun, ia menjadi dosen muda partikelir mata kuliah ekstrakulikuler drama di fakultas IKIP Negeri yakni tempat bertemu dengan calon istrinya.[9] Selain itu ia juga belajar privat kitab kuning kepada seorang kiai di Lempuyangan. Pernah juga menjadi santri kalong di Krapyak Yogyakarta.[10]

Kemudian pada era tahun 1950-1969, Syu’bah dikenal sebagai seniman dan aktif di teater Muslim serta bengkel teater Yogyakarta.[11] Pada tahun 1970, ia menjadi redaktur musik di majalah Ekspres yang merupakan cikal bakal majalah Tempo. Ketika di Tempo, ia merupakan penulis kritik teater yang paling tajam dan ajek. Pada saat itu, ia menjabat sebagai redaktur senior yang sebelumnya menjadi redaktur pelaksana kompartemen agama dan budaya. Dengan jabatannya ini, ia banyak menulis tentang agama dan permasalahan sosial.[12]

Setelah keluar dari majalah Tempo pada 1987, ia menjadi ketua sidang redaksi majalah Editor, lalu pindah menjadi Wakil Pimpinan redaksi Harian Pelita. Di ujung karir sebagai wartawan, ia bekerja di majalah Panji Masyarakat. Disinilah ia menulis tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, tepat di akhir penghujung kekuasaan rezim Orde Baru. Syu’bah menghembuskan nafas terakhirdi Rumah Sakit Pusat Islam Muhammadiyyah, Pekajangan, Pekalongan Jawa Tengah Pada Ahad, 24 Juli 2011 pukul 17.00 WIB pada usia kurang lebih 70 tahun.[13]

Latar Belakang Penulisan Tafsir

Buku tafsir ini bermula dari artikel-artikel tafsir yang ditulis Syu’bah Asa di majalah mingguan Panji Masyarakat setiap minggu. Jika dilihat dari data yang disertakan di setiap akhir tulisannya, tulisan tulisan itu dibuat dalam rentang waktu 1997 hingga 1999. Sebagai kumpilan artikel yang terpenggal dan demi publikasi media massa, tema-tema yang diambil Syu’bah Asa sangat beragam dan kontekstual yakni sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang muncul pada saat tafsir itu ditulis . judul “Dalam Cahaya Al-Qur’an” yang dipakai dalam buku ini sendiri sebetulnya adalah nama rubrik di majalah Panji Masyarakat yang sengaja disediakan bagi Syu’bah untuk menulis artikel tersebut.[14]

Setiap ayat yang dikemukakan dalam tafsir ini disesuaikan dengan kejadian waktu itu dan saat itu. Karena memang tafsir ini bermula dari tafsir yang dimuat dalam Panji Masyarakat. Sehingga setiap ayatnya merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa yang populer di Indonesia. Tafsir ini bisa dikatakan sesuai dengan jiwa-zaman (Zeit geist) pada periode Reformasi. Dengan membaca tafsir ini orang akan tahu bagaimana kaum intelektual Islam (paling tidak penulisnya) membaca zamannya dari sudut pandang Al-Qur’an.[15]

 

Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Polituk

Dalam tafsir ini memiliki 57 tema yang kemudian dibagi menjadi tujuh bagian. Secara keseluruhan bagian tersebut berbicara tentang masalah-masalah kontekstual yang terjadi di Indonesia, seperti keadilan, pelanggaran HAM, kekerasan, kekuasaan yang korupsi dan keberagaman yang sebatas stempel.[16]

Dalam segi penulisannya ia menggunakan model tematik yaitu dengan fokus pada satu ayat yang dianggap relevan dan penting dengan tema pembahasannya. Kemudian penulisan ayatnya, ia hanya menuliskan terjemahannya saja yang disebutkan surat keberapa dan ayatnya. Letak terjemahannya dituliskan dibawah tema yang akan ia tafsirkan. Misalnya dalam pembahasan tema kepada bangsa-bangsa, kemudian ia letakkan terjemahan dibawahnya Q. 49: 13,[17] sebagai ayat yang relevan; tentang agama-agama dikutip Q. 2: 148.[18] Pada satu ayat yang dipilih, ia kemudian akan menghubungkannya dengan ayat yang lain dengan memanfaatkan teori munasabah. [19] Dan pada saat mengurai produk tafsir biasanya ia mengkomparasikan pendapat beberapa mufassir kemudian ia mentarjihnya atau hanya menampilkannya saja.[20]

Syu’bah Asa dalam melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an ia merujuk pada berbagai sumber. Pertama Al-Qur’an, ketika ia menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an maka ia menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain. Contohnya pada tema Kepada Bangsa-bangsa yaitu Q.S. Al-Hujurat: 13 yakni:

Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[21]

 Para ulama, menafsirkan laki-laki dan perempuan pada ayat diatas dengan tiga tafsiran, yaitu Adam dan Hawa, ibu dan bapak bagi tiap orang, sperma dan telur. Namun yang jadi krusial adalah kata “bangsa-bangsa” dalam terjemahan diatas. Sedangkan pengertian “bangsa” saat ini anakronistis, apalagi bila dihubungkan dengan nation state, negara bangsa yang lebih merujuk kepada kesatuan politik daripada keturunan, sehingga tidak bisa dicari padanannya dalam struktur masyarakat Arab. Karena bangsa adalah pengundangan kesetaraan harkat dan laranga terhadap sikap diskriminatif jenis apapun. Kemudian ayat tersebut akan dihubungkan dengan surah Rum ayat 22.[22]

Kedua, hadis. Ketika mengutip hadis biasanya beliau tidak merujuk langsung pada kitab hadis namun mengutip dari tafsir karya mufassir lain.[23] Ketiga, merujuk pada tafsir-tafsir lain. Contohnya pada tema Kepada Bangsa-bangsa, ia menafsirkan dengan Q.S. Al-Hujurat: 13. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syu’bah Asa menggunakan penafsiran Thabari dan Qurthubi untuk pembahasan makna sya’b dan qabilah.[24] Dan yang keempat, menggunakan ijtihad mufassir.

Kemudian dalam bukunya juga Syu’bah Asa menggunakan analisis sosio-historis sebagai salah satu aspek penting. Tafsir ini tidak terpaku pada asbab al-nuzul sebagai rujukan utama, tetapi mufassir mengajak pembaca merasuki berbagai kondisi masyarakat saat suatu teks terproduksi. Hal ini dilakukan dalam rangka menemukan makna ayat yang sesuai. Tampilan dari uraiannya memang terkesan pendek. Kemungkinan ini disebabkan resiko tafsir yang ditulis untuk sebuah media massa mingguan. Selain itu penulis juga dikejar deadline dan halaman yang disediakan juga dibatasi sehingga kurang leluasa dalam menjabarkan suatu ayat.[25]

Pendekatan yang digunakan dalam tafsir ini yaitu kontekstual, dimana beliau memandang realitas kehidupan sebagai medan keberangkatan penafsiran. Pendekatan kontekstual yang ditempuh Syu’bah Asa dalam buku tafsirnya adalah sebagai usaha memposisikan Al-Qur’an sebagai kritik sosial. Di tengah euforia reformasi, pada saat tafsir ini ditulis, berbagai tuntutan agar bangsa Indonsia berbenah. Karya tafsir ini gerakannya dari praksis ke reflektif yakni daro bawah ke atas. Oleh karena itu membaca tafsir dengan pendekatan kontekstual ini, pembaca harus pandai dan jeli dalam mecari hal-hal yang umum dari pernyataan yang konkret.[26]

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’bah Asa adalah respon dari peristiwa-peristiwa yang muncul pada Indonesia saat itu. Dalam buku tafsirnya terdiri dari 57 tema yang dibagi menjadi tujuh bagian. Dimana ditulis dengan metode tematik. Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis. (Nur Khasanah)

  

Daftar Pustaka

Aliyah, Himatul, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, Desember 2015.

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990).

Gusmian, Islah,  “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016.

Gusmian, Islah,  “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika”, Nun, Vol. 1, No. 1, 2015.

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2003).

Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014.

Musbikin, Imam, Mutiara Al-Qur’an, (Madiun: Jaya Star Nine, 2014).

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2011).

Permono, Syaichul Hadi, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975).

 

Footnote

[1] Tafsir masa ini dimulai dari abad pertama hingga abad ketiga hijriyah. Tafsir pada masa klasik ini dimulai dari penafsiran Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat, lalu penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, hlm. 226

[2] Pada generasi pertengahan (permulaan abad ke-4 sampai abad ke-11), ini menafsirkan Al-Qur’an dengan dasar dirayah (tafsir bil ma’qul), yaitu tafsir dengan berdasarkan ilmu nahwu, balaghah dan lain sebagainya. Mereka membersihkan kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat israiliyyat dan nashraniyyat, dan mulai pemeriksaan itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk akal dan keterangan-keterangan yang nyata. Tafsir model seperti ini dikembangkan oleh golongan mu’tazilah. Dalam abad ini pula seluruh ayat i’tiqad ditafsirkan dengan mempergunakan fikiran. Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975), hlm. 76-77.

[3] Imam Musbikin, Mutiara Al-Qur’an, (Madiun: Jaya Star Nine, 2014), hlm. 27.

[4] Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam), hlm. 77-78.

[5] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2011), hlm. 58-59.

[6] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 31.

[7] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika”, Nun, Vol. 1, No. 1, 2015, hlm. 4.

[8] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 69.

[9] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, Desember 2015, hlm 359.

[10] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 69.

[11] Ibid.

[12] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 478.

[13] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 69.

[14] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 95.

[15] Kuntowijoyom “Kata Pengantar” dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. x.

[16] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 70.

[17] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 3.

[18] Ibid., 9.

[19] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 70.

[20] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, hlm. 365.

[21] Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13.

[22] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 7-8.

[23] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, hlm. 367.

[24] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 8.

[25] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, 210-211.

[26] Ibid., 154.

Kajian Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun Karya Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi

 

Pendahuluan

Sepanjang berjalannya waktu, kajian terhadap al-Qur’an tidak pernah lekang oleh zaman. Usia penafsiran al-Qur’an sama dengan usia al-Qur’an itu sendiri.[1] Sejak al-Qur’an diturunkan proses penafsiran pun langsung terjadi dimana Nabi Muhammad saw sebagai mufasir pertamanya.[2] Kajian terhadap al-Qur’an inilah yang juga merambah dan dirasakan nyata di Indonesia.Tempat-tempat kajian terhadap al-Qur’an di Indonesia pada masa itu bermula dari tempat-tempat seperti surau, langgar, masjid hingga pesantren.Bahkan pesantren sampai saat ini masih menjadi sentral kajian al-Qur’an. Al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan.[3]Hal inilah yang kemudian menjadikan diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengenal kata usai. Namun ibarat samudera yang luas dan dalam, itulah al-Qur’an yang tidak akan pernah mengalami kekeringan walaupun telah, sedang dan akan terus di kaji dari berbagai segi dan metodologi. Tuntutan agar al-Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik sebagai pedoman dan petunjuk hidup untuk umat manusia, terutama di zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti.

            Diantara ulama tafsir yang turut memperkaya khazanah tafsir adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (975-1058 M/ 364-450 H).Al-Mawardi dipandang sebagai tokoh pewaris dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mawardi meninggalkan karya monumental dengan namaal-Nukat wa al-‘Uyun. Seperti yang telah penulis ungkapkan, bahwa setiap mufassir mempunyai setting history-nya sendiri, begitu juga al-Mawardi. Banyak faktor yang telah memberikan andil dalam penulisan al-Nukat wa al-‘Uyun, sehingga menghasilkan penafsiran yang cenderung rasional. Menarik untuk dikaji bagaimana al-Mawardi mendialogkan ilmu yang menjadi keahliannya, serta melihat seberapa besar jabatannya menjadi qadhi berimplikasi pada beberapa ayat-ayat hukum dalam kitab tafsirnya al-Nukat wa al-‘Uyun.

 

Biografi Penulis

Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun merupakan sebuah karya kitab tafsir yang ditulis oleh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i al-Baghdadi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 346 H / 974 M. Al-Mawardi merupakan nisbat kepada ma’ al-ward (ma’: air; al-ward: mawar), yaitu sebutan untuk profesi keluarga al-Mawardi sebagai pembuat dan penjual air bunga mawar.[4] Sedangkan al-Bashri merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah. Sebutan al-Syafi’i menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syafi’i. Sementara al-Bagdadi merupakan nisbat kepada tempat al-Mawardi menghabiskan lebih banyak masa hidupnya hingga ia wafat di sana yaitu kota Baghdad pada tahun 450 H/1058 M.[5]

Tahqiq dan Publikasi

Berdasarkan analisa penulis, kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn ditulis pada masa daulah Dinasti Abbasiyah di  bawah supremasi Dinasti Buwaihi (945-1055).[6] Dalam muqodimahnya al-Mawardi mengungkapkan alasannya menulis kitab al-Nukat wa al-‘Uyun. Berawal dari fakta bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah maknanya. Maka al-Mawardi pun membagi ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada ayat yang zhahir dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut.Kemudian al-Mawardi melanjutkan perkataannya bahwa terhadap ayat-ayat yang zhahir dan jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar membacanya saja. Namun terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya, al-Mawardi menawarkan dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihad (rasional). Inilah yang membuat al-Mawardi merasa terpanggil jiwanya untuk ikut berkontribusi dengan cara menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan-kumpulan ta’wil dan tafsir. terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.[7]

Tafsir al-Mawardi termasuk kitab tafsir singkat yang mencakup ayat-ayat Al-Qur’an secara komplit dengan metode bayani dan adabi (metode interpretasi dan sastra). Al-Mawardi memperhatikan aspek-aspek bahasa sehingga beliau memaparkan asal-usul kata dan menjelaskan maknanya dengan mengambil penjelasan dari peribahasa dan syair yang terkait kemudian menghubungkannya dengan makna yang dikehendaki oleh ayat. Dalam tafsir ini, beliau juga menghimpun berbagai pandangan dari ulama terdahulu dan terkini serta tidak lupa untuk memberikan penjelasan dan komentar pada semua ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan.[8]

Sebelum memulai penafsiran, penulis menyampaikan beberapa kajian pendahuluan yang mencakup keterangan alasan penyusunan buku dan metodologi penulisan yang beliau gunakan. Penulis menyinggung segi i’jaz Al-Qur’an, dan menjelaskan hukum bahwa ijtihad untuk mengungkap makna-makna Al-Qur’an merupakan tindakan yang dibenarkan serta mendorong untuk senantiasa memahami dan merenungi makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an.[9]

Seusai memberikan pengantar tentang tafsir yang beliau susun dan karakteristik utama yang dimilikinya, ia berkata :

“Makna eksplisit yang gamblang dapat dipahami dengan sekedar membaca, sedangkan makna yang terpendam sulit diungkap dan ditangkap kecuali dengan dua cara, yaitu memahami riwayat yang ada dan melakukan ijtihad. Melihat kondisi seperti ini, saya terobsesi untuk secara khusus menyingkap makna yang terpendam dan menginterpretasikan ayat yang mengandung makna njlimet melalui kitab ini. Saya akan menyampaikan berbagai pandangan ulama generasi awal dan generasi berikutnya serta kesepahaman dan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Saya juga akan mengutarakan makna alternatif yang muncul di dalam benak saya. Makna alternatif yang saya maksudkan untuk membedakan antara pandangan saya pribadi dengan pandangan yang kutipkan dari ulama terdahulu.Saya tidak akan berkomentar tentang makna eksplisit ayat karena saya anggap pembaca telah mampu mengerti dan memahaminya sendiri dengan baik, agar tulisan saya nantinya lebih fokus dan lebih intens membahas makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat Al-Qur’an“.[10]

Kitab ini pernah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1412 H/1992 M, yang di tahqiq oleh Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim yang seluruhnya sebanyak 6 jilid dengan ukuran 24 cm,[11] dengan jumlah halaman:

  • Jilid I berisi muqqodimah pentahqiq, muqqodimah mushonnif, surat al-Fatihah sampai An-Nisa’ (548 halaman).
  • Jilid II berisi surat al-Maidah sampai surat Hud (512 halaman).
  • Jilid III berisi surat Yusuf sampai al-Anbiya’ (477 halaman).
  • Jilid IV berisi surat al-Hajj sampai surat Fatir (480 halaman).
  • Jilid V berisi surat Yasin sampai surat As-shof (531 halaman).
  • JilidVI berisi surat al-Jum’ah sampai surat an-Nas, disertai dengan daftar isi. Urutan surat ini didasarkan pada urutan mushaf roshm Utsmani (380 halaman).

Pada tahun 1402 H/1982 M, kitab ini pernah diterbitkan oleh Kementrian Wakaf Kuwait.[12] Karya lain dari al-Mawardi selain al-Nukat wa al-‘Uyun, di antaranya, al-Ahkam al-Shultahinyyah, Adabul Wazir “Qawanin al-Wizarah wa Siyasat al-Mulk“, Adab al-Dunya wa al-Din, Adab al-Qashi. Ini merupakan bagian dari buku Al-Hawi, Nashihat Al-Muluk, Al-Amtsal wa Al-Hikam.[13]

Resepsi Masyarakat

Sebagaimana pernyataan Sayyid Ali al-Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum. Mengenai riwayat Israiliiyyat, sikap al-Mawardi, meskipun tafsir yang ia tuliskan tergolong singkat, cenderung mengutip hadis-hadits tidak valid dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Beliau juga tidak jarang menyampaikan kabar Israiliyyat yang nyeleneh. Sebagai contoh, al-Mawardi mengadopsi cerita tentang Harut dan Marut dari tukang cerita Yahudi. Selain itu juga cerita tentang Nabi Sulaiman dan dialog diantara beliau dengan setan serta cerita lain yang diselipkan ke dalam tafsirnya. Anehnya, al-Mawardi tidak menunjukkan gelagat untuk menjauhi atau bahkan mengkritik cerita-cerita tersebut.[14]

Untuk persoalan teologi, al-Mawardi berhalauan Mu’tazilah meski dari tampilan luar beliau tidak menyatakan secara gamblang bahwa beliau termasuk pengikut paham tersebut. Terkadang ia mengarahkan ke pemikiran tersebut secara lembut dan terkadang al-Mawardi menyuguhkan kepada kita selaku pembaca berbagai bentuk penafsiran sederhana terhadap suatu ayat padahal sebenarnya diantara pendapat-pendapat yang disebutkan tidak ada satu pun pendapat yang bertentangan dengan pola pikir Mu’tazilah. Al-Subky sebagaimana yang dikutip oleh peneliti Dr. ‘Adnan Zurzur di sela-sela pembiacaraan biografi Al-Mawardi telah menyusun artikel sederhana yang membahas Tafsir Al-Mawardi dan kritikan tajam yang ia layangkan kepada al-Mawardi. Al-Subky berkata[15]:

“Tafsir Al-Mawardi sangat berbahaya karena memuat konten yang menipu maupun mengecoh yang berisi takwil orang-orang sesat. Konten tesebut disematkan dengan tampilan yang apik sehingga tidak terlacak kecuali oleh para ahli. Di sisi lain, penulis juga seorang yang tidak begitu dikaitkan dengan sindikat penyebaran sekte Mu’tazilah sehingga konten tersebut mungkin diragukan dan semakin sulit untuk ditelusuri. Penulis hanya menyatakan bahwa beliau berijtihad tetapi secara diam-diam beliau mengarahkan pembaca untuk menyetujui sikap-sikap sekte teologi Mu’tazilah”.

Di akhir kalimat, Al-Subky berkata :

“Al-Mawardi bukan seorang Mu’tazilah tulen karena beliau tidak selalu sejalan dengan pemikiran-pemikiran pokok paham Mu’tazilah semisal dalam kasus “ Al-Qur’an adalah Makhluk’. Namun, beliau sepakat dengan Mu’tazilah dalam memahami konsep Qadar[16] Allah.”

Setelah mengutip respon Al-Subki terhadap Tafsir Al-Mawardi. ‘Adnan Zurzur turut memberikan komentar sebagai berikut:

“Bagaimana pun juga, Al-Mawardi telah meletakkan tafsir beliau diatas fondasi aliran Mu’tazilah dan metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Terlepas dari persoalan apakah Al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka pada beberapa kasus atau tidak dan terlepas apakah beliau menyatakan degan tegas mengikuti aliran Mu’tazilah ataupun tidak.”

Corak Tafsir Al Mawardi

            Menurut bentuk atau sumbernya, tafsir Imam al-Mawardi adalah termasuk ke dalam golongan tafsir bi al-ma’tsur, yaitu sesuatu yang bersumber dari nash al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasul, para sahabat, dan para tabi’in. Menurut Iyaziy, tafsir al-Mawardi ini tergolong tafsir lughawi, karena seringnya beliau menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan pendekatan sastra melalui berbagai syair.[17]

            Namun demikian, corak bahasa bukan satu-satunya corak tafsir al-Mawradi, karena tafsir ini memiliki karakteristik dalam beberapa bidang di antaranya:

  1. Mengumpulkan berbagai pendapat salaf dan khalaf terkait makna ayat
  2. Analisis bahasa yang mendalam di dalam menjelaskan makna ayat
  3. Keahliannya dalam bidang fiqh

            Bila ditinjau dari muqoddimah Tafsir al-Mawardi, sang pengarang yaitu Abu Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry mengatakan bahwa penafsirannya bercorak pada sastra bahasa yang menggunakan beberapa pena’wilan-pena’wilan dari berbagai ulama, baik dari ulama salaf sampai ulama’ khalaf, sehingga banyak pendapat tentang suatu pembahasan ayat atau surat di dalamnya, sehingga terdapat pula kesamaan-kesamaan atas penawilannya dan begitupun yang bertentangan.[18]

Langkah-Langkah Penafsiran

            Produk penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari seorang mufassir. Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahliliy, ijmaliy, muqarin dan mawdhu’iy.[19]

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini, setidaknya dapat diketahui melalui pernyataan al-Mawardi dalam muqaddimah tafsirnya, sebagaimana yang telah penulis ungkapkan pada sub gambaran umum kitab yang menjadi karakteristik tersendiri bagi al-Mawardi.Al-Mawardi menginterpretasi ayat Al-Qur’an dengan cara menyebutkan nama surat, memastikan status makkiyah atau madaniyyah dan menuturkan riwayat-riwayat yang ma’tsur terkait dengan surat. Baru kemudian menjelaskan tafsirannya dengan disertai asbab al-nuzul. Setelah itu, beliau lantas mulai menjelaskan makna kosakata dan menyebutkan latar belakang ayat diturunkan. Orientasi al-Mawardi berkisar pada aspek Bayyani dan asal-usul bahasa dengan berbekal pemahaman terhadap peribahasa atau syair yang terkait. Kemudian iamenjelaskan beberapa komentar ulama yang beliau didapati secara global dan menjabarkan masing-masing pendapat secara berurutan, semisal terdapat empat atau tiga komentar. Iabiasanya juga menyebutkan nama ulama yang berkomentar serta melakukan analisa untuk menentukan pendapat mana yang lebih kuat. Namun, al-Mawardi juga tak jarang hanya sekedar mengutip beberapa komentar ulama tanpa menyertakan analisa lebih lanjut.[20]

Berdasarkan analisa Sayyid Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mawardi juga menjelaskan perbedaan bacaan (qira’at).Diantara metode lain yang digunakan penulis adalah memaparkan berbagai pandangan fiqh yang berlandaskan pada penjelasan Imam Al-Syafi’i saat beliau menafsirkan ayat-ayat bermuatan hukum. Meski demikian, al-Mawardi secara tersirat juga merujuk pada pandangan dari Madzhab berhalauan Ahlus Sunnah yang lain.Sikap yang dipegang teguh oleh al-Mawardi adalah menggunakan rasio untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Makna lebih mendalam tidak mungkin diungkap kecuali dengan mengerahkan usaha lebih dalam merenungi ayat dengan akal. Al-Mawardi tidak hanya membahas kasus-kasus yang bersifat penting dan mendasar serta tidak menyetujui pemahaman yang dangkal. Beliau juga menentang orang yang tidak memperbolehkan menyingkap makna Al-Qur’an dengan bekal ijtihad akal yang tidak disokong oleh teks real dan valid yang diriwayatkan dari generasi terdahulu dengan dalih bahwa rasul pernah berkata : “ Orang orang mengkaji Al-Qur’an dengan rasionya, Ia jelas-jelas salah meski ia memperoleh kebenaran.”[21] Menanggapi kelompok tersebut, al-Mawardi dengan lantang melontarkan sangkalan sebagai berikut :

“Orang dengan tingkat intelektualitas yang rendah dan wawasan yang minim tidak berani melangkah lebih jauh. Mereka memaknai hadis tersebut dengan dangkal lantas menolak segala bentuk usaha ilmiah untuk mengungkap lebih jauh makna Al-Qur’an meski dengan berbekal dalih yang berbobot, selama usaha tersebut secara tekstual tidak dibarengi dengan riwayat yang valid atau diakui legalitasnya. Ini merupakan penyelewengan dari perintah Allah yang mengajak berdialog dengan hamba-Nya melalui bahasa Arab (yang jelas). Dia telah mengingatkan bahwa diantara makna rumit yang tersimpan di dalam Al-Qur’an, terdapat teka-teki dan misteri yang sulit dicerna. Makna tersebut akan tetap jadi teka-teki dan misteri selama kita tidak menyelami firman Allah. Allah menjelaskan lebih lanjut kandungan makna tersebut ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami serta mampu memutus komunikasi yang tidak sinkron antara Allah dan hamba serta Allah telah melapangkan kepada hamba-Nya jalan untuk menapaki hukum-hukum yang terpendam sebagaimana firman Allah : “Pasti akan diketahui oleh orang-orang diantara kalian yang mengungkapnya“. Andai kata pemahaman mereka (kelompok yang tidak setuju penggunaan rasio dalam penafsiran Al-Qur’an) benar, niscaya firman Allah tidak akan bisa dipahami dan maksud dari firman tersebut tidak pula dapat ditangkap. Dengan kata lain firman Allah hanya akan menjadi teka-teki yang tetap menjadi misteri. Hal ini tidak mungkin dikehendaki Allah. Dengan demikian, pemikiran mereka yang menolak telah terbantahkan dan mentakwil ayat Al-Qur’an merupakan alternatif demi mencapai pemahaman yang memadai ketimbang hanya mengandalkan pemaknaan ayat dari bungkus luarnya saja. Semoga Allah menyelamatkanku dari pemahaman yang menyatakan pasrah menerima Al-Qur’an dengan segala misterinya yang mengarah pada tindakan untuk tidak menggunakannya.”[22]

Sumber Penafsiran

Di dalam menafsirkan al-Mawardi menggunakan sumber-sumber, diantaranya:

Qira’at

Al-Mawardi memperhatikan aspek keanekaragaman qiraat. Untuk ranah ini, ia mengacu pada buku-buku yang ada di zamannya, semisal kitab Ibnu Khawalih yang berjudul Al-Qiraat As-Syadzzat, Al-Hujjat fi ‘Ilal Al-Qiraat Al-Sab’i karya Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ahmad Al-Farisi dan kitab Al-Muhtasab fi Tabyin Wujuh Syawaz Al-Qiraat dan kitab Al-Iidah yang sama-sama ditulis oleh Abul Fath ‘Utsman bin Jinni.[23]

Tafsir bil Ma’tsur

Merujuk Kitab “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an” karangan Ibn Jarir al-Thabari[24] merupakan kitab tafsir yang menjadi referensi dalam tafsir al-Mawardi. Misalnya saja, dalam menafsirkan Surat al-Nisa’ [4]: 34.

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا

Potongan ayat واهجروهن في المضاجع dikomentari oleh al-Mawardi dengan mengemukakan lima pendapat, dan pada poinke-5 al-Mawardi mengutip pendapat al-Thabari sebagai berikut:

والخامس: هو أن يربطها بالهجار وهو حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر الطبري.

Kelima, istrinya diikat dengan “al-hajjar”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas ketika pembuahan. Ini adalah pendapat Abu Ja’far al-Thabari.[25]

 

Selain itu, ia juga menukil dari Muqotil bin Khayyan dan Muhammad bin Ishaq bin Yasar teman seperjuangannya.[26]

Sumber Bahasa dan Nahwu

Dalam bahasa semantik dan nahwu al-Mawardi menggunakan sumber yang banyak dan beraneka ragam, seperti menukil dari al-Kasai, al-Farai, al-Ahfaz, Tsa’lab, Mubarad, Az-Zujaj. Dari sekian pengarang dalam kajian makna-makna al-Qur’an mendapat sumber dari Ubaydah dari kitabnya Majaz al-Quran dan Rumani dari kitabnya Jami’ liIlmil Quran, seperti menukil dari Kholil bin Ahmad, Syaibuwiyah, dan Umar bin Ila’.[27]

Sumber Fiqh

Pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad. Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, al-Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’. Pada tahun 423 H, al-Qadir wafat. Maka anaknya al-Qa’im menggantikannya sebagai khalifah.Karir al-Mawardi pada masa khalifah al-Qa’im (1031-1074 M) semakin meningkat.Ia mulai menampakkan perannya yang penting dalam pemerintahan khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Di samping itu, pada saat itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran).[28]

Contoh Penafsiran Al-Mawardi terhadap Kata Khalifah: Suatu Kompirasi

            Arti khalifa adalah secara etimologi berasal dari kata kholafa, yakhlufu yang memiliki beberapa pengertian yaitu mengganti, memberi ganti, dan menanempati tempatnya. kata khalifah sendiri mempunyai pengertian pengganti atau penguasa.[29] Kata khalifah dalam al-Qur’an setelah ditelusuri dengan Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi ditemukan bahwa khilafah juga berasal dari kha-la-fa yang berarti kepemimpinan. Hal ini terdapat dalam berbagai makna.Pertama, generasi pengganti.Kedua, suksesi generasi dan kepemimpinan.Ketiga,proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah. Keempat, pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah.Jadi, kata khilafah atau khalifah dalam arti kepemimpinan jelas ada di dalam al-Qur’an.[30]

Ayat yang akan disinggung untuk menjelaskan tentang kepemimpinan Islam akan diwakili dalam surat al-Baqoroh ayat 30 dan surat Shad ayat 26 yang menurut hemat penulis cukup mewakili keberadaankata khalifah dalam al-Quran dan mampu menjelaskan secara komprehensif arti khalifah dalam konteks kepemimpinan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[31]

            Al-Mawardi menafsirkan bahwa ayat ini dinilai dengan penyampaian keputusan Allah pada para malaikat tentang rencananya mennciptkan manusia di bumi. Penyampaian ini bias jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama atau Adam dengan nyaman, pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mufadhil. Ketika mendengar rencana tersebut, para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Pernyataan itu juga bias lahir dari penamaan Allah terhadap malaikat yang akan diciptakan itu dengan khalifah, Kata ini mengesakan makna pelerai perselisihan dan penegak hokum sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya yang pasti mereka (malaikat) bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencanaNya dan bisa saja bukan Adam yang mereka maksud dalam hal berselisih, merusak, dan menumpahkan darah anak cucunya.[32]

Berbeda dengan Al-Zamakhsary ketika menafsirkan khalifa di dalam al-Qur’an terkait surah al-Baqarah ayat 30.Dalam tafsirnya Zamakhsyari yakni al-Kasyaf menjelaskan, bahwa manusia di turunkan ke muka bumi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, kesemuanya memiliki potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah di muka bumi.kesemuanya itu merupakan bagian dari hal yang ditakdirkan oleh Allah SWT.[33] Hal tersebut menurut hemat penulis tak lepas dari hadis Rasululllah yang mengungkapkan bahwa semua muslim adalah pemimpin bagi muslim lainnya, dan dilanjutkan hingga komponen terkecil. Sehingga potensi-potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah adalah menjadi suatu keniscayaan.

Kholifah adalah orang yang kedudukannya sebagai pengganti atau bertugas menggantikan selain-Nya.Adapun makna dari “kholifah darimu sekalian”, adalah karena mereka sekalian adalah penduduk bumi, maka mereka menjadi kholifah bagi Adam dan semua keturunan-keturunannya.Mengenai apakah pengucapannya dalam maksud kata khalifa itu sendiri dengan menggunakan lafal kholaif ataukah khulafa’?Zamakhsyari lebih memaksudkan atau menekankan pada penggunaan kholifah Adam.Tujuan dari mengambil kata tersebut adalah untuk menyebut anak turunnya Adam, seperti dalam contoh penuturan konteks kata Abil Qabailah dengan menggantinya menjadi Mudhor dan Hasyim. Atau yang diharapkan dari ungkapan “pengganti” atau “penerus”, maka yang dimaksudkan adalah satu atau sama saja dari beberapa opsi tersebut.[34]

Adapun dibaca kholiqoh, maka yang Zamakhsyari maksudkan adalah “pengganti dariku”, karena adam adalah pengganti Tuhan di muka bumi-Nya begitujuga dengan nabi-nabi yang lainnya.[35]Jadi, Zamakhsyari memberikan penekanan pada penggunaan redaksi kata yang berbeda-beda tersebut tak lepas dari maksud yang diharapkan berbeda-beda. Sebagaimana apa yang dihadirkan pada beberapa penggunaan redaksi yang berbeda-beda di atasa. Namun, bukan berarti yang disajikan dengan redaksi yang berbeda-beda tersebut memiliki dampak makna yang berebda pula. Namun, di beberapa konteks juga ada beberapa redaksi yang berbeda, namun memiliki implikasi makna yang sama saja atau serupa.

Ayat lain yang berbicara tentang khalifah di antaranya adalah surat Shad:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”[36]

Kesimpulan

            Tafsir karangan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i yang berjudul al-Nukat wa al-Uyun ini mencakup seluruh ayat-ayat al-Quran (30 juz utuh). Karakter yang sangat menonjol dari al-Mawardi adalah tafsir bi al-ra’yi. Menurut al-Mawardi, yang namanya tafsir adalah menyibak yang samar ke yang jelas, sehingga bisa dikatakan apa gunanya sebuah tafsir yang memaparkan sesuatu yang telah diketahui oleh halayak umum. Secara umum, kitab tafsir ini dapat dicirikan sebagia berikut: menghimpun pendapat-pendapat ulama tafsir yang lain, baik sebelumnya maupun sezamannya. Analisa yang mendalam dari sisi kebahasaan.Keterlibatan dalam membatasi beberapa pendapat yang ada, meskipun tanpa disertai penyebutan sumber pengambilannya.Tidak hanya terbatas pada hadis-hadis, ragam bacaan, da hukum-hukum fiqih.Pendukung fanatik madzhab Syafi’i, bahkan termasuk salah satu tokohnya. Dan yang terakhir yakni menghimpun pendapat-pendapat ahli kalam, sekaligus menarjihnya. [Ariyanto & Ning Dian Kamelia]

 

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013, hal 105-106.

[2] Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2006, hal. 377.

[3]Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi penafsiran secara terus-menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer. Karena al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan bukan saja untuk orang-orang dulu di zaman Nabi saw, tetapi juga untuk orang sekarang bahkan sampai hari kiamat. Prinsip-prinsip universal al-Qur’an dapat dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular. Uraian selengkapnya, baca Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Perss, 2012, hal. 154.

[4] Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1dalam tarjamatul muallifSayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim (Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1992), hlm. 9.

[5] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawarth with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 1.

[6] Dinasti ini berdiri atas prakarsa Abu Syuja’ Buwaih, yaitu seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya: ‘Ali (‘Imad al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah) dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah). Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani ‘Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih ‘Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn Kali dari dinasti Saman. Dengan berdirinya Dinasti Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, bergandengan dengan kaum Syi’ah. Akibat persahabatan kaum Mu’tazilah dengan kaum Syi’ah Zaidiyah, karya-karya kaum Mu’tazilah pada periode kebangkitan kedua banyak yang diamankan, dan mulai pertengahan kedua pada masa abad ini banyak diterbitkan. Lihat, Machasin, “Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah: Masa Kemunduran” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 113. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Darasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 69.

[7]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 6.

[8] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, t. th.),  hlm. 726.

[9]Ibid.

[10]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun,hlm.6. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa al-Mawardi berusaha keluar dari paradigma tafsir konvensional, yang menafikan peranan makhluk dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat.Sebagaimana yang diungkapkan Kholid Utsman as-Sabt, yaitu “Di dalam al-Qur’an secara umum jika Allah menafikan peranan makhluk akan suatu hal dan menetapkan diriNya, maka secara bersamaan Allah telah menafikan persekutuan untuk Allah sendiri” Ini artinya ta’wilan hanya Allah yang mengetahui. Lihat, Kholid bin Utsman as-Sabt, Qawaid at-TafsirJam’an wa Dirasatan, Vol. 2, bab Nafi (Madinah: Dar Ibnu Affan, t. th), hlm. 520.

[11] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 723.

[12]Ibid.

[13]Ibid., hlm. 724. Lihat juga al-Nukat wa al-‘Uyun dalam muqoddimah Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim, Juz 1, hlm. 9.

[14] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[15] Ibid, hlm. 727. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Di sini kaum Mu’tazilah lebih menekannkan penggunaan rasio dalam menafsirkan. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 82.

[16]Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat utlak lagi.Sepert terkandung dalam uraian nadhir, kekeuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham muktazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.Tuhan tidak bisa lagi bebrbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak adil bahkan dzolim.Ibid., hlm. 119.

[17]Iyaziy, Al-Mufasirun…, hlm. 723

[18]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, hlm. 6

[19] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 3.

[20] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[21]Ibid.,hlm. 728.

[22]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 34-35. Apa yang diungkapkan al-Mawardi sama halnya seperti yang diungkapkan Thabathaba’i. Ia berpendapat tentang ayat mutasyabbihat, yaitu “dapat dipahaminya seluruh al-Qur’an oleh semua manusia, tak terkecuali terhadap ayat-ayat yang selama ini dikelompokkan oleh ulama sebagai ayat mutasyabbihat yang diposisikan secara diametral dengan ayat muhkamat. Ayat mutasyabbihat adalah ayat yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang tidak dapat diketahui makna hakikinya kecuali Allah.Anggapan ini, jelas Thabathaba’i tidak sesuai dengan QS. Ali Imran [3]: 7 dan ayat lain. Karena, dalam pandangannya al-Qur’an dengan jelas mensifati dirinya dengan sifat-sifat seperti cahaya, petunjuk, dan penjelas.Dengan sifat-sifatnya ini, setiap manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahui maksud al-Qur’an. Lihat, Wahyono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam “Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an” Karya Muhammad Husein Ath-Thabathaba’i (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008), hlm. 81.

[23]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 7.

[24] Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib At-Thabari, imam mujtahid mutlak, pengarang banyak kitab, dari keluarga Amal Tabrustan. Lahir di Tabrustan hatun 224 H, meninggalkan negerinya untuk menuntut ilmu pada usia 12 tahun pada tahun 236 H. Melalangbuana ke berbagai negeri seperti Mesir, Syam, Irak, lalu menetap di Baghdad hingga tutup usia tahun 306 H. Merupakan salah satu imam terkenal yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Menurut Adz-Dzahabi, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an merupakan tafsir terhebat, paling termasyhur dan menjadi rujukan pertama dalam tafsir naqli (bi al-ma’tsur), selain itu juga menjadi rujukan penting bagi tafsiraqli (bi ar-ra’yi) karena mengandung istinbath, pemaparan berbagai pendapat disertai tarjih yang berpegang pada nalar dan penelitian yang akurat. Lihat, selengkapnya Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm. 147-149.

[25]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 482.

[26]Ibid.hlm. 7.

[27]Ibid.

[28] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawardi with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 11.

[29] Ahmad Awarson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif), 1997, hal. 362.

[30] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an Karim, (T.T: TP, T.TH), hlm. 521.

[31] QS. Al-Baqarah [2]: 30.

[32]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 93-98.

[33] Abi Al-Qasim Muhammad ibn Umar Az-Zamakhsary, Al-Kasyaf (Riyadh: Maktabah Al-Abikan, t.t), hlm. 251.

[34]Ibid.

[35]Ibid.

[36] QS. Shad [38]: 26.

KAJIAN KRITIS ATAS JAMI’ AL-BAYAN ‘AN TA’WIL AL-QUR’AN KARYA ABI JA’FAR MUHAMMAD BIN JARIR AT-THABARI (W. 223 H)

Pendahuluan

            Alquran adalah kitab suci umat Islam yang terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat. Alquranmemuat berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dapat dikaji oleh semua orang dari berbagai kalangan, baik oleh ilmuwan bahkan orang awam. Setiap sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan umat manusia, pasti ada informasinya dalam Alquran. Setiap menggali ilmu Alquran dari sisi manapun, niscaya akan melahirkan sebuah cabang atau ranting ilmu pengetahuan. Tak terkecuali dalam bidang tafsir. Tafsir selalu saja memberi berbagai perspektif yang berbeda, baik dari segi metode, corak, sumber pendekatan dan lain sebagainya.

     Sejak zaman sahabat hingga sekarang, banyak sekali para mufassir yang mengabdikan hidupnya untuk menafsirkan Alquran, tak terkecuali imam at-Thabari. Ia adalah begawan atau jawara tafsir sejak zaman klasik hingga era sekarang. Setting historis lingkungan hidupnya ikut memberi peran terhadap pemikiran keilmuannya. Jami’ Al-Bayan ‘An Ta’wil Alquran merupakan salah satu karya fenomenal yang mejadi rujukan utama hingga sekarang. Untuk lebih lengkapnya, tulisan ini akan membahas segala sesuatu tentang cara penafsiran dan tentang kitab tafsir at-Thabari tersebut.

 

Mengenal Lebih Dekat at-Thabari

             Salah satu kitab tafsir konvesional yang bereksistensi hingga sekarang  ialah  Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alquran karya Ibn Jarir at-Thabari. Nama lengkap beliau ialah Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib Abu Ja’far at-Thabari al-Amuli.[1] Namun informasi lain menyebutkan bahwa nama lengkap at-Thabari ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli.[2] Nama kunyahnya ialah Abu Jafar Muhammad, namun lebih dikenal dengan sebutan at-Thabari. Meskipun nama kunyahnya Abu Ja’far, namun dia tidak memiliki anak bernama Ja’far. Dan bahkan para sejarah sepakat bahwa beliau tidak pernah menikah. Ia lahir pada pada akhir 224 H atau awal 225 H atau sekitar 839-840 M, dan meninggal pada tahun 311 H/ 923 M.Tanah Kelahirannya ialah kota Amul, Ibu Kota Thabaristan, Iran.[3] Sehingga nama belakangnya al-Amuli adalah penisbatan dari tanah kelahirannya.[4]

          Secara historis, ath-Thabari hidup pada masa kejayaan Islam. Islam telah menyebar ke berbagai wilayah, begitu pula dengan pemikiran para ilmuan yang turut membentuk cara pandang masyarakat Islam dimana mereka bertempat tinggal. Pada waktu yang sama, muncul berbagai mazhab fiqh dan tafsir. Terdapat kecenderungan komunitas muslim awal dengan munculnya paham Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Di sisi lain muncul pula golongan ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah sekitar tahun 200 H.[5] Kontribusi sekte-sekte lain juga turut meramaikan panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dialami at-Thabari menggugah sensitifitas keilmuannya, khususnya dalam bidang pemikiran Islam dengan cara memberikan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulisnya. Pergulatan madzhab yang dia alami mengantarkan at-Thabari pada keberhasilan dialog yang ia lakukan dengan Alquran sebagai petunjuk yang tidak lagi diragukan. Hal ini salah satunya terkait dengan cara pandang at-Thabari terhadap ayat-ayat mutasyabihat.[6]

Aktivitas Pendidikan dan Keilmuan At-Thabari

            At-Thabari hidup tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang cukup memberikan konstribusi terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Bersamaan dengan situasi Islam yang sedang berada pada puncak kegemilangan di bidang pendidikan, yaitu pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.[7] Kondisi tersebut secara psikologis turut berperan dalam mencetak kepribadian at-Thabari dan kecintaannya terhadap ilmu. Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk mencintai ilmu sejak dini.[8]

          Karir pendidikan at-Thabari dimulai di kampung halamannya, kota Amul. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri. Ketika berumur 7 tahun, ia telah menyelesaikan hafalan Alquran dan menjadi imam shalat. Dan ketika berumur 9 tahun telah mencatat hadis. Semangat belajarnya sangat tinggi, demi menuntut ilmu ia melakukan rihlah keilmuan ke beberapa negara, diantaranya ialah: Bashrah, Rayy, Kufah, Syria dan Mesir di usia yang terhitung dini.[9] Abu Bakar memasuki wilayah Baghdad untuk belajar kepada Ahmad Ibn Hanbal, namun ketika di tengah perjalanan ia mendengar kabar bahwa Ahmad ibn Hanbal telah wafat, seketika ia memutar haluan menuju dua kota besar, Basrah dan Rayy. Di Bashrah ia belajar kepada Muhammad ibn ’abd al-A’la al-San’ani, Muhammad ibn Musa al-Harasi dan Abu al-‘As’as Ahmad bin al-Miqdam, ‘Amad ibn Musa al-Qaraz, Basyar ibn Mu’ad, Abi As’ats, Muhammad ibn Basyar dan Abu al-Jawza’ Ahmad bin Usman,  Di Rayy ia belajar kepada Ibnu Humayd, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razi, serta belajar ilmu hadis kepada al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili.[10]

             At-Thabari Kemudian melanjutkan perjalanan ke Kufah, ia berguru kepada Abi Karib Muhammad ibn ‘Ila Alhamdani dan Ismail bin Musa serta Hannad bin al-Sari dalam bidang tafsir. At-Tabari berkunjung kembali ke Baghdad untuk belajar Qiraat dan fiqih di bawah bimbingan Ahad bin Yusuf al-Sa’labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za’farani dan Abi Sa’id al-Astakhari. Tak puas dengan ilmu yang didapatkannya, ia berkunjung ke beberapa kota untuk belajar gramatika Arab dan qiraat. Warsy dan Qalun ikut berkontribusi terhadap keilmuan Thabari. Kota Baghdad menjadi domisili terakhir at-Thabari. Ia wafat pada hari Senin, 27 Syawal 310 H atau 17 Februari 923 M dalam usia 83 tahun.[11]

            Adapun murid-murid at-Thabari ialah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Nashir, Ahmad bin Qasim bin Abdullah bin Mahdi, Ahmad bin Kail bin Khalaf, Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid at-Tamimi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub al-Lakhmi, Abdullah bin Ahmad bin Ja’far bin Khudyan at-Turki, Abdullah bin Ahmad bin Ru;yah bin Sulaiman bin Zair, Abdullah bin Hasan Abu Syu’aib al-Kharoni, Abdullah bin ‘Adi bin Abdullah al-Jurjani, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin ’Ali, Muhammad bin Daud bin Sulaiman , Muhammad bin Abdullah (Abu Bakar Syafi’i), Muhammad bin Abdullah Abu al-Maqdal al-Sayati al-Kufi, dan masih banyak lagi[12]

Karya-karya

              At-Thabari memiliki banyak sekali melukis karya dalam berbagai bidang semasa hidupnya. Dalam Bidang hukum yaitu Adab al-Manasik, Al-Sadar fi al-Usul, Basit, Ikhtilaf, Khafif, Latif al-Qaul fi ahkam Syara’i al-Islam, Mujaz, Radd ‘ala Ibn ‘Abd al-Hakam. Sedangkan dalam bidang Alquran ada Fasl Bayan fi al-Qiraat, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Kitab al-Qiraat. Dalam bidang Hadis ialah, ‘Ibarah al-Ru’ya, Tahzib, Fada’il, dan Al-Musnad al-Mujarrad. Pada bidang teologi ada, Dalalah, Fada’il ‘Ali ibn Abi Thalib, Radd ‘ala zi al-Asfar, Al-Radd ‘ala al-Harqusiyyah, Sarih dan Tabsyir atau juga disebut al-Basyir fi Ma’alim al-Din. Dalam bidang etika keagamaan adalah Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah, Fada’il wa Mujaz dan Adab al-Tanzil. sedangkan dalam bidang sejarah ialah, Zayl al-Muzayyil, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, dan Tahzib al-Asar. Ada beberapa karya at-Thabari yang belum dipublikasikan yakni Ahkam Syara’i al-Islam, Ibarat al-Ru’ya, dan al-Qiyas. Karya lain dalam bentuk mansukrip antara lain: Sarih al-Sunnah, Rami al-Qaws, al-Aqidah, al-Jami’ al-Qira’at al-Masyhurah wa al-Syawaz, Hadis al-Himyar, al-Risalah min Tiff al-Qawl fi al-Bayan ‘an Usul al-Ahkam. Jumlah karya yang pernah ditulis oleh at-Thabari tidak bisa kita hitung dengan jelas, sebab masih banyak karya yang lenyap, semisal tentang fiqih mazhab Jaririyah.[13]

Sekilas tentang Tafsir at-Thabari

Latar Belakang Penulisan

             Semasa hidup at-Tabari, akhir abad ke 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitras etnis, religius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Di samping itu pula di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi hadis. Tafsir telah mengalami perkembangan pesat secara metodologis dan substansial, munculnya aliran tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi turut memberikan warna terhadap pemikiran muslim. selain itu pula munculnya aliran rasional keagamaan seperti yang telah disebutkan dalam biografi ath-Tabari cukup menggugah sensifitas keilmuannya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melakukan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Salah satu karya tulisnya ialah kitab tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Faktor-faktor tersebut menjadi latar belakang ditulisnya tafsir ini.[14]

Sistematika Penulisan

             Kitab tafsir at-Thabari berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, nama ini lebih fenomenal dibanding judul yang ia berikan sendiri, yaitu Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ay al-Qur’an. Kitab ini ditulis pada akhir abad ketiga hijriah dan mulai diajarkan kepada muridnya dari tahun 283 sampai 290 hijriah. [15] Kitab tafsir Thabari ialah kitab tafsir pertama dan paling masyhur yang menjadi rujukan utama hingga sekarang. Tafsir ini terdiri dari 30 juz dengan 12 jilid[16]. Kitab ini pertama kali dicetak ketika Thabari berumur 60 tahun. Dengan dicetaknya buku ini, terbukalah khazanah keilmuan tafsir.[17]

               Kitab tafsir ini telah dicetak dua kali di Mesir. Menurut Ibnu as-Subukhi bentuk kitab yang sekarang  adalah ringkasan dari kitab aslinya. Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan dalam kurun waktu yang lama ditemukan di rumah seorang Amir Najeed yang benama Hamad ibn Amir Abd al-Rasyd. Dalam versi lain disampaikan Goldziher bahwa kitab ini ditemukan pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20.[18]

              Tafsir berbahasa Arab ini telah dicetak ulang beberapa kali, diantaranya ialah: Kairo, Percetakan Bulaq sebanyak 30 juz dan 12 Jilid, diterbitkan tahun 1323 H. Kemudian dicetak di Mesir oleh Maktabah Mushtofa al-Baby al-halbi pada tahun 1373 H sebanyak 30 juz dan 12 jilid ditulis oleh Ahmad Saad ‘Ali. Dicetak pula di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah cetakan pertama pada tahun 1412 sebanyak 12 jilid. Kemudian tafsir yang dijadikan oleh penulis ialah cetakan Kairo ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin ‘Abd al-Muhsin at-Turki sebanyak 30 juz, cetakan pertama pada tahun 1422 oleh Markas al-Buhus wa al-Dirasat al-‘arabiyyah al-Islamiyyah sebanyak 30 Juz.[19]

            Sistematika tafsir Tabari dapat dipetakan sebagai berikut:

No. jilid Jumlah halaman Isi
1 1 192 Muqaddimah tahqiq, muqaddimah penulis kitab, dan manuskrip kitab.
2 II 765 Tafsir surah al-Baqarah ayat 1-163
3 III 774 Tafsir surah al-Baqarah ayat 164-224.
4 IV 722 Tafsir surah al-Baqarah ayat ayat 224-267
5 V 742 Tafsir surah al-Baqarah ayat 268- Ali Imron 119.
6 VI 744 Tafsir s. Ali Imron hingga an-Nisa ayat 35
7 VII 742 An-Nisa 36-172
8 VIII 768 Al-Maidah
9 IX 700 Al-Maidah dan al-An’am
10 X 693 Al-An’am-m al-A’raf
11 XI 720 Al-A’raf- at-Taubah
12 XII 671 At-Taubah- Hud
13 XIII 763 Yusuf- Ibrahim
14 XIV 693 Al-Hijr- Bani Isroil
15 XV 665 Al-Isra’- Maryam
16 XVI 662 Toha- al-Hajj
17 XVII 701 Al-Mu’minun- Asy-syu’ara’
18 XVIII 666 An-Naml – as-Sajdah
19 XIX 675 Al-Ahzab – As-Soffat
20 XX 684 Shat – az-Zuhruf
21 XI 623 Ad-Dukhon – at-Thur
22 XII 687 An-Najm – al-Munafiqun
23 XIII 625 At-Taghabun – al-Mursalat
24 XIV 764 An-Naba’ – an-Nas
25 XV – XVI 1420 Tentang kitab, penyunting dan penulis

 Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayan

            Secara umum metode-metode penafsiran yang dipakai hingga sekarang terdapat empat macam, yaitu: metode tahlily, Ijmali, muqarran serta maudhu’i atau tematik.[20] metode tahliliy atau yang dinamakan oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alqurandari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana yang tercantum di dalam mushaf. Segala segi yang dianggap penting oleh seorang mufasir tahliliy diuraikan. Bermula dari kosa kata, asbabun nuzul, munasabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini walapun dinilai sangat luas, ia tidak menyelesaikan suatu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan sisanya atau selanjutnya ada pada ayat lain.[21]

             Para ilmuan banyak yang mengklaim bahwa tafsir yang dikarang oleh at-Thabari ini merupakan tafsir dengan metode tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma’tsur dan bi ar-ra’yi. Sekalipun at-Thabari sangat kental dengan riwayat-riwayat penafsir, namun untuk menentukan makna secara tepat, ia juga menggunakan ra’yu.[22] Corak penafsiran at-Thabari pada kitabnya ialah sejarah dan bahasa. Sebagai ahli sejarah, ia menyampaikan berbagai riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat , tabi’in, tabi’i tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan. Melalui pendekatan bahasa, ia menggunakan bahasa Arab sebagai pegangan, bertumpu pada syair-syair kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, bersikap acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa.[23]

      Dari sisi linguistik, at-Thabari sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, bersandar pada syair-syair Arab kuno ketika menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran gramatika. Contoh dari penggunaan syair adalah ketika menjelaskan kata “Faridhah” beliau menggunakan syair sebagai berikut

كانت قريضة ما اتيت كما كان الرتاء قريضة الرحيم

Sesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajib dikenanakan rajam.

            Kemudian beliau juga menampilkan qiraat, karena beliau memang ahli qiraat. Contohnya ialah dalam menjelaskan ayat مالك يوم الدين Abu Ja’far berkata: para ahli qiraat berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada yang membaca “ملك يوم الدين” dengan memendekkan mim dan diantaranya juga membaca “مالك يوم الدين” dengan memanjangkan mim.[24]

            Menempuh jalan istinbath dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i’rabnya. Dalam rangka melengkapi keterangan tentang pengetahuan suatu ayat, disajikan kisah-kisah israiliyat dari tokoh Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam yang dipandang lebih akurat dan dikenal oleh masyarakat Arab. Terkadang Tabari juga melakukan kritik terhadapnya. Sebagai seorang ilmuan ia tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam ranah fiqh. Ia berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham. Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang menyangkut soal akidah, mau tidak mau ia terlibat dikusi yang cukup intens. Hal ini nampak terhadap pembelaannya terhadap ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah pada saat berhadapan dengan pandangan Mu’tazilah. Walaupun sebenarnya ia telah berusaha mengambil posisi moderat.[25]

Secara ringkas langkah-langkah  metodologis yang dipakai at-Thabari dalam menafsirkan Alquran ialah:

  • Menyajikan riwayat dengan teliti, misalnya dalam menyebutkan sanad dan pencantuman riwayat. Apabila ia hendak menafsirkan suatu ayat ia berkata, “Pendapat-pendapat mengenai tafsir atau ta’wil ayat ini adalah begini atau begitu.” Lalu beliau menafsirkannya berdasar pada sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan secara lengkap yakni dengan metode tafsir bi al-ma’tsur . beliau juga menggunakan komparasi kritis, artinya memaparkan segala riwayat atau pendapat yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan, kemudian mentarjihnya.[26]
  • At-Thabari menjauhkan dari penafsiran yang berorientasi bi al-ra’yi. Dalam beberapa riwayat ia melarang tafsir dengan orientasi bi al-ra’yi, karena menurutnya penafsiran kitab Allah tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dari keterangan Rasulullah saw.
  • Menggunakan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat terhadap kalimat yang lain.
  • Menyajikan syair dan menggali prosa Arab ketika menjelaskan makna kosa kata. Terkadang disebutkan nama pengarangnya dan terkadang hanya syairnya.
  • Menampilkan qiraat dalam rangka mengungkapkan makna ayat.
  • Menempuh jalan tafsir dan ta’wil.
  • Melakukan penafsiran ayat dengan ayat atau
  • Memperhatikan i’rab.
  • Memaparkan berbagai pendapat di bidang fiqih kemudian mengemukakan pendapatnya. [27]

           

Komentar Ulama

            Berkata Abu ‘Abbas bin sarij: Muhammad ibn Jarir ialah seorang faqih yang alim, seorang laki-laki yang menguasai berbagai ilmu, diantaranya: ilmu qiraat, tafsir, hadis, fiqih, sejarah serta banyak ilmu lainnya. ia adalah seorang penulis yang produktif hingga akhir hayatnya. Di antara karyanya ialah: Tarikh al-Umm wa al-Muluk yang menjadi salah satu rujukan utama dalam bidang sejarah. Kemudian qiraat serta kitab kumpulan pendapat ulama.

            Muhammad Abduh juga mengomentari tafsir at-Thabari, adapun pendapatnya ialah: “kitab yang terpercaya di kalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belanggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan  paham  yang dapat menimbulkan perpecahan.” Dikatakan oleh Philip K. Hitti bahwa sebagai penafsir, at-Thabari telah membangun tradisi tafsir paling awal sekaligus penulis kitab tafsir paling tebal, ia telah memulai karir intelektualnya sejak berada pada masa kanak-kanak. At-Thabari adalah seorang Mufassir yang karya monumentalnya tentang sejarah dunia menjadi buku sejarah paling lengkap dan menjadi rujukan utama para sejarawan.

            Dalam pandangan Imam Khatib al-Baghdadi, Ibnu Jarir at-Thabari adalah seorang imam terkemuka yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Ia menghimpun banyak ilmu yang tidak dimiliki oleh ulama lain pada masanya. Ia hafal kitabullah, sangat menguasai ilmu Alqurandan benar-benar paham tentang hukum-hukumnya. Ia ahli hadis, sangat mengetahui metode-metodenya, yang shahih dan dhaifnya, nasikh mansukhnya dan menguasai ucapan para sahabat, tabi’in dan para ulama sesudah mereka selain menguasai soal halal haram, tentang aneka ragam berita perjalanan umat manusia.[28] Dikatakan pula oleh suyuti bahwa kitab tafsir Ibnu Jrir merupakan kitab tafsir paling agung dan bermutu. Berisi kutipan berbagai pendapat dan tarjih sebagiaanya atas sebagian yang lain, istinbath, i’rab, yang dengannya ia mengungguli kitab-kitab tafsir yang lebih dahulu.[29] Tak kalah dengan pendapat para ulama di atas, Ignaz Goldziher sebagai orientalis juga mengungkapkan bahwa kitab tafsir Jami’ al-Bayan adalah karya puncak tafsir aliran tradisional. Dalam ranah Islam, tafsir tersebut dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dan terpenting dari tafsir bi al-ma’tsur.[30]

 

Penafsiran at-Thabari Tentang Ayat-Ayat Miskin dan Yatim

            Agama Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim. Salah satu surat yang membahas tentang anjuran berbuat baik kepada anak yatim ialah surah al-An’am ayat 152, yang berbunyi:

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia sampai dewasa. (QS. Al-An’am: 152)

          Ditafsirkan oleh at-Tabari yang dimaksud dengan احسن dalam ayat tersebut ialah صلاحه وتثميره yaitu menjaga dan mengembangkanbhartabanakbyatim sesuai dengan hadis Nabi, “Muhammad bin Husain telah menceritakan kepadaku, telah berkata Muhammad bin Husain: Ahmad bin Mufadhol telah menceritakan padaku, telah berkata Muhammad bin Husain Asbath telah menceritakan padaku dari Asy-Syuda’ “dan janganlah kamu mendekati  harta anak yatim kecuali dengan cara yang baik. Kemudian kembangkanlah oleh kamu harta anak yatim.” Dalam redaksi yang sama juga diungkapkan dalam surah al-Isra’ ayat 34, yang berbunyi:

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا

 Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia sampai dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.

            Allah memerintahkan dalam ayat tersebut agar tidak mendekati harta anak yatim dengan memakan harta mereka secara berlebihan akan tetapi dekatilah mereka dengan perbuatan yang baik dan bagus dan persaudaraan dengan cara mereka yang demikian itu dengan mengusahakanmterhadapmhartamanakmyatim agar dapat bertambah dan memberikan kebaikan. Qotadah berkata tentang ayat

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا

           Ketika turun ayat ini para sahabat mencampurkan harta mereka dengan harta anak yatim mereka mencampuradukkan dengan anak yatim di dalam makanan mereka atau memakan makanan mereka dan sebagainya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu mencampuradukkan harta dengan harta anak yatim maka mereka itu adalah saudara kamu, dan Allah Maha mengetahui perkara yang baik dari perkara yang buruk. Maka anak yatim itu orang-orang yang lemah. Muhammad bin Abdul A’la menceritakan Muhammad bin Tsur dan Mu’mar dari Qatadah tentang ayat ولا تقربوا مال اليتيم ada para sahabat yang mencampuradukkan harta mereka dengan harta anak yatim dan mereka tidak memberi makan sampai turun ayat ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن hal ini sependapat dengan Ibnu Jain menceritakan padaku Yunus mengabarkan pada kamu Ibnu Wahab berkata: Ibnu Jain menafsirkan اوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذلك خير واحسن تاءويلا   ditafsirkan dengan memakan harta mereka dengan baik jika kamu memakan bersamanya membutuhkan harta tersebut bapakku berkata yang demikian itu tentang firman Allah واتوا اليتامى اموالهم ولا تتبدٌل الخبيث بالطيب ولا تاكلوا اموالهم الى اموالكم انه كان مسؤلا ditafsirkan dengan samapi waktu remaja di dalam pikirannya dan mengurusi hartanya dan dapat berlaku baik terhadap kelakuannya di dalam agama dan firman Allah ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا. Maksudnya penuhilah janji yang kamu adakan perjanjian kepada manusia di dalam kebaikan antara ahlul harbi dan Islam dan di dalam suatu antara kamu semua dan jual beli perserikatan sewa menyewa dan lainnya.[31]

Penutup

               At-Thabari adalah salah satu begawan mufassir yang berhasil menjadi salah satu tokoh yang disegani oleh para Mufassir klasik hingga sekarang. Ia menulis tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran dengan beberapa corak yaitu sejarah dan bahasa. Bentuk penafsiran yang ia pakai ialah gabungan antara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi. Metode yang ia pakai ialah metode tahlily dengan sistematika ttartib mushafi yaitu tafsir dimulai dari juz satu hingga juz tiga puluh. Tafsir ini mejadi rujukan utama oleh para mufassir, terbukti dengan ditahqiqnya tafsir ini oleh beberapa orang dan lembaga. Sumber pendekatan yang Tabari lakukan dalam menafsirkan Alquransangat beragam yaitu dari Alquranitu sendiri, hadis nabi, perkataan sahabat, tabi’in serta tabi’i tabi’inqiraat, i’rab, prosa atau syair arab kuno dan kisah-kisah israiliyyat.

              Tafsir ini dianggap sebagai tafsir yang pertama dan utama karena memuat ensiklopedi Islam selain juga karena tafsir ini bersifat moderat, artinya penafsir mengambil jalan tengah terhadap permasalahan-permasalahan yang sebelumnya telah diungkapkan. Terdapat banyak lagi keistimewaan kitab ini. Dari sisi keilmuan, at-Tabari adalah salah ulamayang hebat. Rihlah keagamaan serta setting sosial at-Tabari ikut memberi andil terhadap pemikiran Tabari. Kehebatan at-Tabari dapat dilihat dari komentar positif para ulama terhadapnya serta banyaknya buku-buku yang dikarangnya. [Fatima]

[1] At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir, Jami’ul Bayan an Takwilil Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 2005, hal. 11.

[2] Muhammad Bakar Isma’il, Ibn Jarir al-Thabari wa Manhajuh fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Manar, 1991, hal. 9-10.

[3] Sebuah kota di Iran, 12 km sebelah selatan Laut Kaspia. Namun riwayat lain menyebutkan bahwa Tabaristan adalah sebuah distrik perbukitan di Persia di sepanjang pantai selatan Laut Kaspia. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014, hal. 488. Daerah yang penduduknya gemar konflik, dan biasanya alat yang digunakan adalah Tabar (kapak), sebagai senjata tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilan lebih dikenal dengan sebutan al-Tabari yang diambil dari nama kulturalnya. M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, No. 1, 2003, hal. 3.

[4] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, Hal. 21.

[5] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 5.

[6] Contohnya dalam menafsirkan QS. 3:7, sekalipun at-Thabari menggunakan dua ayat dimana terjadinya kata tasyabaha dan tasyabih yang digunakan pada konteks berbeda tetap saja mereka memiliki arti dasar yang sama, yakni ambigu dan sulit untuk dipahami. At-Thabari kemudia mengindentifiskasi mutasyabih dengan bahan tersembunyi dalam al-Qur’an., pengetahuan yang terbatas hanya kepada Allah. Seperti arti dari huruf misterius (hurul al-muqata’ah, kedatangan hari kiamat, kenampilan kristus dan dajjal sebelum hari akhir) identifikasi ini at-Thabari lakukan tergantung pada laporan dari asbabun nuzul ayat ini diturunkan. Sahiron Syamsudi, Muhkam and Mutashabih An Analytical Study of al-Tabari’s and al-Zamakhsari’s Interpretitios of Q.3:7, dalam jurnal “Qur’anic Studies, Vol. 1, No. 1 tahun 1999, hal. 68.

[7] lebih rincinya, at-Tabari hidup pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil (847-861), salah satu khalifah besar dari Dinasti Abbasiyah. Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid. I, Jakarta: UI-Press, 2013, hal. 64.

[8] Ibid., hal. 3.

[9] Disebutkan juga bahwa at-Tabari pernah melakukan rihlah keilmuan ke daerah Persia dan Irak. Semangat belajar Tabari juga terhitung luar biasa, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa selama 40 tahun at-Tabari menulis 40 lembar setiap hari. Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014, hal. 489.

                   [10] Muhammad Husain adz-Dazahabi,  Tafsir wal Mufassirun,  Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. Hal. 148.

[11] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 5.

[12] At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir, Jami’ul Bayan an Takwilil Qur’an,hal. 36-39.

[13] Al-Dawudi, Tabaqat al-mufasirun, hal. 111.

[14] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal.12-13.

[15] Abu ja’far

[16]Ali al-Iyazi, Muhammad, al-Mufassirun: Hayyatuhun wa Manhajuhum, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th

[17] Muhammad Husain adz-Dazahabi,  Tafsir wal Mufassirun, 

[18] Ibid., hal. 25.

[19] Ali al-Iyazi, Muhammad, al-Mufassirun: Hayyatuhun wa Manhajuhum, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, t.thhal.399.

[20] Nasarudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 374.

[21] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung:Mizan, 2013), hal. 129-130.

[22] A. M. Ismatullah, “Konsepsi Ibnu Jarir Al-Thabari tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Takwil”, Jurnal Fenomena, Vol. IV, No.2, 2012, hal. 14.

[23] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 12.

[24] Skripsi hal. 24.

[25] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 13-14.

[26] Manna’ al-Khattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterj. Aunur Rafiq Al-Mazni, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012, hal. 454.

[27] Nur Alifah, “Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Ibnu Katsir: Sikap ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya, Skripsi, Program Sarjana UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2010, hal. 24-25.

[28] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, diterj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2010, hal. 196.

[29] Nawawi bertutur, “Umat ini bersepakat bahwa tidak ada satu kitab tafsirpun sebaik kitab Ibnu Jarir.” Ibid., hl. 197-198.

[30] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Divisi Muslim Demokratis, 2011, hal. 406.

[31] Hal. 20-22.

Studi Kritis Lathaif al-Isyarat karya al-Qusyairi

A. Pendahuluan

    Meminjam perumpamaan Quraish Shihab, bahwa Al Qur’an adalah berlian yang memancarkan cahaya dan keindahan dari setiap sisinya yang istimewa dan berbeda satu sama lain. Melihat dari satu sudutnya belum tentu sama dari sudut yang lain. Al Qur’an mampu memberikan “pelayanan” dan “penyediaan informasi” yang mengena bagi setiap orang. Baik itu dari kalangan awam, orang biasa, bahkan sampai selevel orientalis

    Diantara para penggali makna Al Qur’an itu, diantaranya adalah Al-Qusyairi. Salah seorang ulama kawakan yang memiliki spesialisasi keilmuan dalam bidang tasawwuf. Sejarah membuktikan bahwa salah satu karya al-Qusyairi ini dalam perkembangannya telah menjadi salah satu rujukan utama (prominent reference). Sejak kemunculannya, tafsir Al-Qusyairi diapresiasi lebih karena al-Qusyairi menggunakan corak isyari yang berbeda dengan kebanyak tafsir isyari  lainnya.

    Maka, berangkat dari pandangan diatas, tulisan pemakalah saat ini berusaha untuk menghadirkan kembali kajian mengenai al-Qusyairi dengan berbagai sisi kelebihan dan kekurangannya. Usaha yang bisa dilakukan adalah dengan melacak dari salah satu karyanya dalam bidang tafsir (yang monumental) yaitu Kitab Lataif Al-Isyarat. Pemakalah berharap dengan mengkaji lebih jauh, diharapkan apresiasi terhadap karya Al-Qusyairi ini dapat kembali berkembang dan bisa menjadi material compare terhadap tafsir lainnya. Semoga.

B. BIOGRAFI

  1. Silsilah Al-Qusyairi

     Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad [1] al-ustuwa’i al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syafi’i, nama kun-yahnya Abul Qasim dan bergelar Zain al-Islam , namun lebih dikenal dengan nama al-Qusyairi. Adapun beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi yaitu : pertama, An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw[2]. Kedua, al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut[3]. Ketiga, al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa[4]. Keempat, Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada madzhab Syafi’i yang didirikan oleh al-Imam Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M. Kelima, al-Qusyairi memiliki gelar kehormatan, antara lain: al-Imam, al-Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam[5], al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

          Al-Qusyairi lahir di Ustuwa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Dimana kota Ustuwa tersebut mempunyai kekayaan sejarah peradaban islam di dunia Timur yang terletak dikawasan Khurasan. Namun seperti daerah lain di kota Khurasan, pada masa-masa sebelum dan penaklukan Mongol pada abab ke-7 H/ Ke 13 M,  kota Ustuwa lenyap dan tidak meninggalkan jejak[6]. Al-Qusyairi mempunyai garis keturunan dari pihak ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil al-Sulami termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga Al-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu : al-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan al-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah. Ia meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M. Ketika beliau berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syaikh Abu Ali al-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi[7].

       Al-Qusyairi menikah dengan Fatimah, putri guru sejatinya (al-Daqaq). Dia seorang wanita berilmu dan mempunyai banyak prestasi dibidang sastra, ia merupakan seorang wanita beradab, dan termasuk ahli zuhud yang diperhitungkan di zamannya. Beliau hidup bersamanya semenjak tahun 405 H/1014 M – 412 H/1021 M dan meninggalkan enam orang putra dan seorang putri. Kesemuanya adalah ahli ibadah. Al-Qusyairi berangkat haji dengan ulama-ulama terkemuka yang sangat dihormati pada waktu itu, di antaranya adalah Syaikh Abu Muhammad Abdullah ibn Yusuf al-Juwainy, salah seorang ulama tafsir, bahasa dan fiqh.[8] Beliau termasuk orang yang pandai menunggang kuda[9].

  1. Aktivitas Pendidikan dan Keilmuan Al-Qusyairi

      Al-Qusyairi lahir sebagai yatim[10], bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.

         Keilmuan al-Qusyairi sangatlah luas dan mendalam, dan hampir semua cabang ilmu dia kuasai seperti Ushuluddin atau teologi yang mana disini ia menganut madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, untuk itu ia menulis sebuah kitab yang berjudul Syakayatu Ahli al-Sunnah Bi Hikayati Maa Naalahun Min al-Mihnah.  ilmu Fiqih: dalam cabang ini ia dikenal sebagai ahli fiqh madzhab Syafi’i. Adapaun cabang selanjutnya yang juga sangat ia kuasai adalah cabang Tasawuf yang terkenal dengan kitab karyanya yang berjudul Risalatu al-Qusyairiyyah. Selain itu al-Qusyairi juga dikenal sebagai seorang ahli hadits, ahli bahasa dan sastra, seorang mengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani, namun dunia tasawuf lebih dominan pada dirinya dan lebih populer bagi kebesarannya.

  1. Guru-guru al-Qusyairi[11]

        Selain Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisaburi al-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1). Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husin ibn Muhammad al-Azdi al-Sulami al-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang. (2). Abu Bakar Muhammad ibn al-Husain ibn Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang imam usul fiqh. (3). Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad ibn Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang fiqh dan usul fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Kepadanya beliau belajar Ushuluddin. (4). Abu Manshur aliah Abdur Qahir ibn Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, kepadanya beliau belajar madzhab Syafi’i.

  1. Karya-karya al-Qusyairi[12]

   Al-Qusyairi merupakan salah seorang ulama’ yang produktif didalam sebuah pembuatan karya, yaitu berupa kitab-kitab yang berisikan tentang kaidah tasawuf , teologi, fiqh dan lain-lain. adapun  karya-karya beliau Antara lain:

1) Lataif al-Isyarah

2) Adab al-Shufiyah

3) Al-Arba’un fi al-Hadits

4) Istifadhah al-Muradat

5) Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf

6) At-Tahbir fi Tadzkir

7) Tartib al-Suluk, fi Thariqillahi Ta’ala

8) Al-Tauhid al-Nabawi

9) At-Taisir fi ‘Ilmi al-Tafsir, dll.

C. Kitab Tafsir Lataif Al-Isyarah

  1. Sistematika kitab Lataif al-Isyarah

       Kitab tafsir yang berada ditangan penulis adalah kitab tafsir Imam Abi al Qasim Abdul Karim Ibn Hawazan Ibn Abdul Mulk al Qushayrial-Naysaburi-al-Shafi’iy, editor Abdul Latif Hasan Abdurrahman. Diterbitkan di Beirut oleh Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah pada tahun 2007, yang berjumlah tiga jilid dengan jumlah halaman -+ 700 halaman.

     Sistematika yang ditempuh oleh al-Qusyairi didalam menafsirkan kitab tafsirnya adalah dengan cara menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an sesui dengan urutan mushaf al-Qur’an resam utsmani, yaitu dimulai dari surat al-Fatihah sampai berujung pada surat al-Nas.

        Pada tiap penafsiran biasanya beliau memulai dengan penafsiran atas lafadz basmalah, baru dilanjutkan dengan penafsirannya terhadap ayat-ayat lain, tidak jarang beliau juga menafsirkan huruf – huruf muqotto’ah dan juga tiap-tiap huruf dalam satu ayat. Hal itu menunjukkan akan besar dan luasnya pengetahuan al-Qusyairi didalam memahami firman Allah tersebut.

  1. Metode Penafsiran kitab Lataif al-Isyarah

     Dalam dunia penafsiran dikenal yang namanya metode untuk digunakan seorang penulis didalam menafsirkan al-Qur’an. Secara umum metode penafsirkan terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali (Global), metode tahlili, metode muqarin, dan metode maudlu’i (tematik).[13]

     Al-Qusyairi dalam muqaddimahnya telah menuliskan metode yang beliau pakai didalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dimana  terdapat dua metode yang digunakan, yaitu pertama, dengan menukil ucapan, pendapat atau kaedah dari orang-orang shaleh yang diyakini sebagai orang suci, para aulia/kekasih Allah swt. Hal ini dapat beliau lakukan dengan cara mendengar langsung dari guru-guru beliau. Kedua, pemahaman al-Qusyairi sendiri terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan bantuan ilmu-ilmu tasawuf yang telah ia kuasai[14].

          Kitab ini berisikan isyarat-isyarat al-Qur’an dengan pemahaman ahli ma’rifat, baik dari ucapan mereka maupun kadah yang mereka buat. Imam al-Qusyairi membuat buku ini dengan keua metode tersebut, buku ini dibuat dengan gaya ringkas dan simpel agar tidak membosankan, dengan berharap kepada Allah swt.[15]

  1. Corak Penafsiran Kitab Lataif al-Isyarah

        Salah satu tolok ukur yang digunakan dalam kategorisasi tafsir adalah corak tafsir, dimana tiap-tiap mempunyai corak tersendiri yang membedakan dengan tafsir-tafsir lain. adapun yang disebut dengan corak tafsir disini adalah kecenderungan atau aliran keilmuan mufassir yang mewarnai tafsirannya.

        Merujuk pada pernyataan diatas, tafsir Lataif al-Iasyarah ini masuk dalam kategori corak sufi, karena pembahasannya banyak diwarnai oleh nuansa sufistik. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat al-Qusyairi merupakan salah seorang tokoh sufi yang sangat berpengaruh di dunia islam dan khususnya dunia sufisme, bahkan beliau juga mempunyai sebuah karya yang berisikan tentang kaedah-kaedah sufi, kitab tersebut berisikan tentang dua hal adapun yang pertama  menjelaskan tentang biografi para sufi dan mengutip beberapa perkataan mereka. yang kedua menjelaskan tentang kaedah umum tentang ilmu tasawuf[16].  Buku ini ditulis pada tahun 473 H dan diajakan kepada umat islam di nengara-negara islam saat itu. kitab ini beliau beri nama al-Risalah al-Qusyairiyyah.

  1. Karakteristik Kitab Tafsir Lataif al-Isyarah

         Setelah melakukan pembahasan terhadap kitab Lataif al-Isyarah karya al-Qusyairi ini, akahirnya penulis menemukan beberapa karakteristik yang melekat pada tafsir tersebut, adapun salah satu diantaranya adalah: pertama, kitab ini berisikan isyarat-isyarat al-Qur’an dengan pemahaman ahli ma’rifat baik dari ucapan mereka maupun kaedah-kaedah yang mereka buat. Isyarat yang dimaksudkan disini adalah pemahaman hikmah dengan cara halus, yaitu pemahaman berdasarkan hakekat, penafsiran dengan gaya seperti ini lain daripada yang lain, yaitu penafsiran yang luar biasa dari kebiasaan . dimana para mufassir selalu berpegang perangkat atau ilmu-ilmu tentang tafsir seperti Nahwu, tata bahasa dan ilmu-ilmu lain. tafsir ini hanya berdasarkan pada pengaruh dari perasaan seorang sufi dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman yang didapatkan setelah melakukan mujadalah dengan berpegang teguh pada karunia Allah swt[17].

       Kedua, kitab ini merupakan kitab yang sepenuhnya ditafsirkan dengan cara isyari, berbeda dengan tafsir Ruh al-Ma’aniy karya al-Aalusiy yang tidak semuanya ditafsirkan dengan isyari melainkan perpaduan anatar isyari dan kebahasaan[18]

          Ketiga, aliran teologi al-Qusyairi adalah Sunni yang menolak mujassimah, yaitu sebuah faham yang menjisimkan Allah dan secara tidak langsung telah menyamakan Allah swt dengan makhluk.[19]

  1. Contoh Penafsiran

           Untuk mempermudah dan memperjelas suatu pembahasan dibutuhkan suatu contoh nyata yang berkaitan dengan pembahasan tersebut. dan disini penulis memaparkan beberapa contoh yang dapat membantu pembaca didalam memahami kajian atas tafsir Lataif al-Isyarah karya al-Qusyairi ini.

          a. Penafsiran terhadap huruf-huruf Muqotto’ah[20]

Surat al-Baqarah ayat 1.

الم (1)

هذه الحروف المقطعة في أوائل السورة من المتشابِه الذي لا يعلم تأويله إلا الله – عند قوم ، ويقولون لكل كتاب سر ، وسر الله في القرآن هذه الحروف المقطعة . وعند قوم إنها مفاتح أسمائه ، فالألف من اسم ( الله ) ، واللام يدل على اسمه « اللطيف » ، والميم يدل على اسمه « المجيد » و « الملك » .

             Ini merupakan huruf muqotto’ah yang berada pada permulaan surat dan termasuk sesuatu yang mutasyabihat yang maksutnya tidak dapat diketahui kecuali Allah. Mereka para ahli hakekat berkata bahwa pada setiap kitab itu terdapat rahasia, dan rahasia Allah didalam al-Qur’an adalah huruf Muqotto’ah ini. dan menurut para ahli hakekat berpendapat bahwa huruf muqotto’ah merupakan pembuka dari nama-nama-Nya, adapun huruf “alif” berarti “Allah”, huruf “lam” menunjukkan pada nama-Nya “Latif” sedangkan huruf “Mim” menunjukkan pada nama-Nya “Majiid” dan “Mulk”

       Dalam contoh yang pertama ini sedikit banyak telah membuka cakrawala kita terhadap al-Qusyairi dan tafsirnya, yang pertama, mengenai karakteristik tafsirnya yaitu memulai setiap tafsirannya dengan penafsiran terhadap huruf-huruf muqott’ah. Kedua, dimana beliau mencoba menggunakan hakekat untuk menta’wilkan huruf-huruf muqotto’ah walaupun sebelumnya terlebih dahulu telah diberi keterangan bahwa tidak ada satupun yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah swt. Hal ini berbeda dengan kebanyakan para mufassir yang sama sekali tidak berani menyentuh maksud dari huruf-huruf muqotto’ah tersebut, sebagaimana imam Jalaluddin didalam tafsirnya Jalalain , sebagai berikut[21]:

الم

“الم” اللَّه أَعْلَم بِمُرَادِهِ بِذَلِكَ .

“Alif lam mim” “Allah lebih mengetahui maksutnya itu”

            b. Pemahaman Berdasarkan Hakekat

Surat Yusuf ayat: 19[22]

 وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ قَالَ يَا بُشْرَى هَذَا غُلَامٌ وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (19)

             Secara teks,  ayat tersebut hanya memberikan kita gambaran atas cerita nabi Yusuf as yang dibuang oleh para saudara-saudaranya kedalam sebuah sumur, lantas datang segerombolan mufassir yang hendak pergi ke kota Mesir dan berniat beristirahat sejenak untuk minum, lalu mereka menimba sumur itu dan mendapati yusuf didalam timbanya, mereka sangat senang karena anak (yusuf) tersebut nanti dapat dijual dengan harga mahal di Mesir.

          Akan tetapi berbeda dengan pemahaman yang diberikan oleh al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya. Dalam tafsirnya beliau menulis sebagai berikut:

ليس كلُّ من طلب شيئاً يُعطى مرادَه فقط بل ربما يُعْطَى فوق مأموله؛ كالسيارة كانوا يقنعون بوجود الماء فوجدوا يوسفَ عليه السلام .

ويقال ليس كل مَنْ وَجَدَ شيئاً كان كما وجده السيارة؛ توهموا أنهم وجدوا عبداً مملوكاً وكان يوسف – في الحقيقة – حُرَّاً .

ويقال لمَّا أراد اللَّهُ تعالى خلاصَ يوسف – عليه السلام – من الجُبِّ أزعج خواطر السِّيارة في قصد السفر ، وأعدمهم الماءَ حتى احتاجوا إلى الاستقاء لِيَصِلَ يوسف عليه السلام إلى الخلاص ، ولهذا قيل : ألا رّبَّ تشويشٍ يقع في العَالَم ، والمقصودُ منه سكونُ واحدٍ . كما قيل : رُبَّ ساع له قاعد

Tidak semua orang yang meminta sesuatu itu hanya mendapat sebatas harapannya saja, bahkan tidak jarang justru mendapat lebih dari itu, seperti yang terjadi pada para musaffir ini, yang sebenarnya mereka harapkan hanyalah air untuk minum, akan tetapi ternyata mendapat lebih dari itu, mendapatkan yusuf as.

Dan dikatakan juga bahwa tidak setiap sesuatu yang didapat itu sesuai dengan persepsi orang yang mendapatkannya, sebagaimana mereka para musaffir yang mendapati yusuf yang dikira seorang sahaya yang bisa mereka jual, padahal hakekatnya ia adalah seorang hamba merdeka bahkan seorang rasul.

Dan dikatakan juga bahwa ketika Allah swt menghendaki selamatnya yusuf as.dari dalam sumur, maka Allah swt menggerakkan hati para musaffir untuk bepergian, dan juga Allah swt menjadikan mereka kekurangan air minum sehingga mereka mencari sumur dimana didalamnya ada yusuf, dan ini yang menjadi penyebab selamat dan terangkatnya yusuf dari sumur, oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh para auliya’” ingatlah, mungkin saja adanya kekacauan dijagad alam ini, dan itu ternyata ada maksud untuk memberikan ketenangan bagi lainnya” dan sebagaimana telah dikatakan bahwa banyak orang berjalan tapi ternyata ia dipandu oleh orang yang duduk.”

       Pada contoh yang kedua ini dapat dilihat corak penaafsiran al-Qusyairi yang berpegang pada penafsiran isyari atau sufi, yaitu dengan mengeluarkan makna dzahir dari ayat dan memaparkan makna batin yang terkandung, tentunya menggunakan pendekatan hakekat yang telah ia kuasainya. Isyarat yang dimaksudkan disini adalah pemahaman hikmah dengan cara halus, yaitu pemahaman berdasarkan hakekat tadi.

  1. Menolak Faham Mujassimah[23]

Surat al-Baqarah ayat:19

قوله جلّ ذكره : { ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيءٍ عَلِيمٌ } .

فالأكوان بقدرته استوت ، لا أن الحق سبحانه بذاته – على مخلوق – استوى ، وأَنَّى بذلك! والأحدية والصمدية حقه وما توهموه من جواز التخصيص بمكان فمحال ما توهموه ، إذ المكان به استوى ، لا الحق سبحانه على مكانٍ بذاته استوى .

Dan adapun firman Allah swt yang artinya {“dan dia berkehendak/bersemayam menuju langit. Dan dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”} maksudnya adalah seluruh alam/makhluk ciptaannya itu yang hakikatnya bersemayam (menempati sebuah ruang) dengan qudrat-Nya dan bukan sebaliknya, Dia yang bersemayam pada makhluk ciptaa-Nya (‘arsy) karena itu tidak mungkin terjadi. karena Dia adalah dzat yang Ahad dan Shamad (tempat bergantung segala sesuatu), maka apa yang dipersepsikan oleh sebagian orang bahwa mungkin boleh bagi-Nya untuk bersemayam pada suatu tempat adalah suatu yang sangat mustahil, karena tempatlah yang bersemayam/butuh pada-Nya, bukan Dia yang membutuhkan tempat itu.

             Dari keterangan yang diberikan oleh al-Qusyairi diatas dapat memberi gambaran terhadap kita mengenai faham yang dianut oleh al-Qusyairi adalah ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah yang menolak faham mujassimah, al-Qusyairi menolak pemahaman bahwa Allah swt itu bersemayam pada sebuah ciptaan (‘Arsy), melainkan ciptaan tersebut yang bersemayam/butuh pada-Nya. [Zuliana]

[1]Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmi, 2007), hlm.3.    lihat juga di  Ma’ruf Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi,Muallif Al-Kitab, Dalam Abd Al-Karim Hawazin Al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyyah Fi Ilm Al-Tasawwuf (T.Tp: Dar Al-Khair,Tt.).hlm.5.

[2] Al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruq (jakarta :pustaka amani, 1998),hlm.10. lihat juga di Ma’ruf  Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi,Muallif Al-Kitab…,hlm.5.

[3] Ibid, hlm,5-6.

[4] Ibid, hlm, 6.

[5] Mani’ Abd Halim Mahmud (Trj), Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2006), hlm,179.

[6] Ma’ruf  Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi, Muallif Al-Kitab…,hlm.7.

[7] Ibid, hlm.8.

[8] Al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruq, hlm.7.

[9] Akbarizan,”sufism dan pendidikan”(studi tentang kitab al-risalah al-qusyairiyyah)”.tesis, program pasca sarjana, IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 1997, hlm.25.

[10] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.3

[11] Ibid.

[12] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.4. lihat juga di Ma’ruf  Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi, Muallif Al-Kitab, hlm..9. lihat juga di Al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruk..hlm,10.

[13] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 2000), hlm.13.

[14] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat…,Hlm.5.Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)”,(Malang:UIN Malang Press,2009), Hlm.80.

[15] Mani’ Abd Halim Mahmud (Trj), Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hlm.183.

[16] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat,Hlm.5. Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)” hlm.81-82.

[17] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat,Hlm.5.Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)” hlm.81-82.

[18] Kodirun, Lataif Al-Isyarat Karya Al-Qusyairi (Telaah Atas Metode Penafsiran Seorang Sufi Terhadap Alqur’an)”, Skripsi, Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin, IAIN Sunan Kaljaga, 2001, hlm70.

[19] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat,Hlm.5.Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)” hlm125.

[20] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.13

[21] Jalauddin Al-Mahalliy dan Jalaluddin al-Syuyuti, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Surabaya: Nurul Hidayah), hlm.2.

[22] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.71-72.

[23] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm. 33.

Daftar Pustaka

Abbas Arfan Baraja. 2009. Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)”. Malang:UIN Malang Press.

Akbarizan,”sufism dan pendidikan”(studi tentang kitab al-risalah al-qusyairiyyah)”.tesis,program pasca sarjana, IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 1997

Al-Mahalliy , Jalauddin dan al-Syuyuti , Jalaluddin. Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Surabaya: Nurul Hidayah.

Al-Qusyairi. 2007. Lataif Al-Isyarat. Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmi.

al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruq. 1998 .jakarta :pustaka amani.

Kodirun, Lataif Al-Isyarat Karya Al-Qusyairi (Telaah Atas Metode Penafsiran Seorang Sufi Terhadap Alqur’an)”, Skripsi, Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin,IAIN Sunan Kaljaga,2001

Mahmud , Mani’ Abd Halim (Trj).2006. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Baidan, Nasruddin. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogayakarta:Pestaka Pelajar.Cet.II.

Zuraiq , Ma’ruf  dan Hamid , Ali Abdul Baltahzi,Muallif Al-Kitab, Dalam Abd Al-Karim Hawazin Al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyyah Fi Ilm Al-Tasawwuf .T.Tp: Dar Al-Khair,