Konsep Pewahyuan al-Qur’an

Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif Konvensional

Menurut ulama konvensional terdapat beberapa tahap tentang penurunan wahyu (al-Qur’an). Adapun tahapan tersebut yaitu ada tiga tahap penurunan: Pertama, wahyu diturunkan dari lauh mahfudz menuju Baitul Izzah secara spontan (sekaligus) dalam artian tanpa adanya perantara ketika penurunan terjadi. Kedua, setelah wahyu sampai di Baitul Izzah maka dilanjutkan penurunan wahyu tersebut di Langit Dunia. Ketiga, sesudah sampai di Baitul Izzah, maka malaikat Jibril lah yang berperan sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad Saw. berdurasi selama 23 tahun. Dari pentahapan ini pun proses terjadinya secara cepat dan tersembunyi. Para ulama konvensional berpendapat bahwa lafadz dan maknanya murni dari Allah SWT. Adapun sketsa tahap penurunan tersebut sebagai berikut:

wahyu1

Telah jelas di atas bahwa tahap penurunan al-Qur’an mempunyai proses berawal dari lauh mahfudz menuju baitul izzah dalam jangka waktu satu malam (sekaligus) di bulan Ramadlan, lalu dilanjutkan dari baitul izzah ke Nabi Muhammad turun secara bertahap dengan perantara malaikat Jibril. Akan tetapi, dalam pentahapan tersebut tidak dijelaskan secara detail baik itu proeses pewahyuan dari lauh mahfudz ke baitul izzah ataupun baitul izzah ke Nabi Muhammad SAW. seperti bagaimana malaikat Jibril menerima wahyu tersebut dari Allah apakah Jibril tersebut hanya berdiam diri di baitul izzah atau sebaliknya. Prespektif ini hanya menegaskan kepada kita untuk mempunyai keimanan dalam mempercayai kejadian tersebut. Setidaknya dalam keimanan tersebut akan menumbuhkan kemantapan jika disertai dengan sebuah penelitian dan menganalisis peristiwa tersebut.

Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd

Menurut konsep yang dibangun oleh Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai perbedaan dalam tahapan turunnya al-Qur’an. Dalam konsepnya ia mempunya dua term yaitu Ilahiyah dan Insaniyah. Akan tetapi Nasr Hamid tidak membahas mengenai ruang Ilahiyah melainkan hanya ruang Insaniyah saja. Dari dua term tersebut terdapat sebuah kejadian proses pewahyuan, kemungkinan proses tersebut ilahiyah menuju insaniyah atau sebaliknya. Dari adanya proses tersebut maka timbullah suatu sinergitas antara wahyu dengan objek turunnya wahyu tersebut. Wahyu dapat menimbulkan kecocokan karena ia bisa menciptakan produsen dan produk budaya bangsa Arab pada waktu itu. Dalam proses tersebut bahwa al-Qur’an mempunyai sinergitas yang saling berkaitan yaitu antara al-Qur’an dengan bangsa Arab dan al-Qur’an dengan Nabi Muhammad Saw.

Dalam hal ini dalam digambarkan dalam skema berikut:

wahyu

 

Jikalau kita pahami pendapat di atas maka kesinergitasan tersebut berarti hanya cenderung pada bangsa Arab saja. Mungkin kelemahannya tidak menunjukkan keumumannya dalam mengkaitkan al-Qur’an selain bangsa Arab yang kebetulan ada dan berkunjung ke bangsa Arab pada waktu itu.

Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif M. Syahrur

Prespektif terakhir yaitu menurut M. Syahrur di mana juga mempunyai perbedaan dalam menyikapi konsep pewahyuan al-Qur’an dari segala asumsi yang telah dipaparkan di atas. Dalam konsepnya terdapat dua term yaitu al-Inzal dan al-Tanzil. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya proses al-inzal dan ja’l pada al-Qur’an berlangsung sekaligus. Sedangkan proses yang terjadi pada al-Tanzil yaitu secara terpisah yang berlangsung selama 23 tahun. Dalam ruang lauh mahfudz tersimpan hanya al-Qur’an saja, yang mana ia mempunyai wujud pra-eksistensi sebelum mengalami al-inzal dan al-tanzil. Oleh karena itu M. Syahrur mempunyai asumsi dengan teori transformasi wujud (al-ja’l). Untuk memperjelas teori tersebut penulis akan merancangnya sebagai berikutwahyu2

Permasalahan yang timbul dari pendapat tersebut, bagaimana mungkin Syahrur bisa mengetahui adanya transelisasi al-Qur’an tersebut. Sedangkan terjadinya transelisasi tersebut berada pada ruang ilahiyah, di mana orang-orang tidak tau dengan pasti keberadaannya kecuali orang yang dikehendaki-Nya, dan benar pendapat tersebut menggunakan teori yang ilmiah dan logis akan tetapi kebenaran yang pasti tidak akan pernah tau. Karena kita kembalikan kepada sifat manusia itu sendiri, di mana tidak semua orang mampu untuk mencapai dimensi ilahiyah tersebut, melainkan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mencapainya seperti para nabi yang Dia kehendaki.

Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif M. Arkoun

Berbeda dengan apa yang telah diungkapkan di atas mengenai konsepsi terhadap wahyu. Pada kali ini M. Arkoun mengkritik terhadap konsep wahyu yang dilatarbelakangi oleh kegelisahannya terhadap sistem epistimologi Islam. Selama berabad-abad lamanya, umat Islam menurut Arkoun mengalami problem sistem epistimologi. Persoalan mendasar ini, baginya menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam. Sistem pemikiran yang disebut Arkoun sebagai ortodoksi Islam menghambat gerak laju nalar untuk maju dalam mengejar ketertinggalannya dari barat. Menurut Arkoun konsepsi wahyu secara ortodoks dan tradisional seperti yang kini dipakai dalam ilmu keislaman, pertama Allah telah mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada umat manusia melalui para Nabi. Ia menggunakan bahasa-bahasa manusia supaya orang dapat memahaminya, tetapi Ia menyampaikan kalimat-kalimat dalam sintaksis, retorika, dan kosakata-Nya sendiri. Tugas para nabi seperti Musa, Yesus, dan Muhammad hanyalah untuk mengucapkan wacana yang dinyatakan kepada mereka oleh Allah sebagai bagian dari kalam-Nya yang tidak diciptakan, tidak terbatas, dan sama-sama abadi ini adalah teori ortodoks dalam Islam, berbeda dengan teori lawannya yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah sebelumnya, mengenai kalam Allah yang diciptakan. Wahyu yang diberikan dalam al-Qur’an melalui Muhammad adalah wahyu terakhir; ia melengkapi wahyu-wahyu terdahulu yang diberikan kepada Musa dan Yesus, dan ia memperbaiki teks yang telah diubah (tahrif) dalam Taurat dan Injil.

Teks al-Qur’an menurut Arkoun disebut sebagai teks pembentuk. Berkenaan dengan hal ini, bahwa kedudukan agung al-Qur’an sebagai al-Nas al-Mu’assis tersebut ternyata tidak secara tiba-tiba terbentuk secara transendental. Justru ada fenomena ‘pembentukan’ sebelumnya. Tradisi Islam ortodoks tidak mempedulikan kandungan mistis dalam al-Qur’an. Berangkat dari sinilah kemudian al-Qur’an menjadi semacam motor besar bagi jutaan penganutnya untuk mensahkan perilaku, penyemangat berbagai bentuk jihad, landasan berbagai aspirasi serta digunakan untuk melanggengkan jati diri madzhab atau kekuatan-kekuatan tertentu.

Dengan adanya penyalahgunaan al-Qur’an untuk kepentingan ideologi dan politik ini yang ditengarai Arkoun sebagai sumber utama lahirnya ortodoksi dan dogma agama. Masyarakat muslim tradisional menurut Arkoun tidak berdaya menangkap secara jernih pesan tersembunyi al-Qur’an, dimana ia di tanzil di dalam sebuah situasi sosial-historikal yang hidup. Pada tataran ini Arkoun menggunakan perangkat linguistik modern untuk mengkaji al-Qur’an.

Dengan pendekatan modern ini, Arkoun mempertanyakan kembali esensi wahyu sebagai Kalamullah yang suci. Ia membaca kalam Allah yang transenden dan kalam-Nya dalam tataran iman yang ia sebut sebagai “wacana wahyu”. Dengan merujuk kepada pendapat Paul Ricoeur, Arkoun membedakan tiga tingkatan wahyu. Pertama, wahyu Allah sebagai yang transenden, dengan beberapa fragmen kecil saja yang diwahyukan lewat para Nabi. Kedua, wahyu yang diturunkan secara oral melalui Nabi-Nabi Israel, Yesus dan Nabi Muhammad. Wahyu ini diwujudkan dengan berbagai bahasa, wahyu yang turun kepada para Nabi Israel menggunakan bahasa Ibrani, wahyu yang turun kepada Yesus berwujud bahasa Aramaik dan Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dalam bentuk bahasa Arab. Wahyu ini menurut Arkoun disampaikan secara lisan dalam waktu yang panjang sebelum ditulisakan. Dan yang ketiga, obyektifitas firman Tuhan berlangsung menjadi korpus tertulis dan kitab suci ini pun bisa dibaca oleh kaum beriman hanya lewat versi tertulisnya, terlindung dalam korpus yang secara resmi ditutup. Dalam konsep al-Qur’an, firman Tuhan itu diresmikan secara tertulis oleh Khalifah Ustman bin Affan.

wahyu3

 

Melanjutkan penjelasan dari skema di atas melalui komentar M. Arkoun serta kritik terhadap konsepsi pewahyuan al-Qur’an, sebagaimana pada tingkatan wahyu pertama ia disebut dengan Kitab Langit atau Ummu al-Kitab karena ia adalah sumber dari berbagai kitab suci, seperti Bibel. Manusia tidak mengetahui secara utuh dalam versi Kitab Langit tersebut kecuali orang-orang yang beriman yang bisa melakukan hal demikian. Hanya dengan melalui versi tertulis dari kitab-kitab atas naskah-naskah yang diadopsi oleh tiga komunitas agama monoteistik (Yahudi, Kristen dan Islam). Akan tetapi Arkoun berkeyakinan ada perbedaan antara edisi Langit dengan edisi yang ditransmisikan kepada para nabi. Tuhan menurunkan wahyunya ke bumi dalam bentuk bahasa manusia, yang tentu berbeda dengan esensi dengan yang di Lauh al-Mahfudz.

Kemudian pada tingkatan wahyu kedua menurut Arkoun wahyu yang telah diturunkan kepada mereka para nabi seperti Nabi Musa, Isa, dan Nabi Muhammad adalah sebagai tugas mereka menyampaikan sebuah wacana yang diwahukan kepada mereka sebagai bagian dari ucapan-ucapan-Nya yang tidak diciptakan, tidak terbatas dan koeternal.

Dari pernyataan tersebut secara jelas, Arkoun menyebut al-Qur’an atau kitab-kitab lainnya adalah wacana firman Tuhan. Ia menggunakan term yang dipakai Foucault, yaitu discourse (wacana). Jika al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah wacana, maka ia termasuk produk historis, yang dalam istilah Nasr Hamid Abu Zayd adalah muntaj tsaqafi (produk budaya).  Oleh sebab itu, oleh Arkoun, wahyu dalam tataran ini telah tereduksi, ia tidak mengungkapkan seluruh kata-kata Tuhan sebagaimana tercantum dalam Ummu al-Kitab di Lauh al-Mahfudz. Wacana firman Tuhan ini dihasilkan dan berdasarkan Kitab dalam Kitab Langit dimana wacana itu berkaitan dengan bahasa manusia. Meskipun kitab agama Yahudi, Kristen dan Islam bersumber dari wahyu yang satu yang transenden tadi, masing-masing agama memiliki persepesi teologis yang berbeda-beda. Kristen menolak asimilasi Taurat atau al-Qur’an dengan Yesus Kristus, seperti juga kaum muslim menolak untuk mencampurkan status Ilahiyah dan status manusiawi. Konsep Yesus sebagai Firman Tuhan juga ditolak oleh kaum muslimin. Perbedaan anggapan ini menurut Arkoun dikarenakan oleh angan-angan (imaginaire) keagaamaan dalam tiap komunitas agama tersebut yang berbeda.

Pada tingkatan ketiga wahyu pada tataran ini, sudah banyak yang tereduksi oleh prosedur-prosedut manusiawi. Inilah bentuk fisik wahyu, yang terkondisikan oleh kreasi manusia yang tidak sempurna. Menurut Arkoun, saat ini melalui wahyu bentuk mushaf inilah manusia dapat mengakses langsung ujaran Tuhan yang transenden. Wahyu pada mulanya berbentuk ujaran lisan pada masa kenabian kemudian ditulis di atas perkamen atau kertas yang dijadikan buku. Buku ini disebut oleh pengikutnya “Kitab Suci”.

Tubuh Mushaf ini menurut Arkoun yaitu sebagai fakta historis dan budaya. Sehingga ia memiliki beberapa implikasi yaitu, wacana Qur’an yang bersifat lisan ditransformasi menjadi teks, yang semula oral menjadi tekstual. Sifat suci teks meluas kepada wadah fisiknya, yaitu buku tempat wacana Qur’an dituliskan. Kitab sebagai instrumen budaya menjadi dasar perubahan sosial, yaitu dominasi budaya tertulis atas budaya lisan. Dominasi tersebut berhubungan dengan penguasa, sebagai aktor pengarsip resmi, dan ulama sebagai penafsirnya. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam proses transformasi dari wahyu oral menjadi wahyu tulisan itu terkait dengan kepentingan kekuasan, yakni pada pemerintahan Ustman bin Affan.

Dapat ditarik kesimpulan pada uraian di atas bahwa Mohammed Arkoun mencoba menggunakan pendekatan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun mengutip teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu. Pertama, Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.

Mohammed Arkoun juga membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurutnya, dalam periode kenabian, al-Qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat bahwa, status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf  itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.

 

Red: Sabiq Basyiri

Kodifikasi al-Qur’an

ulqum3

 

Latar Belakang Jam’ul Qur’an

Pada saat perang Yamamah ada sekitar 1200 orang yang gugur, di dalam jumlah itu terdapat 70 orang penghafal al-Qur’an, ternyata hanya ditemukan sejumlah kecil nama yang mungkin menghafal banyak bagian al-Qur’an, dan ternyata bukan disebabkan karena perang Yamamah atau orang-orang yang gugur di dalamnya, melainkan karena al-Qur’an yang akan semakin hilang dalam hafalan orang-orang, yang pada saat itu kebetulan gugur pada perang Yamamah, yang terjadi pada bulan ke-3 tahun ke-11 H.

Lahjah atau perbedaan dialek pada ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan yang dipimpin oleh Hudzaifah melaporkan kepada Utsman. Melaporkan bahwa, ia cemas oleh pertengkaran penduduk Siria dan Irak tentang perbedaan bacaan al-Qur’an. Hal ini dikhawatirkan akan adanya pertikaian yang timbul sebagaimana telah terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani mengenai kitabnya. Maka ia meminta Utsman yang berkedudukan sebagai khalifah untuk segera mengambil tindakan dalam menangani masalah ini.

Kanonisasi Pertama

Pengumpulan al-Qur’an oleh Zaid yang pertama atas perintah dari Abu Bakar. Zaid menggunakan metode, menerima hafalan dari para sahabat dengan disertai dua saksi sebagai acuan apakah ayat itu murni dari Nabi atau hanya karangan. Ia juga menggunakan metode ilmiah yang dilakukannya dengan cermat. Dari Ari al-Bahr yakni tentang bacaan Umar bin Khattab wa assabiquna al-awwaluna min al-muhajirin wa al-anshar al-ladzina ittaba’uhum, tanpa huruf sambung “wa”. Kemudian Zaid meyakinkan Umar, bahwa ayat itu menggunakan huruf sambung “wa”, serta tiga bukti yang dikemukakan dari ayat lain, untuk menguatkan argumen tersebut.

Zaid bin Tsabit yang dipercaya untuk melakukan tugas berat ini, karena mereka menganggap bacaan Zaid yang lebih tepat untuk hal ini. Sebab, bacaan Zaid sesuai dengan pertemuan terakhir Rasul dengan Jibril. Hafalan orang yang mendengar bacaan al-Qur’an pada pertemuan terakhir itu mereka anggap lebih baik daripada mereka yang mendengarnya pada pertemuan pertama. Karena itu, mereka memilih Zaid untuk melakukan tugas berat ini, bukan Ubai bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud, meskipun semua bacaan mereka benar. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Haikal.

Penyimpanan Mushaf

Perjalan historis penyusunan al-Qur’an selanjutnya dari tangan Umar berpindah ke Hafsah sebagai warisan, yang menunjukkan karakter personalnya. Suatu mushaf resmi yang pengumpulannya diotorisasi Aisyah tentunya tidak logis jika jatuh ke kepemilikan pribadi Hafsah, sekalipun ia merupakan putri khalifah Umar dan janda Nabi. Kenyataan bahwa Hafsah memiliki sebuah mushaf al-Qur’an dari pengumpulan Abu Bakar yang telah mendasarkan kanonnya naskah Utsman bin Affan. Tetapi sebagaimana ditunjukkan mushaf di tangan Hafsah lebih memiliki karakter personal, bukan kumpulan resmi. Dari laporan semacam itu, dipastikan naskah Hafsah tidak memadai sebagai basis utama kodifikasi Utsman, tetapi ini tidak meniadakan kemungkinan penggunaannya (bukan sebagai sumber utama) bersama dengan naskah-naskah lainnya dalam upaya pengumpulan tersebut.

Pengumpulan Kedua Zaid bin Tsabit

Komisi bentukan Utsman yang dimotori oleh Zaid bin Tsabit, telah mengumpulkan al-Qur’an dari berbagai sumber dan penyalinananya ke dalam mushaf-mushaf yang kemudian disebarkan ke berbagai kota metropolitan pada masa itu. Pengumpulan ini berdasarkan keterkaitannya dengan ekspedisi ke Armenia dan Azerbaijan pada 30 H. Dilakukan sekitar tahun tersebut hingga menjelang terbunuhnya Utsman pada 35 H, yang merupakan upaya untuk penyeragaman atau standarisasi teks dan bacaan al-Qur’an, latar belakang pembedaan bacaan yang mengakibatkan pengambilan keputusan ini.

Identitas Zaid bin Tsabit

Zaid bin Tsabit merupakan kaum Anshor yang sewaktu mudanya aktif sebagai sekretaris Nabi dan mencatat wahyu-wahyu al Qur’an, juga terlibat dalam pengumpulan al-Qur’an pada zaman pemerintahan Abu Bakar. Pada masa khalifah ketiga ia menduduki jabatan penting, di antaranya sebagai kodi dan pengurus baitul mal. Dalam hal politik, merupakan pendukung setia Utsman bahkan setelah terbunuhnya Utsman ia berpihak kepada Umayyah dan menolak sumpah setia kepada Ali. Zaid wafat pada tahun 45 H.

Utsman mempercayakan kepada dua belas orang untuk melaksanakan tugas ini dengan diketuai oleh Zaid bin Tsabit, karena pada usianya yang tergolong muda, memerankan kemampuannya yang cekatan, berinteligensi tinggi, telah berpengalaman dalam hal penulisan, loyal terhadap khalifah, bagi Utsman jelas menjadi pilihan yang lebih baik dari pada seorang pejabat senior yang keras kepala. Sebelas anggota yang lain adalah sa’ad bin al-Ash, Nafi bin Zubair bin Amr bin Naufal, yang lainnya yaitu Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin az-Zubair, Abdu Rahman bin Hisyam, dan Katsir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amr bin Ash.

Utsman menyiapkan salinan-salinan mushaf independen berdasarkan keseluruhan pada sumber-sumber primer termasuk tulisan-tulisan sahabat. Sebagai perbandingannya, Utsman meminjam mushaf Aisyah lalu memerintahkan Zaid untuk membetulkan beberapa kesalahan yang kemudian ditashih sebagaimana mestinya. Kemudian Utsman membandingkan lagi dengan mushaf yang disimpan pada Hafsah. Setelah diverifikasi dan dicek dengan shuhuf yang dari Hafsah, kemudian dibacakan di depan para sahabat dan khalifah Utsman, dengan selesainya pembacaan itu, duplikat naskah mushaf disebarluaskan ke seluruh wilayah negara Islam.

Mushaf Yang Disahkan

Berapakah banyak naskah yang telah disebarkan oleh Utsman? Menurut beberapa laporan, ada lima yaitu Makkah, Kufah, Basrah, Suriah, Madinah dan satu Mushaf induk yang dipegang oleh Utsman sendiri. Dalam penyebarannya. Utsman mengirim pembaca (qari’) bersama mushaf yang dikirimkan. Namun perlu diketahui, tiada naskah yang dikirim tanpa seorang qari’. Ini termasuk Zaid bin Tsabit ke Madinah, Abdullah bin as-Sa’ib ke Mekkah, al-Mughira bin Sihab ke Suriah, Amir bin Abd Qais ke Basrah, dan Abdurahman as-Sulami ke Kufah.

Abu Darda’ menyampaikan penemuannya tentang adanya perbedaan dalam mushaf Makkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Suriah dan naskah induk mushaf Utsmani. Perbedaan itu melibatkan satu huruf seperti, waw, fa’, alif , kecuali adanya huwa dalam satu ayat yang artinya tidak terpengaruhi. Perbedaan ini tidak lebih dari empat puluh huruf terpisah di seluruh mushaf enam ini. Maka salah satu alternatif adalah menempatkan salah satu dari bacaan itu ditepi untuk menunjukkan ayat yang kurang autentik dengan menempatkan bacaan-bacaan itu pada naskah yang berbeda, maka dia mengakomodasikannya berdasarkan persamaan istilah.

Red: Hazza Nur Kholis

Tentang Fawatih dan Khawatim as-Suwar

Fawatih as-Suwar

            Fawatih as-Suwar terdiri dari dua kata, fawatih dan as-suwar. Kata fawatih berasal dari kata fataha yang mempunyai makna buka dan kata as-suwar yang bermakna surat. Secara istilah fawatih as-suwar berarti ilmu-ilmu yang mengkaji tentang huruf, kata, dan kalimat yang berada pada permulaan surah dalam al-Qur’an. Secara singkatnya merupakan ayat-ayat yang mengawali sebuah surat dan bahwa semua surat memilki fawatih as-suwar. Syhibbuddin Abu Syamah mengklasifikasikan fawatihus as-suwar menjadi sepuluh:

Untitled

tapi dalam proses membahas fawatih as-suwar, para ulama dan para peneliti lebih membahas kepada huruf tahajji, dalam pembahasannya nanti penulis akan memberikan beragam paradigma yang selama ini berkembang dalam memahami fawatih as-suwar.

Pandangan Intelek Muslim Terhadap Fawatih as-Suwar

ulqum

Ada dua interpretasi yang berkembang dalam memahami fawatih as-suwar, interpretasi mistik dan interpretasi nyata. Interpretasi mistik yakni teks yang ditempatkan di bawah aspek yang hanya diketahui oleh Allah. Secara tersurat teks-teks tersebut menunjukkan pengetahuan tentang beberapa aspek yang tidak diketahui manusia, seperti kiamat, turunnya hujan, dan apa yang ada di dalam rahim dan roh, hanya monopoli pengetahuan Tuhan

Orang-orang Yahudi berusaha menafsirkan huruf-huruf tersebut berdasarkan penafsiran dan angka-angka. Mereka menganggap bahwa angka-angka itu akan menyingakap berapa lama dominasi dan hegemoni secara politis. Interpretasi semacam ini rupanya dijadikan pegangan oleh kebanykan ulama salaf dalam menyingkap keberlangsungan dunia atau alam. Seperti as-Suhaily orang yang menjumlahkan huruf-huruf penggalan di permulaan surat seperti setelah huruf yang diulang-ulang (di hitung satu). Kemudian interpretasi tersebut dibantah oleh Ibn Khaldun, ia mengajukan dua alasan. Pertama, bahwa huruf-huruf itu dimaknai dengan “angka”, tidak natural, dan rasional. Pemaknaan tersebut bersifat urfiyah (konvensi) dan arbitrer. Kedua, orang Yahudi yang memaknai seperti itu orang yang tak berpelajar dan buta huruf. Berbeda lagi dengan Ibn Abbas, ia mengaitkan huruf-huruf tersebut dengan nama dan sifat Allah atau bisa jadi huruf-huruf pembuka pada setiap surat tersebut merupakan singkatan. Kemudian interpretasi Ibn Abbas dikembangkan di kalangan Syiah dan Sufi.

Interpretasi yang hadir adalah huruf-huruf tersebut sebagai kenyataan yang tidak memiliki makna dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai bagian dari sistem bahasa yang menjadi sandaran teks. Dalam penginterpretasian ini, seluruh fenomena adalah bunyi, yaitu, hams, jahr, syiddah, rakhawha, infitah, dan ithbaq. Para ahli bahasa Arab mengklasifikasikan huruf-huruf tersebut atas dasar menetapkan aspek-aspeknya. Yakni mahmusah dan majhurah. Pembagian lain dilakukan oleh ahli bahasa, bahwa huruf-huruf tersebut dibagi menjadi dua, yakni, huruf halq dan huruf bukan halq. Selain itu ada yang membagi menjadi dua bagian, gahiru syiddah, dan huruf-huruf syiddah.

Ada interpretasai lain yang berusaha memasukkan makna lain menganai huruf tersebut, yakni huruf itu dianggap sebagai nama bagi surat yang diawali oleh huruf tersebut. Namun legalitas ini tidak didukung oleh banyaknya surat yang diawali oleh huruf mutasyabihat. Proses pengklafisikasian yang sangat panjang ini menunjukan bahwa posisi huruf-huruf tersebut yang setelah memakan waktu panjang menjadi konvensi, dapat terjadi hanya karena berasal dari Allah sebab hal-hal semacam itu, termasuk dalam kategori masalah yang gaib.

Banyaknya interpretasi di atas menunjukan ambiguitas yang mempertegas perbedaan antara al-Qur’an dengan teks-teks lain. Fenomena tersebut menunjukkan ambiguitas semantik yang dapat dijelaskan dan diungkap oleh teks lain. Demikanlah teks membedakan antara dirinya dengan teks –teks lainnya pada satu sisi, dan membedakan antara bagian-bagiannya pada sisi lain.

Ulama ahli tajwid berpendapat al-Qur’an itu dibagi menjadi dua wajah. Pertama, musammayat al-huruf, yakni yang dinamai huruf. Huruf tidak bisa memberi makna jika hanya sebuah huruf saja, karena faktanya huruf dalam al-Qur’an dibaca bukan hanya dengan namanya saja, di sinilah fungsi harokat. Orang mengerti kata كتبbukan dibaca hanya denngan nama hurufnya saja, melainkan karena tanda bacanya. Yang dimaksud di sini adalah suatu hruf yang telah menjadi kata atau suatu ayat pada umumnya, Seperti: اوكالذي مرّعلى قرية….الى اخره . Kedua, asma’ al-huruf yakni nama huruf yang dimaksud di sini adalah huruf muqotho’ah, seperti: ا, ل, ر dan lain-lain. Huruf muqotho’ah tersebut disimpulkan dalam صلح سحيرامن قطعك terklasifikasi menjadi empat, dibaca yang sesuai dengan mad,

  1. Dibaca satu alif : حتّى طهر (hatta thohuro)
  2. Dibaca fathah dan ditengahi ya’ : ع (عين) (‘ain)
  3. Dibaca satu harakat : ا (alif)
  4. Dibaca tiga alif : ص, ل, س, م, ن, ق, ك

 

Perkembangan Pemahaman Sarjana Barat Dalam Memahami fawatih as-suwarulqum2

Theodore Noldeke dapat dipandang sebagai sarjana Barat pertama yang mengajukan spekulatif tentang huruf-huruf misterius di dalam al-Qur’an. Dirinya mengembangkan gagasan klasik kaum muslim tentangnya sebagai singkatan, Noldeke mengajukan beberapa alternatif tentang kepanjangan huruf-huruf itu sebagai nama pemilik naskah. Jadi (a-l-r) menurutnya, mungkin merupakan inisial dari al-Zubayr, dll. Pendapat dari Noldeke ini mendapat sambutan yang bagus. Belakangan Hirschfeld, murid Noldeke berupaya mempertahankan dan mengembangkan asumsi-asumsi gurunya tentang huruf-huruf tersebut sebagai inisial. Pandangan dari Noldeke dan muridnya mempunyai kelemahan yag sama. Dalam pengembangannya Noldeke mengalami perubahan radikal dalam gagasannya, yang setidaknya terpengaruh dari O’loth, bahwa ia berpijak pada gagasan klasik Islam ini, ia mengemukakan dugaan bahwa monogram-monogram lainnya juga memberi petunjuk kepada “slogan-slogan tertentu” al-Qur’an. Noldeke mengatakan bahwa Muhammad hendak mengungkapkan petunjuk mistis terhadap teks langit yang asli. Dengan kata lain, huruf-huruf tersebut merupakan simbol-simbol mistik atau tiruan dari tulisan kitab samawi yang disampaikan kepada Nabi.

Dalam perkembangannya gagasan O’loth ditolak dengan tegas oleh Friedrich, yang menjadi murid Noldeke sendiri. Ia mengatakan bahwa huruf misterius sebagai singkatan terlalu bersifat arbitrer. Sekalipun mengkritik argumen utama O’loth, Friedrich juga memamandang sarjana tersebut benar dalam pengamatannya bahwa hampir pada setiap bagian permulaan surat-surat yang diawali dengan fawatih selalu terdapat penunjukan kepada kandungannya sebagai kalam ilahi yang diwahyukan. Perkembangan terakhir di Barat justru telah mengarah kepada pengakuan kepada fawatih merupakan bagian dari wahyu ilahi.

              Penggalan huruf di awal surat merupakan salah satu aspek makna yang tersurat dan yang tersirat. Yang tersurat dalam kaitannya dengan huruf yang terpenggal tidak memberikan makna, maksudnya tidak mempunyai pengertian secara langsung. Hal ini dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat mutasyabih yang hanya diketahui oleh Allah. Banyak teks yang hanya diketahui oleh Allah. Secara tersurat, teks itu tidak dapat diketahui oleh manusia, seperti kiamat, turunnya hujan, apa yang ada di dalam roh dan rahim, hal itu hanya monopoli pengetahuan Tuhan. Pengetahuan tentang huruf-huruf penggalan dan ayat-ayat mutasyabihat hanya dimiliki oleh Allah. Manusia tidak berhak mentakwilkannya.

Khawatim as-Suwar

               Khawatim merupakan bentuk jamak dari kata khatimah, yang berarti penutup atau penghabisan. Secara bahasa, khawatim as-suwar berarti penutup surat-surat al-Qur’an. Menurut istilah khawatim as-suwar adalah ungkapan yang menjadi penutup dari surat-surat al-Qur’an yang memberi isyarat berakhirnya pembicaraan sehingga merangsang untuk mengetahui hal-hal yang dibicarakan sesudahnya. Adapun khawatim as-suwar (penutup surat) ialah istilah untuk akhir kata atau kalimat yang mengakhiri suatu surat dalam al-Qur’an. Seperti halnya fawatih as-suwar, penutup surat inipun memiliki nilai keindahan karena merupakan kata akhir yang didengar oleh pendengar sehingga membekas dalam hatinya dan memberikan kesan yang mendalam.

Contoh penerapannya misalnya: Rincian permohonan di akhir surat al-Fatihah. Doa di dua ayat terakhir surat al-Baqarah, wasiat di akhir surat Ali Imran, wasiat dan faraidl di akhir surat an-Nisa’, pengagungan kepada Allah yang mengakhiri surat al-Maidah (لله ملك السموا ت والارض وما فيهن), janji dan ancaman yang tertera di akhir surat al-An’am (ان ر بك سريع العقاب), memelihara ibadah di akhir surat al-A’raf , himbauan jihad dan silaturahmi di akhir al-Anfal, sifat dan pujian kepada Rasulullah serta tahlil di akhir surat at-Taubah, hiburan kepada Rasulullah di akhir surat Yunus dan Hud, sifat dan pujian kepada al-Qur’an di akhir surat Yusuf, penolakan terhadap orang yang mendustai Rasul di akhir surat ar-Ra’du, pujian dan faidah al-Qur’an, serta dalil tentang keesaan Allah di akhir surat Ibrahim, wasiat al-Qur’an kepada Rasulullah di akhir surat al-Hijr, pujian kepada Nabi karena thuma’ninahnya dan janji Allah di akhir an-Nahl, pujian di akhir surat al-Isra, perintah Tauhid di akhir surat Kahfi, dan yang lainnya yang masing-masing memiliki rahasia.

Red: Siti Amilatus Solikhah