Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif Konvensional
Menurut ulama konvensional terdapat beberapa tahap tentang penurunan wahyu (al-Qur’an). Adapun tahapan tersebut yaitu ada tiga tahap penurunan: Pertama, wahyu diturunkan dari lauh mahfudz menuju Baitul Izzah secara spontan (sekaligus) dalam artian tanpa adanya perantara ketika penurunan terjadi. Kedua, setelah wahyu sampai di Baitul Izzah maka dilanjutkan penurunan wahyu tersebut di Langit Dunia. Ketiga, sesudah sampai di Baitul Izzah, maka malaikat Jibril lah yang berperan sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu tersebut kepada Nabi Muhammad Saw. berdurasi selama 23 tahun. Dari pentahapan ini pun proses terjadinya secara cepat dan tersembunyi. Para ulama konvensional berpendapat bahwa lafadz dan maknanya murni dari Allah SWT. Adapun sketsa tahap penurunan tersebut sebagai berikut:
Telah jelas di atas bahwa tahap penurunan al-Qur’an mempunyai proses berawal dari lauh mahfudz menuju baitul izzah dalam jangka waktu satu malam (sekaligus) di bulan Ramadlan, lalu dilanjutkan dari baitul izzah ke Nabi Muhammad turun secara bertahap dengan perantara malaikat Jibril. Akan tetapi, dalam pentahapan tersebut tidak dijelaskan secara detail baik itu proeses pewahyuan dari lauh mahfudz ke baitul izzah ataupun baitul izzah ke Nabi Muhammad SAW. seperti bagaimana malaikat Jibril menerima wahyu tersebut dari Allah apakah Jibril tersebut hanya berdiam diri di baitul izzah atau sebaliknya. Prespektif ini hanya menegaskan kepada kita untuk mempunyai keimanan dalam mempercayai kejadian tersebut. Setidaknya dalam keimanan tersebut akan menumbuhkan kemantapan jika disertai dengan sebuah penelitian dan menganalisis peristiwa tersebut.
Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif Nasr Hamid Abu Zayd
Menurut konsep yang dibangun oleh Nasr Hamid Abu Zayd mempunyai perbedaan dalam tahapan turunnya al-Qur’an. Dalam konsepnya ia mempunya dua term yaitu Ilahiyah dan Insaniyah. Akan tetapi Nasr Hamid tidak membahas mengenai ruang Ilahiyah melainkan hanya ruang Insaniyah saja. Dari dua term tersebut terdapat sebuah kejadian proses pewahyuan, kemungkinan proses tersebut ilahiyah menuju insaniyah atau sebaliknya. Dari adanya proses tersebut maka timbullah suatu sinergitas antara wahyu dengan objek turunnya wahyu tersebut. Wahyu dapat menimbulkan kecocokan karena ia bisa menciptakan produsen dan produk budaya bangsa Arab pada waktu itu. Dalam proses tersebut bahwa al-Qur’an mempunyai sinergitas yang saling berkaitan yaitu antara al-Qur’an dengan bangsa Arab dan al-Qur’an dengan Nabi Muhammad Saw.
Dalam hal ini dalam digambarkan dalam skema berikut:
Jikalau kita pahami pendapat di atas maka kesinergitasan tersebut berarti hanya cenderung pada bangsa Arab saja. Mungkin kelemahannya tidak menunjukkan keumumannya dalam mengkaitkan al-Qur’an selain bangsa Arab yang kebetulan ada dan berkunjung ke bangsa Arab pada waktu itu.
Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif M. Syahrur
Prespektif terakhir yaitu menurut M. Syahrur di mana juga mempunyai perbedaan dalam menyikapi konsep pewahyuan al-Qur’an dari segala asumsi yang telah dipaparkan di atas. Dalam konsepnya terdapat dua term yaitu al-Inzal dan al-Tanzil. Ia menyatakan bahwa sesungguhnya proses al-inzal dan ja’l pada al-Qur’an berlangsung sekaligus. Sedangkan proses yang terjadi pada al-Tanzil yaitu secara terpisah yang berlangsung selama 23 tahun. Dalam ruang lauh mahfudz tersimpan hanya al-Qur’an saja, yang mana ia mempunyai wujud pra-eksistensi sebelum mengalami al-inzal dan al-tanzil. Oleh karena itu M. Syahrur mempunyai asumsi dengan teori transformasi wujud (al-ja’l). Untuk memperjelas teori tersebut penulis akan merancangnya sebagai berikut
Permasalahan yang timbul dari pendapat tersebut, bagaimana mungkin Syahrur bisa mengetahui adanya transelisasi al-Qur’an tersebut. Sedangkan terjadinya transelisasi tersebut berada pada ruang ilahiyah, di mana orang-orang tidak tau dengan pasti keberadaannya kecuali orang yang dikehendaki-Nya, dan benar pendapat tersebut menggunakan teori yang ilmiah dan logis akan tetapi kebenaran yang pasti tidak akan pernah tau. Karena kita kembalikan kepada sifat manusia itu sendiri, di mana tidak semua orang mampu untuk mencapai dimensi ilahiyah tersebut, melainkan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mencapainya seperti para nabi yang Dia kehendaki.
Konsep Pewahyuan al-Qur’an Perspektif M. Arkoun
Berbeda dengan apa yang telah diungkapkan di atas mengenai konsepsi terhadap wahyu. Pada kali ini M. Arkoun mengkritik terhadap konsep wahyu yang dilatarbelakangi oleh kegelisahannya terhadap sistem epistimologi Islam. Selama berabad-abad lamanya, umat Islam menurut Arkoun mengalami problem sistem epistimologi. Persoalan mendasar ini, baginya menjadi faktor utama keterbelakangan dunia Islam. Sistem pemikiran yang disebut Arkoun sebagai ortodoksi Islam menghambat gerak laju nalar untuk maju dalam mengejar ketertinggalannya dari barat. Menurut Arkoun konsepsi wahyu secara ortodoks dan tradisional seperti yang kini dipakai dalam ilmu keislaman, pertama Allah telah mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada umat manusia melalui para Nabi. Ia menggunakan bahasa-bahasa manusia supaya orang dapat memahaminya, tetapi Ia menyampaikan kalimat-kalimat dalam sintaksis, retorika, dan kosakata-Nya sendiri. Tugas para nabi seperti Musa, Yesus, dan Muhammad hanyalah untuk mengucapkan wacana yang dinyatakan kepada mereka oleh Allah sebagai bagian dari kalam-Nya yang tidak diciptakan, tidak terbatas, dan sama-sama abadi ini adalah teori ortodoks dalam Islam, berbeda dengan teori lawannya yang dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah sebelumnya, mengenai kalam Allah yang diciptakan. Wahyu yang diberikan dalam al-Qur’an melalui Muhammad adalah wahyu terakhir; ia melengkapi wahyu-wahyu terdahulu yang diberikan kepada Musa dan Yesus, dan ia memperbaiki teks yang telah diubah (tahrif) dalam Taurat dan Injil.
Teks al-Qur’an menurut Arkoun disebut sebagai teks pembentuk. Berkenaan dengan hal ini, bahwa kedudukan agung al-Qur’an sebagai al-Nas al-Mu’assis tersebut ternyata tidak secara tiba-tiba terbentuk secara transendental. Justru ada fenomena ‘pembentukan’ sebelumnya. Tradisi Islam ortodoks tidak mempedulikan kandungan mistis dalam al-Qur’an. Berangkat dari sinilah kemudian al-Qur’an menjadi semacam motor besar bagi jutaan penganutnya untuk mensahkan perilaku, penyemangat berbagai bentuk jihad, landasan berbagai aspirasi serta digunakan untuk melanggengkan jati diri madzhab atau kekuatan-kekuatan tertentu.
Dengan adanya penyalahgunaan al-Qur’an untuk kepentingan ideologi dan politik ini yang ditengarai Arkoun sebagai sumber utama lahirnya ortodoksi dan dogma agama. Masyarakat muslim tradisional menurut Arkoun tidak berdaya menangkap secara jernih pesan tersembunyi al-Qur’an, dimana ia di tanzil di dalam sebuah situasi sosial-historikal yang hidup. Pada tataran ini Arkoun menggunakan perangkat linguistik modern untuk mengkaji al-Qur’an.
Dengan pendekatan modern ini, Arkoun mempertanyakan kembali esensi wahyu sebagai Kalamullah yang suci. Ia membaca kalam Allah yang transenden dan kalam-Nya dalam tataran iman yang ia sebut sebagai “wacana wahyu”. Dengan merujuk kepada pendapat Paul Ricoeur, Arkoun membedakan tiga tingkatan wahyu. Pertama, wahyu Allah sebagai yang transenden, dengan beberapa fragmen kecil saja yang diwahyukan lewat para Nabi. Kedua, wahyu yang diturunkan secara oral melalui Nabi-Nabi Israel, Yesus dan Nabi Muhammad. Wahyu ini diwujudkan dengan berbagai bahasa, wahyu yang turun kepada para Nabi Israel menggunakan bahasa Ibrani, wahyu yang turun kepada Yesus berwujud bahasa Aramaik dan Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu dalam bentuk bahasa Arab. Wahyu ini menurut Arkoun disampaikan secara lisan dalam waktu yang panjang sebelum ditulisakan. Dan yang ketiga, obyektifitas firman Tuhan berlangsung menjadi korpus tertulis dan kitab suci ini pun bisa dibaca oleh kaum beriman hanya lewat versi tertulisnya, terlindung dalam korpus yang secara resmi ditutup. Dalam konsep al-Qur’an, firman Tuhan itu diresmikan secara tertulis oleh Khalifah Ustman bin Affan.
Melanjutkan penjelasan dari skema di atas melalui komentar M. Arkoun serta kritik terhadap konsepsi pewahyuan al-Qur’an, sebagaimana pada tingkatan wahyu pertama ia disebut dengan Kitab Langit atau Ummu al-Kitab karena ia adalah sumber dari berbagai kitab suci, seperti Bibel. Manusia tidak mengetahui secara utuh dalam versi Kitab Langit tersebut kecuali orang-orang yang beriman yang bisa melakukan hal demikian. Hanya dengan melalui versi tertulis dari kitab-kitab atas naskah-naskah yang diadopsi oleh tiga komunitas agama monoteistik (Yahudi, Kristen dan Islam). Akan tetapi Arkoun berkeyakinan ada perbedaan antara edisi Langit dengan edisi yang ditransmisikan kepada para nabi. Tuhan menurunkan wahyunya ke bumi dalam bentuk bahasa manusia, yang tentu berbeda dengan esensi dengan yang di Lauh al-Mahfudz.
Kemudian pada tingkatan wahyu kedua menurut Arkoun wahyu yang telah diturunkan kepada mereka para nabi seperti Nabi Musa, Isa, dan Nabi Muhammad adalah sebagai tugas mereka menyampaikan sebuah wacana yang diwahukan kepada mereka sebagai bagian dari ucapan-ucapan-Nya yang tidak diciptakan, tidak terbatas dan koeternal.
Dari pernyataan tersebut secara jelas, Arkoun menyebut al-Qur’an atau kitab-kitab lainnya adalah wacana firman Tuhan. Ia menggunakan term yang dipakai Foucault, yaitu discourse (wacana). Jika al-Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad SAW adalah wacana, maka ia termasuk produk historis, yang dalam istilah Nasr Hamid Abu Zayd adalah muntaj tsaqafi (produk budaya). Oleh sebab itu, oleh Arkoun, wahyu dalam tataran ini telah tereduksi, ia tidak mengungkapkan seluruh kata-kata Tuhan sebagaimana tercantum dalam Ummu al-Kitab di Lauh al-Mahfudz. Wacana firman Tuhan ini dihasilkan dan berdasarkan Kitab dalam Kitab Langit dimana wacana itu berkaitan dengan bahasa manusia. Meskipun kitab agama Yahudi, Kristen dan Islam bersumber dari wahyu yang satu yang transenden tadi, masing-masing agama memiliki persepesi teologis yang berbeda-beda. Kristen menolak asimilasi Taurat atau al-Qur’an dengan Yesus Kristus, seperti juga kaum muslim menolak untuk mencampurkan status Ilahiyah dan status manusiawi. Konsep Yesus sebagai Firman Tuhan juga ditolak oleh kaum muslimin. Perbedaan anggapan ini menurut Arkoun dikarenakan oleh angan-angan (imaginaire) keagaamaan dalam tiap komunitas agama tersebut yang berbeda.
Pada tingkatan ketiga wahyu pada tataran ini, sudah banyak yang tereduksi oleh prosedur-prosedut manusiawi. Inilah bentuk fisik wahyu, yang terkondisikan oleh kreasi manusia yang tidak sempurna. Menurut Arkoun, saat ini melalui wahyu bentuk mushaf inilah manusia dapat mengakses langsung ujaran Tuhan yang transenden. Wahyu pada mulanya berbentuk ujaran lisan pada masa kenabian kemudian ditulis di atas perkamen atau kertas yang dijadikan buku. Buku ini disebut oleh pengikutnya “Kitab Suci”.
Tubuh Mushaf ini menurut Arkoun yaitu sebagai fakta historis dan budaya. Sehingga ia memiliki beberapa implikasi yaitu, wacana Qur’an yang bersifat lisan ditransformasi menjadi teks, yang semula oral menjadi tekstual. Sifat suci teks meluas kepada wadah fisiknya, yaitu buku tempat wacana Qur’an dituliskan. Kitab sebagai instrumen budaya menjadi dasar perubahan sosial, yaitu dominasi budaya tertulis atas budaya lisan. Dominasi tersebut berhubungan dengan penguasa, sebagai aktor pengarsip resmi, dan ulama sebagai penafsirnya. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam proses transformasi dari wahyu oral menjadi wahyu tulisan itu terkait dengan kepentingan kekuasan, yakni pada pemerintahan Ustman bin Affan.
Dapat ditarik kesimpulan pada uraian di atas bahwa Mohammed Arkoun mencoba menggunakan pendekatan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an. Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun mengutip teori hermeneutika dari Paul Ricour, dengan memperkenalkan tiga level tingkatan wahyu. Pertama, Wahyu sebagai firman Allah yang tak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia, yaitu wahyu al-Lauh Mahfudz dan Umm al-Kitab. Kedua, Wahyu yang nampak dalam proses sejarah. Berkenaan dengan Al-Qur’an, hal ini menunjuk pada realitas Firman Allah sebagaimana diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Ketiga, Wahyu sebagaimana tertulis dalam Mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Ini menunjuk pada al-Mushaf al-Usmani yang dipakai orang-orang Islam hingga hari ini.
Mohammed Arkoun juga membedakan antara periode pertama dan periode kedua. Menurutnya, dalam periode kenabian, al-Qur’an lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya dibanding ketika dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, al-Qur’an terbuka untuk semua arti ketika dalam bentuk lisan, tidak seperti dalam bentuk tulisan. Arkoun berpendapat bahwa, status al-Qur’an dalam bentuk tulisan telah berkurang dari kitab yang diwahyukan menjadi sebuah buku biasa. Arkoun berpendapat bahwa Mushaf itu tidak layak untuk mendapatkan status kesucian. Tetapi muslim ortodoks meninggikan korpus ini ke dalam sebuah status sebagai firman Tuhan.
Red: Sabiq Basyiri