Tafsir Al-Qur’anul Majied An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy

Pendahuluan

Kehadiran kitab-kitab tafsir pada awal abad ke-20 tidak bisa dilepaskan dengan faktor politik pada masa itu, yakni dalam rangka merebut kemerdekaan karena kehadiran para kolonial di Indonesia. Selain menjajah dalam hal fisik, para kolonial juga tidak menginginkan masyarakat Indonesia pandai dalam hal baca tulis. Untuk itu, kitab-kitab tafsir yang berkembang saat itu memiliki peran dan kontribusi yag cukup signifikan dalam memberikan pengetahuan-pengetahuan agama kepada masyarakat. Setelah kemerdekaan, nuansa kitab-kitab tafsir sedikit mengalami pergeseran terutama dalam kontennya. Penyajian kitab-kitab tafsir pra kemerdekaan jauh lebih sederhana dibanding kitab-kitab pasca kemerdekaan.[1]

Di antara kitab-kitab yang ditulis secara utuh pada era tersebut antara lain; Tafsir Al-Qur’an Karim karya H. Mahmud Yunus, kemudian Al-Furqan: Tafsir al-Qur’an karya Ahmad Hasan, Tafsir al-Qur’an al-Karim karya H. A. Halim Hasan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahman Haitami.[2]  Selanjutnya dalam pembahasan kali ini penulis akan sedikit menjabarkan kitab tafsir yang muncul pada era yang sama yakni kitab tafsir karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang berjudul Tafir al-Qur’anul Majid An-Nur.

 

Biografi M. Hasbi Ash-Shiddieqy

Nama lengkap Hasbi adalah Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ia dilahirkan pada tanggal 10 Maret 1904 di Lhoksumawe, Aceh Utara. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Husayn bin Muhammad Su’ud, seorang ulama tersohor yang memiliki sebuah pesantren, ibunya bernama Teuku Amrah, putri Teuku ‘Abd al-‘Aziz.  Ayahnya adalah keturunan ke-36 dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. Diusia yang masih kecil Hasbi sudah merantau untuk menimba ilmu di berbagai pesantren kawasan Aceh. Pertama, Hasbi mengaji di pesantren Teuku Abdullah Chik di Peyeung, di sinilah beliau banyak mempelajari ilmu nahwu dan sharaf. Setelah itu, beliau melanjutkan studinya  di Pesantren Teuku Chik di Bluk Bayu dan pesantren-pesantren lainnya yang menjadi tempat persinggahan Hasbi dalam menimba ilmu-ilmu agama.[3]

Setelah selesai menimba ilmu agama di kampung halaman, kemudian pada tahun 1926 ia melanjutkan pengembaraanya ke Pulau Jawa yakni di Surabaya. Setibanya di Surabaya, Hasbi menimba ilmu di Madrasah al-Irsyad Surabaya yang diasuh langsung oleh Syaikh Ahmad as-Sukarti, seorang ulama yang berasal dari Sudan yang memiliki pemikiran modern pada masa itu. Di madrasah inilah Hasbi mengambil pelajaran takhassus (spesialis) dalam bidang pendidikan dan bahasa selama kurang lebih 2 tahun.[4]

Kemudian, dengan bekal yang dimilikinya, Hasbi mulai terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik. Pada tahun 1928 Hasbi telah memimpin sekolah al-Irsyad di Lhoksumawe. Disamping itu, Hasbi juga giat melakukan  dakwah di Aceh dalam rangka mengembangkan paham pembaruan serta memberantas syirik, bid’ah, dan khurafat. Kariernya sebagai pendidik seterusnya di baktikan sebagai direktur  Darul Mu’allimin Muhammadiyah di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) pada tahun 1940-1942. Disamping itu, Hasbi juga membuka Akademi Bahasa Arab.[5] Sebagai seorang pemikir yang banyak mengerahkan pikirannya dalam bidang hukum Islam, maka pada zaman Jepang Hasbi diangkat sebagai anggota Pengadilan Agama Tertinggi di Aceh. Selain itu, Hasbi juga aktif dalam bidang politikdan menjadi anggota konstituante pada tahun 1930.

Setelah selesai menunaikan tugasnya sebagai anggota konstituante, Hasbi lebih banyak berkecimpung di dunia Perguruan Tinggi Agama Islam. Pada tahun 1960, Hasbi dipercaya memegang jabatan sebagai dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sampai tahun 1972. Pada tahun itu pula Hasbi diangkat sebagai guru besar (profesor) dalam ilmu syariah di IAIN Sunan Kalijaga. Selain itu, Hasbi juga pernah memegang jabatan sebagai dekan fakultas syariah Universitas Sultan Agung di Semarang, dan rektor Universitas al-Irsyad di Surakarta (1963-1968) disamping itu Hasbi juga mengajar di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.[6] Sampai pada akhirnya, aktifitas dan kiprah Hasbi di dunia pendidikan baru terhenti ketika ajalnya menjemput pada hari Selasa, 09 Desember 1975.

Kendati Hasbi telah wafat, namun karya-karyanya masih tetap hidup hingga saat ini, diantaranya; Koleksi Hadis-hadis Hukum yang terdiri dari 9 jilid, Mutiara Hadis 1 (Keimanan), Mutiara Hadis 2 (Thaharah dan Shalat), Mutiara Hadis 3 (Shalat), Mutiara Hadis 4 (Jenazah, Zakat, Puasa, Iktikaf, dan Haji), Mutiara Hadis 5 (Nikah dan Hukum Keluarga, Perbudakan, Jual Beli, Nazar dan Sumpah, Pidana dan Peradilan, Jihad), Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Pedoman Shalat, Pedoman Puasa, Pedoman Zakat, Pedoman Haji, dan lain sebagainya.[7]

 

Gambaran Kitab Tafsir al-Qur’an Majid An-Nur

Latar belakang penulisan kitab

Kitab tafsir ini mulai ditulis oleh Hasbi Ash-Shiddieqy sejak tahun 1952 sampai tahun 1961 di sela-sela kesibukannya dalam mengajar, memimpin fakultas, menjadi anggota konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan bekal pengetahuan, semangat, dan keinginannya untuk menghadirkan sebuah kitab tafsir dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan, Hasbi berhasil menyusun sebuah kitab tafsir yang didektekan langsung kepada serorang pengetik dan langsung menjadi naskah siap cetak. Cetakan pertama diterbitkan oleh CV Bulan Bintang Jakarta pada tahun 1956, kemudian cetakan kedua pada tahun 1965 yang dicetak setelah Hasbi wafat dan sudah diedit oleh kedua puteranya yakni Nouruzzaman dan Fuad Hasbi Ash-Shiddieqy.[8]

Tidak ada penjelasan mengapa Hasbi memilih nama An-Nur untuk karya tafsirnya ini. Seperti yang diungkapkan oleh Yunahar Ilyas dalam bukunya yang berjudul “Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufassir” menyebutkan bahwa dalam pengantarnya Hasbi memberi judul “Penggerak Usaha”, setelah menjelaskan secara ringkas kenapa beliau menulis kitab tafsir dalam bahasa Indonesia, kemudian Hasbi menyatakan: “…kemudian dengan berpedoman kepada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar, kitab-kitab hadis yang mu’tamad, kitab-kitab sirah yang terkenal menyusun tafsir ini yang saya namai An-Nur (cahaya).[9] Kitab tafsir ini mengalami dua kali cetakan, cetakan pertama terdiri dari 30  juz, sedangkan cetakan kedua terdiri 5 jilid (jilid 1 terdiri dari 4 surat pertama, jilid 2 terdiri dari 6 surat berikutnya, jilid 4 terdiri dari 17 surat berikutnya, dan jilid 5 terdiri dari 72 surat yang terakhir).[10] Dalam menyusun kitab ini, Hasbi banyak berlandaskan pada sumber-sumber ayat al-Qur’an, riwayat Nabi SAW, riwayat sahabat dan tabi’in, serta mengutip dari rujukan-rujukan mu’tabar seperti Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Qasimi, dan lain sebagainya. [11]

 

Metode, Sistematika & Bentuk Penulisan Kitab

Metode yang digunakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqi adalah metode tahlili yang ditulis runtut sesuai urutan ayat dan mushaf. Sedangkan untuk sistematika penulisannya, diawali dengan menulis ayatnya kemudian terjemahan dan tafsirannya. Untuk penulisan ayatnya, tidak pasti jumlah ayat yang ditulis. Kemudian, untuk tafsirannya Hasbi menafsirkan tidak selalu per ayat, kadang Hasbi menafsirkan satu ayat dengan di penggal-penggal menjadi beberapa bagian. Namun, kebanyakan Hasbi menafsirkan ayat sesuai tanda waqof yang ada.

Dalam menafsirkan penggalan ayat itu pula Hasbi menuliskan kembali bacaan ayat namun dengan tulisan huruf latin, beserta terjemahnya. Selanjutnya, setelah selesai menafsirkan Hasbi menambahkan dengan kesimpulan di bagian akhirnya. Penulisan yang digunnakan Hasbi dalam kitab tafsir ini juga masih menggunakan model penulisan zaman dahulu, yakni penulisan huruf “y” menggunakan huruf “j”. Hasbi juga mencantumkan pendapat-pendapat ulama dan hadis-hadis dalam penafsirannya. Selanjutnya, pada setiap akhir kitabnya Hasbi juga mencantumkan semacam daftar isi yang berisi fasal-fasal dan hal-hal ataupun makna yang terkandung dalam suatu ayat.

Selanjutnya mengenai bentuk penafsirannya, seperti yang diungkapkan Yunahar Ilyas dalam cetakan kitab berikutnya Hasbi menjelaskan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an dia lebih banyak menyarikan dari tafsir al-Maraghi di samping  merujuk kepada kitab-kitab tafsir lainnya, seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Al-Manar, Tafsir Al-Qasimi, dan Tafsir Al-Wadhih. Karena bentuk penafsiran Al-Maraghi adalah al-tafsir bi ar-ra’yi , sedangkan penafsiran Hasbi kebanyakan adalah intisari dari  Tafsir Al-Maraghi, maka dapat disimpulkan bahwa Hasbi juga mengggunakan bentuk penafsiran yang sama dengan yang digunakan oleh Al-Maraghi.

 

Corak Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur

Tasir al-Qur’anul Majid An-Nur memiliki banyak cakupan corak penafsiran, ada yang menyebutkan kitab tafsir ini bercorak ‘adabi ijtima’i, hal ini dapat dipahami secara umum dari latar belakang kitab tafsir ini disusun, yakni Hasbi Ash-Shiddieqy ingin mencoba menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia dalam berbagai aspek. Selain itu kitab tafsir ini tidak seperti Tafsir Al-Manar ataupun Fi Zhilal Al-Qur’an  yang nuansa sastra begitu kuat dalam penggunaan gaya bahasanya. Namun, dalam kitab tafsir ini justru kelemahannya terletak pada gaya bahasa yang digunakan Hasbi. Bahasa Indonesia yang digunakan Hasbi bernuansa bahasa Indonesia terjemah Arab,sehingga pengaruh gaya bahasa atau uslub bahasa Arab sangat terasa dalam bahasa yang digunakan Hasbi.[12]

 

Contoh Penafsiran

Qs. Al-Anfal: 45-46:

ياايهاالذين اٰمنوا اذا لقيتم فئةً فاثنتوا واذكرواالله كثيرًا لعلكم تفلحون (45) واطيعواالله ورسوله ولاتنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم واصبروا انّ الله مع الصّابرين (46)

 

TERDJEMAHANNJA.

Wahai segala mereka jang telah beriman, apabila kamu djumpai djama’ah musuh maka wadjiblah kamu bertahan dalam memerangi mereka dan ingat olehmu akan Allah dengan sebanjak-banjaknja semoga menjiapkan kamu untuk mendapat kemenangan (45). Dan ta’atilah olehmu akan Allah dan RasulNja dan djangan kamu berbantah-bantahan lalu kamu mendapat kegagalan dan hilanglah tenagamu, dan bersabarlah kamu, bahwasanja Allah beserta orang² jang sabar (46).[13]

TAFSIRNJA.

  1. JÂ AIJJUHA ‘LLADZÎNA ÂMANÛ IDZÂ LAQÎTUM FI-ATAN FATSBUTÛ = Wahai segala mereka jang beriman, apabila kamu djumpai djama’ah musuh, maka wadjiblah kamu bertahan dalam memerangi mereka.

Jakni: Wahai segala mereka jang beriman dan akan RasulNja, apabila kamu memerangi sesuatu golongan orang kafir dan kamu mendjumpai mereka dalam medan pertempuran, maka wadjiblah atas kamu, bertahan dalam memerangi mereka dan mengerahkan seluruh tenaga untuk menghadapi mereka, serta djanganlah sekali-kali kamu lari, meninggalkan medan pertempuran; karena tetap bertahan itulah suatu keutamaan, sebagaimana lari dari medan pertempuran adalah dosa besar.[14]

  1. WA ‘DZKURU ‘LLÂHA KATSÎRÂ = Dan ingat olehmu akan Allah dengan sebanjak-banjaknja.

Jakni: Banjakkan olehmu menjebut Allah dalam masa bertempur itu dengan hati dan lidah, karena dengan menjebut Allah-lah tenteram segala djiwa dan dengan menjeruNjalah terhindar segala bentjana.

Ringaksnja, tetaplah bertahan diwaktu bertemu dengan musuh dan membanjakkan menjebut Allah.[15]

 

Penutup

Kitab Tafsir karya Hasbi Ash-Shidieqy yang berjudul Tafsir al-Qur’anul Majied merupakan salah satu kitab tafsir yang muncul di era pasca kemerdekaan yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kitab tafsir ini mengalami dua kali cetakan dengan cetakan pertama terdiri dari 30 juz sedangkan pada cetakan kedua terdiri dari 5 jilid. Penafsiran dalam kitab ini tergolong sangat singkat dan disertai pendapat-pendapat ulama serta hadis-hadis Nabi, namnun hanya beberapa saja. Corak yang menonjol dari kitab tafsir ini adalah ‘adabi ijtima’i, yang mencoba menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang ada di Indonesia dalam berbagai aspek.

 

Daftar Pustaka

Sudariyah, “Konstruksi Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy”, SHAHIH, Vol. 3 Nomor 1, 2018.

Miswar, Andi, “Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV Nomor 1, 2015.

Khairudin, Fiddian & Syafril, “Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, 2015.

 

Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: LABDA PRESS, 2006.

 

Nursalim, M., Keautentikan Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, SKRIPSI Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan: Lampung, 2017.

Ash-Shiddieqy, T. M. Hasbi, Tafsir Al-Qur’anul Majied “An-Nur”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, Juz XXVIII, 1973.

 

Footnote

[1] Sudariyah, “Konstruksi Tafsir al-Qur’anul Majid An-Nur Karya M. Hasbi Ash-Shiddieqy”, SHAHIH, Vol. 3 Nomor 1, 2018, hlm. 94.

[2] Ibid.,

[3] Ibid, hlm. 95.

[4] Ibid.,

[5] Andi Miswar, “Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur Karya T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Corak Tafsir Berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara)”, Jurnal Adabiyah, Vol. XV Nomor 1, 2015, hlm. 85.

[6] Ibid.,

[7] Fiddian Khairudin & Syafril, “Tafsir An-Nur Karya Hasbi Ash-Shiddieqy”, Jurnal Syahadah, Vol. III, No. 2, 2015, hlm. 87.

[8] Ibid, hlm. 97.

[9] Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender Dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufasir, Yogyakarta: LABDA PRESS, 2006, hlm. 74.

[10] M. Nursalim, Keautentikan Tafsir An-Nur Karya Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, SKRIPSI Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Raden Intan: Lampung, 2017, hlm. 46-47.

[11] Ibid.,

[12] Ibid, hlm. 87.

[13] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majied “An-Nur”, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, Juz XXVIII, hlm. 11.

[14] Ibid.,

[15] Ibid.,

Tinggalkan komentar