Madzahib at-Tafsir Era Afirmatif

Pendahuluan
Tafsir Alquran tak pernah lepas dari Alquran. Sejak zaman Nabi sampai sekarang, tradisi penafsiran Alquran tidak pernah berhenti. Berbagai corak tafsir pun diproduksi dari berbagai corak pemikiran. Ini dapat dilihat dari realitas sejarah penafsiran Alquran sebagai respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa madzhab dan berbagai corak dalam penafsiran Alquran.
Para mufassir Alquran saat menafsirkan Alquran tak bisa lepas dari kondisi sosio-kultural dimana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Meskipun kajiannya tunggal, yaitu teks Alquran, namun hasil penafsiran Alquran tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karena itu munculnya Madzahibut at-Tafsir (aliran tafsir) tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Dalam memetakan kerangka sejarah perkembangan Madzahibut at-Tafsir, mengacu pada penjelasan Abdul Mustaqim, yang mana beliau memetakannya menjadi tiga era, atas dasar atau hasil modifikasi dari teori Kuntowijoyo, demikian pula Ignaz Goldziher ketika menjelaskan tentang sejarah perkembangan tafsir dan Jurgen Habermas ketika menjelaskan tentang pentingnya nalar kritis dalam tradisi pemikiran Filsafat; teori the history of idea, yaitu era formatif dengan nalar mistis, era afirmatif dengan nalar ideologis dan era reformatif dengan nalar kritis. Tulisan ini akan memaparkan sedikit sejarah perkembangan Madzahibut at-Tafsir di era afirmatif dengan nalar ideologis.

Pengertian dan Sejarah Perkembangan Tafsir Era Afirmatif Dengan Nalar Ideologis
Tafsir era afirmatif yaitu tafsir yang ada pada masa pertengahan, sedangkan nalar Ideologis yaitu aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis tentang kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Era ini awalnya berawal dari ketidakpuasan terhadap model tafsir bil al-ma’tsur yang dipandang kurang memadai dan menafsirkan semua ayat-ayat Alquran, hal yang demikian itu kemudian muncul tradisi yaitu tafsir bi ar-ra’yi. Dengan adanya tradisi penafsiran tersebut tradisi tafsir lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, mazhab, dan ideologi keilmuan tertentu. Sebelum menafsirkan Alquran seseorang sudah diselimuti jaket ideologi tertentu. Akibatnya Alquran cenderung dipaksa menjadi objek kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa), sehingga Alquran sering kali diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan (antara abad III H/11 M/8 M-X H/11 M atau ada yang berpendapat mulai III H/ VIII M hingga pertengahan abad VIII H/XIV M) dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, terutama di era Harun ar-Rasyid (786-808 M) dan al-Makmun (813-830 M). Periode ini, salah satunya ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadis. Hal ini tentunya mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Alquran.
Berkembangnya keilmuan, terutama dalam bidang tafsir, tidak dapat dipisahkan dari relasi kekuasaan. Daulah Abbasiah adalah contoh sejarah yang memiliki kepedulian yang sangat serius terhadap perkembangan ilmu dan peradaban manusia, baik melalui perintah resmi penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal. Seperti al-Makmun pernah mengirim utusan ke Roma untuk mendapatkan karya-karya Yunani kuno dan mengadakan forum-forum dialog ilmiah secara terbuka yang dihadiri oleh seluruh wakil cabang keilmuan yang ada.
Forum dialog antar ilmuan itu juga memicu arogansi keilmuan yang mengantarkan pada perdebatan yang berakhir dengan saling menjelek-jelekan atau melemahkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin beradu argumentasi dengan penggemar filsafat, ahli kalam berdebat dengan ahli hadis. Memang cukup memprihatinkan bahwa pada kenyataannya, perdebatan ini sering berakhir dengan pertumpahan darah. Salah satu contohnya adalah perselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas dengan kaum rasionalis (ahl ra’y) minoniras yang memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan hingga terjadi pertumpahan darah.
Tradisi penafsiran Alquran memang terus berkembang, terbukti seiring berkembangya zaman dan ilmu pengetahuan banyak bermunculan kitab-kitab tafsir yang beragam. Bahkan mulai abad III H sampai sekitar abad VI H tafsir merupakan disiplin ilmu yang sangat mendapat perhatian khusus dari para sarjana muslim selama berabad-abad. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan interpretasi dan re-interpretasi terhadap Alquran.

Corak Tafsir Era Afirmatif
Corak tafsir yang dimaksud disini adalah sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa tafsir merupakan sebagai bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Alquran sesuai dengan kemampuan manusianya, tentunya akan menggambarkan minat pengetahuan mufasirnya.
Corak tafsir merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh masing-masing mufasir mengenai sudut pandang mereka dalam menafsirkan ayat-ayat suci Alquran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Berbicara tentang corak tafsir, diantara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yaitu pertama dari metodenya (seperti metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits dll), kedua teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topikal), dan ketiga yaitu melalui pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, sufi dan lain-lain).
M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu; corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, dan corak tasawuf. Corak penafsiran Alquran tidak akan terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi bermacam-macam dengan metode yang berbeda-beda. Adapun al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir yaitu corak tafsir al-Ma’sur, ar-Ra’yu, Sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi, dan Adabi Ijtima’i.

1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Merupakan corak tafsir atau jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam khazanah intelektual Islam. Dalam praktek penafsirannya ayat-ayat yang terdapat dalam Alquran ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan riwayat Nabi Muhammad, para sahabat dan juga dari tabi’in. Di antara kitab-kitab tafsir yang disusun berdasarkan metode ini adalah Jami’al Bayan fi Tafsir al-Qur’an buah karya Ibn Jabir al Thabari dan Tafsir al-Qur’an al-Adzhim oleh Ibnu Katsir.

2. Tafsir bi ar-Ra’y
Merupakan corak tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya seorang mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu (rasional) semata. Tafsir bi ar-ra’y muncul sebagai sebuah metodologi pada priode akhir pertumbuhan tafsir bi al-ma’tsur. Tidak tertutup kemungkinan kalau sejak zaman Rasulullah Saw benih-benih tafsir bi ar-ra’y telah tumbuh dikalangan umat Islam. Perlu ditegaskan bahwa tafsir bi ar-ra’y tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak.
Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’y bersifat lebih selektif terhadap riwayat. Sehingga, secara kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir yang mengikuti metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.
Ada sejumlah kualifikasi yang dibuat ulama sehubungan dengan penafsiran Alquran dengan metode ini. Persyaratan-persyaratan tersebut secara umum terdiri atas dua aspek, yaitu intelektual dan moral. Dari segi intelektual seorang mufassir diharuskan benar-benar memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk penafsiran ini. Pengetahuan-pengetahuan tersebut mulai dari ilmu bahasa Arab yang mencakup ilmu gramatika dan sastra, ilmu ushuluddin, hukum, hadis, dan ilmu-ilmu Alquran dan lainnya. Penafsir yang menggunakan metode ra’y juga dituntut harus memiliki aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal, bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi, dan kecenderungan terhadap aliran madzhab tertentu. Di antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti mtode ini adalah Mafatif al-Ghaib karya Fakhrudin al Razi dan Anwar al-Tamzil wa Azrar al-Ta’wil karya al-Baidhawi.

3. Tafsir Sufi
Merupakan corak tafsir yang identik dengan al Isyari, yaitu suatu metode penafsiran Alquran yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris (kiasan, ibarat). Penafsiran yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan moral batin dibandingkan dengan masalah zahir dan nyata.
Berkembangnya sufisme dalam duni Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentingan politik sepeninggal Nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan wahdatul wujud. Diantara tafsir yang mengikuti corak ini adalah Tafsir al-Qur’anil al-Karim oleh al-Tusturi dan Haqa’iq al-Tafsir karya al-Salami.

4. Tafsir Fikih
Merupakan salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum kalam. Tafsir jenis ini banyak sekali terdapat dalam sejarah Islam terutama setelah mazhab fiqh berkembang pesat. Sebagian di antaranya memang disusun untuk membela suatu mazhab fiqh tertentu.
Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Ahkam al-Qur’an oleh al-Jashash dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi

5. Tafsir al-Falsali
Merupakan corak tafsir yang berusaha menafsirkan ayat Alquran dengan pendekatan teori-teori filsafat, baik yang berusaha melakukan sintesis (paduan) dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat Alquran maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan Alquran.
Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya al-Razi yang menggunakan ilmu kalam dan semantik (logika) dalam kitab tafsirnya.

6. Tafsir al-Ilmi
Merupakan corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan pendekatan ilmiah yakni berusaha mencarai makna yang terkandung di dalam al quran dengan pendekatan berbagai ilmu pengetahuan.
Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Jawahir fi al-Qur’an oleh Tantawi Jauhari, Al- Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah karya Hafmi Ahmad, dan al-Ghida wa al-Dawa’ karya Dr. Jamaluddin al-Fandi.

7. Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i, al-Adabi
Merupakan salah satu corak tafsir yang lebih menekankan pada permasalahan sosial kemasyarakatan. Adapun salah satu kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridho dan Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an Karim karya Mahmud Syaltut.

Corak dan keberagaman penafsiran Alquran telah menunjukkan bahwa khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari Alquran. Ini artinya Alquran telah memberikan andil yang cukup besar dan merestui bagi tumbuh suburnya pluralitas dalam penafsiran Alquran. Karena pluralitas merupakan sunnatullah, hampir semua setiap lini kehidupan bisa dikatakan sunnatullah, termasuk dalam pemikiran fiqih, kalam, tasawuf ataupun tafsir.
Namun dengan beragamnya corak tafsir tersebut tentunya ada sikap yang harus kita miliki untuk menghadapi beragamnya corak tafsir tersebut. Pertama kita harus kritis dalam melihat hasil penafsiran para mufassir tersebut, apakah ada maksud tertentu dibalik penafsirannya, apakah tafsir tersebut terdapat penyimpangan dan apakah produk tafsir tersebut benar-benar didukung oleh argumentasi yang kuat. Kedua, jikalau memang argumentasi itu kuat, maka kita harus menghormati pendapat mereka, meskipun tidak harus mengikutinya. Sebab sangat mungkin sekali berbagai corak tafsir itu memiliki kebenaran.

Karakteristik Tafsir Era Pertengahan
Setiap kitab tafsir pasti punya karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran maupun pemahaman seorang mufassir. Namun karakteristik tersebut berdasarkan pendapat-pendapat individu ataupun kelompok yang berkepentingan. Alquran ditafsirkan hanya untuk melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode pertenngahan adalah sebagai berikut:

Pemaksaan Gagasan Eksternal Alquran
Maksud dari gagasan eksternal yaitu bahwa pada zaman pertengahan ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan berdasarkan pada kepentingan, oleh karena itu hasil penafsiran tersebut sesuai dengan kepentingan subjektif seorang mufassir.
Contoh dari karakteristik ini yaitu dapat dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab hanafi; al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat mengenai harta temuan yaitu dalam QS. Yusuf: 26 yang artinya “Yusuf berkata: dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya); dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: jika baju kaosnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan yusuf termasuk orang-orang yang dusta. (QS. Yusuf: 26).
Ayat diatas menceritakan pengalaman pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan, namun oleh jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan.

Bersifat Ideologis
Bersifat ideologis maksudnya yaitu kecenderungan cara berfikir seorang mufasir yang berbasis pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan, atau keilmuan tertentu dalam menafsiri Alquran. Contohnya yaitu seperti Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, beliau dalam menerangkan hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakar justru menggunakan surat al-Fatihah ayat 6-7.

Bersifat repetitif
Merupakan penafsiran yang mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi Alquran atau bisa dikatakan dalam menafsiri mengikuti system mushafi atau bersifat mengulang-ulang. Contohnya yaitu terdapat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham jabariyah dan qadariyah, disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.

Bersifat Parsial
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong dalam artian uraian tafsir tersebut tidak lengkap, sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya yaitu terdapat dalam tafsir karya ath-thabari yang berasal dari teologi syiah abad ke-6 H.

Kesimpulan
Alquran memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, dan masing-masing mufasir ketika menafsirkan Alquran biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural dimana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tuggal, yaitu teks Alquran, namun hasil penafsiran Alquran tidaklah tunggal melainkan plural. Oleh karenanya munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Madzahib at-Tafsir pada era Afirmatif mempunyai metode penafsiran yang lebih kepada akal (ra’y) daripada Alquran dan Hadits, diakibatkan karena tradisi. Adapun posisi penafsir sebagai subjek dan teks sebagai objek. Dengan adanya tradisi penafsiran tersebut tradisi tafsir lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, mazhab dan Ideologi keilmuan tertentu, sebelum menafsirkan Alquran seseorang sudah diselimuti jaket ideologi tertentu. Akibatnya Alquran cenderung diperkosa menjadi objek kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa), sehingga Alquran sering kali diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tertentu.
Yang lebih tragis lagi di era pertengahan ini adalah mengenai perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan, contoh perselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas dengan kaum rasionalis (ahli ra’y) minoniras memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan hingga terjadi pertumpahan darah. [Muarrif Affan Hasyim]

Daftar Pustaka

Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Goldziher, I. Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press, 1983.

Suryadilaga, Muhammad Alfatih dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS, 2010.

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Mizan, 1991.

Muin Salim, Abdul, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Ensiklopedia Tafsir, terj. Nabhani Idris, jilid 1, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulumil Quran, terj. Mudzakir, Surabaya: Hidayah, 1973.

Mustaqim, Abdul, Akiran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.

Pengantar Mazhab Tafsir

Pendahuluan
Alquran adalah wahyu Allah, sumber inspirasi yang telah mengilhami munculnya berjilid-jilid kitab tafsir. Sebab, Alquran adalah bahasa simbol dan berisikan pesan-pesan yang bersifat universal. Di samping itu, Alquran diturunkan sebagai bentuk dialektika dan respon terhadap kondisi dan situasi sosial, politik, dan religius bangsa Arab pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa Alquran tidak turun dalam ruang dan waktu kosong tanpa konteks. Nabi Muhammad saw. bukan hanya sebagai penerima pertama Alquran, tetapi  juga sebagai penafsir pertama dimana kondisi dan situasi realitasnya telah jauh berbeda dengan realitas sekarang.
Berdasarkan pemahaman di atas maka adalah sebuah keniscayaan bahwa Alquran selalu dapat dinterpretasikan sesuai dengan tuntutan zaman. Mengaca kepada penjelasan Abdul Mustaqim, dalam perjalanan sejarah proses pemahaman terhadap Alquran (tafsir), selain dipandang sebagai produk juga sebagai proses, dimana antara teks, penafsir dan realitas selalu berhubungan. Hal ini dapat dilihat dari metode, corak, karakteristik dan kecenderungan produk tafsir yang selalu berkembang dari masa ke masa. Berangkat dari adanya keberagaman corak dan kecenderungan penafsiran tersebut maka lahirlah istilah “Madzahib al-Tafsir” madzhab/aliran-aliran penafsiran.
Sebagaimana pemahaman terhadap sejarah dan riwayat-riwayat bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa Arab yang sempurna. Di dalamnya terdapat banyak penjelasan mengenai dasar-dasar akidah, kaidah-kaidah hukum, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan berbuat dan lain-lain. Akan tetapi penjelasan itu tidak dirinci oleh Syari’; istilah ushul fiqh (Allah) sehingga muncullah banyak penafsiran, terutama terkait dengan susunan kalimat yang singkat dan sarat makna. Oleh karenanya Alquran dapat dianggap mempunyai sifat shalih likulli zaman wa makan.

Pengertian Madzahib al-Tafsir
Secara etimologis istilah madzahib al-tafsir marupakan bentuk susunan idhafah (gabungan kata) dari kata madzahib dan al-tafsir. Kata madzahib adalah bentuk jamak (plural) dari kata madzhab, dalam bahasa Arab memiliki arti jalan yang dilalui atau yang dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seorang, baik konkrit maupun abstrak. Menurut para ulama, yang dinamakan madzhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian. Dengan kata lain, madzhab adalah aliran pemikiran berisi tentang hasil-hasil ijtihad, berupa penafsiran atau pemikiran para ulama dengan metode dan pendekatan tertentu, yang kemudian dikumpulkan dan biasanya diikuti oleh orang-orang berikutnya.
Sedangkan kata al-tafsir secara bahasa merupakan bentuk isim masdar (kata benda abstrak) dari fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti menjelaskan sesuatu. Kata al-tafsir juga mempunyai arti al-ibanah (menjelaskan makna yang masih samar), al-kasyf (menyingkap makna yang masih tersembunyi), dan al-idzhar (menampakkan makna yang belum jelas).
Untuk memahami lebih dalam apakah itu madzahib al-tafsir? Istilah ini muncul karena ada beberapa faktor tertentu, di antaranya Alquran ditafsirkan dengan menggunakan pendekatan tertentu, misalnya pendekatan filsafat yang menghasilkan corak panafsiran filosofis, kemudian pendekatan sufistik yang menghasilkan corak penafsiran dengan aroma sufistik, dan lain sebagainya. Kenyataan ini, akhirnya melahirkan suatu istilah yang kemudian disebut dengan madzahib al-tafsir. Mazhab Tafsir adalah sebuah aliran yang dihasilkan dari pemikiran para ulama dulu maupun kontemporer terhadap Alquran dengan menggunakan metode tertentu yang dipilih mufasir.

Pengantar Mazhab Tafsir
Pada awal mulanya, tafsir tidak secara serta merta diterima oleh semua golongan umat Islam. Dalam satu fase sejarah, pada awal masa pertumbuhannya dalam wilayah munculnya agama Islam tidak ditemukan sama sekali adanya keberanian untuk menerima dan menafsirkan Alquran, bahkan pada masa awal Islam, para pemimpin Islam meletakkan tanda-tanda peringatan dan rambu-rambu untuk menjauhi hal itu demi kemashlahatan keagamaan. Bahkan hingga abad kedua hijriah masih dapat ditemui bukti-bukti yang mengindikasikan bahwa kesibukan untuk bergelut dengan penafsiran hanya dilihat dengan pandangan penuh kesangsian (skeptis), hal ini juga menyebabkan kesadaran untuk menafsirkan Alquran menurun secara drastis. Dalam satu riwayat hadits –meskipun dicela- yang menyatakan penafsiran dengan ra’y adalah keliru meskipun itu benar, yakni “Siapa yang menafsirkan dengan nalar (ra’y)-nya meskipun itu benar, maka dia sebenarnya salah”
Sebab utama dari penolakan-penolakan menafsirkan Alquran adalah berkiblatnya para pemuka Islam generasi masa lalu (salaf) pada doktrin khusus, yakni Alquran tidak boleh ditafsirkan dengan rasio (menggunakan pemikiran murni) apalagi dengan hawa nafsu yang cenderung spekulatif. Namun jalan yang paling benar adalah menafsirkannya dengan menggunakan “ilmu pengetahuan”. Dibawah naungan kata “ilmu” dunia Islam tidak dapat mengenal sama sekali produk pemikiran yang spesifik, namun hanya mengenal ajaran-ajaran yang berpedoman pada sumber-sumber ilmu yang diperhitungkan keberadaannya, yakni yang disandarkan pada riwayat yang bersambung kepada Muhammad sendiri atau pada sahabatnya.
Pada dekade berikutnya, penafsiran terus tumbuh dan berkembang hingga saat ini. Setidaknya ada tiga pembagian yang dilihat dari sudut pandang periodik, yaitu: pertama, era formatif yang berbasis nalar mitis, yakni dimulai dari zaman Nabi Muhammad saw. sampai kurang lebih abad kedua Hijriyah. Nalar mitis yang dimaksud adalah sebuah model atau cara berpikir yang kurang memaksimalkan penggunaan rasio (ra’yi) dalam menafsirkan Alquran, dimana budaya kritisisme belum begitu mengemuka. Kedua, era afirmatif dengan nalar ideologis, yakni lahir pada abad pertengahan ketika tradisi penafsiran lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu.
Ketiga, era reformatif dengan nalar kritis, era yang dimulai dengan munculnya era modern di mana terdapat tokoh-tokoh intelektual Islam, di antaranya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho dengan karyanya tafsir al-manar yang telah melakukan kritik terhadap produk-produk penafsiran ulama klasik yang dianggap tidak relevan lagi. Hal itu kemudian dilanjutkan oleh penafsir kontemporer seperti Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur dan lain sebagainya. Pembagian ini dirasa sistematis dan aplikatif dengan menggunakan kerangka teorinya yang bernama the history of idea. Dengan teori tersebut, maka akan terasa mudah untuk mengetahui perubahan, kelanjutan dan keragaman penafsiran Alquran masing-masing dalam kurun waktu. Hal ini mengingatkan bahwa tafsir adalah produk pemikiran yang mencerminkan “anak zamannya”, sehingga menimbulkan adanya perubahan dan perkembangan sesuai dengan semangat zamannya.

Sebab-sebab Munculnya Madzahib al-Tafsir
Kalau kita membicarakan mengenai sejarah mazhab tafsir, maka nama yang akan muncul pertama kali adalah Ignaz Goldziher, sebagai pencetus mazhab tafsir pertama. Walaupun tidak didefinisikan secara eksplisit. Namun, berdasarkan tema-tema pembahasan yang ada di dalamnya, tampak jelas mazhab tafsir merupakan aliran-aliran, mazhab-mazhab yang dipilih seorang mufasir ketika ia berusaha menafsirkan Alquran meskipun secara tidak langsung para mufassir tidak menamakan pada karyanya sebagai sebuah mazhab tertentu. Pemberian label mazhab ini dilakukan oleh para peneliti atau ulama di generasi berikutnya.
Berawal dari banyaknya perdebatan mengenai munculnya banyak penafsiran yang berbeda, dan hal yang perlu diketahui bahwa Alquran adalah kitab yang sebagian ayat-ayatnya bersifat memungkinkan banyak makna atau penafsiran. Bahasan ini sebagaimana Muhammad Arkoun pernah mengutip riwayat Abu Darda’ dalam hadis yang mengatakan: “Seseorang belum dikatakan benar-benar paham terhadap Alquran, sehingga ia dapat melihat berbagai wajah penafsiran yang banyak di dalamnya”. Jauh sebelum Arkoun mengutip hadis tersebut, Imam Sahl Ibn Abdullah al-Tusturi (w. 283 H), salah seorang tokoh tafsir sufi pernah menyatakan: “Seandainya seorang hamba diberikan pemahaman Alquran dalam setiap satu hurufnya seribu pemahaman, niscaya hal itu belum sampai menghabiskan seluruh makna yang dikandung oleh firman Tuhan tersebut. Sebab sebagaimana kalam Allah adalah sifat-Nya, dan Allah adalah tak terbatas, maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas”.
Dalam catatan sejarah adanya beberapa perbedaan penafsiran, tidak hanya di era abad pertengahan dan modern ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang, akan tetapi juga sejak era klasik (era Nabi,Sahabat,Tabi’in dan al-Tabi’in). Hanya saja pada era klasik ini perbedaan penafsiran relatif masih sedikit, sebab secara umum tafsir yang berkembang pada masa itu adalah tafsir bi al-ma’tsur, yakni tafsir yang didasarkan pada riwayat dari Nabi saw, pendapat para sahabat, atau kalangan para tabi’in terkemuka.
Adanya keragaman penafsiran tersebut, maka kemudian para ulama mengkelompokkannya menjadi aliran-aliran tertentu yang disebut dengan Madzahib al-Tafsir. Adapun pembagian kelompok tersebut secara umum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama, faktor internal yang menyatakan di dalamnya terdapat kondisi objektif teks Alquran itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, sehingga muncul penafsiran yang berbeda, terutama perbedaan bacaan yang terkait dengan aspek morfologi (sharaf), sintaksis (nahwu), dan masih banyak lagi. Kedua, faktor eksternal yang berisikan terdapat beberapa faktor yang berada di luar teks Alquran, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupi para mufasir sendiri dan juga para pembacanya. Termasuk dalam faktor eksternal juga yaitu kondisi sosio-kultural, konteks politik, paradigma, sumber dan metodologi yang dipakai dalam menafsirkan Alquran.

Objek Kajian Madzahib al-Tafsir
Kajian madzahib al-tafsir termasuk dalam bagian ranah kajian Studi Alquran. Berbicara tentang objek kajiannya, maka hal ini dapat dipetakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah bidang penyelidikan sebuah ilmu yang bersangkutan. Dalam hal ini berarti seluruh produk-produk penafsiran yang telah dilakukan oleh para ulama tafsir, kemudian kitab-kitab dan sejarah para penafsirnya sejak era Nabi Muhammad saw. hingga sekarang adalah sebagai objek material kajian madzahib al-tafsir. Sedangkan objek formal adalah sudut pandang dari mana sebuah ilmu pengetahuan memandang objek material tersebut. Dalam artian aspek-aspek yang terkait bagaimana dinamika perjalan tafsir dengan menitikberatkan pada sisi kecenderungan, corak, aliran, metode-pendekatan dan pola pikir yang berada dalam masing-masing produk penafsiran Alquran itu.

Signifikansi Kajian Madzahib al-Tafsir
Terlepas dari penjelasan di atas bahwa dalam mengkaji madzahib al-tafsir sebenarnya adalah mengkaji tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir itu sendiri, dengan melihat bagaimana para ulama ketika itu memahami dan menafsirkan Alquran. Oleh karena itu, betapa pentingnya umat Islam terutama para intelektual muslim untuk mengetahui sejarah, apalagi sejarah yang terkait dengan bagaimana generasi masa lalu hingga sekarang mengkaji dan memahami Alquran. Secara tidak langsung dengan mempelajari madzahib al-tafsir kita akan memperoleh informasi yang utuh tentang berbagai dinamika perkembangan tafsir, yang sarat dengan berbagai corak, metode, pendekatan dan kecenderungan. Secara khusus pentingnya kajian terhadap madzahib al-tafsir adalah: Pertama, untuk membuka wawasan, orang yang tekun dan serius dalam mempelajari berbagai perkembangan dan dinamika tafsir dengan segala keragaman corak dan aliran yang ada, maka niscaya ia akan terbuka wawasannya.
Kedua, untuk menyadari pluralitas penafsiran, yakni kesadaran melihat realitas yang plural dan bersikap optimis serta positif terhadap hal itu, jelas menjadi sangat penting, agar dapat menghindari berbagai ketegangan dan konflik, akibat beranggapan bahwa tafsirnya yang paling benar sedang yang lain pasti keliru. Ketiga, de-sakralisasi pemikiran agama, hal ini menjadi penting agar terhindar dari sikap menganggap suci atau sakral terhadap pemikiran keagamaan, termasuk pula dalam penafsiran Alquran.

Kesimpulan
Sudah barang tentu, bahwa dalam mempelajari madzahib al-tafsir ini merupakan pembahasan yang penting untuk diketahui, sebab telah banyak munculnya pertanyaan dan perdebatan hangat yang tak kunjung usang, tidak lain karena terdapat faktor-faktor di dalamnya, di antaranya banyak penafsiran Alquran yang berbeda-beda sesuai dengan pendekatan-pendekatan yang digunakan oleh penafsir (mufasir), kemudian faktor lain yaitu berbedanya bacaan Alquran baik dari segi i’rabnya, atau susunan kalimatnya dan banyak lagi perbedaannya sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda pula.
Untuk menjawab tantangan zaman, kajian terhadap madzahib al-tafsir ini adalah salah satu sepak terjang untuk menghadapi tantangan tersebut. Hal ini mengingatkan bahwa Alquran bersifat shalih likulli zaman wa makan. [Adung, Acang, dan Sabiq]

Daftar Pustaka
______, Al-Qur’an Kita (Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah), ed. Abu Hafsin, Lirboyo: Lirboyo Press, 2013.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, Kairo: Maktabah Wahbah, 1976.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Mahabis fi Ulumil Qur’an, Surabaya: Hidayah, 1973.

Al-Sabt, Khalid bin Utsman, Qawa’id al-Tafsir (Jam’an wa Dirasah), Juz I, Mamlakah Saudiyah: Dar Ibn Affan, 1997.

Goldziher, Ignas, Mazhab Tafsir, Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.

Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Press, 2012.

Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Saeed, Abdullah, Penafsiran Kontekstualis atas al-Qur’an (Paradigma, Prinsip dan Metode), terj. Lien Iffah Naf’atu Fina, ed. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016.