Madzahib at-Tafsir Era Afirmatif

Pendahuluan
Tafsir Alquran tak pernah lepas dari Alquran. Sejak zaman Nabi sampai sekarang, tradisi penafsiran Alquran tidak pernah berhenti. Berbagai corak tafsir pun diproduksi dari berbagai corak pemikiran. Ini dapat dilihat dari realitas sejarah penafsiran Alquran sebagai respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beberapa madzhab dan berbagai corak dalam penafsiran Alquran.
Para mufassir Alquran saat menafsirkan Alquran tak bisa lepas dari kondisi sosio-kultural dimana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Meskipun kajiannya tunggal, yaitu teks Alquran, namun hasil penafsiran Alquran tidaklah tunggal, melainkan plural. Oleh karena itu munculnya Madzahibut at-Tafsir (aliran tafsir) tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Dalam memetakan kerangka sejarah perkembangan Madzahibut at-Tafsir, mengacu pada penjelasan Abdul Mustaqim, yang mana beliau memetakannya menjadi tiga era, atas dasar atau hasil modifikasi dari teori Kuntowijoyo, demikian pula Ignaz Goldziher ketika menjelaskan tentang sejarah perkembangan tafsir dan Jurgen Habermas ketika menjelaskan tentang pentingnya nalar kritis dalam tradisi pemikiran Filsafat; teori the history of idea, yaitu era formatif dengan nalar mistis, era afirmatif dengan nalar ideologis dan era reformatif dengan nalar kritis. Tulisan ini akan memaparkan sedikit sejarah perkembangan Madzahibut at-Tafsir di era afirmatif dengan nalar ideologis.

Pengertian dan Sejarah Perkembangan Tafsir Era Afirmatif Dengan Nalar Ideologis
Tafsir era afirmatif yaitu tafsir yang ada pada masa pertengahan, sedangkan nalar Ideologis yaitu aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis tentang kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Era ini awalnya berawal dari ketidakpuasan terhadap model tafsir bil al-ma’tsur yang dipandang kurang memadai dan menafsirkan semua ayat-ayat Alquran, hal yang demikian itu kemudian muncul tradisi yaitu tafsir bi ar-ra’yi. Dengan adanya tradisi penafsiran tersebut tradisi tafsir lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, mazhab, dan ideologi keilmuan tertentu. Sebelum menafsirkan Alquran seseorang sudah diselimuti jaket ideologi tertentu. Akibatnya Alquran cenderung dipaksa menjadi objek kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa), sehingga Alquran sering kali diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tertentu.
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan (antara abad III H/11 M/8 M-X H/11 M atau ada yang berpendapat mulai III H/ VIII M hingga pertengahan abad VIII H/XIV M) dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, terutama di era Harun ar-Rasyid (786-808 M) dan al-Makmun (813-830 M). Periode ini, salah satunya ditandai dengan berkembang pesatnya forum diskusi antar ahli berbagai cabang ilmu, antara lain tentang filsafat, kalam, dan hadis. Hal ini tentunya mengundang adanya justifikasi kebenaran dari masing-masing pihak, khususnya tentang Alquran.
Berkembangnya keilmuan, terutama dalam bidang tafsir, tidak dapat dipisahkan dari relasi kekuasaan. Daulah Abbasiah adalah contoh sejarah yang memiliki kepedulian yang sangat serius terhadap perkembangan ilmu dan peradaban manusia, baik melalui perintah resmi penerjemahan buku-buku ilmiah atau pengiriman delegasi ilmiah ke pusat-pusat ilmu pengetahuan dunia yang terkenal. Seperti al-Makmun pernah mengirim utusan ke Roma untuk mendapatkan karya-karya Yunani kuno dan mengadakan forum-forum dialog ilmiah secara terbuka yang dihadiri oleh seluruh wakil cabang keilmuan yang ada.
Forum dialog antar ilmuan itu juga memicu arogansi keilmuan yang mengantarkan pada perdebatan yang berakhir dengan saling menjelek-jelekan atau melemahkan satu sama lain. Kelompok mutakallimin beradu argumentasi dengan penggemar filsafat, ahli kalam berdebat dengan ahli hadis. Memang cukup memprihatinkan bahwa pada kenyataannya, perdebatan ini sering berakhir dengan pertumpahan darah. Salah satu contohnya adalah perselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas dengan kaum rasionalis (ahl ra’y) minoniras yang memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan hingga terjadi pertumpahan darah.
Tradisi penafsiran Alquran memang terus berkembang, terbukti seiring berkembangya zaman dan ilmu pengetahuan banyak bermunculan kitab-kitab tafsir yang beragam. Bahkan mulai abad III H sampai sekitar abad VI H tafsir merupakan disiplin ilmu yang sangat mendapat perhatian khusus dari para sarjana muslim selama berabad-abad. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan interpretasi dan re-interpretasi terhadap Alquran.

Corak Tafsir Era Afirmatif
Corak tafsir yang dimaksud disini adalah sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa tafsir merupakan sebagai bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Alquran sesuai dengan kemampuan manusianya, tentunya akan menggambarkan minat pengetahuan mufasirnya.
Corak tafsir merupakan kecenderungan yang dimiliki oleh masing-masing mufasir mengenai sudut pandang mereka dalam menafsirkan ayat-ayat suci Alquran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Berbicara tentang corak tafsir, diantara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yaitu pertama dari metodenya (seperti metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits dll), kedua teknik penyajian (misalnya; teknik runtut dan topikal), dan ketiga yaitu melalui pendekatan (misalnya; fiqhi, falsafi, sufi dan lain-lain).
M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu; corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, dan corak tasawuf. Corak penafsiran Alquran tidak akan terlepas dari perbedaan, kecenderungan, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Semuanya itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi bermacam-macam dengan metode yang berbeda-beda. Adapun al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir yaitu corak tafsir al-Ma’sur, ar-Ra’yu, Sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi, dan Adabi Ijtima’i.

1. Tafsir bi al-Ma’tsur
Merupakan corak tafsir atau jenis penafsiran yang muncul pertama kali dalam khazanah intelektual Islam. Dalam praktek penafsirannya ayat-ayat yang terdapat dalam Alquran ditafsirkan dengan ayat-ayat lain, atau dengan riwayat Nabi Muhammad, para sahabat dan juga dari tabi’in. Di antara kitab-kitab tafsir yang disusun berdasarkan metode ini adalah Jami’al Bayan fi Tafsir al-Qur’an buah karya Ibn Jabir al Thabari dan Tafsir al-Qur’an al-Adzhim oleh Ibnu Katsir.

2. Tafsir bi ar-Ra’y
Merupakan corak tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya seorang mufasir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu (rasional) semata. Tafsir bi ar-ra’y muncul sebagai sebuah metodologi pada priode akhir pertumbuhan tafsir bi al-ma’tsur. Tidak tertutup kemungkinan kalau sejak zaman Rasulullah Saw benih-benih tafsir bi ar-ra’y telah tumbuh dikalangan umat Islam. Perlu ditegaskan bahwa tafsir bi ar-ra’y tidak semata-mata didasari pada penalaran akal dengan mengabaikan sumber riwayat secara mutlak.
Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’y bersifat lebih selektif terhadap riwayat. Sehingga, secara kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan tafsir yang mengikuti metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.
Ada sejumlah kualifikasi yang dibuat ulama sehubungan dengan penafsiran Alquran dengan metode ini. Persyaratan-persyaratan tersebut secara umum terdiri atas dua aspek, yaitu intelektual dan moral. Dari segi intelektual seorang mufassir diharuskan benar-benar memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk penafsiran ini. Pengetahuan-pengetahuan tersebut mulai dari ilmu bahasa Arab yang mencakup ilmu gramatika dan sastra, ilmu ushuluddin, hukum, hadis, dan ilmu-ilmu Alquran dan lainnya. Penafsir yang menggunakan metode ra’y juga dituntut harus memiliki aspek mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal, bertanggung jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi, dan kecenderungan terhadap aliran madzhab tertentu. Di antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti mtode ini adalah Mafatif al-Ghaib karya Fakhrudin al Razi dan Anwar al-Tamzil wa Azrar al-Ta’wil karya al-Baidhawi.

3. Tafsir Sufi
Merupakan corak tafsir yang identik dengan al Isyari, yaitu suatu metode penafsiran Alquran yang lebih menitikberatkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris (kiasan, ibarat). Penafsiran yang mengikuti kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih mementingkan persoalan-persoalan moral batin dibandingkan dengan masalah zahir dan nyata.
Berkembangnya sufisme dalam duni Islam ditandai dengan praktik-praktik asketisme dan eskapisme yang dilakukan oleh generasi awal Islam semenjak munculnya konflik kepentingan politik sepeninggal Nabi. Disamping praktik semacam ini terus berlanjut tumbuh dan berkembang hingga masa-masa berikutnya, oleh kalangan tertentu praktik semacam ini dicarikan dasar-dasar teori mistiknya. Itulah mengapa kemudian muncul teori khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul, dan wahdatul wujud. Diantara tafsir yang mengikuti corak ini adalah Tafsir al-Qur’anil al-Karim oleh al-Tusturi dan Haqa’iq al-Tafsir karya al-Salami.

4. Tafsir Fikih
Merupakan salah satu corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum kalam. Tafsir jenis ini banyak sekali terdapat dalam sejarah Islam terutama setelah mazhab fiqh berkembang pesat. Sebagian di antaranya memang disusun untuk membela suatu mazhab fiqh tertentu.
Di antara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Ahkam al-Qur’an oleh al-Jashash dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi

5. Tafsir al-Falsali
Merupakan corak tafsir yang berusaha menafsirkan ayat Alquran dengan pendekatan teori-teori filsafat, baik yang berusaha melakukan sintesis (paduan) dan siskretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat Alquran maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan Alquran.
Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya al-Razi yang menggunakan ilmu kalam dan semantik (logika) dalam kitab tafsirnya.

6. Tafsir al-Ilmi
Merupakan corak tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan menggunakan pendekatan ilmiah yakni berusaha mencarai makna yang terkandung di dalam al quran dengan pendekatan berbagai ilmu pengetahuan.
Diantara kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini adalah Jawahir fi al-Qur’an oleh Tantawi Jauhari, Al- Tafsir al-Ilmi li al-Ayat al-Kauniyah karya Hafmi Ahmad, dan al-Ghida wa al-Dawa’ karya Dr. Jamaluddin al-Fandi.

7. Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i, al-Adabi
Merupakan salah satu corak tafsir yang lebih menekankan pada permasalahan sosial kemasyarakatan. Adapun salah satu kitab tafsir yang masuk dalam kategori ini adalah Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridho dan Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qur’an Karim karya Mahmud Syaltut.

Corak dan keberagaman penafsiran Alquran telah menunjukkan bahwa khazanah pemikiran umat Islam yang digali dari Alquran. Ini artinya Alquran telah memberikan andil yang cukup besar dan merestui bagi tumbuh suburnya pluralitas dalam penafsiran Alquran. Karena pluralitas merupakan sunnatullah, hampir semua setiap lini kehidupan bisa dikatakan sunnatullah, termasuk dalam pemikiran fiqih, kalam, tasawuf ataupun tafsir.
Namun dengan beragamnya corak tafsir tersebut tentunya ada sikap yang harus kita miliki untuk menghadapi beragamnya corak tafsir tersebut. Pertama kita harus kritis dalam melihat hasil penafsiran para mufassir tersebut, apakah ada maksud tertentu dibalik penafsirannya, apakah tafsir tersebut terdapat penyimpangan dan apakah produk tafsir tersebut benar-benar didukung oleh argumentasi yang kuat. Kedua, jikalau memang argumentasi itu kuat, maka kita harus menghormati pendapat mereka, meskipun tidak harus mengikutinya. Sebab sangat mungkin sekali berbagai corak tafsir itu memiliki kebenaran.

Karakteristik Tafsir Era Pertengahan
Setiap kitab tafsir pasti punya karakteristik sendiri-sendiri, sesuai dengan pemikiran maupun pemahaman seorang mufassir. Namun karakteristik tersebut berdasarkan pendapat-pendapat individu ataupun kelompok yang berkepentingan. Alquran ditafsirkan hanya untuk melegitimasi pendapat-pendapat individu atau kelompok yang berkepentingan. Adapun karakteristik pada periode pertenngahan adalah sebagai berikut:

Pemaksaan Gagasan Eksternal Alquran
Maksud dari gagasan eksternal yaitu bahwa pada zaman pertengahan ini kebanyakan kitab tafsir yang dihasilkan berdasarkan pada kepentingan, oleh karena itu hasil penafsiran tersebut sesuai dengan kepentingan subjektif seorang mufassir.
Contoh dari karakteristik ini yaitu dapat dilihat pada salah satu tafsir yang dikarang oleh ahli fikih yang bermazhab hanafi; al-Jashshash. Dia mengembangkan diskusi fikih mengenai perbedaan pendapat mengenai harta temuan yaitu dalam QS. Yusuf: 26 yang artinya “Yusuf berkata: dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya); dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: jika baju kaosnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan yusuf termasuk orang-orang yang dusta. (QS. Yusuf: 26).
Ayat diatas menceritakan pengalaman pribadi Nabi Yusuf, dan tidak ada sangkut pautnya dengan harta rampasan, namun oleh jashshash dijadikan sebagai legitimasi harta rampasan.

Bersifat Ideologis
Bersifat ideologis maksudnya yaitu kecenderungan cara berfikir seorang mufasir yang berbasis pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan, atau keilmuan tertentu dalam menafsiri Alquran. Contohnya yaitu seperti Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, beliau dalam menerangkan hak kepemimpinan umat Islam pasca Nabi Muhammad atau Imamah Abu Bakar justru menggunakan surat al-Fatihah ayat 6-7.

Bersifat repetitif
Merupakan penafsiran yang mengikuti tata urutan ayat dan surat dalam mushaf resmi Alquran atau bisa dikatakan dalam menafsiri mengikuti system mushafi atau bersifat mengulang-ulang. Contohnya yaitu terdapat dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, ketika diskusi tentang paham jabariyah dan qadariyah, disana terdapat beberapa pengulangan kata. Bahkan juga terdapat ulasan yang sangat panjang sehingga terkesan berlebihan.

Bersifat Parsial
Maksudnya adalah uraian tafsirnya cenderung sepotong-sepotong dalam artian uraian tafsir tersebut tidak lengkap, sehingga kurang mendapatkan informasi yang utuh dan komprehensif ketika hendak mengkaji suatu tema tertentu. Contohnya yaitu terdapat dalam tafsir karya ath-thabari yang berasal dari teologi syiah abad ke-6 H.

Kesimpulan
Alquran memang sangat terbuka untuk ditafsirkan, dan masing-masing mufasir ketika menafsirkan Alquran biasanya juga dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural dimana ia tinggal, disiplin ilmu yang dipakai, bahkan situasi politik yang melingkupinya juga sangat berpengaruh baginya. Sehingga meskipun objek kajiannya tuggal, yaitu teks Alquran, namun hasil penafsiran Alquran tidaklah tunggal melainkan plural. Oleh karenanya munculnya Madzahib al-Tafsir tidak dapat dihindari dalam sejarah pemikiran umat Islam.
Madzahib at-Tafsir pada era Afirmatif mempunyai metode penafsiran yang lebih kepada akal (ra’y) daripada Alquran dan Hadits, diakibatkan karena tradisi. Adapun posisi penafsir sebagai subjek dan teks sebagai objek. Dengan adanya tradisi penafsiran tersebut tradisi tafsir lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, mazhab dan Ideologi keilmuan tertentu, sebelum menafsirkan Alquran seseorang sudah diselimuti jaket ideologi tertentu. Akibatnya Alquran cenderung diperkosa menjadi objek kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa), sehingga Alquran sering kali diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tertentu.
Yang lebih tragis lagi di era pertengahan ini adalah mengenai perdebatan yang berakhir dengan pembunuhan, contoh perselisihan yang terjadi diantara ulama sunni mayoritas dengan kaum rasionalis (ahli ra’y) minoniras memunculkan perlawanan dengan cara kekerasan serta luapan kemarahan hingga terjadi pertumpahan darah. [Muarrif Affan Hasyim]

Daftar Pustaka

Mustaqim, Abdul, Pergeseran Epistemologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Goldziher, I. Mazhab Tafsir, terj. M. Alaika Salamullah, Yogyakarta: Elsaq Press, 1983.

Suryadilaga, Muhammad Alfatih dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS, 2010.

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Mizan, 1991.

Muin Salim, Abdul, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain, Ensiklopedia Tafsir, terj. Nabhani Idris, jilid 1, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.

Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulumil Quran, terj. Mudzakir, Surabaya: Hidayah, 1973.

Mustaqim, Abdul, Akiran-Aliran Tafsir, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.