KAJIAN KRITIS ATAS TAFSIR MUQATIL KARYA MUQATIL BIN SULAIMAN  (W 105 H/ 767 M)

  1. Pendahuluan

Pasca wafatnya rasulullah saw. Alquran terus berkembang di berbagai aspek. Adanya kodifikasi Alquran, munculnya berbagai macam qiraat, hingga munculnya banyak kitab tafsir. Penafsiran Alquran di masa awal Islam masih cenderung kepada tafsiran secara parsial, tematik, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, sesuai dengan kebutuhan yang sesuai pada masa itu.[1] Hingga kemudian muncul mufasir pertama yang menafsirkan Alquran secara menyeluruh yang runtut sebagaimana rasm mushaf utsmani.

Muqatil bin Sulaiman adalah seorang Mufasir era klasik[2] yang penuh kontroversi. Ia hidup di era dinasti Abbasiyah yang sangat terkenal dengan tafsir bi al-ma’tsurnya. Kitab Tafsir Muqatil menjadi menarik dikaji karena ia merupakan kitab tafsir pertama yang sempat hilang dalam panggung akademik para mufasir. Kitab tafsirnya, dilahirkan di tengah-tengah mayoritas penganut muktazilah dan sedangkan ia sendiri beraliran Syi’ah Zaidiyah.

            Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Muqatil adalah mufasir yang sangat kontroversial hingga karyanya  lama ditelan zaman. Ia memiliki reputasi yang jelek di kalangan ulama semasanya. Bahkan tafsirnya dikatakan mujassimah, menggunakan hadis yang tidak jelas sanadnya, dan menggunakan cerita-cerita israiliyat.

            Dari paparan di atas, kajian lebih lanjut atas karya ini menjadi sangat penting. Selain untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang diajukan pada Muqatil, juga untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita terhadap kitab-kitab tafsir pada masa klasik. Tulisan ini dimulai dengan pemaparan biografi, anatomi kitab tafsir yang dikaji, serta contoh penafsiran dan analisis atas apa yang dituduhkan sebelumnya.

2. Mengenal Lebih Dekat Muqatil bin Sulaiman

a. Riwayat Hidup

             Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al-Adzi al-Khurasani dikenal dengan nama kunyah Abu al-Hasan al-Balkhi. Ia lahir di kota Balkh, salah satu kota yang berada di daerah Khurasan. Tidak banyak yang mengetahui kapan ia lahir, namun ada data yang menyebutkan bahwa kelahirannya berselang waktu empat tahun dari wafatnya al-Dahhak bin Muzahim al-Hilaly. Hal ini juga dibuktikan dengan riwayat yang diambil dari Sulaiman bin Ishaq bahwa ia tidak pernah bertemu dengan al-Dahhak. Apabila riwayat ini benar maka Muqatil lahir pada tahun 109 H karena al-Dahhak wafat pada tahun 105 H.[3]

          Muqatil juga dikatakan dekat dengan Salim bin Ahwaz al-Mazini, utusan dari khalifah terakhir Bani Umayyah, Nasr bin Sayyar (w. 131 H) di Khurasan. Saat itu Muqatil berusia 40 tahun sehingga kemungkinan ia lahir pada kisaran tahun 80 H.[4] Informasi lain dari Ubaid bin Sulaiman menyebutkan bahwa Muqatil sempat bertemu dan banyak merujuk pada al-Dahhak, terutama dalam tafsirnya. Maka kemungkinan tahun lahir beliau adalah pada tahun 60-70 H, jika benar demikian maka al-Dahhak wadat ketika Muqatil berusia 42 tahun.[5] Semasa kecil waktu Muqatil dihabiskan di kota Balh, Khurasan[6], Kemudian ia merantau ke daerah Marwa yang masih berada di wilayah Khurasan. Dari Marwa ia kemudian pindah ke Irak dan menetap di Basrah kemudian pindah lagi ke Baghdad. Tak selang waktu beberapa lama ia kembali lagi ke Basrah dan menetap hingga wafat di sana.

                Muqatil wafat pada tahun 150 H/767 M[7], artinya Muqatil hidup pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah (132-656 H/ 756-1298 M) di bawah kekuasaan Abu Abbas al-Saffah (132-136 H/ 750-754 M) dan Abu Ja’far al-Mansur (136-158 H/ 754-775 M). Maka kemungkinan besar ia juga mengalami akhir pemerintahan Bani Umayyah (42-132 H/ 662-750 M).[8]

b. Karir Intelektual

      Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Muqatil hidup di akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah. Pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah (132-232 H/750-848 M) keilmuan Islam banyak mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, baik dalam bidang pembangunan maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, fokus kajian bidang pendidikan masih pada kajian teologis seperti hukum islam dan tafsir. Pada masa ini sebagaian besar buku-buku Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Syiri’a dan Aramaik. Meskipun kemajuan ilmu pengetahuan terjadi pada kisaran abad 10-11 M, namun dasar-dasar ilmu pengetahuan sudah dibentuk oleh generasi awal Bani Umayyyah.[9]

        Sebenarnya karir Intelektual Muqatil tidak terekam secara rinci dalam beberapa literasi mengenai kehidupan Muqatil. Namun, apabila kita melihat latar belakang dan konteks wilayah saat itu, Muqatil besar kemungkinan memanfaatkan peradaban pada saat itu untuk menimba ilmu dari beberapa ulama di berbagai daerah.

             Diantara guru-guru beliau adalah Sabit al-Banani (w. 123 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H), Sa’id al-Maqburi (w.123 H), Syurahbil bin Sa’ad (w. 123H), al-Dahhak Ibn Muzahim (w.106 H), Ubaidillah bin Abi Bakr bin Anas bin Malik (w. 124 H), ‘Ata bin Abi Rabah (w. 114 H), Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H), Nafi’ Maula ibn Umar (w. 117 H), Mujahid bin Jabar al-Makki (w. 163 H), Muhammad bin Sirin (w. 110 H), Abu Ishal al-Sabi’i (w. 128 H), Abu Zabsir al-Makki (w. 126 H), dan ‘Abdullah bin Buraidah (w. 115 H).[10]

     Sedangkan murid-muridnya adalah Baqiyah bin al-Walid (w. 197 H), Harami bin Umarah bin Abu Hafsah (w. 201 H), Hammad bin Qirat al-Nasabury, Hammad bin Muhammad al-Fazary (w. 230 H), Hamzah bin Ziyad al-Tusy, Saad bin al-Salt, Abu Nusair bin Sa’dan bin Sa’id al-Balkhi, Sufyan bin Uyainah (w.198 H), ‘Abd Razzaq bin Hammam (w. 211 H), ‘Absullah bin al-Mubarak (w. 181 H), al-Wafid bin Muslim (w. 195 H), Abu Haiwah Syuraih bin Yazis al-Himsi, Abdurrahman bin Sulaiman bin Abi al-Jaun, Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, ‘Abd al-Samad bin ‘Abd al-Waris, ‘Attab bin Muhammad Syauzan,’Ali bin al-Ja’d, ‘Isa bin Abu Fatimah, ‘Isa bin Yunus, ‘Abu Nasr Mansur bin ‘Abd al-Hamid al-Bawardi, Nasr bin Hammad al-Warraq, al-Walid  bin Mazid al-Bairuti, Yahya bin Syibl, Yusuf bin Khalid al-Samti, ‘Abu al-Junaid al-Darir,Abu Yahya al-Himamni (w. 220 H) dan Syahabah bin Sawwar (w. 206 H).[11]

c. Karya-Karya

Beberapa Karya-karya Muqatil bin Sulaiman diantaranya:

  1. al-Ayat al-Mutasyabihat[12]
  2. al-Aqsam wa al-Lughat
  3. Tafsir al-Khomsumi’ah Ayat min Alquran
  4. Tafsir Muqatil bin Sulaiaman
  5. al-Taqdim wa al-Ta’khir
  6. al-Jawabat fi alquran
  7. al-Raddu ‘ala al-Qadariyah
  8. al-Qiraat
  9. al-Nasikh wa al-Mansukh
  10. al-Wujuh wa al-Nazair fi alquran

 

3. Anatomi Tafsir Muqatil

a. Latar Belakang Penulisan

           Tafsir Muqatil bin Sulaiman pertama kali disunting oleh Dr. ‘Abdullah Mahmud Syahatah pada tahun 1966 dan diterbitkan sebanyak empat jilid pada tahun 1980-1987 oleh Hai’at al-‘Amma di Kairo. Kitab Tafsir ini belum banyak diedarkan di pasaran luas karena isi kitab yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, khususnya dalam bidang teologis, karena penafsirannya tentang keesaan Allah dianggap menyimpang oleh mayoritas penganut muktazilah saat itu. Sedangkan Muqatil yang termasuk kelompok Syi’ah Zaidiyah[13] kemungkinan besar karena ia berasaldarigolongan yang tersisih, banyak mendapat kritikan dan celaan atas karyanya. Walaupun di sisi lain, juga banyak ulama Mesir dan Barat yang sangat meminati karya ini.

              Kitab Tafsir Muqatil ini ditulis secara individu oleh Muqatil bin Sulaiman yang ditulis secara utuh. Tidak ditemukan secara rinci kapan waktu, tujuan beserta maksud dari penulisan kitab Tafsir Muqatil. Namun, dapat diketahui bahwa Muqatil adalah salah satu ulama yang produktif dalam menghasilkan sebuah karya. Salah satu yang mendorong Muqatil menulis beberapa kitab adalah sikap ‘Asabiyyah antara Muqatil dengan Jahm bin Safwan. Mereka saling menulis kitab unuk menjawab perdebatan yang terjadi diantara keduanya.[14]

          Latar belakang penulisan kitab ini memang tidak di sebutkan secara eksplisit oleh Muqatil. Namun hal tersebut disampaikan tersirat di dalam muqaddimahnya bahwa apa yang ia ketahui tentang Alquran dapat bermanfaat bagi umat islam secara luas dan bagi pribadinya sendiri. Ia juga ingin agar umat Islam tidak hanya membaca Alquran tetapi juga dapat berinteraksi dengan Alquran dengan memahami apa yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana yang ia katakan dalam kitabnya:

من قرأ القرأن  فلم يعلم تأويله فهو فيه أمي

          “Barangsiapa yang membaca Alquran sedangkan ia tidak mengetahui ta’wilnya, maka ia adalah orang yang ummiy terhadap Alquran”

b.  Sistematika Penulisan

         Kitab Tafsir Muqatil yang ditahqiq oleh Abdullah Mahmud Syahatah terhimpun menjadi lima jilid kitab. Dalam penyusunan kitab ini, Muqatil menggunakan sistematika[15] tartib mushafi, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat alquran sesuai urutan surat dalam alquran rasm usmani. Dimulai dari QS. al-Fatihah dan diakhiri dengan QS. al-Nas. Kitab tafsir ini dibagi menjadi lima jilid, setiap jilid berisi seperempat surat dalam alquran.

             Penafsiran diawali dari jilid I yang berisi surat al-Fatihah hingga al-An’am yang berjumlah 601 halaman. Jilid II berisi penafsiran surat al-A’raf hingga surat Maryam yang berjumalah 790 halaman. Jilid III berisi penafsiran surat Taha hingga surat al-Jasiyah yang berjumlah 956 halaman. Jilid IV berisi penafsiran surat al-Ahqaf hingga surat al-Nas yang berisi 1061 halaman. Sedangkan jilid terakhir berisi biografi dan metode penafsiran Muqatil yang ditulis langsung oleh ‘Abdullah Mahmud Syahatah berisi 279 halaman. Sistematika kitab tafsir ini dapat dipetakan secara sederhana sebagai berikut:

NO

JILID JUMLAH HALAMAN

ISI

1

I 601

–  Muqaddimah Pentahqiq, Abdullah Mahmud Syahatah, dan pembahasan naskah-naskah kuno yang terkait dengan Tafsir Muqatil bin Sulaiman.

–  Muqaddiman penulis kitab

–  Tafsir QS. al-Fatihah – QS. al-An’am

2

II

790

–   Tafsir QS.Al-A’raf – QS.Masyam

3

III

956

–    Tafsir QS. Taha – Tafsir QS. al-Jasiyah.

4

IV

1061

–     Tafsir QS. al-Ahqaf – QS. al-Nas
5 V 279

–     Berisi tentang penelitian pentahqiq kitab sebagai penutup dan penjelasan mengenai biografi beserta hal-hal terkait dengan kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman.

c.   Corak dan Metode Penafsiran

               Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran Muqatil menggunakan metode tafsir tahlili. yaitu menjelaskan maksud ayat-ayat Alquran ditinjau dari berbagai aspek seperti sisi kebahasaan, manasabah, dan asbab an-nuzul.[16] Dikatakan demikian karena dalam praktiknya beliau menafsirkan ayat Alquran dengan memperhatikan runtutan ayat ayat secara mushafi,mengemukakan asbabun nuzul, menyebutkan munasabah ayat serta menjelaskan aspek-aspek lain seperti penjelasan makna kata, menyebutkan riwayat Nabi, sahabat dan tabi’in.

          Selain itu, menurut Kees Verstegh menyebutkan bahwa Muqatil adalah orang pertama yang mengenalkan analisis gramatikal terhadap teks Alquran dengan pendekatan stilistik-linguistik. Hal ini dikarenakan perhatian besar beliau terhadap perubahan makna kata.[17] Misalnya saja penafsirannya terhadap kata al-huda yang memiliki 17 makna.[18] Namun, kitab tafsir ini juga belum bisa dikategorikan sebagai kitab tafsir filologis karena ia tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai asal kata ditinjau dari keilmuan shorof dan nahwu.

                 Adapun secara rinci, langkah-langkah metedologis yang dilakukan Muqatil dalam menafsirkan Alquran sebagai berikut: pertama, mencantumkan informasi jumlah ayat dan klasifikasi makki-madani ayat. Sebelum memulai penafsirannya, Muqatil memberikan informasi mengenai jumlah ayat dan klasifikasi makki-madani ayat yang merujuk pada riwayat baik berasal dari Nabi, sahabat maupun tabi’in. Selain itu, ia menuliskan keseluruhan ayat secara lengkap dalam satu surat. Tulisan tersebut dihias dengan hiasan yang sederhana. Namun, dalam penanda bagian antar juz hiasan tersebut menjadi sedikit berbeda dari pada sebelumnya. Salah satu contohnya pada saat ia memulai pernafsiran surat al-Fatihah. Ia menukil riwayat yang diambil dari Mujahid dan Rasulullah.

 قال: خدثنا عبدالله, قال: خدثني أبي عن الهذيل عن مقاتل عن الضحاك عن إبن عباس عن النبي – صلي االله عليه وسلم – قال: فاتحة الكتاب مدينة.

Artinya: Telah berkata: menceritaka kepada kami ‘Ubaidullah,berkata: dan telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Huzail dari Muqatil dari al-Dahhal dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW berkata: “Pembuka alquran adalah madaniyyah.”[19]

             Selanjutnya, Muqatil mulai menjelaskan mengenai aspek Asbabun Nuzul suatu ayat. Salah satu contoh penafsirannya adalah pada surah al-Baqarah ayat 187. Ayat ini diturunkan kepada ‘Ali bin Abi Talib, ‘Ammar bin Yasir dan Abu ‘Ubadah bin al-Jarrah yang melakukan jima’ dengan istri mreka ketika tengah beri’tikaf. Ayat ini menegaskan bahwa setiap mu’min yang sedang beri’tikaf tidak diperbolehkan melakukan hubungan intim hingga waktu i’tikafnya berakhir.[20]

                   Kemudian Muqatil melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan hikmah ayat tersebut. Hikmah itu ditujukan sebagai pelajaran bagi umat Islam agar senantiasa mengambil pelajaran dari berbagai kejadian. Misalnya ketika ia memberikan keterangan mengenai hukum qadaf. Ia mengatakan bahwa hukum orang yang menuduh, membenarkan baik dengan perbuatan ataupun kata-kata ia berdosa.[21]

          Dalam beberapa kasus, Muqatil juga menjelaskan perbedaan qiraat pada ayat yang akan ia tafsirkan. Adapun qiraat yang ia jadi rujukan adalah qiraat Ibn Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab.

d.  Sumber Penafsiran

       Dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran, sumber yang dirujuk Muqatil sangat bervariasi. Sebagaimana para mufasir klasik pada saat itu, Muqatil banyak merujuk keterangan yang bersumber dari Alquran. Ia sendiri membagi pemahaman terhadap Alquran menjadi empat tingakatan. Diantaranya adalah ayat-ayat Alquran yang hanya dipahami oleh Allah, ayat-ayat yang dipahami oleh ‘Araby khullas, ayat yang dipahami oleh orang pintar, dan ayat yang dapat dipahami oleh umat secara umum.

Salah satu contoh penafsirannya adalah pada surat al-Fatihah ayat 4:[22]

مالك يوم الدين

Artinya: Zat yang menguasai hari pembalasan.

Yaitu hari perhitungan amal sebagaimana firman Allah dalam QS.al-Saffat ayat 53:

ءإذا متنا و كنا ترابا و عظاما ءإنا لمدينون

Artinya: Apakah apabila kita telah mati dan kita menjadi debu dan tulang belulang apakah kita akan benar-benar dibangkitkan untuk diberi pembalasan.

لمدينون يعني لمحاسبون yakni akan diberi pembahasan di hari ketika yang berkuasa hanya Allah. Sebagaimana firman Allah QS. al-Infitar: 19

يوم لا تملك نفس لنفس والأمر يومئذ لله

Artinya: Pada hari ketika seseorang sama sekali tidak berkuasa untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu ada dalam kekuasaan Allah.

               Selanjutnya, sumber kedua yang di gunakan Muqatil adalah hadis Nabi. Contohnya dalam menafsirkan kata al-Ma’un dalam QS. al-Ma’un. Ia menafsirkan kata tersebut dengan merujuk pada sabda Nabi:

قال أبو صالح, و ذكره عن يحي بن أبي كثير, عن أبي سلمة, عن أبي هريرة قال :

قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: (الماعون) الإبرة والماء والنار ومايكون في البيت من نحو هذا فيمنع.

Artinya: Telah berkata Abu Salih dan dikatakan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘al-ma’un’ adalah jarum dan air dan api dan apa-apa yang ada di dalam rumah.[23]

             Sumber lain yang digunakan oleh Muqatil adalah qiraat. Dalam penggunaan qiraat sebagai sumber penafsirannnya, ia banyak merujuk kepada qiraat para sahabat karena pada pada masanya belum dikenal qiraat al-sab’ah. Sahabat yang menjadi rujukan Muqatil adalah qiraat Ibn Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Contohnya ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 234 tentang iddah seorang istri yang di tinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil.[24]

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

                 Muqatil menafsirkan kalimat فلا جناح عليكم  dengan menggunakan qiraat Ibnu Mas’ud لا حرج عليهن. Hal tersebut berarti bahwa tidak ada dosa bagi perempuan-perempuan yang sudah selesai masa iddahnya untuk bersolek dan menikah lagi. Dhomir كم pada ayat tersebut pada hakikatnya bersifat umum untuk kalangan laki-laki. Namun, dalam qiraat Ibn Mas’ud di atas sudah dikhususkan maknanya menjadi istri-istri yang ditinggal mati suaminya هن.

            Muqatil selanjutnya juga merujuk pada qaul al-sahaby. Dalam kajian hadis, perkataan para sahabat disebut dengan hadis mauquf. Hal juga manjadi rujukan dominan yang digunakan oleh Muqatil dalam melakukan penafsiran ayat-ayat alquran. Contohnya saat ia menafsirkan kata salsal dalam QS. al-Hijrayat 26. Iamerujukpada riwayat Ibn Abbas, yang mana kata tersebut bermakna tanah yang kasar.

خدثني عبدالله , خدثني أبي , خدثني الهذيل عن مقاتل , و الضخاك عن إبن عباس:

الصلصل الطين الجيد يعني  الحر إذا ذهب عنه الماء تشقق

Artinya: Telah menceritakan kepada kami’Ubaidullah, telah menceritakan kepadaku Ayahku, menceritakan kepadaku al-Huzail dari Muqatil dan al-Dahhak dari Ibn Abbas: “al-salsal adalah tanah yang bagus, yakni yang panas jika air hilang darinya maka tanah tersebut akan terpecah-pecah”.[25]

            Selain perkataan sahabat, Muqatil juga merujuk kepada perkataan para tabi’in. Salah satu contohnya adalah penafsirannya terhadap kata كنز yang terdapat pada surat al-Kahfi ayat 82:

خدثنا عبدالله قال: خدثنا أبي الهذيل عن مقاتل عن الضحاك ومجاهد قال:

صحفا فيها العلم

Artinya: Telah menceritakan kepada kami’Ubaidillah berkata: telah menceritakan kepada kami Ayahku dariMuqatil dari al-Dahhal dan Mujahid berkata: “Lembaran di dalamnya terdapat ilmu”.[26]

               Kisah-kisah israiliyat juga menjadi sumber rujukan kitab tafsir muqatil. Sumber ini ia gunakan untuk membantu penafsirannya dalam memperjelas jalan cerita suatu ayat. Sumber terakhir yang digunakan Muqatil adalah penggunaan ra’yu. Penggunaan ra’yu sendiri sebenarnya telah disampaikan dalam muqaddimah tahqiq. Hal ini bertujuan untuk memperjelas maksud makna suatu ayat. Salah satu contohnya adalah ketika ia menafsirkan kata بكم عمي  صم pada surat al-Baqarah ayat 18. Ia menjelaskan bahwa makna  صمadalah tuli –dalam artian literal- yakni dengan tidak pernah berfikir tentang kekuasaan Allah. Selanjutnya makna بكم adalah bisu, yakni dengan tidak berbicara dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah dan عمي yang bermakna buta, yakni tidak pernah melihat pada petunjuk yang diberikan Allah.[27]

e. Muqatil dan Tafsir Ayat Tajsim

      Muqatil seringkali dituduh sebagai orang yang men-jism-kan Allah. Hal ini dikarenakan dalam beberapa ayat tajsim yang ia tafsirkan dinilai telah men-jism-kan Allah. Penulis mendapati keterangan penafsiran beliau pada ayat QS. al-Fath ayat 10:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Makna yad pada ayat ini ia maknai dengan ‘janji Allah’.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا ۚ وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ ۚ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا ۚ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya: Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.

Pada surat al-Ma’idah ayat 64 ini bermakna “pemberian nikmat yang diberikan kepada Bani Israil”.

            Kedua contoh ayat tersebut adalah contoh penafsiran makna yad secara majazi. Namun, hal berbeda ditemukan saat Muqatil menafsirkan QS. Ali Imran dan Sad: 75. Dalam dua konteks ayat tersebut, tidak ia artikan sebagaimana penafsiran ayat sebelumnya. Kata yad pada kedua ayat tersebut dimaknai dengan ‘tangan’ dalam artian literal.[28]

         Dapat disimpulkan bahwa Muqatil tidak selalu men-jism­-kan ayat-ayat tajsim. Apabila kita merujuk pada perkataan Mun’im Sirry, bahwa seharusnya Muqatil tidak bisa dikategorikan sebagai antromorphism[29] yang ekstrem. Judgedment ini dikeluarkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari satu abad setelah Muqatil wafat. Hal ini menandakan bahwa al-Asy’ari tidak mengetahui kehidupan Muqatil secara langsung. Hal ini juga besar kemungkinan berkaitan dengan ketidaksetujuan mayoritas ulama dengan perspektif teologis yang dianut oleh Muqatil.[30]

4. Penutup

    a. Kesimpulan

            Muqatil bin Sulaiman adalah mufasir pertama dengan sistematika mushafi yaitu tafsir runtut dimulai dari juz satu hingga juz tiga puluh. Tafsirnya merupakan tafsir yang melakukan penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat alquran agar mudah di pahami. Ditinjau daricoraknya, ia dangat beragam, karena pada masanya, belum ada spesifikasi dan penjelasan masih berbaur dan tidak mendetail. Sumber yang ia gunakan dalam menafsirkan alquran sangat bervariasi mulai dari bersumber dari alquran itu sendiri, hadis nabi, qaul sahabat, qaul tabi’in, qiraat dan kisah-kisah israiliyat.

            Selain itu kitab tafsir ini menjadi unik karena merupakan kitab tafsir pertama yang sempat hilang tidak terkaji. Pertama kali di Tahqiq oleh Abdullah Mahmud Syahatah. Hilang nya kitab ini dari panggung akademik muafasir dikarenakan pada saat penulis kitab ini hidup di era dinasti Abbasiyah yang mayoritas menganut paham mu’tazilah dalam aspek teologisnya. Muqatil juga sempat terlibat pertarungan pemahaman tentang keesaan tuhan di sebuah Masjid pada zamannya hingga akhirnya ia melahirkan banyak karya untuk menjawab pertarungan akademik tersebut.

Di sisi lain, keilmuan Muqatil juga tidak dapat diragukan. Hal ini dibuktikan dengan statement imam Syafi’i yang mengatakan bahwa  “barang siapa yang ingin mendalami ilmu tafsir alquran hendaknya ia bersandar kepada Muqatil bin Sulaiman. Terlepas dari segala kekurangan Muqatil dalam pemotongan sanad dan penggunaan israiliyat pada tafsirnya,karya tersebut tetap saja merupakan sumbangsih besar bagi panggung literasi tafsir umat Islam.

       b. Saran

            Apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Penulis sangat menyayangkan atas keterbatasan penulis diberbagai lini demi kepentingan menyusun makalah ini. Masih banyak hal menarik yang belum dijamah penulis yang dirasa perlu untuk dikaji lebih lanjut dalam kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman ini. Untuk itu, penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca agar penulis lebih baik lagi dalam menyusun makalah dikemudian hari. [Dhurrotun Nafisa]

 

[1] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Alquran: Studi Aliran Kitab-Kitab Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Kontemporer(Yogyakarta: Adab Press,2014), hlm. 39.

[2] Meminjam istilah Abdul Mustaqim yang membagi periodesasi tafsir ke dalam tiga kelompok: tafsir klasik, pertengahan dan modern-kontemporer. Menurutnya, pada masa awaal penafsiran alquran selalu dihubungkan dengan hal-hal mistis, pada periode selanjutya penafsiran alquran sudah bersifat ilmiah. Lihat, Ibid, hlm. 39.

[3] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatilbin Sulaiman Juz V, (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-Araby: 202),hlm. 23.

[4] Mun’im Sirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, Studia Islamica, nouvelle edition/ new series, No.3, 2012, hlm. 53.

[5] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz V, hlm. 24.

[6] Khurasan merupakan bagian dari Persia, Setelah jatuhnya ibu kota Khurasan dan marw, pada tahun 749 M, menyusul jatuhnya ibu kota Irak dan Kuffah di tangan Abu Abbas,yang mana menandakan berakhirnya dinasti Abbasiyah. Lihat, Philip K.Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 355.

[7] Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh al-Baghdad, (Cairo: Maktaba al-khanji, 1931), vol. 13, hlm. 16

[8] Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim TAZKIA, Ensiklopedi Peradaban Islam, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012) vol V,  hlm. 53.Ibid,

[9] Ibid, hlm. 90-92.

[10] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz V, hlm. 48.

[11] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz V,hlm. 49-50.

[12] Ishom Abd Zuhd, “Manhaj al-Imam Muqatil b. Sulayman al-Balkhi fi Tafsirihi”, Tesis, (Universitas Islam Ghaza, 2010), hlm. 9.

[13] Syi’ah Zaidiyah adalah golongan Syi’ah yang netral dibandingkan dengan golongan Syi’ah lainnya. Mereka dianggap paling dekat dengan Ahlu Sunnah dan paling lurus. Syi’ah Zaidiah juga menerima keimanan tiga orang pertama yaitu Abu Bakar, Umar,dan Utsman. Tidak seperti Syi’ah lainnya yang dengan keras menolak dan tidak  mengakui Khalifah lainnya selain Ali dan keluarganya. Lihat, Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012), hlm. 110-114.

[14] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Juz V , hlm. 24-25

[15] Sistematika penulisan tafsir adalah tata cara penulisan dalam menafsirkan ayat alquran. Terdapat beberapa sistematika dalam penulisan kitab tafsir; pertama, sistematika mushafi yaitu penulisan kitab tafsir disusun dengan berpedoman pada tartib nuzul susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf. Dimulai dari surat alfatihah sampau alnas. Kedua, sistematika nuzuli maudu’i yaitu penulisan kitab tafsir berdasar pada kronologis turunnya surat-surat alquran. Ketiga, sistematika maudu’I yaitu penulisan kitab tafsir yang didasarkan kepada topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan topik-topik tertentu tadi kemudian ditafsirkan. Lihat lebih lanjut

[16] Abd.Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i, terj. Suryan A.Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 12.

[17] Kees Versteegh,”Tafsir Qur’an paling Awal: Tafsir Muqatil” dalam Makalah-Makalah yang Disampaikan dalam Rangka Kunjungan Menteri Agama R.I H. Munawar Sjadzali, M.A. ke Negeri Belanda (31 Oktober – 7 November 1998) (Jakarta: INIS, 1990), hlm. 206-207.

[18] Muqatil bin Sulaiman, Al-Wujuh wa Al-Naza’ir fi Al-Quran Al-‘Azim, (Irak: Markaz Jam’at al-Majiid li ad-saqafah wa al-turas, 2006), hlm. 20.

[19] Muqatil bin Sulaima, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 35.

[20] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 164-165.

[21] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz III, hlm. 190.

[22] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 36.

[23] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz IV, hlm. 871.

[24] Albaqarh 234

[25] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz III, hlm. 428

[26] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz II, hlm. 599.

[27] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 92.

[28]

[29] Antropomorfisme dalam KBBI diartikan sebagai pengenaan ciri-ciri manusia pada binatang,tumbuh-tumbuhan atau benda mati. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bentul-bentuk atau perilaku manusiawi. Kata antropomorfisme mengacupada persepsi bahwa tuhan memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia. Lihat, Antropomorfisme, KBBIMobile 1.1.3, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Lihat juga, https://www.sarapanpagi.orgm dictionary.reference.com, www.britania.com. Diakses pada 28 Nov 2015.

[30] Mun’imSirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”,  hlm.75.

Daftar Pustaka

 Abd Zuhd, Ishom, “Manhaj al-Imam Muqatil b. Sulayman al-Balkhi fi Tafsirihi”, Tesis, (Universitas Islam Ghaza, 2010)

Al-Baghdadi, Al-Khatib, Tarikh al-Baghdad, (Cairo: Maktaba al-khanji, 1931)

Al-Farmawi,Abd.Hayy, Metode Tafsir Maudu’i, terj. Suryan A.Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)

Antonio, Muhammad Syafi’i dan Tim TAZKIA, Ensiklopedi Peradaban Islam, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012)

K.Hitti,Philip History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008)

Mustaqim,Abdul, Dinamika Sejarah Alquran: Studi Aliran Kitab-Kitab Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Kontemporer(Yogyakarta: Adab Press,2014)

Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012)

Sirry, Mun’im, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, Studia Islamica, nouvelle edition/ new series, No.3, 2012.

Sulaiman,Muqatil bin, Al-Wujuh wa Al-Naza’ir fi Al-Quran Al-‘Azim, (Irak: Markaz Jam’at al-Majiid li ad-saqafah wa al-turas, 2006)

Syahatah, Abdullah Mahmud, Tafsir Muqatilbin Sulaiman Juz V, (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-Araby: 2012)

Versteegh, Kees,”Tafsir Qur’an paling Awal: Tafsir Muqatil” dalam Makalah-Makalah yang Disampaikan dalam Rangka Kunjungan Menteri Agama R.I H. Munawar Sjadzali, M.A. ke Negeri Belanda (31 Oktober – 7 November 1998) (Jakarta: INIS, 1990)

Website:

https://www.britania.com

https://www.dictionary.reference.com

https://www.sarapanpagi.org

KBBIMobile 1.1.3, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008

 

Tinggalkan komentar