Kajian Atas Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin ar-Razi

Pendahuluan

Keyakinan umat Islam bahwa Alquran adalah kitab suci yang akan berlaku abadi sepanjang masa ternyata sejauh ini adalah merupakan salah satu alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayat Alquran menjadi tugas umat yang tak pernah berakhir. Tafsir sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dari kandungan Alquran telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Terjadinya keanekaragama dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan, berbagai faktorpun dapat menimbulkan keragaman dari tafsir itu sendiri yaitu berupa perbedaan keenderungan, interest, dan motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan lingkungan hidup yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua itu yang kemudian melahirkan berbagai corak penafsiran yang selanjutnya berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.[1]

Fakhrudin ar-Razi adalah salah satu pemikir muslim yang ikut serta menyumbangkan keilmuannya dalam khazanah dunia tafsir. Ar-Razi adalah seoran ilmuan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang mendalam. Salah satu tulisannya dituangkan kedalam kitab tafsir yang diberi judul Mafatih al-Ghaib. Di titik inilah kemudian makalah ini akan berbicara mengenai siapa Fakhrudin ar-Razi, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana perjalanan pendidikan serta karirnya dalam khazanah keilmuan Islam. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap segala hal tentang tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, dan bagaimana esensi-esensi yang ada dalam kitab tersebut.

 

Biografi Fakhruddin ar-Razy

Namanya yaitu Abdullah bin Umar bin Husein bin Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri at-Tubrustani ar-Razi yang dikenal dengan Fakhruddin (ar-Razi) dan dikenal sebagai Ibn al-Khatib As-Syafi’i. Lahir di kota al-Ray (kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan sebelah timur laut Taheran) dalam keluarga Shafi’i dan Ash’ari pada 25 Ramadhan tahun 543/544 H atau 1149-1150 M. pendidikan pertamanya didapat dari ayahnya sendiri, yakni Diya al-Din Umar yang dikenal sebagai Khatib al-Ray.[2]

Terkenal sebagai Imam dalam tafsir dan ilmu kalam, ilmu logika, dan ilmu bahasa ini melambungkan kepopulerannya di kalangan penguasa pada zamannya dan juga masyarakat umum. Ia mendulang ilmu dari ayahnya sejak lahir hingga sampai ayahnya meninggal dan melanjutkannya pembelajarannya ke daerah Khawarizmi dan Khurasan dengan berguru kepada Kamal as-Sam’ani, Majd al-Jili, dan dari para ulama lain yang hidup pada masanya. Beliau banyak belajar tentang ushul dan fiqh dari Imam Syafi’i dan juga banyak menggali ilmu tentang ilmu kalam dari Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Selain terkenal sebagai seorang ahli fiqh, ia juga dikenal sebagai ahli nasehat (ceramah) sampai dikatakan ia memberi nasehat dengan bahasa arab dan non-arab. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh ar-Razi terkenal sangat menyentuh hati oleh pendengarnya.

Fakhruddin ar-Razi setidaknya telah menempuh dua perjalan intelektual dalam hidupnya. Perjalanan pertama yakni ke Khurasan. Pada fase perjalanan Khurasan ini beliau mengalami sebuah perdebatan pendapat yang keras dengan kaum Mu’tazilah yang notabenenya adalah lawan dari mazhab teologinya, karena sejak lahir ar-Razi mengikuti mazhab Sunni Asya’irah yang diwarisinya dari ayahanda. Karena memang kondisi sosial yang memiliki akidah dan madzhab yang memang tidak cocok, dan juga banyaknya tekanan yang datang, ar-Razi pun melanjutkan perjalanan intelektualnya yang kedua, yakni menuju ke Bukhara dan dilanjutkan ke Samarkand dan kembali lagi ke Bukhara. Pada saat di Bukhara beliau juga mengalami kesulitan yang mana para ulama di daerah itu melakukan penentangan terhadap pendapat-pendapat yang disampaikannya. Setelah itu beliau kembali ke tanah kelahirannya di Al- Ray. Dalam hidupnya ar-Razi juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik seperti sultan Baihuddin Sam (w. 602 M) dan sultan kabir (sultan di Khurasan). Ar-Razi terkenal dengan keahliannya dalam bidang tafsir, juga dikenal sebagai filosof Islam hingga akhirnya ar-Razi mendapatkan julukan ‘Fakhr al-Din’, julukan lain yang disematkan kepadanya ialah Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. Nama Fakhruddin ar-Razi melambung pada  saat abad ke- 6 H, semasa dengan nama gurunya yakni Imam Syafi’i dan masih terus terdengar hingga masa sekarang.

Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga Sunni kental dengan mazhab Asy’ariyah, sejak kecil beliau banyak mendapatkan pengajaran berbagai ilmu dan ar-Razi berhasil menghapal kitab seperti asy-Syamil al-Ushul ad-Din karya Imam al-Haramain yang membahas ilmu kalam, kitab al-Mu’tamad karya Hasan al-Bahsri, dan kitab al-Musytasyfa karya al-Ghozali. Kedua kitab tersebut membahas masalah ilmu ushul fikih beraliran Sunni.[3] Pengajaran-pengajaran kitab yang didapatkannya dan sesuai dengan aliran yang dianutnya, membuat Fakhruddin ar-Razy semakin kuatnya pemahaman akidah ar-Razi atas ajaran Islam berdasarkan paham Sunni itu sendiri. Sehingga sangat jelas pemikiran al-Razi mengenai kefilsafatan banyak dipengaruhi oleh pendahulunya atau ulama klasik seperti Hasan al-Bahsri, Imam Ghozali bahlan pemikiran filusuf Yunani seperi Aristoteles.[4]

Dalam persoalan fikih, ar-Razi bisa disebut cukup fanatik terhadap mazhab Syafi’i, terbukti dari pendapat-pendapatnya yang terlihat mengunggulkan pendapat Imam Syafi’i ketimbang mazhab lain. Walaupun terkadang terlihat ar-Razi melakukan kritik beberapa pendapat Syafi’i, misalnya dalam hal wajibnya witir, wajibnya zakat buah, dan tanaman serta bolehnya minum khamr jika tidak ada air, beliau mengikuti Imam Abu Hanifah. Diantara kitab karyanya dalam masalah fiqih adalah at-Thariqah al-‘Aliyah yang terdiri dari 4 jilid dan Syarah al-Wajiz dari al-Ghozali.[5] Dari gurunya tersebut, ia banyak memperbincangkan mengenai pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah yang berlandaskan  rasional, sehingga pola pikir ar-Razi pun sangat mengedepankan akal. Bahkan pemikirannya terkenal dengan konsep penggabungan kalam dan filsafat, sehingga ia dijuluki sebagai mujadid dalam bidang ilmu kalam.[6]

Setelah perjalanan ilmiahnya ia kembali ke tempat kelahirannya, Ray. Di sana ia menjalin hubungan dengan beberapa penguasa Khurasan saat itu yaitu Bahaudin Sam dan raja-raja setelahnya, sampai ia bertemu dengan seorang Raja yang terkenal di Khurazan, yaitu Khawarizm. Di Khurazan tersebut, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi menjadi tokoh agama. Usaha Al-Razi dalam menjalin hubungan dengan para penguasa, salah satunya bertujuan untuk membendung kekuatan Tartar agar tidak merebut wilayah Islam yang pada masa itu umat Islam dari segi politik, ilmu pengetahuan dan  aqidah di bawah pemerintahan Dinasti Abbasyiah sedang melemah, berbagai berita kekhawatiran dan ketakutan muncul pada saat itu, seperti berita perang salib berada di Syam, berita bangsa Tatar di bagian Timur yang menghimpit kaum muslimin untuk bebas bergerak dan berkembasng. Pada saat itu perbedaan madzhab dan aqidah sangatlah kuat di Ray yang mana terbagi ke dalam 3 golongan, yaitu Syafi’i, Hanafi dan Syi’ah. Banyak pula aliran ilmu kalam, yang menjadi perdebatan panjang diantara mereka, dan yang paling terkenal adalah Syiah, Mu’taadah, Murjiah, Bathiniyah dan Al-Karrosiyah.[7] Akan tetapi usaha ini tidak berlangsung lama.[8]

Ar-Razi wafat pada hari raya idul fitri tahun 606 H di kota Ray. Ada yang mengatakan beliau wafat karena diracuni dan ada pula pendapat lain yang menyatakan beliau wafat karena sikap permusuhan dari golongan al-Karramiyyah yang menuduh Imam ar-Razi sebagai orang kafir dan telah melakukan dosa besar. Sehingga disimpulkan penyebab kematiannya adalah karena terjadinya perdebatan sengit tentang masalah akidah dengan kelompok Karramiyyah hingga sampai pada tahap pengkafiran satu sama lain. Fakhruddini ar-Razy wafat disebabkan oleh racun, walaupun memang belum ditemukan siapa pembunuhnya.[9]

Ar-Razi memiliki banyak karya di berbagai bidang keilmuan, Fakhruddin ar-Razy telah menulis lebih dari seratus buku yang salah satunya yaitu sebagai berikut:

  • Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib)
  • Aja’ib Alquran (The Mysteries of the Qur’an)
  • Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd’ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan
  • Al-mahsul fi ‘Ilm al-Usul
  • Al-Mutakallimin fi ‘Ilm al-Kalam
  • Ilm al-Akhlaq
  • Kitab al-Firasa
  • Kitab al-Mantiq al-Kabir
  • Kitab al-Nafs wal-ruh wa Shsrh Quwa-huma
  • Mabahith al-Mashriqiyya fi Ilm al-Ilahiyyat wa al-Tabi’iyyat
  • Matalib al-‘Aliya
  • Muhasal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin
  • Nihayat al-‘Uqul fi Dirayat al-Usul
  • Risala al-Huduth
  • Sharh al-Isharat
  • Sharh Asma’ Allah al-Husna
  • Sharh Kulliyyat al-Qanun fi al-Tibb
  • Sharh Nisf al-Wajiz li’il-Ghazali
  • Sharh Uyun al-Hikmah

 

Latar Belakang Penulisan Tafsir Mafatih al-Ghaib

Kitab tafsir ini merupakan kitab yang paling banyak dijadikan sandaran para mufasir, karena isinya yang bisa diterima oleh akal atau rasional. Bisa dikatakan bahwa tafsir ini tidak ada duanya karena cakupannya memuat banyak disiplin keilmuan seperti nahwu, balaghah, filsafat, dan ilmu lainnya. Ar-Razi berusaha menggabungkan teori ilmiah dengan Alquran, terutama pada ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Pada permasalahan kebenaran akal dan wahyu, ar-Razi menjelaskan secara detail dan rasional sehingga tidak ditemukan kontradiktif.

Ar-Razi tidak pernah menuliskan mukaddimah dalam karyanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memperhatikan sendiri bagaimana kondisi pada masa karyanya lahir. Jika dianalisa dari kondisi lingkungan pada masa lahirnya tafsir Mafatih al-Ghaib, bahwa tujuan ditulisnya tafsir ini antara lain:

  1. Melindungi Alquran dan menjelaskan ayatnya dengan metode ‘aqli untuk memperkuat akidahnya. Untuk menanggapi para filosof dan ulama ilmu kalam, ar-Razi menjelaskan serasional mungkin dan detail pada tafsirnya untuk menghilangkan perkara yang subhat.
  2. Ar-Razi meyakini bahwa Allah memiliki dua keadaan, suatu keadaan yang bisa dilihat yaitu wujud dari penampakan alam yang mati dan hidup, dan keadaan yang bisa dibaca yaitu Alquran. Apabila semakin dalam berfikir alam pertama, maka akan bertambah pemahamannya pada alam kedua (Alquran). Hal seperi inilah yang mendasari ar-Razi menggunakan ‘aqli untuk memahami ayat Alquran.
  3. Balaghah dan manhaj ‘aqli adalah materi untuk menafsirkan Alquran dan menggunakannya untuk menta’wilkan ayat-ayat Alquran. Ar-Razi benar-benar memonopoli kekuatan para mufasir muktazilah seperti Abu al-Qasim al-Balkhi, Abu Bakar al-Asham, Abu Ali al-Jubba’i, Abu Muslim al-Isfahani, Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Isa bin Ali al-Rummani dan Zamakhsyari. Ar-Razi menggunakan manhaj ‘aqli tetapi ia memecah pertaliannya dengan mengikuti inti susunannya tetapi tidak pada pokok-pokoknya dan menggunakan pemikiran ahlus sunnah wal jama’ah. Begitulah kiranya tiga alasan pokok ditulisnya tafsir Mafatih Ghaib[10]

 

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib

Anatomi Kitab

Kitab ini sesuai dengan nama yang disandangnya yakni Tafsir Kabir (tafsir besar). Ibnu Khalkan berpendapat bahwa dalam kitab ini terdapat banyak hal yang unik dan jarang ditemui dalam tafsir manapun.[11] Sistem penulisannya mengikuti urutan Tartib Mushafi. Tafsir berjumlah 32 juz dan disusun dalam 16 jilid, berikut rincian juz Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib:

Juz Pembahasan Kitab Jml Hal.
1 Mukaddimah kitab, Tafsir isti’adzah, basmalah, dan QS. al-Fatihah 279
2 QS. al-Baqarah ayat 1 – 34 265
3 QS. al-Baqarah ayat 35 – 109 275
4 QS. al-Baqarah ayat 110 – 167 239
5 QS. al-Baqarah ayat 168 – 210 239
6 QS. al-Baqarah ayat 211 – 254 226
7 QS. al-Baqarah ayat 256 – QS. Ali Imran ayat 25 241
8 QS. Ali Imran ayat 26 – 129 244
9 QS. Ali Imran Ayat 130 – QS. an-Nisa ayat 16 247
10 QS. an-Nisa ayat 17 – 93 248
11 QS. an-Nisa ayat 94 – QS. al-Maidah ayat 43 247
12 QS. al-Maidah ayat 44 – QS. al-An’am ayat 53 255
13 QS. al-An’am ayat 54 – QS. al-An’am ayat 152 251
14 QS. al-An’am ayat 153 – QS. al-A’raf ayat 145 251
15 QS. al-A’raf ayat 146 – QS. at-Taubah ayat 13 248
16 QS. at-Taubah ayat 14 – QS. at-Taubah ayat 129 247
17 QS. Yunus ayat 1 – QS. Hud ayat 44 248
18 QS. Hud ayat 45 – QS. ar-Ra’du ayat 2 243
19 QS. ar-Ra’du ayat 3 – QS. an-Nahl ayat 11 244
20 QS. an-Nahl ayat 12 – QS. al-Isra’ ayat 60 243
21 QS. al-Isra’ ayat 61 – QS. Maryam ayat 98 265
22 QS. Taha ayat 1 – QS. al-Anbiya ayat 199 240
23 QS. al-Hajj ayat 1 – QS. an-Nur ayat 35 249
24 QS. an-Nur ayat 36 – QS. al-Qashash ayat 55 272
25 QS. al-Qashash ayat 56 – QS. Saba’ ayat 54 280
26 QS. Fathir ayat 1 – QS. az-Zumar ayat 52 296
27 QS. az-Zumar ayat 53 – QS. al-Jatsiyah ayat 37 279
28 QS. al-Ahqaf ayat 1 – QS. an-Najm ayat 29 319
29 QS. an-Najm ayat 30 – QS. ash-Shaff ayat 14 325
30 QS. al-Jum’ah ayat 1 – QS. al-Mursalat ayat 50 292
31 QS. an-Naba’ ayat 1 – QS. ad-Dhuha ayat 11 229
32 QS. asy-Syarh ayat 1 – QS. an-Nas ayat 6 226

 

 

Sejarah Pencetakan

Tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari 32 Juz yang disusun menjadi 16 jilid. Pencetakannya tidak semerta dicetak secara full, namun mengalami beberapa kali pencetakan:

  1. Pencetakan pertama di Kairo, Yulaq, dari tahun 1278 – 1289 H. Pada selang waktu tersebut baru dicetak 6 jilid.
  2. Pencetakan kedua masih di Kairo pada tahun 1309 H. Pada pencetakan ini bertambah 2 jilid dibandingkan pencetakan sebelumnya menjadi 8 jilid
  3. Pencetakan ketiga dilakukan di Kostantiniah pada tahun 1307 H.
  4. Pencetakan keempat dicetak oleh Muhammad Husein Ilmi pada tahun 1335 H. di daerah Teheran
  5. Pencetakan kelima dilakukan kembali di Kairo oleh percetakan Bahiyyah dan sebagai editornya, Muhammad Yuhyi ad-Din, dari tahun 1352 – 1357 H. dengan jumlah lengkap 32 juz dalam 16 jilid.
  6. Pencetakan Tafsir Mafatih al-Ghaib yang telah lengkap 32 juz ini dilakukan kembali di Beirut oleh Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi dan di Iran oleh Dar al-I’lam al-Islami pada tahun 1405 H.
  7. Tafsir lengkap 32 Juz yang disusun dalam 16 jilid ini dicetak kembali di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘Alamiah dengan tambahan satu jilid tersendiri sebagai fihris tafsirnya pada tahun 1411 H. oleh Ibrahim dan Ahmad Ahmad Syamsuddin.[12]

 

Serba-serbi Tafsir

Kitab ini masuk dalam periode pertengahan[13], atau dalam literatur lain masuk dalam era aformatif.[14] Ar-Razi menulis tafsirnya dari tahun 595 H, dan selesai pada tahun 663 H. Konon, ar-Razi  belum sempat menyelesaikan kitabnya, tetapi sampai dimana beliau menulis tafsirnya dan siapa yang menyempurnakan masih menjadi persoalan yang sulit ditemukan jawabannya. Pengarang kitab Kasyf adz-Dzunnun mengatakan bahwa yang menyempurnakan tafsir ini adalah Syaikh Najm ad-Din Ahmad bin Muhammad al-Qomuli (w. 727 H) dan Syihab ad-Din Ibn Khalil ad-Dimasyqi (w. 639 H). Kemudian adz-Dzahabi melakukan penelusuran terhadap pendapat ini dan berkesimpulan bahwa ar-Razi menulis tafsirnya sampai pada surat al-Anbiya kemudian dilanjutkan oleh Syihab ad-Din tetapi belum sempurna, selanjutnya disempurnkana oleh Najm ad-Din. Tetapi adz-Dzahabi tidak menolak adanya kemungkinan kedua orang tersebut masing-masing menyempurnakan tafsir ar-Razi.[15] Alasan pendapat ini didasarkan pada pernyataan ar-Razi di akhir surat-surat tertentu mengenai waktu dan tempat, beliau menyelesaikan tafsirnya terhadap surat-surat tersebut. Termasuk surat-surat tertentu setelah surat al-Anbiya’ yang diduga bukan tulisan ar-Razi. Misalnya, di akhir surat Ibrahim yang terdapat kata-kata “al-Mushannif” padahal dirinya sendiri adalah mufassir itu sendiri. Mushanif di situ menulis bahwa tafsir surat ini selesai pada hari jum’at, akhir Sya’ban tahun 601 H. Di gurun Baghdad, kita mohon kepada Allah terbebas dari kehinaan neraka. Sesungguhnya Allah adalah raja yang dermawan, maha penyayang lagi maha kuasa, dengan pujian kepada Allah dan taufiq-Nya serta sholawat dan salam-Nya atas penutup Nabi, Muhammad SAW dan keluarganya.”[16]

Sementara dalam Mukaddimah cetakan tafsir ini menjelaskan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ditulis oleh ar-Razi dengan sempurna sebagaimana hasil penelitian al-Imari yang tertuan dalam karyanya tentang ar-Razi.[17]

Banyak perdebatan yang berkembang mengenai apakah Imam Razi menyelesaikan kitabnya secara utuh atau hanya sebagian saja. Ali Muhammad al-‘Imariz mengutarakan pendapatnya dalam kitabnya tentang imam ar-Razi setelah meneliti tentang simpang siur pendapat yang beredar bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara utuh.[18]

Metode Penulisan

Dari seluruh pernyataan yang ada, pada akhir surat tertentu terlihat bahwa ar-Razi menafsirkan Alquran tidak secara berurutan sesuai mushaf Alquran. Misalnya surat Yunus selesai lebih dulu yaitu pada bulan Rajab tahun 601 H. Dari surat at-Taubah yang selesai pada bulan Ramadhan tahun 601 H.

Untuk susunan penyajian kitabnya, pertama dituliskan Nama Surat, lalu klasifikasi makkiyah atau madaniyyahnya, dilanjutkan dengan penyebutan ayat. Lalu disebutkan juga perincian mana yang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dalam surat tersebut, serta waktu susunan penurunan surat. Barulah setelah itu masuk ke dalam ayat, dan dilanjutkan dengan tafsirnya.

Dalam menguraikan tafsirnya, ar-Razi menggunakan beberapa model pengungkapan yaitu problematika (al-mas’alah) dan tanya jawab (su’al-jawab) :

  1. Problematika (al-mas’alah)

pada bagian ini ar-Razi berusaha menyajikan analisanya secara fokus pada beberapa problematika yang dinilai penting. Di antara pembahasannya adalah mengenai gramatikal (nahwu), dan perbedaan pendapat kalangan Ushuliyyin, mufassirin, dan fuqaha terhadap kandungan ayat.

  1. Tanya jawab (su’al-jawab)

pada bagian ini ar-Razi mempertajam analisanya dalam bentuk pertanyaan dalam menggunakan logika, kemudian ar-Razi memberikan juga jawabannya.

  1. Jika ditemukan perbedaan qiraat dalam pembacaan suatu ayat maka akan dicantumkan bagaimana perbedaan qiraah tersebut. Hal ini bisa dilihat salah-satunya pada saat membahas lafadz yarta’ wa yal’ab dimana dalam tafsirnya ar-Razi menyampaikan perbedaan bacaan oleh imam Ibnu Katsir, Imam Nafi’, Abu Amr dan Ibnu Amir, Ahli Kufah, dan qiro’ah ba’id.[19] Terkadang juga disebutkan mengenai faedah-faedah yang dapat diambil dari ayat itu.[20]
  2. Disamping itu, ar-Razi acap kali menceritakan pribadinya secara spesifik dalam tafsirnya. Misalnya, kesedihannya sebab kematian putranya yang masih muda diceritakan dalam tafsir surat Yunus. Di dalam tafsir tersebut ar-Razi menceritakan bahwa hatinya sedang dirundung kesedihan yang mendalam karena wafatnya putra beliau dan juga meminta kepada siapapun yang membaca karyanya ini untuk ikut mendoakan.[21]

 

Metode Penafsiran Tafsir Mafatih al-Ghaib

Dalam tafsirnya ar-Razi sangat menekankan aspek munasabah (kesesuaian)  antar ayat dan antar surat, mengaitkan antara akhir surat dan awal surat, seperti akhir surat al-Infithar  dengan awal surat al-Muthaffifin.[22] Pada munasabah kedua tersebut adalah contoh munasabah yang paling mudah diidentifikasi. Pada Akhir surat al-infithar ditunjukkan betapa agungnya peristiwa qiyamat dan yang menguasai hari tersebut adalah Allah, ini sekaligus berfungsi sebagai peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Lalu disambunglah dengan surat al-muthaffifin yang membahas mengenai siksa.[23]

Imam Razi saat mengungkap ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan pendapat-pendapat fiqh lainnya juga. Walaupun begitu tetap ada kecenderungan kepada mazhab yang dianutnya yakni mazhab Syafi’i.[24] Kita bisa lihat hal ini dalam pembahasan Surat al-Baqarah ayat 222 yang membahas mengenai haid. Di situ dicantumkan bahwa menurut Imam Syafi’i masa paling cepat haid adalah sehari-semalam dan paling lama ialah 15 hari. Pendapat ini juga yang dipegang oleh Ali bin Abi Thalib, al-Auza’i, dan Ishaq. Setelah itu dicantumkan pendapat Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri bahwa masa haid paling cepat adalah 3 hari 3 malam dan paling lama 10 hari. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tak ada batasan khusus mengenai waktu haid, walaupun haid itu hanya terjadi sesaat ataupun hingga berhari-hari, maka tetap disebut dengan haid. Namun pada keterangan lain mengenai haid ini banyak yang diambil dari mazhab Syafi’i seperti perbedaan darah haid dan darah istihadhah.[25]

Tafsir Mafatih al-Ghaib saat membahas mengenai ideologi kalam,  dimana pembahasan masalah-masalah kalam atau teologi, ar-Razi menggunakan pendapat Sunni Asy’ariyah, oleh karena itu kitabnya penuh dengan penolakan terhadap aliran muktazilah dan golongan-golongan lain yang tidak sejalan. Setiap ayat yang berkaitan dengan akidah dan mazhab di beberkan dan diikuti dengan pendapat golongannya atau pendapatnya sendiri. Dan memang kebanyakan saat membahas mengenai ayat-ayat ideologi kalam, ar-Razi mengutip pendapat Muktazilah lalu memberikan retorika pembanding yang berlandaskan Sunni Asya’irah[26]

 

Corak dan Ittijah tafsir Mafatih al-Ghaib

Menurut Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut. Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.[27]

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib bisa disebut juga memanglah sebuah karya keilmuan yang besar. Sehingga pengkaji pun akhirnya menyimpulkan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ini bercorak tafsir yang berada di bawah naungan filsafat. Di sini yang dimaksud bukan berarti mengambil pendapat-pendapat para filsuf, namun tafsir ini disajikan dengan mengungkapkan dari pertanyaan-pertanyaan mendasar kefilsafatan. Hal ini bisa kita lihat pada penafsiran ar-Razi terhadap QS. Yusuf ayat 4. Pada ayat ini dipertanyakan mengenai bagaimana bintang, matahari, dan bulan itu bersujud? Padahal mereka adalah benda mati. Di sini tafsir ar-Razi mengambil pendapat dari para filsuf yang beranggapan bahwa bintang-bintang merupakan makhluk hidup yang juga dapat berfikir. [28]

Sumber Penafsiran

Tafsir mafatih al-Ghaib secara umum menggunakan sumber ra’yu (tafsir yang berbasis pada nalar), dan menggunakan metode tahlili (analitis) dalam penyajiannya. karena memang di dalamnya setiap ayat dianalisa dari berbagai sudut, seperti bahasa, riwayat, filsafat, dsb. Walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen sudut pandang penafsiran dengan jumlah fann keilmuan yang sama.[29]

Imam Razi dalam menulis tafsirnya selain menggunakan analisanya sendiri (ra’yu), juga mengambil pendapat ulama-ulama lain. Dalam bidang tafsir mengambil pendapat seperti Ibnu Abbas, Ibnu al-Kalbiy, Mujahid, Qatadah, Muqatil bin Sulaiman, dan lain-lain. Dari sudut pandang bahasa mengambil pendapat dari ahli riwayat, seperti al-Ashmu’i, Abi Ubaidah, dll, dan pendapat ulama, seperti al-Farra’, az-Zujaj, dll.[30] Imam ar-Razi juga mengambil pendapat dari kalangan muktazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam Zamakhsyari. Imam Zamakhsyari merupakan pengarang kitab Tafsir al-Kasysyaf. Kitab al-Kasysyaf merupakan kitab yang memiliki takwil tafsir, serta bahasa yang bagus yang banyak dianut oleh mufassir generasi setelahnya Imam Razi menghadirkannya dalam kitab ini karena ingin menolak hujjah-hujjahnya.[31]

Kritik Terhadap Kitab Mafatih al-Ghaib

Ahli nahwu yang juga seorang mufassir, Abu Hayyan, berkomentar bahwa kitab Tafsir Kabir ar-Razi disebut sebagai tafsir yang tidak konsisten. Awalnya membahas mengenai tentang huruf alif lalu pada berikutnya berubah membahas neraka-surga. Seakan-akan tidak ada sistematisasi yang ada dalam tafsir tersebut. Bahkan ar-Razi pun mengucapkan bahwa dalam tafsirnya terdapat segala hal kecuali tafsir itu sendiri.[32] Al-Imam at-Tuty juga ikut memberikan komentar dalam kitab tafsirnya al-Iksir fi ‘Ilmi at-Tafsir. Ia menyatakan belum pernah melihat tafsir yang paling banyak celanya kecuali tafsir al-Qurthuby dan tafsir Fakhruddin ar-Razi.[33]

Penutup

            Dari banyak pendapat yang mengatakan tentang selesai tidaknya penulisan kitab Mafatih al-Ghaib, pengkaji setuju dengan pendapat Ali Muhammad al-‘Imariz yang mengutarakan dalam kitabnya bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara menyeluruh. Tafsir ini dapat dikatakan tafsir ilmi pada masanya, sumber penafsirannya yaitu ra’yu dan metode penulisannya yaitu tahlili. Kitab ini merupakan salah satu kitab fonumenal yang mengkomparasikan ayat Alquran dan berbagai keilmuan lainnya dengan pembahasan yang cukup detail. Pengkomparasian tersebut bukan hanya satu ayat dengan keilmuan namun antara ayat satu dengan ayat lainnya pun dipertimbangkan walaupun memeng Tafsir Kabir ini belum bisa lepas dari pakaian subjektifis dari mu’alifi ketika berbicara tentang kalam ideologi dan fiqh. Tafsir Mafatih al-Ghoib  adalah sebuah objek yang sangat menarik untuk dikaji oleh penggiat Alquran dalam berbagai sudut pandang. [Miftah/Zee/Erika]

 

Daftar Pustaka

Abrahamov, Binyamin, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992).

Adz-Dzahabi, M. Husein, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005.

___________, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Al-Imari, Ali Muhammad Hasan, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969.

Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981.

Ghafur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Hayyan, Abu, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.

Hitti, Philip K, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H.

Khalkan, Ibnu, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H.

Ma’sumi, M. Saghir Hasan, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967.

Mahmud, Mani Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012.

_________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Rahardjo, M. Dawam, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

Saeed, Abdullah, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016.

 

Footnote

[1] Alquran selalu berinteraksi dengan dunia manusia yang selalu berubah-ubah, baik sisi sosial dan politiknya. Dan pada kenyataannya Alquran mampu mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Silahkan tengok, M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

[2] M. Saghir Hasan Ma’sumi, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967, hal. 356-360.

[3] Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 319.

[4] Binyamin Abrahamov, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992), hal. 133-140.

[5] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981, hal 5.

[6] Ibid., hal. 28.

[7] Ibid., hal. 4.

[8] Hal ini karena raja dari kesultanan Khawarizm yaitu Alaudin Muhammad Takasy yang sangat dekat dengan al-Razi, berhasil dikalahkan oleh bangsa Tartar dibawah kepemimpinan Jengis Khan. Di hadapan gerombolan orang-orang barbar, dengan pasukan sebanyak 60.000 orang. Penumpasan raja Alaudin Muhammad Takasy ini atas perintah dari sultan Abbasyiah, yaitu al-Nahsir yang merasa khawatir terhadap kekuasaan Khawarizm yang sebelumnya berhasil merebut kekuasaan Abbasyiah atas wilayah Persia, Bukhara, Samarkand dan Ghaznah. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 612-613.

[9] Muhammad Husein adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hal. 270

[10] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 652-655

[11] Ibnu khalkan, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H, hal. 249.

[12] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 650-651.

[13] Dinamika sejarah perkembangan tafsir periode pertengahan ditandai dengan bergesern;ya tradisi penafsiran dari tafsir bi al-ma’tsur ke tafsir bi ar-ra’yi. Penggunaan rasio semakin kuat. Tafsir pada periode ini juga lebih mengarah ke afirmasi (penegasan dan pembelaan) terhadap ideologi keilmuan dan mazhab penafsirnya. Implikasinya, banyak tafsir bermunculan dengan warna dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab para penafsirnya. Batas abad pertengahan ialah abad III – IX H. / 9 – 15 M. Lihat, Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012, hal. 89-90.

[14] Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the golden age atau al-‘asr adz-dzahaby). Karena memang pada masa ini Islam benar-benar memimpin peradaban dunia. Perkembangan ilmu melaju pesat, juga termasuk keilmuan dalam tafsir. Lihat Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 61.

[15] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 207.

[16] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 154.

[17] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9-10

[18]Ibid.

[19] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 99.

[20] Ibid., hal. 87.

[21] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 17, hal. 183.

[22] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 88. Lihat juga, Saiful Amin Ghafur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013, hal. 74.

[23]  Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 31, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 88.

[24] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 323.

[25] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 6, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 71-72.

[26] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hal. 146.

[27] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 324-325.

[28] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 88.

[29]Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016. Hal. 133.

[30] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9.

[31] Ibid.

[32] Abu Hayyan, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, hal. 219.

[33] Ali Muhammad Hasan al-Imari, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969, hal. 110.

KULIAH TAFSIR PESANTREN Oleh: KH. Dr. Ali Nurdin

Apa definisi tafsir Alquran? Tafsir adalah usaha untuk menjelaskan ayat-ayat Allah sesuai dengan maksud Allah dan sesuai dengan kemampuan manusia. Jika dipecah, definisi ini bisa dibagi menjadi empat unsur bagian. Pertama, sebuah usaha untuk menjelaskan. Kedua, yang menjadi objeknya adalah ayat-ayat Allah. Ketiga, berniatkan sesuai dengan maksud Allah. Keempat, sesuai dengan kemampuan manusia. Fokus pembahasan kali ini ada pada bagian keempat, yakni tentang kemampuan manusia.

Bagaimanakah penjelasan mengenai kemampuan manusia dalam tafsir? ialah tentang kompetensi manusia yang terdiri dari tiga unsur atau biasa disebut dengan syarat-syarat seorang mufassir (penafsir). Ada tiga unsur yang harus dimiliki oleh seorang mufassir ialah, pertama, Sikap/etika (dalam dunia tafsir biasa disebut dengan adab), maksudnya adalah seorang mufassir dalam menafsirkan Alquran tetap ditujukan sebagai sebuah petunjuk bagi manusia (65%). Kedua, seorang mufassir harus memiliki kemampuan akademik atau kognitif, contohnya seperti mengerti tentang bahasa Arab atau kaidah tafsir dan sebagainya (25%). Ketrampilan, seperti pemilihan bahasa (diksi) dsb (15%).

Jika dilihat dari kriteria di atas, pada perkembangannya seorang penafsir bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang tidak memiliki unsur pertama, yakni etika. Kaum orientalis sebagian besar masuk ke dalam kriteria ini, juga banyak akademisi lain yang tidak memilki unsur pertama dan hanya unsur yang kedua dan ketiga. Kelompok ini melihat ayat hanyalah sebagai ayat. Ilmu hanyalah sebuah ilmu. Sehingga tidak diperhatikan bagaimana sebuah penafsiran akan berpengaruh kepada masyarakat luas. Biasa dilabeli dengan kaum liberal. Kedua, kaum tekstualis yang hanya terfokus pada syarat pertama dan tidak memiliki syarat kedua dan ketiga sehingga akhirnya hanya menggunakan terjemah saja. Contohnya adalah Ibnu Muljam. Ketiga, tafsir pesantren adalah tafsir moderat yang berusaha menyeimbangkan segala aspek tersebut, yakni juga tidak lepas dari pemikiran dan kemampuan akademik dan tetap bertujuan unutk membuat orang melakukan hal baik (sebagai sebuah petunjuk).

Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah bahwa pemahaman tekstual lebih banyak ditemukan. Menurut penelitian sebuah Pusat Studi Alquran, presentase tekstualis ini mencapai 60%. Hal ini mudah dibuktikan, jika kita googling pembahasan mengenai tafsir, maka pemahaman tekstuallah yang marak. Sedangkan untuk pemahaman liberal, hanya menempati presentase sedikit. Kebanyakan pemahaman ini marak di kalangan akademik.

Kenyataan lain yang dihadapi adalah pendidikan sekarang dari TK sampai SMA sangat jarang menerapkan mengenai ‘sikap/etika’. Pada dasarnya kecerdasan ada yang berupa SQ dan IQ namun yang penting adalah metakognitif yakni kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya kepada hal lain.

Tawaran tafsir pesantren yang moderat dan seimbang (tawassuth) adalah, pertama saat menafsirkan sebuah ayat, mufassir harus mengerti realitas yang sekarang dan fakta yang berlangsung, misalkan Indonesia yang memang model masuknya Islam secara damai. Hal ini berbeda dengan adanya istilah “islamophobia” yang ada di wilayah lain dimana Islam datang dari para buruh, model perang, dsb. Karena itu pertimbangannya pun harus berbeda. Kedua, harus mengerti skala prioritas. Misalkan ayat innamalmukminuuna ikhwah adalah konsep dasar fundamental yang jangan sampai hal ini rusak karena masalah furu’yyah. Syariah satu, fiqh banyak, maksudnya adalah syariah Allah hanya satu namun fiqhnya banyak. Contohnya adalah sholat. Sholat merupakan perintah Allah namun kenyataanya caranya berbeda-beda. Ketiga, harus seimbang antara teks dengan konteks. Jangan sampai ayat yang bisa dipahami secara teks harus diperkosa dengan kontekstual. Contoh ayat mudahnya adalah tentang poligami, orang yang propoligami dan yang menolaknya akan mengeluarkan ayat-ayat yang sesuai. Contoh lainnya lagi adalah pada ayat hubbussyahawati …… kata al-khoil di situ bisa dimaknai sebagai kendaraan mobil. Keempat, dalam memahami ayat harus komprehensif (jangan sepotong-potong). Yakni mempertimbangkan ayat-ayat lain juga. Seperti ayat-ayat perang. Ayat-ayat perang harusnya difahami sebagai proteksi saat diserang, dan tidak difahami pada masa damai. Karena banyak pertimbangan ayat lain. Kelima, harus dipahami mana ayat membahas tentang keyakinan dan mana yang membahas tentang a’mal (perbuatan). Surat Ibrahim tentang keyakinan seperti pohon yang baik, dimana akar yang menancap kuat maka semakin tidak terlihat. Ini dijelaskan bahwa akidah semakin menancap kuat maka semakin tidak terlihat. Contoh, wa man yabtaghi ghoirol….. ayat ini adalah ayat yang harus diyakiini. Hal ini akan bertabrakan dengan ayat wa laa tasubbulladzina yad’una….. dimana ini merupakan ayat perbutaan. Saran yang diberikan adalah jangan suka mengadili keyakinan orang lain. [Muhammad Miftahuddin]

Kajian Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun Karya Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi

 

Pendahuluan

Sepanjang berjalannya waktu, kajian terhadap al-Qur’an tidak pernah lekang oleh zaman. Usia penafsiran al-Qur’an sama dengan usia al-Qur’an itu sendiri.[1] Sejak al-Qur’an diturunkan proses penafsiran pun langsung terjadi dimana Nabi Muhammad saw sebagai mufasir pertamanya.[2] Kajian terhadap al-Qur’an inilah yang juga merambah dan dirasakan nyata di Indonesia.Tempat-tempat kajian terhadap al-Qur’an di Indonesia pada masa itu bermula dari tempat-tempat seperti surau, langgar, masjid hingga pesantren.Bahkan pesantren sampai saat ini masih menjadi sentral kajian al-Qur’an. Al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan.[3]Hal inilah yang kemudian menjadikan diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengenal kata usai. Namun ibarat samudera yang luas dan dalam, itulah al-Qur’an yang tidak akan pernah mengalami kekeringan walaupun telah, sedang dan akan terus di kaji dari berbagai segi dan metodologi. Tuntutan agar al-Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik sebagai pedoman dan petunjuk hidup untuk umat manusia, terutama di zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti.

            Diantara ulama tafsir yang turut memperkaya khazanah tafsir adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (975-1058 M/ 364-450 H).Al-Mawardi dipandang sebagai tokoh pewaris dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mawardi meninggalkan karya monumental dengan namaal-Nukat wa al-‘Uyun. Seperti yang telah penulis ungkapkan, bahwa setiap mufassir mempunyai setting history-nya sendiri, begitu juga al-Mawardi. Banyak faktor yang telah memberikan andil dalam penulisan al-Nukat wa al-‘Uyun, sehingga menghasilkan penafsiran yang cenderung rasional. Menarik untuk dikaji bagaimana al-Mawardi mendialogkan ilmu yang menjadi keahliannya, serta melihat seberapa besar jabatannya menjadi qadhi berimplikasi pada beberapa ayat-ayat hukum dalam kitab tafsirnya al-Nukat wa al-‘Uyun.

 

Biografi Penulis

Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun merupakan sebuah karya kitab tafsir yang ditulis oleh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i al-Baghdadi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 346 H / 974 M. Al-Mawardi merupakan nisbat kepada ma’ al-ward (ma’: air; al-ward: mawar), yaitu sebutan untuk profesi keluarga al-Mawardi sebagai pembuat dan penjual air bunga mawar.[4] Sedangkan al-Bashri merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah. Sebutan al-Syafi’i menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syafi’i. Sementara al-Bagdadi merupakan nisbat kepada tempat al-Mawardi menghabiskan lebih banyak masa hidupnya hingga ia wafat di sana yaitu kota Baghdad pada tahun 450 H/1058 M.[5]

Tahqiq dan Publikasi

Berdasarkan analisa penulis, kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn ditulis pada masa daulah Dinasti Abbasiyah di  bawah supremasi Dinasti Buwaihi (945-1055).[6] Dalam muqodimahnya al-Mawardi mengungkapkan alasannya menulis kitab al-Nukat wa al-‘Uyun. Berawal dari fakta bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah maknanya. Maka al-Mawardi pun membagi ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada ayat yang zhahir dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut.Kemudian al-Mawardi melanjutkan perkataannya bahwa terhadap ayat-ayat yang zhahir dan jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar membacanya saja. Namun terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya, al-Mawardi menawarkan dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihad (rasional). Inilah yang membuat al-Mawardi merasa terpanggil jiwanya untuk ikut berkontribusi dengan cara menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan-kumpulan ta’wil dan tafsir. terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.[7]

Tafsir al-Mawardi termasuk kitab tafsir singkat yang mencakup ayat-ayat Al-Qur’an secara komplit dengan metode bayani dan adabi (metode interpretasi dan sastra). Al-Mawardi memperhatikan aspek-aspek bahasa sehingga beliau memaparkan asal-usul kata dan menjelaskan maknanya dengan mengambil penjelasan dari peribahasa dan syair yang terkait kemudian menghubungkannya dengan makna yang dikehendaki oleh ayat. Dalam tafsir ini, beliau juga menghimpun berbagai pandangan dari ulama terdahulu dan terkini serta tidak lupa untuk memberikan penjelasan dan komentar pada semua ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan.[8]

Sebelum memulai penafsiran, penulis menyampaikan beberapa kajian pendahuluan yang mencakup keterangan alasan penyusunan buku dan metodologi penulisan yang beliau gunakan. Penulis menyinggung segi i’jaz Al-Qur’an, dan menjelaskan hukum bahwa ijtihad untuk mengungkap makna-makna Al-Qur’an merupakan tindakan yang dibenarkan serta mendorong untuk senantiasa memahami dan merenungi makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an.[9]

Seusai memberikan pengantar tentang tafsir yang beliau susun dan karakteristik utama yang dimilikinya, ia berkata :

“Makna eksplisit yang gamblang dapat dipahami dengan sekedar membaca, sedangkan makna yang terpendam sulit diungkap dan ditangkap kecuali dengan dua cara, yaitu memahami riwayat yang ada dan melakukan ijtihad. Melihat kondisi seperti ini, saya terobsesi untuk secara khusus menyingkap makna yang terpendam dan menginterpretasikan ayat yang mengandung makna njlimet melalui kitab ini. Saya akan menyampaikan berbagai pandangan ulama generasi awal dan generasi berikutnya serta kesepahaman dan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Saya juga akan mengutarakan makna alternatif yang muncul di dalam benak saya. Makna alternatif yang saya maksudkan untuk membedakan antara pandangan saya pribadi dengan pandangan yang kutipkan dari ulama terdahulu.Saya tidak akan berkomentar tentang makna eksplisit ayat karena saya anggap pembaca telah mampu mengerti dan memahaminya sendiri dengan baik, agar tulisan saya nantinya lebih fokus dan lebih intens membahas makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat Al-Qur’an“.[10]

Kitab ini pernah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1412 H/1992 M, yang di tahqiq oleh Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim yang seluruhnya sebanyak 6 jilid dengan ukuran 24 cm,[11] dengan jumlah halaman:

  • Jilid I berisi muqqodimah pentahqiq, muqqodimah mushonnif, surat al-Fatihah sampai An-Nisa’ (548 halaman).
  • Jilid II berisi surat al-Maidah sampai surat Hud (512 halaman).
  • Jilid III berisi surat Yusuf sampai al-Anbiya’ (477 halaman).
  • Jilid IV berisi surat al-Hajj sampai surat Fatir (480 halaman).
  • Jilid V berisi surat Yasin sampai surat As-shof (531 halaman).
  • JilidVI berisi surat al-Jum’ah sampai surat an-Nas, disertai dengan daftar isi. Urutan surat ini didasarkan pada urutan mushaf roshm Utsmani (380 halaman).

Pada tahun 1402 H/1982 M, kitab ini pernah diterbitkan oleh Kementrian Wakaf Kuwait.[12] Karya lain dari al-Mawardi selain al-Nukat wa al-‘Uyun, di antaranya, al-Ahkam al-Shultahinyyah, Adabul Wazir “Qawanin al-Wizarah wa Siyasat al-Mulk“, Adab al-Dunya wa al-Din, Adab al-Qashi. Ini merupakan bagian dari buku Al-Hawi, Nashihat Al-Muluk, Al-Amtsal wa Al-Hikam.[13]

Resepsi Masyarakat

Sebagaimana pernyataan Sayyid Ali al-Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum. Mengenai riwayat Israiliiyyat, sikap al-Mawardi, meskipun tafsir yang ia tuliskan tergolong singkat, cenderung mengutip hadis-hadits tidak valid dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Beliau juga tidak jarang menyampaikan kabar Israiliyyat yang nyeleneh. Sebagai contoh, al-Mawardi mengadopsi cerita tentang Harut dan Marut dari tukang cerita Yahudi. Selain itu juga cerita tentang Nabi Sulaiman dan dialog diantara beliau dengan setan serta cerita lain yang diselipkan ke dalam tafsirnya. Anehnya, al-Mawardi tidak menunjukkan gelagat untuk menjauhi atau bahkan mengkritik cerita-cerita tersebut.[14]

Untuk persoalan teologi, al-Mawardi berhalauan Mu’tazilah meski dari tampilan luar beliau tidak menyatakan secara gamblang bahwa beliau termasuk pengikut paham tersebut. Terkadang ia mengarahkan ke pemikiran tersebut secara lembut dan terkadang al-Mawardi menyuguhkan kepada kita selaku pembaca berbagai bentuk penafsiran sederhana terhadap suatu ayat padahal sebenarnya diantara pendapat-pendapat yang disebutkan tidak ada satu pun pendapat yang bertentangan dengan pola pikir Mu’tazilah. Al-Subky sebagaimana yang dikutip oleh peneliti Dr. ‘Adnan Zurzur di sela-sela pembiacaraan biografi Al-Mawardi telah menyusun artikel sederhana yang membahas Tafsir Al-Mawardi dan kritikan tajam yang ia layangkan kepada al-Mawardi. Al-Subky berkata[15]:

“Tafsir Al-Mawardi sangat berbahaya karena memuat konten yang menipu maupun mengecoh yang berisi takwil orang-orang sesat. Konten tesebut disematkan dengan tampilan yang apik sehingga tidak terlacak kecuali oleh para ahli. Di sisi lain, penulis juga seorang yang tidak begitu dikaitkan dengan sindikat penyebaran sekte Mu’tazilah sehingga konten tersebut mungkin diragukan dan semakin sulit untuk ditelusuri. Penulis hanya menyatakan bahwa beliau berijtihad tetapi secara diam-diam beliau mengarahkan pembaca untuk menyetujui sikap-sikap sekte teologi Mu’tazilah”.

Di akhir kalimat, Al-Subky berkata :

“Al-Mawardi bukan seorang Mu’tazilah tulen karena beliau tidak selalu sejalan dengan pemikiran-pemikiran pokok paham Mu’tazilah semisal dalam kasus “ Al-Qur’an adalah Makhluk’. Namun, beliau sepakat dengan Mu’tazilah dalam memahami konsep Qadar[16] Allah.”

Setelah mengutip respon Al-Subki terhadap Tafsir Al-Mawardi. ‘Adnan Zurzur turut memberikan komentar sebagai berikut:

“Bagaimana pun juga, Al-Mawardi telah meletakkan tafsir beliau diatas fondasi aliran Mu’tazilah dan metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Terlepas dari persoalan apakah Al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka pada beberapa kasus atau tidak dan terlepas apakah beliau menyatakan degan tegas mengikuti aliran Mu’tazilah ataupun tidak.”

Corak Tafsir Al Mawardi

            Menurut bentuk atau sumbernya, tafsir Imam al-Mawardi adalah termasuk ke dalam golongan tafsir bi al-ma’tsur, yaitu sesuatu yang bersumber dari nash al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasul, para sahabat, dan para tabi’in. Menurut Iyaziy, tafsir al-Mawardi ini tergolong tafsir lughawi, karena seringnya beliau menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan pendekatan sastra melalui berbagai syair.[17]

            Namun demikian, corak bahasa bukan satu-satunya corak tafsir al-Mawradi, karena tafsir ini memiliki karakteristik dalam beberapa bidang di antaranya:

  1. Mengumpulkan berbagai pendapat salaf dan khalaf terkait makna ayat
  2. Analisis bahasa yang mendalam di dalam menjelaskan makna ayat
  3. Keahliannya dalam bidang fiqh

            Bila ditinjau dari muqoddimah Tafsir al-Mawardi, sang pengarang yaitu Abu Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry mengatakan bahwa penafsirannya bercorak pada sastra bahasa yang menggunakan beberapa pena’wilan-pena’wilan dari berbagai ulama, baik dari ulama salaf sampai ulama’ khalaf, sehingga banyak pendapat tentang suatu pembahasan ayat atau surat di dalamnya, sehingga terdapat pula kesamaan-kesamaan atas penawilannya dan begitupun yang bertentangan.[18]

Langkah-Langkah Penafsiran

            Produk penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari seorang mufassir. Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahliliy, ijmaliy, muqarin dan mawdhu’iy.[19]

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini, setidaknya dapat diketahui melalui pernyataan al-Mawardi dalam muqaddimah tafsirnya, sebagaimana yang telah penulis ungkapkan pada sub gambaran umum kitab yang menjadi karakteristik tersendiri bagi al-Mawardi.Al-Mawardi menginterpretasi ayat Al-Qur’an dengan cara menyebutkan nama surat, memastikan status makkiyah atau madaniyyah dan menuturkan riwayat-riwayat yang ma’tsur terkait dengan surat. Baru kemudian menjelaskan tafsirannya dengan disertai asbab al-nuzul. Setelah itu, beliau lantas mulai menjelaskan makna kosakata dan menyebutkan latar belakang ayat diturunkan. Orientasi al-Mawardi berkisar pada aspek Bayyani dan asal-usul bahasa dengan berbekal pemahaman terhadap peribahasa atau syair yang terkait. Kemudian iamenjelaskan beberapa komentar ulama yang beliau didapati secara global dan menjabarkan masing-masing pendapat secara berurutan, semisal terdapat empat atau tiga komentar. Iabiasanya juga menyebutkan nama ulama yang berkomentar serta melakukan analisa untuk menentukan pendapat mana yang lebih kuat. Namun, al-Mawardi juga tak jarang hanya sekedar mengutip beberapa komentar ulama tanpa menyertakan analisa lebih lanjut.[20]

Berdasarkan analisa Sayyid Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mawardi juga menjelaskan perbedaan bacaan (qira’at).Diantara metode lain yang digunakan penulis adalah memaparkan berbagai pandangan fiqh yang berlandaskan pada penjelasan Imam Al-Syafi’i saat beliau menafsirkan ayat-ayat bermuatan hukum. Meski demikian, al-Mawardi secara tersirat juga merujuk pada pandangan dari Madzhab berhalauan Ahlus Sunnah yang lain.Sikap yang dipegang teguh oleh al-Mawardi adalah menggunakan rasio untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Makna lebih mendalam tidak mungkin diungkap kecuali dengan mengerahkan usaha lebih dalam merenungi ayat dengan akal. Al-Mawardi tidak hanya membahas kasus-kasus yang bersifat penting dan mendasar serta tidak menyetujui pemahaman yang dangkal. Beliau juga menentang orang yang tidak memperbolehkan menyingkap makna Al-Qur’an dengan bekal ijtihad akal yang tidak disokong oleh teks real dan valid yang diriwayatkan dari generasi terdahulu dengan dalih bahwa rasul pernah berkata : “ Orang orang mengkaji Al-Qur’an dengan rasionya, Ia jelas-jelas salah meski ia memperoleh kebenaran.”[21] Menanggapi kelompok tersebut, al-Mawardi dengan lantang melontarkan sangkalan sebagai berikut :

“Orang dengan tingkat intelektualitas yang rendah dan wawasan yang minim tidak berani melangkah lebih jauh. Mereka memaknai hadis tersebut dengan dangkal lantas menolak segala bentuk usaha ilmiah untuk mengungkap lebih jauh makna Al-Qur’an meski dengan berbekal dalih yang berbobot, selama usaha tersebut secara tekstual tidak dibarengi dengan riwayat yang valid atau diakui legalitasnya. Ini merupakan penyelewengan dari perintah Allah yang mengajak berdialog dengan hamba-Nya melalui bahasa Arab (yang jelas). Dia telah mengingatkan bahwa diantara makna rumit yang tersimpan di dalam Al-Qur’an, terdapat teka-teki dan misteri yang sulit dicerna. Makna tersebut akan tetap jadi teka-teki dan misteri selama kita tidak menyelami firman Allah. Allah menjelaskan lebih lanjut kandungan makna tersebut ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami serta mampu memutus komunikasi yang tidak sinkron antara Allah dan hamba serta Allah telah melapangkan kepada hamba-Nya jalan untuk menapaki hukum-hukum yang terpendam sebagaimana firman Allah : “Pasti akan diketahui oleh orang-orang diantara kalian yang mengungkapnya“. Andai kata pemahaman mereka (kelompok yang tidak setuju penggunaan rasio dalam penafsiran Al-Qur’an) benar, niscaya firman Allah tidak akan bisa dipahami dan maksud dari firman tersebut tidak pula dapat ditangkap. Dengan kata lain firman Allah hanya akan menjadi teka-teki yang tetap menjadi misteri. Hal ini tidak mungkin dikehendaki Allah. Dengan demikian, pemikiran mereka yang menolak telah terbantahkan dan mentakwil ayat Al-Qur’an merupakan alternatif demi mencapai pemahaman yang memadai ketimbang hanya mengandalkan pemaknaan ayat dari bungkus luarnya saja. Semoga Allah menyelamatkanku dari pemahaman yang menyatakan pasrah menerima Al-Qur’an dengan segala misterinya yang mengarah pada tindakan untuk tidak menggunakannya.”[22]

Sumber Penafsiran

Di dalam menafsirkan al-Mawardi menggunakan sumber-sumber, diantaranya:

Qira’at

Al-Mawardi memperhatikan aspek keanekaragaman qiraat. Untuk ranah ini, ia mengacu pada buku-buku yang ada di zamannya, semisal kitab Ibnu Khawalih yang berjudul Al-Qiraat As-Syadzzat, Al-Hujjat fi ‘Ilal Al-Qiraat Al-Sab’i karya Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ahmad Al-Farisi dan kitab Al-Muhtasab fi Tabyin Wujuh Syawaz Al-Qiraat dan kitab Al-Iidah yang sama-sama ditulis oleh Abul Fath ‘Utsman bin Jinni.[23]

Tafsir bil Ma’tsur

Merujuk Kitab “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an” karangan Ibn Jarir al-Thabari[24] merupakan kitab tafsir yang menjadi referensi dalam tafsir al-Mawardi. Misalnya saja, dalam menafsirkan Surat al-Nisa’ [4]: 34.

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا

Potongan ayat واهجروهن في المضاجع dikomentari oleh al-Mawardi dengan mengemukakan lima pendapat, dan pada poinke-5 al-Mawardi mengutip pendapat al-Thabari sebagai berikut:

والخامس: هو أن يربطها بالهجار وهو حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر الطبري.

Kelima, istrinya diikat dengan “al-hajjar”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas ketika pembuahan. Ini adalah pendapat Abu Ja’far al-Thabari.[25]

 

Selain itu, ia juga menukil dari Muqotil bin Khayyan dan Muhammad bin Ishaq bin Yasar teman seperjuangannya.[26]

Sumber Bahasa dan Nahwu

Dalam bahasa semantik dan nahwu al-Mawardi menggunakan sumber yang banyak dan beraneka ragam, seperti menukil dari al-Kasai, al-Farai, al-Ahfaz, Tsa’lab, Mubarad, Az-Zujaj. Dari sekian pengarang dalam kajian makna-makna al-Qur’an mendapat sumber dari Ubaydah dari kitabnya Majaz al-Quran dan Rumani dari kitabnya Jami’ liIlmil Quran, seperti menukil dari Kholil bin Ahmad, Syaibuwiyah, dan Umar bin Ila’.[27]

Sumber Fiqh

Pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad. Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, al-Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’. Pada tahun 423 H, al-Qadir wafat. Maka anaknya al-Qa’im menggantikannya sebagai khalifah.Karir al-Mawardi pada masa khalifah al-Qa’im (1031-1074 M) semakin meningkat.Ia mulai menampakkan perannya yang penting dalam pemerintahan khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Di samping itu, pada saat itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran).[28]

Contoh Penafsiran Al-Mawardi terhadap Kata Khalifah: Suatu Kompirasi

            Arti khalifa adalah secara etimologi berasal dari kata kholafa, yakhlufu yang memiliki beberapa pengertian yaitu mengganti, memberi ganti, dan menanempati tempatnya. kata khalifah sendiri mempunyai pengertian pengganti atau penguasa.[29] Kata khalifah dalam al-Qur’an setelah ditelusuri dengan Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi ditemukan bahwa khilafah juga berasal dari kha-la-fa yang berarti kepemimpinan. Hal ini terdapat dalam berbagai makna.Pertama, generasi pengganti.Kedua, suksesi generasi dan kepemimpinan.Ketiga,proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah. Keempat, pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah.Jadi, kata khilafah atau khalifah dalam arti kepemimpinan jelas ada di dalam al-Qur’an.[30]

Ayat yang akan disinggung untuk menjelaskan tentang kepemimpinan Islam akan diwakili dalam surat al-Baqoroh ayat 30 dan surat Shad ayat 26 yang menurut hemat penulis cukup mewakili keberadaankata khalifah dalam al-Quran dan mampu menjelaskan secara komprehensif arti khalifah dalam konteks kepemimpinan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[31]

            Al-Mawardi menafsirkan bahwa ayat ini dinilai dengan penyampaian keputusan Allah pada para malaikat tentang rencananya mennciptkan manusia di bumi. Penyampaian ini bias jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama atau Adam dengan nyaman, pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mufadhil. Ketika mendengar rencana tersebut, para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Pernyataan itu juga bias lahir dari penamaan Allah terhadap malaikat yang akan diciptakan itu dengan khalifah, Kata ini mengesakan makna pelerai perselisihan dan penegak hokum sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya yang pasti mereka (malaikat) bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencanaNya dan bisa saja bukan Adam yang mereka maksud dalam hal berselisih, merusak, dan menumpahkan darah anak cucunya.[32]

Berbeda dengan Al-Zamakhsary ketika menafsirkan khalifa di dalam al-Qur’an terkait surah al-Baqarah ayat 30.Dalam tafsirnya Zamakhsyari yakni al-Kasyaf menjelaskan, bahwa manusia di turunkan ke muka bumi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, kesemuanya memiliki potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah di muka bumi.kesemuanya itu merupakan bagian dari hal yang ditakdirkan oleh Allah SWT.[33] Hal tersebut menurut hemat penulis tak lepas dari hadis Rasululllah yang mengungkapkan bahwa semua muslim adalah pemimpin bagi muslim lainnya, dan dilanjutkan hingga komponen terkecil. Sehingga potensi-potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah adalah menjadi suatu keniscayaan.

Kholifah adalah orang yang kedudukannya sebagai pengganti atau bertugas menggantikan selain-Nya.Adapun makna dari “kholifah darimu sekalian”, adalah karena mereka sekalian adalah penduduk bumi, maka mereka menjadi kholifah bagi Adam dan semua keturunan-keturunannya.Mengenai apakah pengucapannya dalam maksud kata khalifa itu sendiri dengan menggunakan lafal kholaif ataukah khulafa’?Zamakhsyari lebih memaksudkan atau menekankan pada penggunaan kholifah Adam.Tujuan dari mengambil kata tersebut adalah untuk menyebut anak turunnya Adam, seperti dalam contoh penuturan konteks kata Abil Qabailah dengan menggantinya menjadi Mudhor dan Hasyim. Atau yang diharapkan dari ungkapan “pengganti” atau “penerus”, maka yang dimaksudkan adalah satu atau sama saja dari beberapa opsi tersebut.[34]

Adapun dibaca kholiqoh, maka yang Zamakhsyari maksudkan adalah “pengganti dariku”, karena adam adalah pengganti Tuhan di muka bumi-Nya begitujuga dengan nabi-nabi yang lainnya.[35]Jadi, Zamakhsyari memberikan penekanan pada penggunaan redaksi kata yang berbeda-beda tersebut tak lepas dari maksud yang diharapkan berbeda-beda. Sebagaimana apa yang dihadirkan pada beberapa penggunaan redaksi yang berbeda-beda di atasa. Namun, bukan berarti yang disajikan dengan redaksi yang berbeda-beda tersebut memiliki dampak makna yang berebda pula. Namun, di beberapa konteks juga ada beberapa redaksi yang berbeda, namun memiliki implikasi makna yang sama saja atau serupa.

Ayat lain yang berbicara tentang khalifah di antaranya adalah surat Shad:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”[36]

Kesimpulan

            Tafsir karangan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i yang berjudul al-Nukat wa al-Uyun ini mencakup seluruh ayat-ayat al-Quran (30 juz utuh). Karakter yang sangat menonjol dari al-Mawardi adalah tafsir bi al-ra’yi. Menurut al-Mawardi, yang namanya tafsir adalah menyibak yang samar ke yang jelas, sehingga bisa dikatakan apa gunanya sebuah tafsir yang memaparkan sesuatu yang telah diketahui oleh halayak umum. Secara umum, kitab tafsir ini dapat dicirikan sebagia berikut: menghimpun pendapat-pendapat ulama tafsir yang lain, baik sebelumnya maupun sezamannya. Analisa yang mendalam dari sisi kebahasaan.Keterlibatan dalam membatasi beberapa pendapat yang ada, meskipun tanpa disertai penyebutan sumber pengambilannya.Tidak hanya terbatas pada hadis-hadis, ragam bacaan, da hukum-hukum fiqih.Pendukung fanatik madzhab Syafi’i, bahkan termasuk salah satu tokohnya. Dan yang terakhir yakni menghimpun pendapat-pendapat ahli kalam, sekaligus menarjihnya. [Ariyanto & Ning Dian Kamelia]

 

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013, hal 105-106.

[2] Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2006, hal. 377.

[3]Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi penafsiran secara terus-menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer. Karena al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan bukan saja untuk orang-orang dulu di zaman Nabi saw, tetapi juga untuk orang sekarang bahkan sampai hari kiamat. Prinsip-prinsip universal al-Qur’an dapat dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular. Uraian selengkapnya, baca Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Perss, 2012, hal. 154.

[4] Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1dalam tarjamatul muallifSayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim (Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1992), hlm. 9.

[5] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawarth with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 1.

[6] Dinasti ini berdiri atas prakarsa Abu Syuja’ Buwaih, yaitu seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya: ‘Ali (‘Imad al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah) dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah). Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani ‘Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih ‘Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn Kali dari dinasti Saman. Dengan berdirinya Dinasti Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, bergandengan dengan kaum Syi’ah. Akibat persahabatan kaum Mu’tazilah dengan kaum Syi’ah Zaidiyah, karya-karya kaum Mu’tazilah pada periode kebangkitan kedua banyak yang diamankan, dan mulai pertengahan kedua pada masa abad ini banyak diterbitkan. Lihat, Machasin, “Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah: Masa Kemunduran” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 113. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Darasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 69.

[7]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 6.

[8] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, t. th.),  hlm. 726.

[9]Ibid.

[10]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun,hlm.6. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa al-Mawardi berusaha keluar dari paradigma tafsir konvensional, yang menafikan peranan makhluk dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat.Sebagaimana yang diungkapkan Kholid Utsman as-Sabt, yaitu “Di dalam al-Qur’an secara umum jika Allah menafikan peranan makhluk akan suatu hal dan menetapkan diriNya, maka secara bersamaan Allah telah menafikan persekutuan untuk Allah sendiri” Ini artinya ta’wilan hanya Allah yang mengetahui. Lihat, Kholid bin Utsman as-Sabt, Qawaid at-TafsirJam’an wa Dirasatan, Vol. 2, bab Nafi (Madinah: Dar Ibnu Affan, t. th), hlm. 520.

[11] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 723.

[12]Ibid.

[13]Ibid., hlm. 724. Lihat juga al-Nukat wa al-‘Uyun dalam muqoddimah Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim, Juz 1, hlm. 9.

[14] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[15] Ibid, hlm. 727. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Di sini kaum Mu’tazilah lebih menekannkan penggunaan rasio dalam menafsirkan. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 82.

[16]Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat utlak lagi.Sepert terkandung dalam uraian nadhir, kekeuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham muktazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.Tuhan tidak bisa lagi bebrbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak adil bahkan dzolim.Ibid., hlm. 119.

[17]Iyaziy, Al-Mufasirun…, hlm. 723

[18]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, hlm. 6

[19] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 3.

[20] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[21]Ibid.,hlm. 728.

[22]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 34-35. Apa yang diungkapkan al-Mawardi sama halnya seperti yang diungkapkan Thabathaba’i. Ia berpendapat tentang ayat mutasyabbihat, yaitu “dapat dipahaminya seluruh al-Qur’an oleh semua manusia, tak terkecuali terhadap ayat-ayat yang selama ini dikelompokkan oleh ulama sebagai ayat mutasyabbihat yang diposisikan secara diametral dengan ayat muhkamat. Ayat mutasyabbihat adalah ayat yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang tidak dapat diketahui makna hakikinya kecuali Allah.Anggapan ini, jelas Thabathaba’i tidak sesuai dengan QS. Ali Imran [3]: 7 dan ayat lain. Karena, dalam pandangannya al-Qur’an dengan jelas mensifati dirinya dengan sifat-sifat seperti cahaya, petunjuk, dan penjelas.Dengan sifat-sifatnya ini, setiap manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahui maksud al-Qur’an. Lihat, Wahyono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam “Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an” Karya Muhammad Husein Ath-Thabathaba’i (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008), hlm. 81.

[23]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 7.

[24] Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib At-Thabari, imam mujtahid mutlak, pengarang banyak kitab, dari keluarga Amal Tabrustan. Lahir di Tabrustan hatun 224 H, meninggalkan negerinya untuk menuntut ilmu pada usia 12 tahun pada tahun 236 H. Melalangbuana ke berbagai negeri seperti Mesir, Syam, Irak, lalu menetap di Baghdad hingga tutup usia tahun 306 H. Merupakan salah satu imam terkenal yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Menurut Adz-Dzahabi, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an merupakan tafsir terhebat, paling termasyhur dan menjadi rujukan pertama dalam tafsir naqli (bi al-ma’tsur), selain itu juga menjadi rujukan penting bagi tafsiraqli (bi ar-ra’yi) karena mengandung istinbath, pemaparan berbagai pendapat disertai tarjih yang berpegang pada nalar dan penelitian yang akurat. Lihat, selengkapnya Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm. 147-149.

[25]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 482.

[26]Ibid.hlm. 7.

[27]Ibid.

[28] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawardi with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 11.

[29] Ahmad Awarson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif), 1997, hal. 362.

[30] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an Karim, (T.T: TP, T.TH), hlm. 521.

[31] QS. Al-Baqarah [2]: 30.

[32]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 93-98.

[33] Abi Al-Qasim Muhammad ibn Umar Az-Zamakhsary, Al-Kasyaf (Riyadh: Maktabah Al-Abikan, t.t), hlm. 251.

[34]Ibid.

[35]Ibid.

[36] QS. Shad [38]: 26.

KAJIAN KRITIS ATAS TAFSIR MUQATIL KARYA MUQATIL BIN SULAIMAN  (W 105 H/ 767 M)

  1. Pendahuluan

Pasca wafatnya rasulullah saw. Alquran terus berkembang di berbagai aspek. Adanya kodifikasi Alquran, munculnya berbagai macam qiraat, hingga munculnya banyak kitab tafsir. Penafsiran Alquran di masa awal Islam masih cenderung kepada tafsiran secara parsial, tematik, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, sesuai dengan kebutuhan yang sesuai pada masa itu.[1] Hingga kemudian muncul mufasir pertama yang menafsirkan Alquran secara menyeluruh yang runtut sebagaimana rasm mushaf utsmani.

Muqatil bin Sulaiman adalah seorang Mufasir era klasik[2] yang penuh kontroversi. Ia hidup di era dinasti Abbasiyah yang sangat terkenal dengan tafsir bi al-ma’tsurnya. Kitab Tafsir Muqatil menjadi menarik dikaji karena ia merupakan kitab tafsir pertama yang sempat hilang dalam panggung akademik para mufasir. Kitab tafsirnya, dilahirkan di tengah-tengah mayoritas penganut muktazilah dan sedangkan ia sendiri beraliran Syi’ah Zaidiyah.

            Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Muqatil adalah mufasir yang sangat kontroversial hingga karyanya  lama ditelan zaman. Ia memiliki reputasi yang jelek di kalangan ulama semasanya. Bahkan tafsirnya dikatakan mujassimah, menggunakan hadis yang tidak jelas sanadnya, dan menggunakan cerita-cerita israiliyat.

            Dari paparan di atas, kajian lebih lanjut atas karya ini menjadi sangat penting. Selain untuk membuktikan tuduhan-tuduhan yang diajukan pada Muqatil, juga untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita terhadap kitab-kitab tafsir pada masa klasik. Tulisan ini dimulai dengan pemaparan biografi, anatomi kitab tafsir yang dikaji, serta contoh penafsiran dan analisis atas apa yang dituduhkan sebelumnya.

2. Mengenal Lebih Dekat Muqatil bin Sulaiman

a. Riwayat Hidup

             Muqatil bin Sulaiman bin Basyir al-Adzi al-Khurasani dikenal dengan nama kunyah Abu al-Hasan al-Balkhi. Ia lahir di kota Balkh, salah satu kota yang berada di daerah Khurasan. Tidak banyak yang mengetahui kapan ia lahir, namun ada data yang menyebutkan bahwa kelahirannya berselang waktu empat tahun dari wafatnya al-Dahhak bin Muzahim al-Hilaly. Hal ini juga dibuktikan dengan riwayat yang diambil dari Sulaiman bin Ishaq bahwa ia tidak pernah bertemu dengan al-Dahhak. Apabila riwayat ini benar maka Muqatil lahir pada tahun 109 H karena al-Dahhak wafat pada tahun 105 H.[3]

          Muqatil juga dikatakan dekat dengan Salim bin Ahwaz al-Mazini, utusan dari khalifah terakhir Bani Umayyah, Nasr bin Sayyar (w. 131 H) di Khurasan. Saat itu Muqatil berusia 40 tahun sehingga kemungkinan ia lahir pada kisaran tahun 80 H.[4] Informasi lain dari Ubaid bin Sulaiman menyebutkan bahwa Muqatil sempat bertemu dan banyak merujuk pada al-Dahhak, terutama dalam tafsirnya. Maka kemungkinan tahun lahir beliau adalah pada tahun 60-70 H, jika benar demikian maka al-Dahhak wadat ketika Muqatil berusia 42 tahun.[5] Semasa kecil waktu Muqatil dihabiskan di kota Balh, Khurasan[6], Kemudian ia merantau ke daerah Marwa yang masih berada di wilayah Khurasan. Dari Marwa ia kemudian pindah ke Irak dan menetap di Basrah kemudian pindah lagi ke Baghdad. Tak selang waktu beberapa lama ia kembali lagi ke Basrah dan menetap hingga wafat di sana.

                Muqatil wafat pada tahun 150 H/767 M[7], artinya Muqatil hidup pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah (132-656 H/ 756-1298 M) di bawah kekuasaan Abu Abbas al-Saffah (132-136 H/ 750-754 M) dan Abu Ja’far al-Mansur (136-158 H/ 754-775 M). Maka kemungkinan besar ia juga mengalami akhir pemerintahan Bani Umayyah (42-132 H/ 662-750 M).[8]

b. Karir Intelektual

      Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Muqatil hidup di akhir kekuasaan Bani Umayyah dan awal kekuasaan Abbasiyah. Pada masa awal pemerintahan Bani Abbasiyah (132-232 H/750-848 M) keilmuan Islam banyak mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang, baik dalam bidang pembangunan maupun perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, fokus kajian bidang pendidikan masih pada kajian teologis seperti hukum islam dan tafsir. Pada masa ini sebagaian besar buku-buku Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab melalui bahasa Syiri’a dan Aramaik. Meskipun kemajuan ilmu pengetahuan terjadi pada kisaran abad 10-11 M, namun dasar-dasar ilmu pengetahuan sudah dibentuk oleh generasi awal Bani Umayyyah.[9]

        Sebenarnya karir Intelektual Muqatil tidak terekam secara rinci dalam beberapa literasi mengenai kehidupan Muqatil. Namun, apabila kita melihat latar belakang dan konteks wilayah saat itu, Muqatil besar kemungkinan memanfaatkan peradaban pada saat itu untuk menimba ilmu dari beberapa ulama di berbagai daerah.

             Diantara guru-guru beliau adalah Sabit al-Banani (w. 123 H), Zaid bin Aslam (w. 136 H), Sa’id al-Maqburi (w.123 H), Syurahbil bin Sa’ad (w. 123H), al-Dahhak Ibn Muzahim (w.106 H), Ubaidillah bin Abi Bakr bin Anas bin Malik (w. 124 H), ‘Ata bin Abi Rabah (w. 114 H), Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124 H), Nafi’ Maula ibn Umar (w. 117 H), Mujahid bin Jabar al-Makki (w. 163 H), Muhammad bin Sirin (w. 110 H), Abu Ishal al-Sabi’i (w. 128 H), Abu Zabsir al-Makki (w. 126 H), dan ‘Abdullah bin Buraidah (w. 115 H).[10]

     Sedangkan murid-muridnya adalah Baqiyah bin al-Walid (w. 197 H), Harami bin Umarah bin Abu Hafsah (w. 201 H), Hammad bin Qirat al-Nasabury, Hammad bin Muhammad al-Fazary (w. 230 H), Hamzah bin Ziyad al-Tusy, Saad bin al-Salt, Abu Nusair bin Sa’dan bin Sa’id al-Balkhi, Sufyan bin Uyainah (w.198 H), ‘Abd Razzaq bin Hammam (w. 211 H), ‘Absullah bin al-Mubarak (w. 181 H), al-Wafid bin Muslim (w. 195 H), Abu Haiwah Syuraih bin Yazis al-Himsi, Abdurrahman bin Sulaiman bin Abi al-Jaun, Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi, ‘Abd al-Samad bin ‘Abd al-Waris, ‘Attab bin Muhammad Syauzan,’Ali bin al-Ja’d, ‘Isa bin Abu Fatimah, ‘Isa bin Yunus, ‘Abu Nasr Mansur bin ‘Abd al-Hamid al-Bawardi, Nasr bin Hammad al-Warraq, al-Walid  bin Mazid al-Bairuti, Yahya bin Syibl, Yusuf bin Khalid al-Samti, ‘Abu al-Junaid al-Darir,Abu Yahya al-Himamni (w. 220 H) dan Syahabah bin Sawwar (w. 206 H).[11]

c. Karya-Karya

Beberapa Karya-karya Muqatil bin Sulaiman diantaranya:

  1. al-Ayat al-Mutasyabihat[12]
  2. al-Aqsam wa al-Lughat
  3. Tafsir al-Khomsumi’ah Ayat min Alquran
  4. Tafsir Muqatil bin Sulaiaman
  5. al-Taqdim wa al-Ta’khir
  6. al-Jawabat fi alquran
  7. al-Raddu ‘ala al-Qadariyah
  8. al-Qiraat
  9. al-Nasikh wa al-Mansukh
  10. al-Wujuh wa al-Nazair fi alquran

 

3. Anatomi Tafsir Muqatil

a. Latar Belakang Penulisan

           Tafsir Muqatil bin Sulaiman pertama kali disunting oleh Dr. ‘Abdullah Mahmud Syahatah pada tahun 1966 dan diterbitkan sebanyak empat jilid pada tahun 1980-1987 oleh Hai’at al-‘Amma di Kairo. Kitab Tafsir ini belum banyak diedarkan di pasaran luas karena isi kitab yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, khususnya dalam bidang teologis, karena penafsirannya tentang keesaan Allah dianggap menyimpang oleh mayoritas penganut muktazilah saat itu. Sedangkan Muqatil yang termasuk kelompok Syi’ah Zaidiyah[13] kemungkinan besar karena ia berasaldarigolongan yang tersisih, banyak mendapat kritikan dan celaan atas karyanya. Walaupun di sisi lain, juga banyak ulama Mesir dan Barat yang sangat meminati karya ini.

              Kitab Tafsir Muqatil ini ditulis secara individu oleh Muqatil bin Sulaiman yang ditulis secara utuh. Tidak ditemukan secara rinci kapan waktu, tujuan beserta maksud dari penulisan kitab Tafsir Muqatil. Namun, dapat diketahui bahwa Muqatil adalah salah satu ulama yang produktif dalam menghasilkan sebuah karya. Salah satu yang mendorong Muqatil menulis beberapa kitab adalah sikap ‘Asabiyyah antara Muqatil dengan Jahm bin Safwan. Mereka saling menulis kitab unuk menjawab perdebatan yang terjadi diantara keduanya.[14]

          Latar belakang penulisan kitab ini memang tidak di sebutkan secara eksplisit oleh Muqatil. Namun hal tersebut disampaikan tersirat di dalam muqaddimahnya bahwa apa yang ia ketahui tentang Alquran dapat bermanfaat bagi umat islam secara luas dan bagi pribadinya sendiri. Ia juga ingin agar umat Islam tidak hanya membaca Alquran tetapi juga dapat berinteraksi dengan Alquran dengan memahami apa yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana yang ia katakan dalam kitabnya:

من قرأ القرأن  فلم يعلم تأويله فهو فيه أمي

          “Barangsiapa yang membaca Alquran sedangkan ia tidak mengetahui ta’wilnya, maka ia adalah orang yang ummiy terhadap Alquran”

b.  Sistematika Penulisan

         Kitab Tafsir Muqatil yang ditahqiq oleh Abdullah Mahmud Syahatah terhimpun menjadi lima jilid kitab. Dalam penyusunan kitab ini, Muqatil menggunakan sistematika[15] tartib mushafi, yaitu menafsirkan seluruh ayat-ayat alquran sesuai urutan surat dalam alquran rasm usmani. Dimulai dari QS. al-Fatihah dan diakhiri dengan QS. al-Nas. Kitab tafsir ini dibagi menjadi lima jilid, setiap jilid berisi seperempat surat dalam alquran.

             Penafsiran diawali dari jilid I yang berisi surat al-Fatihah hingga al-An’am yang berjumlah 601 halaman. Jilid II berisi penafsiran surat al-A’raf hingga surat Maryam yang berjumalah 790 halaman. Jilid III berisi penafsiran surat Taha hingga surat al-Jasiyah yang berjumlah 956 halaman. Jilid IV berisi penafsiran surat al-Ahqaf hingga surat al-Nas yang berisi 1061 halaman. Sedangkan jilid terakhir berisi biografi dan metode penafsiran Muqatil yang ditulis langsung oleh ‘Abdullah Mahmud Syahatah berisi 279 halaman. Sistematika kitab tafsir ini dapat dipetakan secara sederhana sebagai berikut:

NO

JILID JUMLAH HALAMAN

ISI

1

I 601

–  Muqaddimah Pentahqiq, Abdullah Mahmud Syahatah, dan pembahasan naskah-naskah kuno yang terkait dengan Tafsir Muqatil bin Sulaiman.

–  Muqaddiman penulis kitab

–  Tafsir QS. al-Fatihah – QS. al-An’am

2

II

790

–   Tafsir QS.Al-A’raf – QS.Masyam

3

III

956

–    Tafsir QS. Taha – Tafsir QS. al-Jasiyah.

4

IV

1061

–     Tafsir QS. al-Ahqaf – QS. al-Nas
5 V 279

–     Berisi tentang penelitian pentahqiq kitab sebagai penutup dan penjelasan mengenai biografi beserta hal-hal terkait dengan kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman.

c.   Corak dan Metode Penafsiran

               Dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran Muqatil menggunakan metode tafsir tahlili. yaitu menjelaskan maksud ayat-ayat Alquran ditinjau dari berbagai aspek seperti sisi kebahasaan, manasabah, dan asbab an-nuzul.[16] Dikatakan demikian karena dalam praktiknya beliau menafsirkan ayat Alquran dengan memperhatikan runtutan ayat ayat secara mushafi,mengemukakan asbabun nuzul, menyebutkan munasabah ayat serta menjelaskan aspek-aspek lain seperti penjelasan makna kata, menyebutkan riwayat Nabi, sahabat dan tabi’in.

          Selain itu, menurut Kees Verstegh menyebutkan bahwa Muqatil adalah orang pertama yang mengenalkan analisis gramatikal terhadap teks Alquran dengan pendekatan stilistik-linguistik. Hal ini dikarenakan perhatian besar beliau terhadap perubahan makna kata.[17] Misalnya saja penafsirannya terhadap kata al-huda yang memiliki 17 makna.[18] Namun, kitab tafsir ini juga belum bisa dikategorikan sebagai kitab tafsir filologis karena ia tidak memberikan penjelasan yang rinci mengenai asal kata ditinjau dari keilmuan shorof dan nahwu.

                 Adapun secara rinci, langkah-langkah metedologis yang dilakukan Muqatil dalam menafsirkan Alquran sebagai berikut: pertama, mencantumkan informasi jumlah ayat dan klasifikasi makki-madani ayat. Sebelum memulai penafsirannya, Muqatil memberikan informasi mengenai jumlah ayat dan klasifikasi makki-madani ayat yang merujuk pada riwayat baik berasal dari Nabi, sahabat maupun tabi’in. Selain itu, ia menuliskan keseluruhan ayat secara lengkap dalam satu surat. Tulisan tersebut dihias dengan hiasan yang sederhana. Namun, dalam penanda bagian antar juz hiasan tersebut menjadi sedikit berbeda dari pada sebelumnya. Salah satu contohnya pada saat ia memulai pernafsiran surat al-Fatihah. Ia menukil riwayat yang diambil dari Mujahid dan Rasulullah.

 قال: خدثنا عبدالله, قال: خدثني أبي عن الهذيل عن مقاتل عن الضحاك عن إبن عباس عن النبي – صلي االله عليه وسلم – قال: فاتحة الكتاب مدينة.

Artinya: Telah berkata: menceritaka kepada kami ‘Ubaidullah,berkata: dan telah menceritakan kepadaku Ayahku dari Huzail dari Muqatil dari al-Dahhal dari Ibn Abbas dari Rasulullah SAW berkata: “Pembuka alquran adalah madaniyyah.”[19]

             Selanjutnya, Muqatil mulai menjelaskan mengenai aspek Asbabun Nuzul suatu ayat. Salah satu contoh penafsirannya adalah pada surah al-Baqarah ayat 187. Ayat ini diturunkan kepada ‘Ali bin Abi Talib, ‘Ammar bin Yasir dan Abu ‘Ubadah bin al-Jarrah yang melakukan jima’ dengan istri mreka ketika tengah beri’tikaf. Ayat ini menegaskan bahwa setiap mu’min yang sedang beri’tikaf tidak diperbolehkan melakukan hubungan intim hingga waktu i’tikafnya berakhir.[20]

                   Kemudian Muqatil melanjutkan penafsirannya dengan menjelaskan hikmah ayat tersebut. Hikmah itu ditujukan sebagai pelajaran bagi umat Islam agar senantiasa mengambil pelajaran dari berbagai kejadian. Misalnya ketika ia memberikan keterangan mengenai hukum qadaf. Ia mengatakan bahwa hukum orang yang menuduh, membenarkan baik dengan perbuatan ataupun kata-kata ia berdosa.[21]

          Dalam beberapa kasus, Muqatil juga menjelaskan perbedaan qiraat pada ayat yang akan ia tafsirkan. Adapun qiraat yang ia jadi rujukan adalah qiraat Ibn Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab.

d.  Sumber Penafsiran

       Dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran, sumber yang dirujuk Muqatil sangat bervariasi. Sebagaimana para mufasir klasik pada saat itu, Muqatil banyak merujuk keterangan yang bersumber dari Alquran. Ia sendiri membagi pemahaman terhadap Alquran menjadi empat tingakatan. Diantaranya adalah ayat-ayat Alquran yang hanya dipahami oleh Allah, ayat-ayat yang dipahami oleh ‘Araby khullas, ayat yang dipahami oleh orang pintar, dan ayat yang dapat dipahami oleh umat secara umum.

Salah satu contoh penafsirannya adalah pada surat al-Fatihah ayat 4:[22]

مالك يوم الدين

Artinya: Zat yang menguasai hari pembalasan.

Yaitu hari perhitungan amal sebagaimana firman Allah dalam QS.al-Saffat ayat 53:

ءإذا متنا و كنا ترابا و عظاما ءإنا لمدينون

Artinya: Apakah apabila kita telah mati dan kita menjadi debu dan tulang belulang apakah kita akan benar-benar dibangkitkan untuk diberi pembalasan.

لمدينون يعني لمحاسبون yakni akan diberi pembahasan di hari ketika yang berkuasa hanya Allah. Sebagaimana firman Allah QS. al-Infitar: 19

يوم لا تملك نفس لنفس والأمر يومئذ لله

Artinya: Pada hari ketika seseorang sama sekali tidak berkuasa untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu ada dalam kekuasaan Allah.

               Selanjutnya, sumber kedua yang di gunakan Muqatil adalah hadis Nabi. Contohnya dalam menafsirkan kata al-Ma’un dalam QS. al-Ma’un. Ia menafsirkan kata tersebut dengan merujuk pada sabda Nabi:

قال أبو صالح, و ذكره عن يحي بن أبي كثير, عن أبي سلمة, عن أبي هريرة قال :

قال رسول الله صلي الله عليه و سلم: (الماعون) الإبرة والماء والنار ومايكون في البيت من نحو هذا فيمنع.

Artinya: Telah berkata Abu Salih dan dikatakan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abi Salamah dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: ‘al-ma’un’ adalah jarum dan air dan api dan apa-apa yang ada di dalam rumah.[23]

             Sumber lain yang digunakan oleh Muqatil adalah qiraat. Dalam penggunaan qiraat sebagai sumber penafsirannnya, ia banyak merujuk kepada qiraat para sahabat karena pada pada masanya belum dikenal qiraat al-sab’ah. Sahabat yang menjadi rujukan Muqatil adalah qiraat Ibn Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Contohnya ketika ia menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 234 tentang iddah seorang istri yang di tinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil.[24]

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

                 Muqatil menafsirkan kalimat فلا جناح عليكم  dengan menggunakan qiraat Ibnu Mas’ud لا حرج عليهن. Hal tersebut berarti bahwa tidak ada dosa bagi perempuan-perempuan yang sudah selesai masa iddahnya untuk bersolek dan menikah lagi. Dhomir كم pada ayat tersebut pada hakikatnya bersifat umum untuk kalangan laki-laki. Namun, dalam qiraat Ibn Mas’ud di atas sudah dikhususkan maknanya menjadi istri-istri yang ditinggal mati suaminya هن.

            Muqatil selanjutnya juga merujuk pada qaul al-sahaby. Dalam kajian hadis, perkataan para sahabat disebut dengan hadis mauquf. Hal juga manjadi rujukan dominan yang digunakan oleh Muqatil dalam melakukan penafsiran ayat-ayat alquran. Contohnya saat ia menafsirkan kata salsal dalam QS. al-Hijrayat 26. Iamerujukpada riwayat Ibn Abbas, yang mana kata tersebut bermakna tanah yang kasar.

خدثني عبدالله , خدثني أبي , خدثني الهذيل عن مقاتل , و الضخاك عن إبن عباس:

الصلصل الطين الجيد يعني  الحر إذا ذهب عنه الماء تشقق

Artinya: Telah menceritakan kepada kami’Ubaidullah, telah menceritakan kepadaku Ayahku, menceritakan kepadaku al-Huzail dari Muqatil dan al-Dahhak dari Ibn Abbas: “al-salsal adalah tanah yang bagus, yakni yang panas jika air hilang darinya maka tanah tersebut akan terpecah-pecah”.[25]

            Selain perkataan sahabat, Muqatil juga merujuk kepada perkataan para tabi’in. Salah satu contohnya adalah penafsirannya terhadap kata كنز yang terdapat pada surat al-Kahfi ayat 82:

خدثنا عبدالله قال: خدثنا أبي الهذيل عن مقاتل عن الضحاك ومجاهد قال:

صحفا فيها العلم

Artinya: Telah menceritakan kepada kami’Ubaidillah berkata: telah menceritakan kepada kami Ayahku dariMuqatil dari al-Dahhal dan Mujahid berkata: “Lembaran di dalamnya terdapat ilmu”.[26]

               Kisah-kisah israiliyat juga menjadi sumber rujukan kitab tafsir muqatil. Sumber ini ia gunakan untuk membantu penafsirannya dalam memperjelas jalan cerita suatu ayat. Sumber terakhir yang digunakan Muqatil adalah penggunaan ra’yu. Penggunaan ra’yu sendiri sebenarnya telah disampaikan dalam muqaddimah tahqiq. Hal ini bertujuan untuk memperjelas maksud makna suatu ayat. Salah satu contohnya adalah ketika ia menafsirkan kata بكم عمي  صم pada surat al-Baqarah ayat 18. Ia menjelaskan bahwa makna  صمadalah tuli –dalam artian literal- yakni dengan tidak pernah berfikir tentang kekuasaan Allah. Selanjutnya makna بكم adalah bisu, yakni dengan tidak berbicara dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah dan عمي yang bermakna buta, yakni tidak pernah melihat pada petunjuk yang diberikan Allah.[27]

e. Muqatil dan Tafsir Ayat Tajsim

      Muqatil seringkali dituduh sebagai orang yang men-jism-kan Allah. Hal ini dikarenakan dalam beberapa ayat tajsim yang ia tafsirkan dinilai telah men-jism-kan Allah. Penulis mendapati keterangan penafsiran beliau pada ayat QS. al-Fath ayat 10:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

Artinya: Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Makna yad pada ayat ini ia maknai dengan ‘janji Allah’.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ ۚ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا ۘ بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ ۚ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا ۚ وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۚ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ ۚ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا ۚ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya: Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.

Pada surat al-Ma’idah ayat 64 ini bermakna “pemberian nikmat yang diberikan kepada Bani Israil”.

            Kedua contoh ayat tersebut adalah contoh penafsiran makna yad secara majazi. Namun, hal berbeda ditemukan saat Muqatil menafsirkan QS. Ali Imran dan Sad: 75. Dalam dua konteks ayat tersebut, tidak ia artikan sebagaimana penafsiran ayat sebelumnya. Kata yad pada kedua ayat tersebut dimaknai dengan ‘tangan’ dalam artian literal.[28]

         Dapat disimpulkan bahwa Muqatil tidak selalu men-jism­-kan ayat-ayat tajsim. Apabila kita merujuk pada perkataan Mun’im Sirry, bahwa seharusnya Muqatil tidak bisa dikategorikan sebagai antromorphism[29] yang ekstrem. Judgedment ini dikeluarkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari satu abad setelah Muqatil wafat. Hal ini menandakan bahwa al-Asy’ari tidak mengetahui kehidupan Muqatil secara langsung. Hal ini juga besar kemungkinan berkaitan dengan ketidaksetujuan mayoritas ulama dengan perspektif teologis yang dianut oleh Muqatil.[30]

4. Penutup

    a. Kesimpulan

            Muqatil bin Sulaiman adalah mufasir pertama dengan sistematika mushafi yaitu tafsir runtut dimulai dari juz satu hingga juz tiga puluh. Tafsirnya merupakan tafsir yang melakukan penjelasan secara rinci terhadap ayat-ayat alquran agar mudah di pahami. Ditinjau daricoraknya, ia dangat beragam, karena pada masanya, belum ada spesifikasi dan penjelasan masih berbaur dan tidak mendetail. Sumber yang ia gunakan dalam menafsirkan alquran sangat bervariasi mulai dari bersumber dari alquran itu sendiri, hadis nabi, qaul sahabat, qaul tabi’in, qiraat dan kisah-kisah israiliyat.

            Selain itu kitab tafsir ini menjadi unik karena merupakan kitab tafsir pertama yang sempat hilang tidak terkaji. Pertama kali di Tahqiq oleh Abdullah Mahmud Syahatah. Hilang nya kitab ini dari panggung akademik muafasir dikarenakan pada saat penulis kitab ini hidup di era dinasti Abbasiyah yang mayoritas menganut paham mu’tazilah dalam aspek teologisnya. Muqatil juga sempat terlibat pertarungan pemahaman tentang keesaan tuhan di sebuah Masjid pada zamannya hingga akhirnya ia melahirkan banyak karya untuk menjawab pertarungan akademik tersebut.

Di sisi lain, keilmuan Muqatil juga tidak dapat diragukan. Hal ini dibuktikan dengan statement imam Syafi’i yang mengatakan bahwa  “barang siapa yang ingin mendalami ilmu tafsir alquran hendaknya ia bersandar kepada Muqatil bin Sulaiman. Terlepas dari segala kekurangan Muqatil dalam pemotongan sanad dan penggunaan israiliyat pada tafsirnya,karya tersebut tetap saja merupakan sumbangsih besar bagi panggung literasi tafsir umat Islam.

       b. Saran

            Apa yang penulis sampaikan dalam makalah ini sangatlah jauh dari kata sempurna. Penulis sangat menyayangkan atas keterbatasan penulis diberbagai lini demi kepentingan menyusun makalah ini. Masih banyak hal menarik yang belum dijamah penulis yang dirasa perlu untuk dikaji lebih lanjut dalam kitab Tafsir Muqatil bin Sulaiman ini. Untuk itu, penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca agar penulis lebih baik lagi dalam menyusun makalah dikemudian hari. [Dhurrotun Nafisa]

 

[1] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Alquran: Studi Aliran Kitab-Kitab Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Kontemporer(Yogyakarta: Adab Press,2014), hlm. 39.

[2] Meminjam istilah Abdul Mustaqim yang membagi periodesasi tafsir ke dalam tiga kelompok: tafsir klasik, pertengahan dan modern-kontemporer. Menurutnya, pada masa awaal penafsiran alquran selalu dihubungkan dengan hal-hal mistis, pada periode selanjutya penafsiran alquran sudah bersifat ilmiah. Lihat, Ibid, hlm. 39.

[3] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatilbin Sulaiman Juz V, (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-Araby: 202),hlm. 23.

[4] Mun’im Sirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, Studia Islamica, nouvelle edition/ new series, No.3, 2012, hlm. 53.

[5] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz V, hlm. 24.

[6] Khurasan merupakan bagian dari Persia, Setelah jatuhnya ibu kota Khurasan dan marw, pada tahun 749 M, menyusul jatuhnya ibu kota Irak dan Kuffah di tangan Abu Abbas,yang mana menandakan berakhirnya dinasti Abbasiyah. Lihat, Philip K.Hitti, History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 355.

[7] Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh al-Baghdad, (Cairo: Maktaba al-khanji, 1931), vol. 13, hlm. 16

[8] Muhammad Syafi’i Antonio dan Tim TAZKIA, Ensiklopedi Peradaban Islam, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012) vol V,  hlm. 53.Ibid,

[9] Ibid, hlm. 90-92.

[10] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz V, hlm. 48.

[11] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz V,hlm. 49-50.

[12] Ishom Abd Zuhd, “Manhaj al-Imam Muqatil b. Sulayman al-Balkhi fi Tafsirihi”, Tesis, (Universitas Islam Ghaza, 2010), hlm. 9.

[13] Syi’ah Zaidiyah adalah golongan Syi’ah yang netral dibandingkan dengan golongan Syi’ah lainnya. Mereka dianggap paling dekat dengan Ahlu Sunnah dan paling lurus. Syi’ah Zaidiah juga menerima keimanan tiga orang pertama yaitu Abu Bakar, Umar,dan Utsman. Tidak seperti Syi’ah lainnya yang dengan keras menolak dan tidak  mengakui Khalifah lainnya selain Ali dan keluarganya. Lihat, Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012), hlm. 110-114.

[14] Abdullah Mahmud Syahatah, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Juz V , hlm. 24-25

[15] Sistematika penulisan tafsir adalah tata cara penulisan dalam menafsirkan ayat alquran. Terdapat beberapa sistematika dalam penulisan kitab tafsir; pertama, sistematika mushafi yaitu penulisan kitab tafsir disusun dengan berpedoman pada tartib nuzul susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf. Dimulai dari surat alfatihah sampau alnas. Kedua, sistematika nuzuli maudu’i yaitu penulisan kitab tafsir berdasar pada kronologis turunnya surat-surat alquran. Ketiga, sistematika maudu’I yaitu penulisan kitab tafsir yang didasarkan kepada topik-topik tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan topik-topik tertentu tadi kemudian ditafsirkan. Lihat lebih lanjut

[16] Abd.Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudu’i, terj. Suryan A.Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 12.

[17] Kees Versteegh,”Tafsir Qur’an paling Awal: Tafsir Muqatil” dalam Makalah-Makalah yang Disampaikan dalam Rangka Kunjungan Menteri Agama R.I H. Munawar Sjadzali, M.A. ke Negeri Belanda (31 Oktober – 7 November 1998) (Jakarta: INIS, 1990), hlm. 206-207.

[18] Muqatil bin Sulaiman, Al-Wujuh wa Al-Naza’ir fi Al-Quran Al-‘Azim, (Irak: Markaz Jam’at al-Majiid li ad-saqafah wa al-turas, 2006), hlm. 20.

[19] Muqatil bin Sulaima, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 35.

[20] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 164-165.

[21] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz III, hlm. 190.

[22] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 36.

[23] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz IV, hlm. 871.

[24] Albaqarh 234

[25] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz III, hlm. 428

[26] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, juz II, hlm. 599.

[27] Muqatil bin Sulaiman, Tafsir Muqatil bin Sulaiman Juz I, hlm. 92.

[28]

[29] Antropomorfisme dalam KBBI diartikan sebagai pengenaan ciri-ciri manusia pada binatang,tumbuh-tumbuhan atau benda mati. Dari penjelasan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bentul-bentuk atau perilaku manusiawi. Kata antropomorfisme mengacupada persepsi bahwa tuhan memiliki bentuk dan sikap yang sama dengan manusia. Lihat, Antropomorfisme, KBBIMobile 1.1.3, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008. Lihat juga, https://www.sarapanpagi.orgm dictionary.reference.com, www.britania.com. Diakses pada 28 Nov 2015.

[30] Mun’imSirry, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”,  hlm.75.

Daftar Pustaka

 Abd Zuhd, Ishom, “Manhaj al-Imam Muqatil b. Sulayman al-Balkhi fi Tafsirihi”, Tesis, (Universitas Islam Ghaza, 2010)

Al-Baghdadi, Al-Khatib, Tarikh al-Baghdad, (Cairo: Maktaba al-khanji, 1931)

Al-Farmawi,Abd.Hayy, Metode Tafsir Maudu’i, terj. Suryan A.Jamrah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994)

Antonio, Muhammad Syafi’i dan Tim TAZKIA, Ensiklopedi Peradaban Islam, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2012)

K.Hitti,Philip History of The Arabs, terj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008)

Mustaqim,Abdul, Dinamika Sejarah Alquran: Studi Aliran Kitab-Kitab Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Kontemporer(Yogyakarta: Adab Press,2014)

Nasir, Sahilun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam): Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2012)

Sirry, Mun’im, “Muqatil b. Sulaiman and Antropomorphism”, Studia Islamica, nouvelle edition/ new series, No.3, 2012.

Sulaiman,Muqatil bin, Al-Wujuh wa Al-Naza’ir fi Al-Quran Al-‘Azim, (Irak: Markaz Jam’at al-Majiid li ad-saqafah wa al-turas, 2006)

Syahatah, Abdullah Mahmud, Tafsir Muqatilbin Sulaiman Juz V, (Beirut: Muassasah al-Tarikh al-Araby: 2012)

Versteegh, Kees,”Tafsir Qur’an paling Awal: Tafsir Muqatil” dalam Makalah-Makalah yang Disampaikan dalam Rangka Kunjungan Menteri Agama R.I H. Munawar Sjadzali, M.A. ke Negeri Belanda (31 Oktober – 7 November 1998) (Jakarta: INIS, 1990)

Website:

https://www.britania.com

https://www.dictionary.reference.com

https://www.sarapanpagi.org

KBBIMobile 1.1.3, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008

 

Kuliah Tafsir Pesantren Oleh: KH. Doktor Khusnul Hakim[1]

         Alquran boleh diakui oleh siapa saja, siapapun muslim boleh mengakui bahwa Alquran menjadi pedomannya ataupun jalan hidupnya. Alquran adalah open teks book yang mempersilahkan penggunanya melakukan apapun kepada Alquran, baik itu mengkaji, meneliti, bahkan menghinanya. Pada dasarnya Alquran memang mempersilahkan, bahkan mendeklarasikan tantangannya kepada siapapun. Namun, sejarah nyatanya telah membuktikan bahwa teks Alquran bertahan hingga sekarang.

           Kaitannya dengan teori budaya dan teks pada saat turunnya Alquran, Nasr Hamid Abu Zaid mengungkapkan bahwa Teks Alquran memiliki dua sisi yakni muntij as-saqofy (pencetak sebuah budaya baru) dan muntaj as-saqofah (hasil dari sebuah budaya). Teori ini telah masyhur di kalangan para pengkaji Alquran. Namun, dalam acara kali ini Bp. Khusnul Hakim memiliki pendapat lain, bahwa teks Alquran tidak dilahirkan oleh budaya, namun budaya yang dipilih oleh teks Alquran. Teks Alquran muncul sebagai respon terhadap budaya, pergumulan keduanya akan melahirkan teori baru dan budaya baru tentunya. Karena memang pada kenyataannya teks tak pernah lepas dari konteks.

           Pada dasarnya, keberadaan Alquran dalam perjalannanya hingga sekarang tidak lepas menghadapi dua realitas, yakni realitas teks dan realitas konteks. Realitas teks merupakan hal yang tidak bisa berubah, karena Alquran tidak akan pernah berubah. Ini merupakan mukjizat abadi yang cukup istimewa yang dimiliki oleh Alquran. Kenyataan bahwa sang pengantar (Rasulullah) memiliki umur yang terbatas dan umat manusia terus-menerus lahir, sedangkan umat Islam harus terus tersentuh dengan mukjizat Rasul, maka dari itu keotentikan teks Alquran menjadi sangat penting. Realitas kedua, adalah realitas yang selalu berubah dan Alquran haruslah merespon semua ini. Sebenarnya budaya zaman dahulu yang dihilangkan Alquran adalah budaya yang tidak memiliki kemanusiaan, seperti budaya menjadikan ibu sebagai warisan, budaya nikah tanpa batas, mengubur anak hidup-hidup, dll. Alquran itu merespon budaya atau konteks dengan cara memilih dan memilah budaya mana yang pas dan pantas, hingga akhirnya menciptakan teori.

              Ulumul Quran adalah bidang keilmuan yang membahas tentang Alquran. Ilmu ini adalah ilmu wajib yang harus dipegang oleh para pengkaji Alquran. Menurut Munawir Syadzali, pemikiran mengenai agama secara garis besar dibagi menjadi tiga. Pertama, agama dan negara saling terkait, tokohnya seperti Hasan Al-Bana, Sayyid Quthub. Kedua, agama dan negara memang benar-benar berbeda, contohnya Taha Husein. Ketiga, agama memang tidak mengatur secara teks tentang negara, namun agama bisa menjadi masukan nilai sebagai pembentuk negara. Kita harus bisa menjadi garis tengah yang memang memiliki banyak pertimbangan untuk dipertimbangkan.

           Dalam mempelajari Alquran, Asbab an-Nuzul biasa disebut dengan konteks. Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Alquran namun hal ini juga harus dipahami untuk konteks zaman sekarang. Sabab nuzul memiliki dua pembagian. Pertama sabab an-nuzul bi kadza adalah peristiwa secara langsung yang langsung direspon oleh Alquran. Untuk asbab nuzul ini metodenya adalah memahami konteks dan teksnya agar muncul pemahaman yang benar. Dan asbab an-nuzul fi kadza yaitu tidak ada peristiwa khusus yang melatarbelakanginya namun Alquran ingin menciptakan sebuah budaya baru, seperti ayat-ayat Qashash. Selama ini asbab an-nuzul hanya dipahami sebagai konteks masa dahulu. Sebenarnya mungkin sekarang dibutuhkan penerapan asbab an-nuzul pada zaman sekarang.

[1] Anggota tim pembuatan tafsir tematik kemenrian agama RI dan dekan Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta. Sekaligus alumnus Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Diskusi ini dilaksanakan hari Jum’at, 24 Februari 2017, di Aula Konplek 1 Ponpes Sunan Pandanaran. [Miftahuddin]

Studi Kritis Lathaif al-Isyarat karya al-Qusyairi

A. Pendahuluan

    Meminjam perumpamaan Quraish Shihab, bahwa Al Qur’an adalah berlian yang memancarkan cahaya dan keindahan dari setiap sisinya yang istimewa dan berbeda satu sama lain. Melihat dari satu sudutnya belum tentu sama dari sudut yang lain. Al Qur’an mampu memberikan “pelayanan” dan “penyediaan informasi” yang mengena bagi setiap orang. Baik itu dari kalangan awam, orang biasa, bahkan sampai selevel orientalis

    Diantara para penggali makna Al Qur’an itu, diantaranya adalah Al-Qusyairi. Salah seorang ulama kawakan yang memiliki spesialisasi keilmuan dalam bidang tasawwuf. Sejarah membuktikan bahwa salah satu karya al-Qusyairi ini dalam perkembangannya telah menjadi salah satu rujukan utama (prominent reference). Sejak kemunculannya, tafsir Al-Qusyairi diapresiasi lebih karena al-Qusyairi menggunakan corak isyari yang berbeda dengan kebanyak tafsir isyari  lainnya.

    Maka, berangkat dari pandangan diatas, tulisan pemakalah saat ini berusaha untuk menghadirkan kembali kajian mengenai al-Qusyairi dengan berbagai sisi kelebihan dan kekurangannya. Usaha yang bisa dilakukan adalah dengan melacak dari salah satu karyanya dalam bidang tafsir (yang monumental) yaitu Kitab Lataif Al-Isyarat. Pemakalah berharap dengan mengkaji lebih jauh, diharapkan apresiasi terhadap karya Al-Qusyairi ini dapat kembali berkembang dan bisa menjadi material compare terhadap tafsir lainnya. Semoga.

B. BIOGRAFI

  1. Silsilah Al-Qusyairi

     Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah bin Muhammad [1] al-ustuwa’i al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syafi’i, nama kun-yahnya Abul Qasim dan bergelar Zain al-Islam , namun lebih dikenal dengan nama al-Qusyairi. Adapun beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi yaitu : pertama, An-Naisaburi, sebuah gelar yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur atau Syabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam pada abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw[2]. Kedua, al-Qusyairi, nama Qusyairi adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah. Mereka adalah sekelompok orang yang tinggal di pesisiran Hadramaut[3]. Ketiga, al-Istiwa, orang-orang yang datang dari bangsa Arab yang memasuki daerah Khurasan dari daerah Ustawa, yaitu sebuah negara besar di wilayah pesisiran Naisabur, yang berhimpitan dengan batas wilayah Nasa[4]. Keempat, Asy-Syafi’i sebuah penisbatan nama pada madzhab Syafi’i yang didirikan oleh al-Imam Muhammad ibn Idris ibn Syafi’i pada tahun 150-204 H/767-820 M. Kelima, al-Qusyairi memiliki gelar kehormatan, antara lain: al-Imam, al-Ustadz, asy-Syaikh, Zainul Islam[5], al-Jami’ baina Syari’ati wa al-Haqiqah (perhimpunan antara nilai syariat dan hakikat). Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan yang tinggi dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam.

          Al-Qusyairi lahir di Ustuwa pada bulan Rabi’ul Awal tahun 376 H/986 M. Dimana kota Ustuwa tersebut mempunyai kekayaan sejarah peradaban islam di dunia Timur yang terletak dikawasan Khurasan. Namun seperti daerah lain di kota Khurasan, pada masa-masa sebelum dan penaklukan Mongol pada abab ke-7 H/ Ke 13 M,  kota Ustuwa lenyap dan tidak meninggalkan jejak[6]. Al-Qusyairi mempunyai garis keturunan dari pihak ibu berporos pada moyang atau marga Sulami, paman dari pihak ibu, Abu Aqil al-Sulami termasuk para pembesar yang menguasai daerah Ustawa. Marga Al-Sulami sendiri dapat ditarik dari salah satu bangsa, yaitu : al-Sulami yang menisbatkan pada Sulaim dan al-Sulami yang dinisbatkan pada bani Salamah. Ia meninggal di Naisabur, Ahad pagi tanggal 16 Rabi’ul Akhir tahun 465 H/1073 M. Ketika beliau berumur 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya, Syaikh Abu Ali al-Daqaq. Beliau menjadi yatim ketika masih kecil, kemudian diasuh oleh Abul Qasim al-Yamany, sahabat karib keluarga Qusyairi[7].

       Al-Qusyairi menikah dengan Fatimah, putri guru sejatinya (al-Daqaq). Dia seorang wanita berilmu dan mempunyai banyak prestasi dibidang sastra, ia merupakan seorang wanita beradab, dan termasuk ahli zuhud yang diperhitungkan di zamannya. Beliau hidup bersamanya semenjak tahun 405 H/1014 M – 412 H/1021 M dan meninggalkan enam orang putra dan seorang putri. Kesemuanya adalah ahli ibadah. Al-Qusyairi berangkat haji dengan ulama-ulama terkemuka yang sangat dihormati pada waktu itu, di antaranya adalah Syaikh Abu Muhammad Abdullah ibn Yusuf al-Juwainy, salah seorang ulama tafsir, bahasa dan fiqh.[8] Beliau termasuk orang yang pandai menunggang kuda[9].

  1. Aktivitas Pendidikan dan Keilmuan Al-Qusyairi

      Al-Qusyairi lahir sebagai yatim[10], bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.

         Keilmuan al-Qusyairi sangatlah luas dan mendalam, dan hampir semua cabang ilmu dia kuasai seperti Ushuluddin atau teologi yang mana disini ia menganut madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, untuk itu ia menulis sebuah kitab yang berjudul Syakayatu Ahli al-Sunnah Bi Hikayati Maa Naalahun Min al-Mihnah.  ilmu Fiqih: dalam cabang ini ia dikenal sebagai ahli fiqh madzhab Syafi’i. Adapaun cabang selanjutnya yang juga sangat ia kuasai adalah cabang Tasawuf yang terkenal dengan kitab karyanya yang berjudul Risalatu al-Qusyairiyyah. Selain itu al-Qusyairi juga dikenal sebagai seorang ahli hadits, ahli bahasa dan sastra, seorang mengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani, namun dunia tasawuf lebih dominan pada dirinya dan lebih populer bagi kebesarannya.

  1. Guru-guru al-Qusyairi[11]

        Selain Abu Ali al-Hasan ibn Ali al-Naisaburi al-Daqaq. Al-Qusyairi pun mempunyai beberapa guru, antara lain: (1). Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husin ibn Muhammad al-Azdi al-Sulami al-Naisaburi (325 H/936 M – 412 H/1012 M), seorang sejarahwan, ulama sufi sekaligus pengarang. (2). Abu Bakar Muhammad ibn al-Husain ibn Furak al-Anshari al-Ashbahani, meninggal tahun 406 H/1015 M, beliau seorang imam usul fiqh. (3). Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad ibn Mahran al-Asfarayaini meninggal tahun 418 h/1027 M, seorang cendekiawan bidang fiqh dan usul fiqh yang besar di daerah Isfarayain. Kepadanya beliau belajar Ushuluddin. (4). Abu Manshur aliah Abdur Qahir ibn Muhammad al-Baghdadi al-Tamimi al-Asfarayaini, meninggal tahun 429 H/1037 M, kepadanya beliau belajar madzhab Syafi’i.

  1. Karya-karya al-Qusyairi[12]

   Al-Qusyairi merupakan salah seorang ulama’ yang produktif didalam sebuah pembuatan karya, yaitu berupa kitab-kitab yang berisikan tentang kaidah tasawuf , teologi, fiqh dan lain-lain. adapun  karya-karya beliau Antara lain:

1) Lataif al-Isyarah

2) Adab al-Shufiyah

3) Al-Arba’un fi al-Hadits

4) Istifadhah al-Muradat

5) Balaghah al-Maqashid fi al-Tasawuf

6) At-Tahbir fi Tadzkir

7) Tartib al-Suluk, fi Thariqillahi Ta’ala

8) Al-Tauhid al-Nabawi

9) At-Taisir fi ‘Ilmi al-Tafsir, dll.

C. Kitab Tafsir Lataif Al-Isyarah

  1. Sistematika kitab Lataif al-Isyarah

       Kitab tafsir yang berada ditangan penulis adalah kitab tafsir Imam Abi al Qasim Abdul Karim Ibn Hawazan Ibn Abdul Mulk al Qushayrial-Naysaburi-al-Shafi’iy, editor Abdul Latif Hasan Abdurrahman. Diterbitkan di Beirut oleh Dar al Kutub al ‘Ilmiyyah pada tahun 2007, yang berjumlah tiga jilid dengan jumlah halaman -+ 700 halaman.

     Sistematika yang ditempuh oleh al-Qusyairi didalam menafsirkan kitab tafsirnya adalah dengan cara menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an sesui dengan urutan mushaf al-Qur’an resam utsmani, yaitu dimulai dari surat al-Fatihah sampai berujung pada surat al-Nas.

        Pada tiap penafsiran biasanya beliau memulai dengan penafsiran atas lafadz basmalah, baru dilanjutkan dengan penafsirannya terhadap ayat-ayat lain, tidak jarang beliau juga menafsirkan huruf – huruf muqotto’ah dan juga tiap-tiap huruf dalam satu ayat. Hal itu menunjukkan akan besar dan luasnya pengetahuan al-Qusyairi didalam memahami firman Allah tersebut.

  1. Metode Penafsiran kitab Lataif al-Isyarah

     Dalam dunia penafsiran dikenal yang namanya metode untuk digunakan seorang penulis didalam menafsirkan al-Qur’an. Secara umum metode penafsirkan terbagi menjadi empat, yaitu metode ijmali (Global), metode tahlili, metode muqarin, dan metode maudlu’i (tematik).[13]

     Al-Qusyairi dalam muqaddimahnya telah menuliskan metode yang beliau pakai didalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dimana  terdapat dua metode yang digunakan, yaitu pertama, dengan menukil ucapan, pendapat atau kaedah dari orang-orang shaleh yang diyakini sebagai orang suci, para aulia/kekasih Allah swt. Hal ini dapat beliau lakukan dengan cara mendengar langsung dari guru-guru beliau. Kedua, pemahaman al-Qusyairi sendiri terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan bantuan ilmu-ilmu tasawuf yang telah ia kuasai[14].

          Kitab ini berisikan isyarat-isyarat al-Qur’an dengan pemahaman ahli ma’rifat, baik dari ucapan mereka maupun kadah yang mereka buat. Imam al-Qusyairi membuat buku ini dengan keua metode tersebut, buku ini dibuat dengan gaya ringkas dan simpel agar tidak membosankan, dengan berharap kepada Allah swt.[15]

  1. Corak Penafsiran Kitab Lataif al-Isyarah

        Salah satu tolok ukur yang digunakan dalam kategorisasi tafsir adalah corak tafsir, dimana tiap-tiap mempunyai corak tersendiri yang membedakan dengan tafsir-tafsir lain. adapun yang disebut dengan corak tafsir disini adalah kecenderungan atau aliran keilmuan mufassir yang mewarnai tafsirannya.

        Merujuk pada pernyataan diatas, tafsir Lataif al-Iasyarah ini masuk dalam kategori corak sufi, karena pembahasannya banyak diwarnai oleh nuansa sufistik. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat al-Qusyairi merupakan salah seorang tokoh sufi yang sangat berpengaruh di dunia islam dan khususnya dunia sufisme, bahkan beliau juga mempunyai sebuah karya yang berisikan tentang kaedah-kaedah sufi, kitab tersebut berisikan tentang dua hal adapun yang pertama  menjelaskan tentang biografi para sufi dan mengutip beberapa perkataan mereka. yang kedua menjelaskan tentang kaedah umum tentang ilmu tasawuf[16].  Buku ini ditulis pada tahun 473 H dan diajakan kepada umat islam di nengara-negara islam saat itu. kitab ini beliau beri nama al-Risalah al-Qusyairiyyah.

  1. Karakteristik Kitab Tafsir Lataif al-Isyarah

         Setelah melakukan pembahasan terhadap kitab Lataif al-Isyarah karya al-Qusyairi ini, akahirnya penulis menemukan beberapa karakteristik yang melekat pada tafsir tersebut, adapun salah satu diantaranya adalah: pertama, kitab ini berisikan isyarat-isyarat al-Qur’an dengan pemahaman ahli ma’rifat baik dari ucapan mereka maupun kaedah-kaedah yang mereka buat. Isyarat yang dimaksudkan disini adalah pemahaman hikmah dengan cara halus, yaitu pemahaman berdasarkan hakekat, penafsiran dengan gaya seperti ini lain daripada yang lain, yaitu penafsiran yang luar biasa dari kebiasaan . dimana para mufassir selalu berpegang perangkat atau ilmu-ilmu tentang tafsir seperti Nahwu, tata bahasa dan ilmu-ilmu lain. tafsir ini hanya berdasarkan pada pengaruh dari perasaan seorang sufi dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Pemahaman yang didapatkan setelah melakukan mujadalah dengan berpegang teguh pada karunia Allah swt[17].

       Kedua, kitab ini merupakan kitab yang sepenuhnya ditafsirkan dengan cara isyari, berbeda dengan tafsir Ruh al-Ma’aniy karya al-Aalusiy yang tidak semuanya ditafsirkan dengan isyari melainkan perpaduan anatar isyari dan kebahasaan[18]

          Ketiga, aliran teologi al-Qusyairi adalah Sunni yang menolak mujassimah, yaitu sebuah faham yang menjisimkan Allah dan secara tidak langsung telah menyamakan Allah swt dengan makhluk.[19]

  1. Contoh Penafsiran

           Untuk mempermudah dan memperjelas suatu pembahasan dibutuhkan suatu contoh nyata yang berkaitan dengan pembahasan tersebut. dan disini penulis memaparkan beberapa contoh yang dapat membantu pembaca didalam memahami kajian atas tafsir Lataif al-Isyarah karya al-Qusyairi ini.

          a. Penafsiran terhadap huruf-huruf Muqotto’ah[20]

Surat al-Baqarah ayat 1.

الم (1)

هذه الحروف المقطعة في أوائل السورة من المتشابِه الذي لا يعلم تأويله إلا الله – عند قوم ، ويقولون لكل كتاب سر ، وسر الله في القرآن هذه الحروف المقطعة . وعند قوم إنها مفاتح أسمائه ، فالألف من اسم ( الله ) ، واللام يدل على اسمه « اللطيف » ، والميم يدل على اسمه « المجيد » و « الملك » .

             Ini merupakan huruf muqotto’ah yang berada pada permulaan surat dan termasuk sesuatu yang mutasyabihat yang maksutnya tidak dapat diketahui kecuali Allah. Mereka para ahli hakekat berkata bahwa pada setiap kitab itu terdapat rahasia, dan rahasia Allah didalam al-Qur’an adalah huruf Muqotto’ah ini. dan menurut para ahli hakekat berpendapat bahwa huruf muqotto’ah merupakan pembuka dari nama-nama-Nya, adapun huruf “alif” berarti “Allah”, huruf “lam” menunjukkan pada nama-Nya “Latif” sedangkan huruf “Mim” menunjukkan pada nama-Nya “Majiid” dan “Mulk”

       Dalam contoh yang pertama ini sedikit banyak telah membuka cakrawala kita terhadap al-Qusyairi dan tafsirnya, yang pertama, mengenai karakteristik tafsirnya yaitu memulai setiap tafsirannya dengan penafsiran terhadap huruf-huruf muqott’ah. Kedua, dimana beliau mencoba menggunakan hakekat untuk menta’wilkan huruf-huruf muqotto’ah walaupun sebelumnya terlebih dahulu telah diberi keterangan bahwa tidak ada satupun yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah swt. Hal ini berbeda dengan kebanyakan para mufassir yang sama sekali tidak berani menyentuh maksud dari huruf-huruf muqotto’ah tersebut, sebagaimana imam Jalaluddin didalam tafsirnya Jalalain , sebagai berikut[21]:

الم

“الم” اللَّه أَعْلَم بِمُرَادِهِ بِذَلِكَ .

“Alif lam mim” “Allah lebih mengetahui maksutnya itu”

            b. Pemahaman Berdasarkan Hakekat

Surat Yusuf ayat: 19[22]

 وَجَاءَتْ سَيَّارَةٌ فَأَرْسَلُوا وَارِدَهُمْ فَأَدْلَى دَلْوَهُ قَالَ يَا بُشْرَى هَذَا غُلَامٌ وَأَسَرُّوهُ بِضَاعَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِمَا يَعْمَلُونَ (19)

             Secara teks,  ayat tersebut hanya memberikan kita gambaran atas cerita nabi Yusuf as yang dibuang oleh para saudara-saudaranya kedalam sebuah sumur, lantas datang segerombolan mufassir yang hendak pergi ke kota Mesir dan berniat beristirahat sejenak untuk minum, lalu mereka menimba sumur itu dan mendapati yusuf didalam timbanya, mereka sangat senang karena anak (yusuf) tersebut nanti dapat dijual dengan harga mahal di Mesir.

          Akan tetapi berbeda dengan pemahaman yang diberikan oleh al-Qusyairi dalam kitab tafsirnya. Dalam tafsirnya beliau menulis sebagai berikut:

ليس كلُّ من طلب شيئاً يُعطى مرادَه فقط بل ربما يُعْطَى فوق مأموله؛ كالسيارة كانوا يقنعون بوجود الماء فوجدوا يوسفَ عليه السلام .

ويقال ليس كل مَنْ وَجَدَ شيئاً كان كما وجده السيارة؛ توهموا أنهم وجدوا عبداً مملوكاً وكان يوسف – في الحقيقة – حُرَّاً .

ويقال لمَّا أراد اللَّهُ تعالى خلاصَ يوسف – عليه السلام – من الجُبِّ أزعج خواطر السِّيارة في قصد السفر ، وأعدمهم الماءَ حتى احتاجوا إلى الاستقاء لِيَصِلَ يوسف عليه السلام إلى الخلاص ، ولهذا قيل : ألا رّبَّ تشويشٍ يقع في العَالَم ، والمقصودُ منه سكونُ واحدٍ . كما قيل : رُبَّ ساع له قاعد

Tidak semua orang yang meminta sesuatu itu hanya mendapat sebatas harapannya saja, bahkan tidak jarang justru mendapat lebih dari itu, seperti yang terjadi pada para musaffir ini, yang sebenarnya mereka harapkan hanyalah air untuk minum, akan tetapi ternyata mendapat lebih dari itu, mendapatkan yusuf as.

Dan dikatakan juga bahwa tidak setiap sesuatu yang didapat itu sesuai dengan persepsi orang yang mendapatkannya, sebagaimana mereka para musaffir yang mendapati yusuf yang dikira seorang sahaya yang bisa mereka jual, padahal hakekatnya ia adalah seorang hamba merdeka bahkan seorang rasul.

Dan dikatakan juga bahwa ketika Allah swt menghendaki selamatnya yusuf as.dari dalam sumur, maka Allah swt menggerakkan hati para musaffir untuk bepergian, dan juga Allah swt menjadikan mereka kekurangan air minum sehingga mereka mencari sumur dimana didalamnya ada yusuf, dan ini yang menjadi penyebab selamat dan terangkatnya yusuf dari sumur, oleh karena itu sebagaimana dikatakan oleh para auliya’” ingatlah, mungkin saja adanya kekacauan dijagad alam ini, dan itu ternyata ada maksud untuk memberikan ketenangan bagi lainnya” dan sebagaimana telah dikatakan bahwa banyak orang berjalan tapi ternyata ia dipandu oleh orang yang duduk.”

       Pada contoh yang kedua ini dapat dilihat corak penaafsiran al-Qusyairi yang berpegang pada penafsiran isyari atau sufi, yaitu dengan mengeluarkan makna dzahir dari ayat dan memaparkan makna batin yang terkandung, tentunya menggunakan pendekatan hakekat yang telah ia kuasainya. Isyarat yang dimaksudkan disini adalah pemahaman hikmah dengan cara halus, yaitu pemahaman berdasarkan hakekat tadi.

  1. Menolak Faham Mujassimah[23]

Surat al-Baqarah ayat:19

قوله جلّ ذكره : { ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيءٍ عَلِيمٌ } .

فالأكوان بقدرته استوت ، لا أن الحق سبحانه بذاته – على مخلوق – استوى ، وأَنَّى بذلك! والأحدية والصمدية حقه وما توهموه من جواز التخصيص بمكان فمحال ما توهموه ، إذ المكان به استوى ، لا الحق سبحانه على مكانٍ بذاته استوى .

Dan adapun firman Allah swt yang artinya {“dan dia berkehendak/bersemayam menuju langit. Dan dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”} maksudnya adalah seluruh alam/makhluk ciptaannya itu yang hakikatnya bersemayam (menempati sebuah ruang) dengan qudrat-Nya dan bukan sebaliknya, Dia yang bersemayam pada makhluk ciptaa-Nya (‘arsy) karena itu tidak mungkin terjadi. karena Dia adalah dzat yang Ahad dan Shamad (tempat bergantung segala sesuatu), maka apa yang dipersepsikan oleh sebagian orang bahwa mungkin boleh bagi-Nya untuk bersemayam pada suatu tempat adalah suatu yang sangat mustahil, karena tempatlah yang bersemayam/butuh pada-Nya, bukan Dia yang membutuhkan tempat itu.

             Dari keterangan yang diberikan oleh al-Qusyairi diatas dapat memberi gambaran terhadap kita mengenai faham yang dianut oleh al-Qusyairi adalah ahlu al-sunnah wa al-Jama’ah yang menolak faham mujassimah, al-Qusyairi menolak pemahaman bahwa Allah swt itu bersemayam pada sebuah ciptaan (‘Arsy), melainkan ciptaan tersebut yang bersemayam/butuh pada-Nya. [Zuliana]

[1]Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmi, 2007), hlm.3.    lihat juga di  Ma’ruf Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi,Muallif Al-Kitab, Dalam Abd Al-Karim Hawazin Al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyyah Fi Ilm Al-Tasawwuf (T.Tp: Dar Al-Khair,Tt.).hlm.5.

[2] Al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruq (jakarta :pustaka amani, 1998),hlm.10. lihat juga di Ma’ruf  Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi,Muallif Al-Kitab…,hlm.5.

[3] Ibid, hlm,5-6.

[4] Ibid, hlm, 6.

[5] Mani’ Abd Halim Mahmud (Trj), Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2006), hlm,179.

[6] Ma’ruf  Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi, Muallif Al-Kitab…,hlm.7.

[7] Ibid, hlm.8.

[8] Al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruq, hlm.7.

[9] Akbarizan,”sufism dan pendidikan”(studi tentang kitab al-risalah al-qusyairiyyah)”.tesis, program pasca sarjana, IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 1997, hlm.25.

[10] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.3

[11] Ibid.

[12] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.4. lihat juga di Ma’ruf  Zuraiq Dan Ali Abdul Hamid Baltahzi, Muallif Al-Kitab, hlm..9. lihat juga di Al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruk..hlm,10.

[13] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogayakarta: Pustaka Pelajar, Cet.II, 2000), hlm.13.

[14] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat…,Hlm.5.Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)”,(Malang:UIN Malang Press,2009), Hlm.80.

[15] Mani’ Abd Halim Mahmud (Trj), Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hlm.183.

[16] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat,Hlm.5. Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)” hlm.81-82.

[17] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat,Hlm.5.Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)” hlm.81-82.

[18] Kodirun, Lataif Al-Isyarat Karya Al-Qusyairi (Telaah Atas Metode Penafsiran Seorang Sufi Terhadap Alqur’an)”, Skripsi, Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin, IAIN Sunan Kaljaga, 2001, hlm70.

[19] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat,Hlm.5.Lihat Juga Abbas Arfan Baraja, Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)” hlm125.

[20] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.13

[21] Jalauddin Al-Mahalliy dan Jalaluddin al-Syuyuti, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Surabaya: Nurul Hidayah), hlm.2.

[22] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm.71-72.

[23] Al-Qusyairi, Lataif Al-Isyarat, hlm. 33.

Daftar Pustaka

Abbas Arfan Baraja. 2009. Ayat-Ayat Kauniyah “(Analisis Kitab Tafsir Isyari (Sufi) Imam Al-Qusyairi Terhadap Beberapa Ayat Kauniyah Dalam Al-Qur’an)”. Malang:UIN Malang Press.

Akbarizan,”sufism dan pendidikan”(studi tentang kitab al-risalah al-qusyairiyyah)”.tesis,program pasca sarjana, IAIN Sunan Kalijaga,Yogyakarta, 1997

Al-Mahalliy , Jalauddin dan al-Syuyuti , Jalaluddin. Tafsir al-Qur’an al-Adzim. Surabaya: Nurul Hidayah.

Al-Qusyairi. 2007. Lataif Al-Isyarat. Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmi.

al-Qusyiri, risalah al-Qusyairiyyah fi ilm al-tasawwuf, trj. Umar faruq. 1998 .jakarta :pustaka amani.

Kodirun, Lataif Al-Isyarat Karya Al-Qusyairi (Telaah Atas Metode Penafsiran Seorang Sufi Terhadap Alqur’an)”, Skripsi, Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usuluddin,IAIN Sunan Kaljaga,2001

Mahmud , Mani’ Abd Halim (Trj).2006. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Baidan, Nasruddin. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogayakarta:Pestaka Pelajar.Cet.II.

Zuraiq , Ma’ruf  dan Hamid , Ali Abdul Baltahzi,Muallif Al-Kitab, Dalam Abd Al-Karim Hawazin Al-Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyyah Fi Ilm Al-Tasawwuf .T.Tp: Dar Al-Khair,