KAJIAN KRITIS ATAS JAMI’ AL-BAYAN ‘AN TA’WIL AL-QUR’AN KARYA ABI JA’FAR MUHAMMAD BIN JARIR AT-THABARI (W. 223 H)

Pendahuluan

            Alquran adalah kitab suci umat Islam yang terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat. Alquranmemuat berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dapat dikaji oleh semua orang dari berbagai kalangan, baik oleh ilmuwan bahkan orang awam. Setiap sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan umat manusia, pasti ada informasinya dalam Alquran. Setiap menggali ilmu Alquran dari sisi manapun, niscaya akan melahirkan sebuah cabang atau ranting ilmu pengetahuan. Tak terkecuali dalam bidang tafsir. Tafsir selalu saja memberi berbagai perspektif yang berbeda, baik dari segi metode, corak, sumber pendekatan dan lain sebagainya.

     Sejak zaman sahabat hingga sekarang, banyak sekali para mufassir yang mengabdikan hidupnya untuk menafsirkan Alquran, tak terkecuali imam at-Thabari. Ia adalah begawan atau jawara tafsir sejak zaman klasik hingga era sekarang. Setting historis lingkungan hidupnya ikut memberi peran terhadap pemikiran keilmuannya. Jami’ Al-Bayan ‘An Ta’wil Alquran merupakan salah satu karya fenomenal yang mejadi rujukan utama hingga sekarang. Untuk lebih lengkapnya, tulisan ini akan membahas segala sesuatu tentang cara penafsiran dan tentang kitab tafsir at-Thabari tersebut.

 

Mengenal Lebih Dekat at-Thabari

             Salah satu kitab tafsir konvesional yang bereksistensi hingga sekarang  ialah  Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alquran karya Ibn Jarir at-Thabari. Nama lengkap beliau ialah Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib Abu Ja’far at-Thabari al-Amuli.[1] Namun informasi lain menyebutkan bahwa nama lengkap at-Thabari ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli.[2] Nama kunyahnya ialah Abu Jafar Muhammad, namun lebih dikenal dengan sebutan at-Thabari. Meskipun nama kunyahnya Abu Ja’far, namun dia tidak memiliki anak bernama Ja’far. Dan bahkan para sejarah sepakat bahwa beliau tidak pernah menikah. Ia lahir pada pada akhir 224 H atau awal 225 H atau sekitar 839-840 M, dan meninggal pada tahun 311 H/ 923 M.Tanah Kelahirannya ialah kota Amul, Ibu Kota Thabaristan, Iran.[3] Sehingga nama belakangnya al-Amuli adalah penisbatan dari tanah kelahirannya.[4]

          Secara historis, ath-Thabari hidup pada masa kejayaan Islam. Islam telah menyebar ke berbagai wilayah, begitu pula dengan pemikiran para ilmuan yang turut membentuk cara pandang masyarakat Islam dimana mereka bertempat tinggal. Pada waktu yang sama, muncul berbagai mazhab fiqh dan tafsir. Terdapat kecenderungan komunitas muslim awal dengan munculnya paham Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Di sisi lain muncul pula golongan ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah sekitar tahun 200 H.[5] Kontribusi sekte-sekte lain juga turut meramaikan panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dialami at-Thabari menggugah sensitifitas keilmuannya, khususnya dalam bidang pemikiran Islam dengan cara memberikan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulisnya. Pergulatan madzhab yang dia alami mengantarkan at-Thabari pada keberhasilan dialog yang ia lakukan dengan Alquran sebagai petunjuk yang tidak lagi diragukan. Hal ini salah satunya terkait dengan cara pandang at-Thabari terhadap ayat-ayat mutasyabihat.[6]

Aktivitas Pendidikan dan Keilmuan At-Thabari

            At-Thabari hidup tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang cukup memberikan konstribusi terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Bersamaan dengan situasi Islam yang sedang berada pada puncak kegemilangan di bidang pendidikan, yaitu pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.[7] Kondisi tersebut secara psikologis turut berperan dalam mencetak kepribadian at-Thabari dan kecintaannya terhadap ilmu. Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk mencintai ilmu sejak dini.[8]

          Karir pendidikan at-Thabari dimulai di kampung halamannya, kota Amul. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri. Ketika berumur 7 tahun, ia telah menyelesaikan hafalan Alquran dan menjadi imam shalat. Dan ketika berumur 9 tahun telah mencatat hadis. Semangat belajarnya sangat tinggi, demi menuntut ilmu ia melakukan rihlah keilmuan ke beberapa negara, diantaranya ialah: Bashrah, Rayy, Kufah, Syria dan Mesir di usia yang terhitung dini.[9] Abu Bakar memasuki wilayah Baghdad untuk belajar kepada Ahmad Ibn Hanbal, namun ketika di tengah perjalanan ia mendengar kabar bahwa Ahmad ibn Hanbal telah wafat, seketika ia memutar haluan menuju dua kota besar, Basrah dan Rayy. Di Bashrah ia belajar kepada Muhammad ibn ’abd al-A’la al-San’ani, Muhammad ibn Musa al-Harasi dan Abu al-‘As’as Ahmad bin al-Miqdam, ‘Amad ibn Musa al-Qaraz, Basyar ibn Mu’ad, Abi As’ats, Muhammad ibn Basyar dan Abu al-Jawza’ Ahmad bin Usman,  Di Rayy ia belajar kepada Ibnu Humayd, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razi, serta belajar ilmu hadis kepada al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili.[10]

             At-Thabari Kemudian melanjutkan perjalanan ke Kufah, ia berguru kepada Abi Karib Muhammad ibn ‘Ila Alhamdani dan Ismail bin Musa serta Hannad bin al-Sari dalam bidang tafsir. At-Tabari berkunjung kembali ke Baghdad untuk belajar Qiraat dan fiqih di bawah bimbingan Ahad bin Yusuf al-Sa’labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za’farani dan Abi Sa’id al-Astakhari. Tak puas dengan ilmu yang didapatkannya, ia berkunjung ke beberapa kota untuk belajar gramatika Arab dan qiraat. Warsy dan Qalun ikut berkontribusi terhadap keilmuan Thabari. Kota Baghdad menjadi domisili terakhir at-Thabari. Ia wafat pada hari Senin, 27 Syawal 310 H atau 17 Februari 923 M dalam usia 83 tahun.[11]

            Adapun murid-murid at-Thabari ialah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Nashir, Ahmad bin Qasim bin Abdullah bin Mahdi, Ahmad bin Kail bin Khalaf, Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid at-Tamimi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub al-Lakhmi, Abdullah bin Ahmad bin Ja’far bin Khudyan at-Turki, Abdullah bin Ahmad bin Ru;yah bin Sulaiman bin Zair, Abdullah bin Hasan Abu Syu’aib al-Kharoni, Abdullah bin ‘Adi bin Abdullah al-Jurjani, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin ’Ali, Muhammad bin Daud bin Sulaiman , Muhammad bin Abdullah (Abu Bakar Syafi’i), Muhammad bin Abdullah Abu al-Maqdal al-Sayati al-Kufi, dan masih banyak lagi[12]

Karya-karya

              At-Thabari memiliki banyak sekali melukis karya dalam berbagai bidang semasa hidupnya. Dalam Bidang hukum yaitu Adab al-Manasik, Al-Sadar fi al-Usul, Basit, Ikhtilaf, Khafif, Latif al-Qaul fi ahkam Syara’i al-Islam, Mujaz, Radd ‘ala Ibn ‘Abd al-Hakam. Sedangkan dalam bidang Alquran ada Fasl Bayan fi al-Qiraat, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Kitab al-Qiraat. Dalam bidang Hadis ialah, ‘Ibarah al-Ru’ya, Tahzib, Fada’il, dan Al-Musnad al-Mujarrad. Pada bidang teologi ada, Dalalah, Fada’il ‘Ali ibn Abi Thalib, Radd ‘ala zi al-Asfar, Al-Radd ‘ala al-Harqusiyyah, Sarih dan Tabsyir atau juga disebut al-Basyir fi Ma’alim al-Din. Dalam bidang etika keagamaan adalah Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah, Fada’il wa Mujaz dan Adab al-Tanzil. sedangkan dalam bidang sejarah ialah, Zayl al-Muzayyil, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, dan Tahzib al-Asar. Ada beberapa karya at-Thabari yang belum dipublikasikan yakni Ahkam Syara’i al-Islam, Ibarat al-Ru’ya, dan al-Qiyas. Karya lain dalam bentuk mansukrip antara lain: Sarih al-Sunnah, Rami al-Qaws, al-Aqidah, al-Jami’ al-Qira’at al-Masyhurah wa al-Syawaz, Hadis al-Himyar, al-Risalah min Tiff al-Qawl fi al-Bayan ‘an Usul al-Ahkam. Jumlah karya yang pernah ditulis oleh at-Thabari tidak bisa kita hitung dengan jelas, sebab masih banyak karya yang lenyap, semisal tentang fiqih mazhab Jaririyah.[13]

Sekilas tentang Tafsir at-Thabari

Latar Belakang Penulisan

             Semasa hidup at-Tabari, akhir abad ke 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitras etnis, religius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Di samping itu pula di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi hadis. Tafsir telah mengalami perkembangan pesat secara metodologis dan substansial, munculnya aliran tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi turut memberikan warna terhadap pemikiran muslim. selain itu pula munculnya aliran rasional keagamaan seperti yang telah disebutkan dalam biografi ath-Tabari cukup menggugah sensifitas keilmuannya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melakukan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Salah satu karya tulisnya ialah kitab tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Faktor-faktor tersebut menjadi latar belakang ditulisnya tafsir ini.[14]

Sistematika Penulisan

             Kitab tafsir at-Thabari berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, nama ini lebih fenomenal dibanding judul yang ia berikan sendiri, yaitu Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ay al-Qur’an. Kitab ini ditulis pada akhir abad ketiga hijriah dan mulai diajarkan kepada muridnya dari tahun 283 sampai 290 hijriah. [15] Kitab tafsir Thabari ialah kitab tafsir pertama dan paling masyhur yang menjadi rujukan utama hingga sekarang. Tafsir ini terdiri dari 30 juz dengan 12 jilid[16]. Kitab ini pertama kali dicetak ketika Thabari berumur 60 tahun. Dengan dicetaknya buku ini, terbukalah khazanah keilmuan tafsir.[17]

               Kitab tafsir ini telah dicetak dua kali di Mesir. Menurut Ibnu as-Subukhi bentuk kitab yang sekarang  adalah ringkasan dari kitab aslinya. Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan dalam kurun waktu yang lama ditemukan di rumah seorang Amir Najeed yang benama Hamad ibn Amir Abd al-Rasyd. Dalam versi lain disampaikan Goldziher bahwa kitab ini ditemukan pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20.[18]

              Tafsir berbahasa Arab ini telah dicetak ulang beberapa kali, diantaranya ialah: Kairo, Percetakan Bulaq sebanyak 30 juz dan 12 Jilid, diterbitkan tahun 1323 H. Kemudian dicetak di Mesir oleh Maktabah Mushtofa al-Baby al-halbi pada tahun 1373 H sebanyak 30 juz dan 12 jilid ditulis oleh Ahmad Saad ‘Ali. Dicetak pula di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah cetakan pertama pada tahun 1412 sebanyak 12 jilid. Kemudian tafsir yang dijadikan oleh penulis ialah cetakan Kairo ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin ‘Abd al-Muhsin at-Turki sebanyak 30 juz, cetakan pertama pada tahun 1422 oleh Markas al-Buhus wa al-Dirasat al-‘arabiyyah al-Islamiyyah sebanyak 30 Juz.[19]

            Sistematika tafsir Tabari dapat dipetakan sebagai berikut:

No. jilid Jumlah halaman Isi
1 1 192 Muqaddimah tahqiq, muqaddimah penulis kitab, dan manuskrip kitab.
2 II 765 Tafsir surah al-Baqarah ayat 1-163
3 III 774 Tafsir surah al-Baqarah ayat 164-224.
4 IV 722 Tafsir surah al-Baqarah ayat ayat 224-267
5 V 742 Tafsir surah al-Baqarah ayat 268- Ali Imron 119.
6 VI 744 Tafsir s. Ali Imron hingga an-Nisa ayat 35
7 VII 742 An-Nisa 36-172
8 VIII 768 Al-Maidah
9 IX 700 Al-Maidah dan al-An’am
10 X 693 Al-An’am-m al-A’raf
11 XI 720 Al-A’raf- at-Taubah
12 XII 671 At-Taubah- Hud
13 XIII 763 Yusuf- Ibrahim
14 XIV 693 Al-Hijr- Bani Isroil
15 XV 665 Al-Isra’- Maryam
16 XVI 662 Toha- al-Hajj
17 XVII 701 Al-Mu’minun- Asy-syu’ara’
18 XVIII 666 An-Naml – as-Sajdah
19 XIX 675 Al-Ahzab – As-Soffat
20 XX 684 Shat – az-Zuhruf
21 XI 623 Ad-Dukhon – at-Thur
22 XII 687 An-Najm – al-Munafiqun
23 XIII 625 At-Taghabun – al-Mursalat
24 XIV 764 An-Naba’ – an-Nas
25 XV – XVI 1420 Tentang kitab, penyunting dan penulis

 Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayan

            Secara umum metode-metode penafsiran yang dipakai hingga sekarang terdapat empat macam, yaitu: metode tahlily, Ijmali, muqarran serta maudhu’i atau tematik.[20] metode tahliliy atau yang dinamakan oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alqurandari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana yang tercantum di dalam mushaf. Segala segi yang dianggap penting oleh seorang mufasir tahliliy diuraikan. Bermula dari kosa kata, asbabun nuzul, munasabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini walapun dinilai sangat luas, ia tidak menyelesaikan suatu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan sisanya atau selanjutnya ada pada ayat lain.[21]

             Para ilmuan banyak yang mengklaim bahwa tafsir yang dikarang oleh at-Thabari ini merupakan tafsir dengan metode tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma’tsur dan bi ar-ra’yi. Sekalipun at-Thabari sangat kental dengan riwayat-riwayat penafsir, namun untuk menentukan makna secara tepat, ia juga menggunakan ra’yu.[22] Corak penafsiran at-Thabari pada kitabnya ialah sejarah dan bahasa. Sebagai ahli sejarah, ia menyampaikan berbagai riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat , tabi’in, tabi’i tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan. Melalui pendekatan bahasa, ia menggunakan bahasa Arab sebagai pegangan, bertumpu pada syair-syair kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, bersikap acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa.[23]

      Dari sisi linguistik, at-Thabari sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, bersandar pada syair-syair Arab kuno ketika menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran gramatika. Contoh dari penggunaan syair adalah ketika menjelaskan kata “Faridhah” beliau menggunakan syair sebagai berikut

كانت قريضة ما اتيت كما كان الرتاء قريضة الرحيم

Sesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajib dikenanakan rajam.

            Kemudian beliau juga menampilkan qiraat, karena beliau memang ahli qiraat. Contohnya ialah dalam menjelaskan ayat مالك يوم الدين Abu Ja’far berkata: para ahli qiraat berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada yang membaca “ملك يوم الدين” dengan memendekkan mim dan diantaranya juga membaca “مالك يوم الدين” dengan memanjangkan mim.[24]

            Menempuh jalan istinbath dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i’rabnya. Dalam rangka melengkapi keterangan tentang pengetahuan suatu ayat, disajikan kisah-kisah israiliyat dari tokoh Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam yang dipandang lebih akurat dan dikenal oleh masyarakat Arab. Terkadang Tabari juga melakukan kritik terhadapnya. Sebagai seorang ilmuan ia tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam ranah fiqh. Ia berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham. Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang menyangkut soal akidah, mau tidak mau ia terlibat dikusi yang cukup intens. Hal ini nampak terhadap pembelaannya terhadap ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah pada saat berhadapan dengan pandangan Mu’tazilah. Walaupun sebenarnya ia telah berusaha mengambil posisi moderat.[25]

Secara ringkas langkah-langkah  metodologis yang dipakai at-Thabari dalam menafsirkan Alquran ialah:

  • Menyajikan riwayat dengan teliti, misalnya dalam menyebutkan sanad dan pencantuman riwayat. Apabila ia hendak menafsirkan suatu ayat ia berkata, “Pendapat-pendapat mengenai tafsir atau ta’wil ayat ini adalah begini atau begitu.” Lalu beliau menafsirkannya berdasar pada sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan secara lengkap yakni dengan metode tafsir bi al-ma’tsur . beliau juga menggunakan komparasi kritis, artinya memaparkan segala riwayat atau pendapat yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan, kemudian mentarjihnya.[26]
  • At-Thabari menjauhkan dari penafsiran yang berorientasi bi al-ra’yi. Dalam beberapa riwayat ia melarang tafsir dengan orientasi bi al-ra’yi, karena menurutnya penafsiran kitab Allah tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dari keterangan Rasulullah saw.
  • Menggunakan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat terhadap kalimat yang lain.
  • Menyajikan syair dan menggali prosa Arab ketika menjelaskan makna kosa kata. Terkadang disebutkan nama pengarangnya dan terkadang hanya syairnya.
  • Menampilkan qiraat dalam rangka mengungkapkan makna ayat.
  • Menempuh jalan tafsir dan ta’wil.
  • Melakukan penafsiran ayat dengan ayat atau
  • Memperhatikan i’rab.
  • Memaparkan berbagai pendapat di bidang fiqih kemudian mengemukakan pendapatnya. [27]

           

Komentar Ulama

            Berkata Abu ‘Abbas bin sarij: Muhammad ibn Jarir ialah seorang faqih yang alim, seorang laki-laki yang menguasai berbagai ilmu, diantaranya: ilmu qiraat, tafsir, hadis, fiqih, sejarah serta banyak ilmu lainnya. ia adalah seorang penulis yang produktif hingga akhir hayatnya. Di antara karyanya ialah: Tarikh al-Umm wa al-Muluk yang menjadi salah satu rujukan utama dalam bidang sejarah. Kemudian qiraat serta kitab kumpulan pendapat ulama.

            Muhammad Abduh juga mengomentari tafsir at-Thabari, adapun pendapatnya ialah: “kitab yang terpercaya di kalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belanggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan  paham  yang dapat menimbulkan perpecahan.” Dikatakan oleh Philip K. Hitti bahwa sebagai penafsir, at-Thabari telah membangun tradisi tafsir paling awal sekaligus penulis kitab tafsir paling tebal, ia telah memulai karir intelektualnya sejak berada pada masa kanak-kanak. At-Thabari adalah seorang Mufassir yang karya monumentalnya tentang sejarah dunia menjadi buku sejarah paling lengkap dan menjadi rujukan utama para sejarawan.

            Dalam pandangan Imam Khatib al-Baghdadi, Ibnu Jarir at-Thabari adalah seorang imam terkemuka yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Ia menghimpun banyak ilmu yang tidak dimiliki oleh ulama lain pada masanya. Ia hafal kitabullah, sangat menguasai ilmu Alqurandan benar-benar paham tentang hukum-hukumnya. Ia ahli hadis, sangat mengetahui metode-metodenya, yang shahih dan dhaifnya, nasikh mansukhnya dan menguasai ucapan para sahabat, tabi’in dan para ulama sesudah mereka selain menguasai soal halal haram, tentang aneka ragam berita perjalanan umat manusia.[28] Dikatakan pula oleh suyuti bahwa kitab tafsir Ibnu Jrir merupakan kitab tafsir paling agung dan bermutu. Berisi kutipan berbagai pendapat dan tarjih sebagiaanya atas sebagian yang lain, istinbath, i’rab, yang dengannya ia mengungguli kitab-kitab tafsir yang lebih dahulu.[29] Tak kalah dengan pendapat para ulama di atas, Ignaz Goldziher sebagai orientalis juga mengungkapkan bahwa kitab tafsir Jami’ al-Bayan adalah karya puncak tafsir aliran tradisional. Dalam ranah Islam, tafsir tersebut dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dan terpenting dari tafsir bi al-ma’tsur.[30]

 

Penafsiran at-Thabari Tentang Ayat-Ayat Miskin dan Yatim

            Agama Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim. Salah satu surat yang membahas tentang anjuran berbuat baik kepada anak yatim ialah surah al-An’am ayat 152, yang berbunyi:

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia sampai dewasa. (QS. Al-An’am: 152)

          Ditafsirkan oleh at-Tabari yang dimaksud dengan احسن dalam ayat tersebut ialah صلاحه وتثميره yaitu menjaga dan mengembangkanbhartabanakbyatim sesuai dengan hadis Nabi, “Muhammad bin Husain telah menceritakan kepadaku, telah berkata Muhammad bin Husain: Ahmad bin Mufadhol telah menceritakan padaku, telah berkata Muhammad bin Husain Asbath telah menceritakan padaku dari Asy-Syuda’ “dan janganlah kamu mendekati  harta anak yatim kecuali dengan cara yang baik. Kemudian kembangkanlah oleh kamu harta anak yatim.” Dalam redaksi yang sama juga diungkapkan dalam surah al-Isra’ ayat 34, yang berbunyi:

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا

 Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia sampai dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.

            Allah memerintahkan dalam ayat tersebut agar tidak mendekati harta anak yatim dengan memakan harta mereka secara berlebihan akan tetapi dekatilah mereka dengan perbuatan yang baik dan bagus dan persaudaraan dengan cara mereka yang demikian itu dengan mengusahakanmterhadapmhartamanakmyatim agar dapat bertambah dan memberikan kebaikan. Qotadah berkata tentang ayat

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا

           Ketika turun ayat ini para sahabat mencampurkan harta mereka dengan harta anak yatim mereka mencampuradukkan dengan anak yatim di dalam makanan mereka atau memakan makanan mereka dan sebagainya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu mencampuradukkan harta dengan harta anak yatim maka mereka itu adalah saudara kamu, dan Allah Maha mengetahui perkara yang baik dari perkara yang buruk. Maka anak yatim itu orang-orang yang lemah. Muhammad bin Abdul A’la menceritakan Muhammad bin Tsur dan Mu’mar dari Qatadah tentang ayat ولا تقربوا مال اليتيم ada para sahabat yang mencampuradukkan harta mereka dengan harta anak yatim dan mereka tidak memberi makan sampai turun ayat ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن hal ini sependapat dengan Ibnu Jain menceritakan padaku Yunus mengabarkan pada kamu Ibnu Wahab berkata: Ibnu Jain menafsirkan اوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذلك خير واحسن تاءويلا   ditafsirkan dengan memakan harta mereka dengan baik jika kamu memakan bersamanya membutuhkan harta tersebut bapakku berkata yang demikian itu tentang firman Allah واتوا اليتامى اموالهم ولا تتبدٌل الخبيث بالطيب ولا تاكلوا اموالهم الى اموالكم انه كان مسؤلا ditafsirkan dengan samapi waktu remaja di dalam pikirannya dan mengurusi hartanya dan dapat berlaku baik terhadap kelakuannya di dalam agama dan firman Allah ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا. Maksudnya penuhilah janji yang kamu adakan perjanjian kepada manusia di dalam kebaikan antara ahlul harbi dan Islam dan di dalam suatu antara kamu semua dan jual beli perserikatan sewa menyewa dan lainnya.[31]

Penutup

               At-Thabari adalah salah satu begawan mufassir yang berhasil menjadi salah satu tokoh yang disegani oleh para Mufassir klasik hingga sekarang. Ia menulis tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran dengan beberapa corak yaitu sejarah dan bahasa. Bentuk penafsiran yang ia pakai ialah gabungan antara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi. Metode yang ia pakai ialah metode tahlily dengan sistematika ttartib mushafi yaitu tafsir dimulai dari juz satu hingga juz tiga puluh. Tafsir ini mejadi rujukan utama oleh para mufassir, terbukti dengan ditahqiqnya tafsir ini oleh beberapa orang dan lembaga. Sumber pendekatan yang Tabari lakukan dalam menafsirkan Alquransangat beragam yaitu dari Alquranitu sendiri, hadis nabi, perkataan sahabat, tabi’in serta tabi’i tabi’inqiraat, i’rab, prosa atau syair arab kuno dan kisah-kisah israiliyyat.

              Tafsir ini dianggap sebagai tafsir yang pertama dan utama karena memuat ensiklopedi Islam selain juga karena tafsir ini bersifat moderat, artinya penafsir mengambil jalan tengah terhadap permasalahan-permasalahan yang sebelumnya telah diungkapkan. Terdapat banyak lagi keistimewaan kitab ini. Dari sisi keilmuan, at-Tabari adalah salah ulamayang hebat. Rihlah keagamaan serta setting sosial at-Tabari ikut memberi andil terhadap pemikiran Tabari. Kehebatan at-Tabari dapat dilihat dari komentar positif para ulama terhadapnya serta banyaknya buku-buku yang dikarangnya. [Fatima]

[1] At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir, Jami’ul Bayan an Takwilil Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 2005, hal. 11.

[2] Muhammad Bakar Isma’il, Ibn Jarir al-Thabari wa Manhajuh fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Manar, 1991, hal. 9-10.

[3] Sebuah kota di Iran, 12 km sebelah selatan Laut Kaspia. Namun riwayat lain menyebutkan bahwa Tabaristan adalah sebuah distrik perbukitan di Persia di sepanjang pantai selatan Laut Kaspia. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014, hal. 488. Daerah yang penduduknya gemar konflik, dan biasanya alat yang digunakan adalah Tabar (kapak), sebagai senjata tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilan lebih dikenal dengan sebutan al-Tabari yang diambil dari nama kulturalnya. M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, No. 1, 2003, hal. 3.

[4] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, Hal. 21.

[5] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 5.

[6] Contohnya dalam menafsirkan QS. 3:7, sekalipun at-Thabari menggunakan dua ayat dimana terjadinya kata tasyabaha dan tasyabih yang digunakan pada konteks berbeda tetap saja mereka memiliki arti dasar yang sama, yakni ambigu dan sulit untuk dipahami. At-Thabari kemudia mengindentifiskasi mutasyabih dengan bahan tersembunyi dalam al-Qur’an., pengetahuan yang terbatas hanya kepada Allah. Seperti arti dari huruf misterius (hurul al-muqata’ah, kedatangan hari kiamat, kenampilan kristus dan dajjal sebelum hari akhir) identifikasi ini at-Thabari lakukan tergantung pada laporan dari asbabun nuzul ayat ini diturunkan. Sahiron Syamsudi, Muhkam and Mutashabih An Analytical Study of al-Tabari’s and al-Zamakhsari’s Interpretitios of Q.3:7, dalam jurnal “Qur’anic Studies, Vol. 1, No. 1 tahun 1999, hal. 68.

[7] lebih rincinya, at-Tabari hidup pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil (847-861), salah satu khalifah besar dari Dinasti Abbasiyah. Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid. I, Jakarta: UI-Press, 2013, hal. 64.

[8] Ibid., hal. 3.

[9] Disebutkan juga bahwa at-Tabari pernah melakukan rihlah keilmuan ke daerah Persia dan Irak. Semangat belajar Tabari juga terhitung luar biasa, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa selama 40 tahun at-Tabari menulis 40 lembar setiap hari. Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014, hal. 489.

                   [10] Muhammad Husain adz-Dazahabi,  Tafsir wal Mufassirun,  Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. Hal. 148.

[11] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 5.

[12] At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir, Jami’ul Bayan an Takwilil Qur’an,hal. 36-39.

[13] Al-Dawudi, Tabaqat al-mufasirun, hal. 111.

[14] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal.12-13.

[15] Abu ja’far

[16]Ali al-Iyazi, Muhammad, al-Mufassirun: Hayyatuhun wa Manhajuhum, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th

[17] Muhammad Husain adz-Dazahabi,  Tafsir wal Mufassirun, 

[18] Ibid., hal. 25.

[19] Ali al-Iyazi, Muhammad, al-Mufassirun: Hayyatuhun wa Manhajuhum, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, t.thhal.399.

[20] Nasarudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 374.

[21] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung:Mizan, 2013), hal. 129-130.

[22] A. M. Ismatullah, “Konsepsi Ibnu Jarir Al-Thabari tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Takwil”, Jurnal Fenomena, Vol. IV, No.2, 2012, hal. 14.

[23] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 12.

[24] Skripsi hal. 24.

[25] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 13-14.

[26] Manna’ al-Khattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterj. Aunur Rafiq Al-Mazni, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012, hal. 454.

[27] Nur Alifah, “Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Ibnu Katsir: Sikap ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya, Skripsi, Program Sarjana UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2010, hal. 24-25.

[28] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, diterj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2010, hal. 196.

[29] Nawawi bertutur, “Umat ini bersepakat bahwa tidak ada satu kitab tafsirpun sebaik kitab Ibnu Jarir.” Ibid., hl. 197-198.

[30] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Divisi Muslim Demokratis, 2011, hal. 406.

[31] Hal. 20-22.

Tinggalkan komentar