Kotak Saran Untuk Penggiat Al-Qur’an

Al-Qur’an secara turun-temurun menjadi warisan Islam yang tak lekang oleh masa. Sejarah membuktikan bahwa Al-Qur’an telah mempertahankan eksistensinya selama berabad-abad semenjak masa turunnya Al-Qur’an sendiri. Kesuksesan eksistensi tersebut dapat terlaksana berkat adanya umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab sucinya.

Namun dedikasi umat Islam kepada Al-Qur’an semakin hari dirasa semakin kehilangan ruhnya. Seperti sebuah fisik kosong tanpa nilai. Hal ini dapat dirasakan dalam berbagai macam kegiatan Qur’ani, baik dalam sisi para santri tahfidz Al-Qur’an, akademisi Al-Qur’an, ataupun para mubaligh yang selalu membersitkan ayat Al-Qur’an dalam setiap ceramahnya.

Ruh yang dimaksudkan yakni kepasrahan total diri kepada Al-Qur’an. Pasrah di sini ialah dedikasi diri yang diniatkan sepenuhnya kepada Al-Qur’an. Segala yang dilakukan berasaskan Al-Qur’an dan demi memulyakan Al-Qur’an. Mari introspeksi diri masing-masing….

Dalam dunia tahfidz Al-Qur’an, perkembangan peminat pengahafal Al-Qur’an menjadi booming setelah adanya acara televisi yang bertemakan tentang tahfidz Al-Qur’an. Masyarakat saling berlomba untuk mencetak anaknya menjadi hafidz-hafidzah. Ini merupakan respon yang luar biasa positif dan sangat baik. Dan tentunya menjadi sebuah sebuah semangat tersendiri bagi kalangan Qur’ani. Pada sisi ini yang menjadi instropeksi adalah banyaknya penghafal Al-Qur’an yang memikirkan tentanga berbagai metode untuk cepat menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya, namun kurang perhatian terhadap “sisi unik” yang tersirat pada Al-Qur’an. Semisal, asbab an-nuzul (sebab turun) dari sebuah surat, tafsir-tafsirnya, ataupun masalah-masalah yang dibahas pada sebuah ayat. Al-Qur’an bukanlah sebuah kitab suci mati yang hanya menjadi objek untuk dihafalkan saja, melainkan sebuah kitab suci yang telah hidup melewati berbagai sejarah peradaban manusia yang membacanya.

Di sisi lain ada kaum intelektual Al-Qur’an. Wilayah ini meliputi para santri-santri yang belajar kitab-kitab tafsir, para sarjana Al-Qur’an, pengamat, penulis, dan lain sebagainya. Akademisi Al-Qur’an mengambil bagian besar dalam memeriahkan kajian-kajian Al-Qur’an dan membuat terobosan-terobosan baru dalam memahami Al-Qur’an. Secara tidak langsung kajian-kajian tersebut ikut meregenerasi makna-makna Al-Qur’an terus menerus hingga sampai saat ini. Di sisi akademik yang perlu diperhatikan ialah seringnya para akademisi memandang Al-Qur’an sebagai sebuah objek kajian ataupun penelitian, dan terkadang lupa diri hingga mengomentari Al-Qur’an tersebut, atau menyalahkan pendapat orang lain yang juga memiliki pendapat dalam memahami Alquran. Kita sadar dan mengakui bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang benar, namun juga kita harus akui bahwa petunjuk pemahaman Al-Qur’an kepada pembacanya pun berbeda-beda.

Terakhir dalam dunia dakwah. Al-Qur’an yang merupakan asas dasar dalam kehidupan menjadi sebuah refrensi yang wajib dimasukkan dalam setiap dakwah dan ceramah. Dakwah merupakan wadah interaksi yang kuat dan paling berpengaruh bagi masyarakat untuk memahami tentang Islam dan Al-Qur’an. Juga menjadi saluran penting dalam membentuk kepribadian individu agar faham tentang Islam rahmatan li al-‘alamin yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Yang menjadi instropeksi di sini adalah banyak pendakwah yang manis di bibir namun kelakuannya patut dicibir. Walaupun memang tak harus menjadi Nabi dulu untuk mengingatkan atau memberi ilmu kepada masyarakat (kalau dalam istilah santri biasa disebut dengan kaburo maqtan). Namun lebih baik lagi jika perilaku juga mencerminkan apa yang disampaikan, karena kebanyakan pendakwah menjadi panutan masyarakat.

Sebagai kesimpulan, alangkah baiknya jika ketiga aspek ini dilakukan dan dijalankan dengan rasa berpasrah diri kepada Al-Qur’an secara total. Mengapa demikian? Pada nyatanya dalam tiga aspek ini, ada segelintir orang yang menjadikan Al-Qur’an sebagai sebuah objek ataupun alat. Hafidz-hafidzah yang merasa telah memiliki ‘kunci surga’ dan tak berusaha untuk memahami kandungan Al-Qur’an, penggiat dan aktivis Al-Qur’an yang sibuk dengan berbagai teori namun lupa bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi umat, dan mubaligh-penceramah yang sibuk mencari ayat agar sesuai dengan temanya.

Abdi Qur’an adalah orang-orang yang ketika ketiganya ini telah dipupuk dengan pondasi yang kuat bahwa segalanya dilakukan hanya demi Al-Qur’an dan untuk Al-Qur’an. Seorang hafidz-hafidzah akan dengan senang menghafal sekaligus belajar memahami apa yang dibacanya. Seorang santri dan sarjana akan memahami Al-Qur’an dan mencoba mempraktikannya dalam berkehidupan. Seorang dai akan menjelaskan Al-Qur’an dengan segenap kemampuan keilmuan yang mumpuni dan berusaha agar tidak kaburo maqtan. Sebagai penutup, sungguh indah membayangkan adanya sosok yang mampu dan bisa meraih ketiganya sekaligus. [M. Miftahuddin]