Kajian Atas Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhruddin ar-Razi

Pendahuluan

Keyakinan umat Islam bahwa Alquran adalah kitab suci yang akan berlaku abadi sepanjang masa ternyata sejauh ini adalah merupakan salah satu alasan tersendiri mengapa penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayat Alquran menjadi tugas umat yang tak pernah berakhir. Tafsir sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dari kandungan Alquran telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Terjadinya keanekaragama dalam corak penafsiran adalah hal yang tak dapat dihindarkan, berbagai faktorpun dapat menimbulkan keragaman dari tafsir itu sendiri yaitu berupa perbedaan keenderungan, interest, dan motivasi mufasir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan lingkungan hidup yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan sebagainya. Semua itu yang kemudian melahirkan berbagai corak penafsiran yang selanjutnya berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam lengkap dengan metodenya sendiri-sendiri.[1]

Fakhrudin ar-Razi adalah salah satu pemikir muslim yang ikut serta menyumbangkan keilmuannya dalam khazanah dunia tafsir. Ar-Razi adalah seoran ilmuan yang menguasai berbagai bidang keilmuan yang mendalam. Salah satu tulisannya dituangkan kedalam kitab tafsir yang diberi judul Mafatih al-Ghaib. Di titik inilah kemudian makalah ini akan berbicara mengenai siapa Fakhrudin ar-Razi, bagaimana kehidupannya, dan bagaimana perjalanan pendidikan serta karirnya dalam khazanah keilmuan Islam. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap segala hal tentang tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, dan bagaimana esensi-esensi yang ada dalam kitab tersebut.

 

Biografi Fakhruddin ar-Razy

Namanya yaitu Abdullah bin Umar bin Husein bin Hasan bin Ali at-Tamimi al-Bakri at-Tubrustani ar-Razi yang dikenal dengan Fakhruddin (ar-Razi) dan dikenal sebagai Ibn al-Khatib As-Syafi’i. Lahir di kota al-Ray (kota yang terletak di wilayah selatan Iran dan sebelah timur laut Taheran) dalam keluarga Shafi’i dan Ash’ari pada 25 Ramadhan tahun 543/544 H atau 1149-1150 M. pendidikan pertamanya didapat dari ayahnya sendiri, yakni Diya al-Din Umar yang dikenal sebagai Khatib al-Ray.[2]

Terkenal sebagai Imam dalam tafsir dan ilmu kalam, ilmu logika, dan ilmu bahasa ini melambungkan kepopulerannya di kalangan penguasa pada zamannya dan juga masyarakat umum. Ia mendulang ilmu dari ayahnya sejak lahir hingga sampai ayahnya meninggal dan melanjutkannya pembelajarannya ke daerah Khawarizmi dan Khurasan dengan berguru kepada Kamal as-Sam’ani, Majd al-Jili, dan dari para ulama lain yang hidup pada masanya. Beliau banyak belajar tentang ushul dan fiqh dari Imam Syafi’i dan juga banyak menggali ilmu tentang ilmu kalam dari Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Selain terkenal sebagai seorang ahli fiqh, ia juga dikenal sebagai ahli nasehat (ceramah) sampai dikatakan ia memberi nasehat dengan bahasa arab dan non-arab. Nasehat-nasehat yang disampaikan oleh ar-Razi terkenal sangat menyentuh hati oleh pendengarnya.

Fakhruddin ar-Razi setidaknya telah menempuh dua perjalan intelektual dalam hidupnya. Perjalanan pertama yakni ke Khurasan. Pada fase perjalanan Khurasan ini beliau mengalami sebuah perdebatan pendapat yang keras dengan kaum Mu’tazilah yang notabenenya adalah lawan dari mazhab teologinya, karena sejak lahir ar-Razi mengikuti mazhab Sunni Asya’irah yang diwarisinya dari ayahanda. Karena memang kondisi sosial yang memiliki akidah dan madzhab yang memang tidak cocok, dan juga banyaknya tekanan yang datang, ar-Razi pun melanjutkan perjalanan intelektualnya yang kedua, yakni menuju ke Bukhara dan dilanjutkan ke Samarkand dan kembali lagi ke Bukhara. Pada saat di Bukhara beliau juga mengalami kesulitan yang mana para ulama di daerah itu melakukan penentangan terhadap pendapat-pendapat yang disampaikannya. Setelah itu beliau kembali ke tanah kelahirannya di Al- Ray. Dalam hidupnya ar-Razi juga bertemu dengan tokoh-tokoh politik seperti sultan Baihuddin Sam (w. 602 M) dan sultan kabir (sultan di Khurasan). Ar-Razi terkenal dengan keahliannya dalam bidang tafsir, juga dikenal sebagai filosof Islam hingga akhirnya ar-Razi mendapatkan julukan ‘Fakhr al-Din’, julukan lain yang disematkan kepadanya ialah Ibn al-Khatib al-Safi‘iy. Nama Fakhruddin ar-Razi melambung pada  saat abad ke- 6 H, semasa dengan nama gurunya yakni Imam Syafi’i dan masih terus terdengar hingga masa sekarang.

Sebagai seorang yang terlahir dari keluarga Sunni kental dengan mazhab Asy’ariyah, sejak kecil beliau banyak mendapatkan pengajaran berbagai ilmu dan ar-Razi berhasil menghapal kitab seperti asy-Syamil al-Ushul ad-Din karya Imam al-Haramain yang membahas ilmu kalam, kitab al-Mu’tamad karya Hasan al-Bahsri, dan kitab al-Musytasyfa karya al-Ghozali. Kedua kitab tersebut membahas masalah ilmu ushul fikih beraliran Sunni.[3] Pengajaran-pengajaran kitab yang didapatkannya dan sesuai dengan aliran yang dianutnya, membuat Fakhruddin ar-Razy semakin kuatnya pemahaman akidah ar-Razi atas ajaran Islam berdasarkan paham Sunni itu sendiri. Sehingga sangat jelas pemikiran al-Razi mengenai kefilsafatan banyak dipengaruhi oleh pendahulunya atau ulama klasik seperti Hasan al-Bahsri, Imam Ghozali bahlan pemikiran filusuf Yunani seperi Aristoteles.[4]

Dalam persoalan fikih, ar-Razi bisa disebut cukup fanatik terhadap mazhab Syafi’i, terbukti dari pendapat-pendapatnya yang terlihat mengunggulkan pendapat Imam Syafi’i ketimbang mazhab lain. Walaupun terkadang terlihat ar-Razi melakukan kritik beberapa pendapat Syafi’i, misalnya dalam hal wajibnya witir, wajibnya zakat buah, dan tanaman serta bolehnya minum khamr jika tidak ada air, beliau mengikuti Imam Abu Hanifah. Diantara kitab karyanya dalam masalah fiqih adalah at-Thariqah al-‘Aliyah yang terdiri dari 4 jilid dan Syarah al-Wajiz dari al-Ghozali.[5] Dari gurunya tersebut, ia banyak memperbincangkan mengenai pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah yang berlandaskan  rasional, sehingga pola pikir ar-Razi pun sangat mengedepankan akal. Bahkan pemikirannya terkenal dengan konsep penggabungan kalam dan filsafat, sehingga ia dijuluki sebagai mujadid dalam bidang ilmu kalam.[6]

Setelah perjalanan ilmiahnya ia kembali ke tempat kelahirannya, Ray. Di sana ia menjalin hubungan dengan beberapa penguasa Khurasan saat itu yaitu Bahaudin Sam dan raja-raja setelahnya, sampai ia bertemu dengan seorang Raja yang terkenal di Khurazan, yaitu Khawarizm. Di Khurazan tersebut, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mengabdi menjadi tokoh agama. Usaha Al-Razi dalam menjalin hubungan dengan para penguasa, salah satunya bertujuan untuk membendung kekuatan Tartar agar tidak merebut wilayah Islam yang pada masa itu umat Islam dari segi politik, ilmu pengetahuan dan  aqidah di bawah pemerintahan Dinasti Abbasyiah sedang melemah, berbagai berita kekhawatiran dan ketakutan muncul pada saat itu, seperti berita perang salib berada di Syam, berita bangsa Tatar di bagian Timur yang menghimpit kaum muslimin untuk bebas bergerak dan berkembasng. Pada saat itu perbedaan madzhab dan aqidah sangatlah kuat di Ray yang mana terbagi ke dalam 3 golongan, yaitu Syafi’i, Hanafi dan Syi’ah. Banyak pula aliran ilmu kalam, yang menjadi perdebatan panjang diantara mereka, dan yang paling terkenal adalah Syiah, Mu’taadah, Murjiah, Bathiniyah dan Al-Karrosiyah.[7] Akan tetapi usaha ini tidak berlangsung lama.[8]

Ar-Razi wafat pada hari raya idul fitri tahun 606 H di kota Ray. Ada yang mengatakan beliau wafat karena diracuni dan ada pula pendapat lain yang menyatakan beliau wafat karena sikap permusuhan dari golongan al-Karramiyyah yang menuduh Imam ar-Razi sebagai orang kafir dan telah melakukan dosa besar. Sehingga disimpulkan penyebab kematiannya adalah karena terjadinya perdebatan sengit tentang masalah akidah dengan kelompok Karramiyyah hingga sampai pada tahap pengkafiran satu sama lain. Fakhruddini ar-Razy wafat disebabkan oleh racun, walaupun memang belum ditemukan siapa pembunuhnya.[9]

Ar-Razi memiliki banyak karya di berbagai bidang keilmuan, Fakhruddin ar-Razy telah menulis lebih dari seratus buku yang salah satunya yaitu sebagai berikut:

  • Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib)
  • Aja’ib Alquran (The Mysteries of the Qur’an)
  • Al-Bayan wa al-Burhan fi al-Radd’ala Ahl al-Zaygh wa al-Tughyan
  • Al-mahsul fi ‘Ilm al-Usul
  • Al-Mutakallimin fi ‘Ilm al-Kalam
  • Ilm al-Akhlaq
  • Kitab al-Firasa
  • Kitab al-Mantiq al-Kabir
  • Kitab al-Nafs wal-ruh wa Shsrh Quwa-huma
  • Mabahith al-Mashriqiyya fi Ilm al-Ilahiyyat wa al-Tabi’iyyat
  • Matalib al-‘Aliya
  • Muhasal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-Muta’akhkhirin
  • Nihayat al-‘Uqul fi Dirayat al-Usul
  • Risala al-Huduth
  • Sharh al-Isharat
  • Sharh Asma’ Allah al-Husna
  • Sharh Kulliyyat al-Qanun fi al-Tibb
  • Sharh Nisf al-Wajiz li’il-Ghazali
  • Sharh Uyun al-Hikmah

 

Latar Belakang Penulisan Tafsir Mafatih al-Ghaib

Kitab tafsir ini merupakan kitab yang paling banyak dijadikan sandaran para mufasir, karena isinya yang bisa diterima oleh akal atau rasional. Bisa dikatakan bahwa tafsir ini tidak ada duanya karena cakupannya memuat banyak disiplin keilmuan seperti nahwu, balaghah, filsafat, dan ilmu lainnya. Ar-Razi berusaha menggabungkan teori ilmiah dengan Alquran, terutama pada ayat yang mengandung isyarat ilmiah. Pada permasalahan kebenaran akal dan wahyu, ar-Razi menjelaskan secara detail dan rasional sehingga tidak ditemukan kontradiktif.

Ar-Razi tidak pernah menuliskan mukaddimah dalam karyanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca memperhatikan sendiri bagaimana kondisi pada masa karyanya lahir. Jika dianalisa dari kondisi lingkungan pada masa lahirnya tafsir Mafatih al-Ghaib, bahwa tujuan ditulisnya tafsir ini antara lain:

  1. Melindungi Alquran dan menjelaskan ayatnya dengan metode ‘aqli untuk memperkuat akidahnya. Untuk menanggapi para filosof dan ulama ilmu kalam, ar-Razi menjelaskan serasional mungkin dan detail pada tafsirnya untuk menghilangkan perkara yang subhat.
  2. Ar-Razi meyakini bahwa Allah memiliki dua keadaan, suatu keadaan yang bisa dilihat yaitu wujud dari penampakan alam yang mati dan hidup, dan keadaan yang bisa dibaca yaitu Alquran. Apabila semakin dalam berfikir alam pertama, maka akan bertambah pemahamannya pada alam kedua (Alquran). Hal seperi inilah yang mendasari ar-Razi menggunakan ‘aqli untuk memahami ayat Alquran.
  3. Balaghah dan manhaj ‘aqli adalah materi untuk menafsirkan Alquran dan menggunakannya untuk menta’wilkan ayat-ayat Alquran. Ar-Razi benar-benar memonopoli kekuatan para mufasir muktazilah seperti Abu al-Qasim al-Balkhi, Abu Bakar al-Asham, Abu Ali al-Jubba’i, Abu Muslim al-Isfahani, Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, Isa bin Ali al-Rummani dan Zamakhsyari. Ar-Razi menggunakan manhaj ‘aqli tetapi ia memecah pertaliannya dengan mengikuti inti susunannya tetapi tidak pada pokok-pokoknya dan menggunakan pemikiran ahlus sunnah wal jama’ah. Begitulah kiranya tiga alasan pokok ditulisnya tafsir Mafatih Ghaib[10]

 

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib

Anatomi Kitab

Kitab ini sesuai dengan nama yang disandangnya yakni Tafsir Kabir (tafsir besar). Ibnu Khalkan berpendapat bahwa dalam kitab ini terdapat banyak hal yang unik dan jarang ditemui dalam tafsir manapun.[11] Sistem penulisannya mengikuti urutan Tartib Mushafi. Tafsir berjumlah 32 juz dan disusun dalam 16 jilid, berikut rincian juz Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib:

Juz Pembahasan Kitab Jml Hal.
1 Mukaddimah kitab, Tafsir isti’adzah, basmalah, dan QS. al-Fatihah 279
2 QS. al-Baqarah ayat 1 – 34 265
3 QS. al-Baqarah ayat 35 – 109 275
4 QS. al-Baqarah ayat 110 – 167 239
5 QS. al-Baqarah ayat 168 – 210 239
6 QS. al-Baqarah ayat 211 – 254 226
7 QS. al-Baqarah ayat 256 – QS. Ali Imran ayat 25 241
8 QS. Ali Imran ayat 26 – 129 244
9 QS. Ali Imran Ayat 130 – QS. an-Nisa ayat 16 247
10 QS. an-Nisa ayat 17 – 93 248
11 QS. an-Nisa ayat 94 – QS. al-Maidah ayat 43 247
12 QS. al-Maidah ayat 44 – QS. al-An’am ayat 53 255
13 QS. al-An’am ayat 54 – QS. al-An’am ayat 152 251
14 QS. al-An’am ayat 153 – QS. al-A’raf ayat 145 251
15 QS. al-A’raf ayat 146 – QS. at-Taubah ayat 13 248
16 QS. at-Taubah ayat 14 – QS. at-Taubah ayat 129 247
17 QS. Yunus ayat 1 – QS. Hud ayat 44 248
18 QS. Hud ayat 45 – QS. ar-Ra’du ayat 2 243
19 QS. ar-Ra’du ayat 3 – QS. an-Nahl ayat 11 244
20 QS. an-Nahl ayat 12 – QS. al-Isra’ ayat 60 243
21 QS. al-Isra’ ayat 61 – QS. Maryam ayat 98 265
22 QS. Taha ayat 1 – QS. al-Anbiya ayat 199 240
23 QS. al-Hajj ayat 1 – QS. an-Nur ayat 35 249
24 QS. an-Nur ayat 36 – QS. al-Qashash ayat 55 272
25 QS. al-Qashash ayat 56 – QS. Saba’ ayat 54 280
26 QS. Fathir ayat 1 – QS. az-Zumar ayat 52 296
27 QS. az-Zumar ayat 53 – QS. al-Jatsiyah ayat 37 279
28 QS. al-Ahqaf ayat 1 – QS. an-Najm ayat 29 319
29 QS. an-Najm ayat 30 – QS. ash-Shaff ayat 14 325
30 QS. al-Jum’ah ayat 1 – QS. al-Mursalat ayat 50 292
31 QS. an-Naba’ ayat 1 – QS. ad-Dhuha ayat 11 229
32 QS. asy-Syarh ayat 1 – QS. an-Nas ayat 6 226

 

 

Sejarah Pencetakan

Tafsir Mafatih al-Ghaib terdiri dari 32 Juz yang disusun menjadi 16 jilid. Pencetakannya tidak semerta dicetak secara full, namun mengalami beberapa kali pencetakan:

  1. Pencetakan pertama di Kairo, Yulaq, dari tahun 1278 – 1289 H. Pada selang waktu tersebut baru dicetak 6 jilid.
  2. Pencetakan kedua masih di Kairo pada tahun 1309 H. Pada pencetakan ini bertambah 2 jilid dibandingkan pencetakan sebelumnya menjadi 8 jilid
  3. Pencetakan ketiga dilakukan di Kostantiniah pada tahun 1307 H.
  4. Pencetakan keempat dicetak oleh Muhammad Husein Ilmi pada tahun 1335 H. di daerah Teheran
  5. Pencetakan kelima dilakukan kembali di Kairo oleh percetakan Bahiyyah dan sebagai editornya, Muhammad Yuhyi ad-Din, dari tahun 1352 – 1357 H. dengan jumlah lengkap 32 juz dalam 16 jilid.
  6. Pencetakan Tafsir Mafatih al-Ghaib yang telah lengkap 32 juz ini dilakukan kembali di Beirut oleh Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi dan di Iran oleh Dar al-I’lam al-Islami pada tahun 1405 H.
  7. Tafsir lengkap 32 Juz yang disusun dalam 16 jilid ini dicetak kembali di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘Alamiah dengan tambahan satu jilid tersendiri sebagai fihris tafsirnya pada tahun 1411 H. oleh Ibrahim dan Ahmad Ahmad Syamsuddin.[12]

 

Serba-serbi Tafsir

Kitab ini masuk dalam periode pertengahan[13], atau dalam literatur lain masuk dalam era aformatif.[14] Ar-Razi menulis tafsirnya dari tahun 595 H, dan selesai pada tahun 663 H. Konon, ar-Razi  belum sempat menyelesaikan kitabnya, tetapi sampai dimana beliau menulis tafsirnya dan siapa yang menyempurnakan masih menjadi persoalan yang sulit ditemukan jawabannya. Pengarang kitab Kasyf adz-Dzunnun mengatakan bahwa yang menyempurnakan tafsir ini adalah Syaikh Najm ad-Din Ahmad bin Muhammad al-Qomuli (w. 727 H) dan Syihab ad-Din Ibn Khalil ad-Dimasyqi (w. 639 H). Kemudian adz-Dzahabi melakukan penelusuran terhadap pendapat ini dan berkesimpulan bahwa ar-Razi menulis tafsirnya sampai pada surat al-Anbiya kemudian dilanjutkan oleh Syihab ad-Din tetapi belum sempurna, selanjutnya disempurnkana oleh Najm ad-Din. Tetapi adz-Dzahabi tidak menolak adanya kemungkinan kedua orang tersebut masing-masing menyempurnakan tafsir ar-Razi.[15] Alasan pendapat ini didasarkan pada pernyataan ar-Razi di akhir surat-surat tertentu mengenai waktu dan tempat, beliau menyelesaikan tafsirnya terhadap surat-surat tersebut. Termasuk surat-surat tertentu setelah surat al-Anbiya’ yang diduga bukan tulisan ar-Razi. Misalnya, di akhir surat Ibrahim yang terdapat kata-kata “al-Mushannif” padahal dirinya sendiri adalah mufassir itu sendiri. Mushanif di situ menulis bahwa tafsir surat ini selesai pada hari jum’at, akhir Sya’ban tahun 601 H. Di gurun Baghdad, kita mohon kepada Allah terbebas dari kehinaan neraka. Sesungguhnya Allah adalah raja yang dermawan, maha penyayang lagi maha kuasa, dengan pujian kepada Allah dan taufiq-Nya serta sholawat dan salam-Nya atas penutup Nabi, Muhammad SAW dan keluarganya.”[16]

Sementara dalam Mukaddimah cetakan tafsir ini menjelaskan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ditulis oleh ar-Razi dengan sempurna sebagaimana hasil penelitian al-Imari yang tertuan dalam karyanya tentang ar-Razi.[17]

Banyak perdebatan yang berkembang mengenai apakah Imam Razi menyelesaikan kitabnya secara utuh atau hanya sebagian saja. Ali Muhammad al-‘Imariz mengutarakan pendapatnya dalam kitabnya tentang imam ar-Razi setelah meneliti tentang simpang siur pendapat yang beredar bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara utuh.[18]

Metode Penulisan

Dari seluruh pernyataan yang ada, pada akhir surat tertentu terlihat bahwa ar-Razi menafsirkan Alquran tidak secara berurutan sesuai mushaf Alquran. Misalnya surat Yunus selesai lebih dulu yaitu pada bulan Rajab tahun 601 H. Dari surat at-Taubah yang selesai pada bulan Ramadhan tahun 601 H.

Untuk susunan penyajian kitabnya, pertama dituliskan Nama Surat, lalu klasifikasi makkiyah atau madaniyyahnya, dilanjutkan dengan penyebutan ayat. Lalu disebutkan juga perincian mana yang ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dalam surat tersebut, serta waktu susunan penurunan surat. Barulah setelah itu masuk ke dalam ayat, dan dilanjutkan dengan tafsirnya.

Dalam menguraikan tafsirnya, ar-Razi menggunakan beberapa model pengungkapan yaitu problematika (al-mas’alah) dan tanya jawab (su’al-jawab) :

  1. Problematika (al-mas’alah)

pada bagian ini ar-Razi berusaha menyajikan analisanya secara fokus pada beberapa problematika yang dinilai penting. Di antara pembahasannya adalah mengenai gramatikal (nahwu), dan perbedaan pendapat kalangan Ushuliyyin, mufassirin, dan fuqaha terhadap kandungan ayat.

  1. Tanya jawab (su’al-jawab)

pada bagian ini ar-Razi mempertajam analisanya dalam bentuk pertanyaan dalam menggunakan logika, kemudian ar-Razi memberikan juga jawabannya.

  1. Jika ditemukan perbedaan qiraat dalam pembacaan suatu ayat maka akan dicantumkan bagaimana perbedaan qiraah tersebut. Hal ini bisa dilihat salah-satunya pada saat membahas lafadz yarta’ wa yal’ab dimana dalam tafsirnya ar-Razi menyampaikan perbedaan bacaan oleh imam Ibnu Katsir, Imam Nafi’, Abu Amr dan Ibnu Amir, Ahli Kufah, dan qiro’ah ba’id.[19] Terkadang juga disebutkan mengenai faedah-faedah yang dapat diambil dari ayat itu.[20]
  2. Disamping itu, ar-Razi acap kali menceritakan pribadinya secara spesifik dalam tafsirnya. Misalnya, kesedihannya sebab kematian putranya yang masih muda diceritakan dalam tafsir surat Yunus. Di dalam tafsir tersebut ar-Razi menceritakan bahwa hatinya sedang dirundung kesedihan yang mendalam karena wafatnya putra beliau dan juga meminta kepada siapapun yang membaca karyanya ini untuk ikut mendoakan.[21]

 

Metode Penafsiran Tafsir Mafatih al-Ghaib

Dalam tafsirnya ar-Razi sangat menekankan aspek munasabah (kesesuaian)  antar ayat dan antar surat, mengaitkan antara akhir surat dan awal surat, seperti akhir surat al-Infithar  dengan awal surat al-Muthaffifin.[22] Pada munasabah kedua tersebut adalah contoh munasabah yang paling mudah diidentifikasi. Pada Akhir surat al-infithar ditunjukkan betapa agungnya peristiwa qiyamat dan yang menguasai hari tersebut adalah Allah, ini sekaligus berfungsi sebagai peringatan kepada orang-orang yang melakukan maksiat. Lalu disambunglah dengan surat al-muthaffifin yang membahas mengenai siksa.[23]

Imam Razi saat mengungkap ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan pendapat-pendapat fiqh lainnya juga. Walaupun begitu tetap ada kecenderungan kepada mazhab yang dianutnya yakni mazhab Syafi’i.[24] Kita bisa lihat hal ini dalam pembahasan Surat al-Baqarah ayat 222 yang membahas mengenai haid. Di situ dicantumkan bahwa menurut Imam Syafi’i masa paling cepat haid adalah sehari-semalam dan paling lama ialah 15 hari. Pendapat ini juga yang dipegang oleh Ali bin Abi Thalib, al-Auza’i, dan Ishaq. Setelah itu dicantumkan pendapat Imam Abu Hanifah dan ats-Tsauri bahwa masa haid paling cepat adalah 3 hari 3 malam dan paling lama 10 hari. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa tak ada batasan khusus mengenai waktu haid, walaupun haid itu hanya terjadi sesaat ataupun hingga berhari-hari, maka tetap disebut dengan haid. Namun pada keterangan lain mengenai haid ini banyak yang diambil dari mazhab Syafi’i seperti perbedaan darah haid dan darah istihadhah.[25]

Tafsir Mafatih al-Ghaib saat membahas mengenai ideologi kalam,  dimana pembahasan masalah-masalah kalam atau teologi, ar-Razi menggunakan pendapat Sunni Asy’ariyah, oleh karena itu kitabnya penuh dengan penolakan terhadap aliran muktazilah dan golongan-golongan lain yang tidak sejalan. Setiap ayat yang berkaitan dengan akidah dan mazhab di beberkan dan diikuti dengan pendapat golongannya atau pendapatnya sendiri. Dan memang kebanyakan saat membahas mengenai ayat-ayat ideologi kalam, ar-Razi mengutip pendapat Muktazilah lalu memberikan retorika pembanding yang berlandaskan Sunni Asya’irah[26]

 

Corak dan Ittijah tafsir Mafatih al-Ghaib

Menurut Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, secara global tafsir ar-Razi lebih cenderung seperti sebuah ensiklopedia besar. Hal ini didasarkan karena di dalamnya terdapat berbagai pembahasan berbagai keilmuan, mulai dari ilmu alam, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu lainnya, baik itu berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan ilmu tafsir dan semua ilmu yang menjadi sarana untuk memahami ilmu tafsir tersebut. Jika diumpamakan, kitab tafsir ini seperti sebuah meja makan besar yang mengandung makanan, minuman, dan buah-buahan sedap yang bisa mengenyangkan dan menghilangkan hausnya para pencari ilmu dengan Alquran menjadi sumbernya.[27]

Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib bisa disebut juga memanglah sebuah karya keilmuan yang besar. Sehingga pengkaji pun akhirnya menyimpulkan bahwa tafsir Mafatih al-Ghaib ini bercorak tafsir yang berada di bawah naungan filsafat. Di sini yang dimaksud bukan berarti mengambil pendapat-pendapat para filsuf, namun tafsir ini disajikan dengan mengungkapkan dari pertanyaan-pertanyaan mendasar kefilsafatan. Hal ini bisa kita lihat pada penafsiran ar-Razi terhadap QS. Yusuf ayat 4. Pada ayat ini dipertanyakan mengenai bagaimana bintang, matahari, dan bulan itu bersujud? Padahal mereka adalah benda mati. Di sini tafsir ar-Razi mengambil pendapat dari para filsuf yang beranggapan bahwa bintang-bintang merupakan makhluk hidup yang juga dapat berfikir. [28]

Sumber Penafsiran

Tafsir mafatih al-Ghaib secara umum menggunakan sumber ra’yu (tafsir yang berbasis pada nalar), dan menggunakan metode tahlili (analitis) dalam penyajiannya. karena memang di dalamnya setiap ayat dianalisa dari berbagai sudut, seperti bahasa, riwayat, filsafat, dsb. Walaupun tidak mesti setiap ayat memiliki komponen sudut pandang penafsiran dengan jumlah fann keilmuan yang sama.[29]

Imam Razi dalam menulis tafsirnya selain menggunakan analisanya sendiri (ra’yu), juga mengambil pendapat ulama-ulama lain. Dalam bidang tafsir mengambil pendapat seperti Ibnu Abbas, Ibnu al-Kalbiy, Mujahid, Qatadah, Muqatil bin Sulaiman, dan lain-lain. Dari sudut pandang bahasa mengambil pendapat dari ahli riwayat, seperti al-Ashmu’i, Abi Ubaidah, dll, dan pendapat ulama, seperti al-Farra’, az-Zujaj, dll.[30] Imam ar-Razi juga mengambil pendapat dari kalangan muktazilah seperti Abu Muslim al-Ashfihani, al-Qadhi Abdul Jabbar, dan Imam Zamakhsyari. Imam Zamakhsyari merupakan pengarang kitab Tafsir al-Kasysyaf. Kitab al-Kasysyaf merupakan kitab yang memiliki takwil tafsir, serta bahasa yang bagus yang banyak dianut oleh mufassir generasi setelahnya Imam Razi menghadirkannya dalam kitab ini karena ingin menolak hujjah-hujjahnya.[31]

Kritik Terhadap Kitab Mafatih al-Ghaib

Ahli nahwu yang juga seorang mufassir, Abu Hayyan, berkomentar bahwa kitab Tafsir Kabir ar-Razi disebut sebagai tafsir yang tidak konsisten. Awalnya membahas mengenai tentang huruf alif lalu pada berikutnya berubah membahas neraka-surga. Seakan-akan tidak ada sistematisasi yang ada dalam tafsir tersebut. Bahkan ar-Razi pun mengucapkan bahwa dalam tafsirnya terdapat segala hal kecuali tafsir itu sendiri.[32] Al-Imam at-Tuty juga ikut memberikan komentar dalam kitab tafsirnya al-Iksir fi ‘Ilmi at-Tafsir. Ia menyatakan belum pernah melihat tafsir yang paling banyak celanya kecuali tafsir al-Qurthuby dan tafsir Fakhruddin ar-Razi.[33]

Penutup

            Dari banyak pendapat yang mengatakan tentang selesai tidaknya penulisan kitab Mafatih al-Ghaib, pengkaji setuju dengan pendapat Ali Muhammad al-‘Imariz yang mengutarakan dalam kitabnya bahwa Imam Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib secara menyeluruh. Tafsir ini dapat dikatakan tafsir ilmi pada masanya, sumber penafsirannya yaitu ra’yu dan metode penulisannya yaitu tahlili. Kitab ini merupakan salah satu kitab fonumenal yang mengkomparasikan ayat Alquran dan berbagai keilmuan lainnya dengan pembahasan yang cukup detail. Pengkomparasian tersebut bukan hanya satu ayat dengan keilmuan namun antara ayat satu dengan ayat lainnya pun dipertimbangkan walaupun memeng Tafsir Kabir ini belum bisa lepas dari pakaian subjektifis dari mu’alifi ketika berbicara tentang kalam ideologi dan fiqh. Tafsir Mafatih al-Ghoib  adalah sebuah objek yang sangat menarik untuk dikaji oleh penggiat Alquran dalam berbagai sudut pandang. [Miftah/Zee/Erika]

 

Daftar Pustaka

Abrahamov, Binyamin, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992).

Adz-Dzahabi, M. Husein, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, 2005.

___________, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Al-Imari, Ali Muhammad Hasan, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969.

Ar-Razi, Fakhruddin, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981.

Ghafur, Saiful Amin, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013.

Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Hayyan, Abu, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993.

Hitti, Philip K, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Iyazi, Muhammad Ali, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H.

Khalkan, Ibnu, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H.

Ma’sumi, M. Saghir Hasan, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967.

Mahmud, Mani Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.

Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

Mustaqim, Abdul, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012.

_________, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Rahardjo, M. Dawam, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

Saeed, Abdullah, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016.

 

Footnote

[1] Alquran selalu berinteraksi dengan dunia manusia yang selalu berubah-ubah, baik sisi sosial dan politiknya. Dan pada kenyataannya Alquran mampu mempertahankan eksistensinya sampai sekarang. Silahkan tengok, M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,  Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005.

[2] M. Saghir Hasan Ma’sumi, “Imam Fakhr al-Din al-Razi And His Critics”, dalam Journal Islamic Studies, International Islamic University, Islamabad, Vol. 6, No. 4, 1967, hal. 356-360.

[3] Mani Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 319.

[4] Binyamin Abrahamov, Fahr al-Din al-Razi On God’s Knowledge Of The Particulars, Oriens, Vol. 33 (1992), hal. 133-140.

[5] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1981, hal 5.

[6] Ibid., hal. 28.

[7] Ibid., hal. 4.

[8] Hal ini karena raja dari kesultanan Khawarizm yaitu Alaudin Muhammad Takasy yang sangat dekat dengan al-Razi, berhasil dikalahkan oleh bangsa Tartar dibawah kepemimpinan Jengis Khan. Di hadapan gerombolan orang-orang barbar, dengan pasukan sebanyak 60.000 orang. Penumpasan raja Alaudin Muhammad Takasy ini atas perintah dari sultan Abbasyiah, yaitu al-Nahsir yang merasa khawatir terhadap kekuasaan Khawarizm yang sebelumnya berhasil merebut kekuasaan Abbasyiah atas wilayah Persia, Bukhara, Samarkand dan Ghaznah. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, (terj.), Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi  (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), hal. 612-613.

[9] Muhammad Husein adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, terj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009, hal. 270

[10] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 652-655

[11] Ibnu khalkan, Wafiyat al-A’yan wa Anba’ Abna’ az-Zaman, Beirut: Dar Shadir, 681 H, hal. 249.

[12] Muhammad Ali Iyazi, al-Mufasirun Hayatuhum Wa Manhajuhum, Tahran: Wizarat ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islamy, 1414 H, hal. 650-651.

[13] Dinamika sejarah perkembangan tafsir periode pertengahan ditandai dengan bergesern;ya tradisi penafsiran dari tafsir bi al-ma’tsur ke tafsir bi ar-ra’yi. Penggunaan rasio semakin kuat. Tafsir pada periode ini juga lebih mengarah ke afirmasi (penegasan dan pembelaan) terhadap ideologi keilmuan dan mazhab penafsirnya. Implikasinya, banyak tafsir bermunculan dengan warna dan kecenderungan tafsir sesuai dengan disiplin ilmu dan mazhab para penafsirnya. Batas abad pertengahan ialah abad III – IX H. / 9 – 15 M. Lihat, Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-aliran dari Periode Klasik, Pertengahan, Hingga Modern-Kontemporer, Yogyakarta: Adab Press, 2012, hal. 89-90.

[14] Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the golden age atau al-‘asr adz-dzahaby). Karena memang pada masa ini Islam benar-benar memimpin peradaban dunia. Perkembangan ilmu melaju pesat, juga termasuk keilmuan dalam tafsir. Lihat Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistimologi Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 61.

[15] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 207.

[16] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 154.

[17] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9-10

[18]Ibid.

[19] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 99.

[20] Ibid., hal. 87.

[21] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 17, hal. 183.

[22] M. Husein adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo: Maktabah Wahbah, tth., hal. 88. Lihat juga, Saiful Amin Ghafur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an: Dari Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba Dipantara, 2013, hal. 74.

[23]  Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 31, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 88.

[24] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 323.

[25] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 6, Dar al-Fikr: Beirut, 1401, hal. 71-72.

[26] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir: Dari Klasik Hingga modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk., Yogyakarta: Kalimedia, 2015, hal. 146.

[27] Mani’ Abd. Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, terj. Syahdianor dan Faisal Saleh, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006, hal. 324-325.

[28] Lihat contohnya, Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz 18, hal. 88.

[29]Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip dan Metode Penafsiran Kontekstualis al-Qur’an,terj. Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ari Henri, Yogyakarta: Ladang Kata, 2016. Hal. 133.

[30] Khalil al-Mays, “al-Muallif dan al-Kitab” dalam Fakhruddin ar-Razi, Mukaddimah Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1981, hal. 9.

[31] Ibid.

[32] Abu Hayyan, al-Bahru al-Muhith, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993, hal. 219.

[33] Ali Muhammad Hasan al-Imari, Fakhr ad-Din ar-Razi hayatuhu wa Atsaaruhu, Majlis al-A’la li as-Su’un al-Islamiyyah, 1969, hal. 110.

Tinggalkan komentar