KULIAH TAFSIR PESANTREN Oleh: KH. Dr. Ali Nurdin

Apa definisi tafsir Alquran? Tafsir adalah usaha untuk menjelaskan ayat-ayat Allah sesuai dengan maksud Allah dan sesuai dengan kemampuan manusia. Jika dipecah, definisi ini bisa dibagi menjadi empat unsur bagian. Pertama, sebuah usaha untuk menjelaskan. Kedua, yang menjadi objeknya adalah ayat-ayat Allah. Ketiga, berniatkan sesuai dengan maksud Allah. Keempat, sesuai dengan kemampuan manusia. Fokus pembahasan kali ini ada pada bagian keempat, yakni tentang kemampuan manusia.

Bagaimanakah penjelasan mengenai kemampuan manusia dalam tafsir? ialah tentang kompetensi manusia yang terdiri dari tiga unsur atau biasa disebut dengan syarat-syarat seorang mufassir (penafsir). Ada tiga unsur yang harus dimiliki oleh seorang mufassir ialah, pertama, Sikap/etika (dalam dunia tafsir biasa disebut dengan adab), maksudnya adalah seorang mufassir dalam menafsirkan Alquran tetap ditujukan sebagai sebuah petunjuk bagi manusia (65%). Kedua, seorang mufassir harus memiliki kemampuan akademik atau kognitif, contohnya seperti mengerti tentang bahasa Arab atau kaidah tafsir dan sebagainya (25%). Ketrampilan, seperti pemilihan bahasa (diksi) dsb (15%).

Jika dilihat dari kriteria di atas, pada perkembangannya seorang penafsir bisa dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang tidak memiliki unsur pertama, yakni etika. Kaum orientalis sebagian besar masuk ke dalam kriteria ini, juga banyak akademisi lain yang tidak memilki unsur pertama dan hanya unsur yang kedua dan ketiga. Kelompok ini melihat ayat hanyalah sebagai ayat. Ilmu hanyalah sebuah ilmu. Sehingga tidak diperhatikan bagaimana sebuah penafsiran akan berpengaruh kepada masyarakat luas. Biasa dilabeli dengan kaum liberal. Kedua, kaum tekstualis yang hanya terfokus pada syarat pertama dan tidak memiliki syarat kedua dan ketiga sehingga akhirnya hanya menggunakan terjemah saja. Contohnya adalah Ibnu Muljam. Ketiga, tafsir pesantren adalah tafsir moderat yang berusaha menyeimbangkan segala aspek tersebut, yakni juga tidak lepas dari pemikiran dan kemampuan akademik dan tetap bertujuan unutk membuat orang melakukan hal baik (sebagai sebuah petunjuk).

Kenyataan yang dihadapi sekarang adalah bahwa pemahaman tekstual lebih banyak ditemukan. Menurut penelitian sebuah Pusat Studi Alquran, presentase tekstualis ini mencapai 60%. Hal ini mudah dibuktikan, jika kita googling pembahasan mengenai tafsir, maka pemahaman tekstuallah yang marak. Sedangkan untuk pemahaman liberal, hanya menempati presentase sedikit. Kebanyakan pemahaman ini marak di kalangan akademik.

Kenyataan lain yang dihadapi adalah pendidikan sekarang dari TK sampai SMA sangat jarang menerapkan mengenai ‘sikap/etika’. Pada dasarnya kecerdasan ada yang berupa SQ dan IQ namun yang penting adalah metakognitif yakni kecerdasan untuk menggunakan kecerdasannya kepada hal lain.

Tawaran tafsir pesantren yang moderat dan seimbang (tawassuth) adalah, pertama saat menafsirkan sebuah ayat, mufassir harus mengerti realitas yang sekarang dan fakta yang berlangsung, misalkan Indonesia yang memang model masuknya Islam secara damai. Hal ini berbeda dengan adanya istilah “islamophobia” yang ada di wilayah lain dimana Islam datang dari para buruh, model perang, dsb. Karena itu pertimbangannya pun harus berbeda. Kedua, harus mengerti skala prioritas. Misalkan ayat innamalmukminuuna ikhwah adalah konsep dasar fundamental yang jangan sampai hal ini rusak karena masalah furu’yyah. Syariah satu, fiqh banyak, maksudnya adalah syariah Allah hanya satu namun fiqhnya banyak. Contohnya adalah sholat. Sholat merupakan perintah Allah namun kenyataanya caranya berbeda-beda. Ketiga, harus seimbang antara teks dengan konteks. Jangan sampai ayat yang bisa dipahami secara teks harus diperkosa dengan kontekstual. Contoh ayat mudahnya adalah tentang poligami, orang yang propoligami dan yang menolaknya akan mengeluarkan ayat-ayat yang sesuai. Contoh lainnya lagi adalah pada ayat hubbussyahawati …… kata al-khoil di situ bisa dimaknai sebagai kendaraan mobil. Keempat, dalam memahami ayat harus komprehensif (jangan sepotong-potong). Yakni mempertimbangkan ayat-ayat lain juga. Seperti ayat-ayat perang. Ayat-ayat perang harusnya difahami sebagai proteksi saat diserang, dan tidak difahami pada masa damai. Karena banyak pertimbangan ayat lain. Kelima, harus dipahami mana ayat membahas tentang keyakinan dan mana yang membahas tentang a’mal (perbuatan). Surat Ibrahim tentang keyakinan seperti pohon yang baik, dimana akar yang menancap kuat maka semakin tidak terlihat. Ini dijelaskan bahwa akidah semakin menancap kuat maka semakin tidak terlihat. Contoh, wa man yabtaghi ghoirol….. ayat ini adalah ayat yang harus diyakiini. Hal ini akan bertabrakan dengan ayat wa laa tasubbulladzina yad’una….. dimana ini merupakan ayat perbutaan. Saran yang diberikan adalah jangan suka mengadili keyakinan orang lain. [Muhammad Miftahuddin]

Tinggalkan komentar