Kuliah Tafsir Pesantren Oleh: KH. Doktor Khusnul Hakim[1]

         Alquran boleh diakui oleh siapa saja, siapapun muslim boleh mengakui bahwa Alquran menjadi pedomannya ataupun jalan hidupnya. Alquran adalah open teks book yang mempersilahkan penggunanya melakukan apapun kepada Alquran, baik itu mengkaji, meneliti, bahkan menghinanya. Pada dasarnya Alquran memang mempersilahkan, bahkan mendeklarasikan tantangannya kepada siapapun. Namun, sejarah nyatanya telah membuktikan bahwa teks Alquran bertahan hingga sekarang.

           Kaitannya dengan teori budaya dan teks pada saat turunnya Alquran, Nasr Hamid Abu Zaid mengungkapkan bahwa Teks Alquran memiliki dua sisi yakni muntij as-saqofy (pencetak sebuah budaya baru) dan muntaj as-saqofah (hasil dari sebuah budaya). Teori ini telah masyhur di kalangan para pengkaji Alquran. Namun, dalam acara kali ini Bp. Khusnul Hakim memiliki pendapat lain, bahwa teks Alquran tidak dilahirkan oleh budaya, namun budaya yang dipilih oleh teks Alquran. Teks Alquran muncul sebagai respon terhadap budaya, pergumulan keduanya akan melahirkan teori baru dan budaya baru tentunya. Karena memang pada kenyataannya teks tak pernah lepas dari konteks.

           Pada dasarnya, keberadaan Alquran dalam perjalannanya hingga sekarang tidak lepas menghadapi dua realitas, yakni realitas teks dan realitas konteks. Realitas teks merupakan hal yang tidak bisa berubah, karena Alquran tidak akan pernah berubah. Ini merupakan mukjizat abadi yang cukup istimewa yang dimiliki oleh Alquran. Kenyataan bahwa sang pengantar (Rasulullah) memiliki umur yang terbatas dan umat manusia terus-menerus lahir, sedangkan umat Islam harus terus tersentuh dengan mukjizat Rasul, maka dari itu keotentikan teks Alquran menjadi sangat penting. Realitas kedua, adalah realitas yang selalu berubah dan Alquran haruslah merespon semua ini. Sebenarnya budaya zaman dahulu yang dihilangkan Alquran adalah budaya yang tidak memiliki kemanusiaan, seperti budaya menjadikan ibu sebagai warisan, budaya nikah tanpa batas, mengubur anak hidup-hidup, dll. Alquran itu merespon budaya atau konteks dengan cara memilih dan memilah budaya mana yang pas dan pantas, hingga akhirnya menciptakan teori.

              Ulumul Quran adalah bidang keilmuan yang membahas tentang Alquran. Ilmu ini adalah ilmu wajib yang harus dipegang oleh para pengkaji Alquran. Menurut Munawir Syadzali, pemikiran mengenai agama secara garis besar dibagi menjadi tiga. Pertama, agama dan negara saling terkait, tokohnya seperti Hasan Al-Bana, Sayyid Quthub. Kedua, agama dan negara memang benar-benar berbeda, contohnya Taha Husein. Ketiga, agama memang tidak mengatur secara teks tentang negara, namun agama bisa menjadi masukan nilai sebagai pembentuk negara. Kita harus bisa menjadi garis tengah yang memang memiliki banyak pertimbangan untuk dipertimbangkan.

           Dalam mempelajari Alquran, Asbab an-Nuzul biasa disebut dengan konteks. Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Alquran namun hal ini juga harus dipahami untuk konteks zaman sekarang. Sabab nuzul memiliki dua pembagian. Pertama sabab an-nuzul bi kadza adalah peristiwa secara langsung yang langsung direspon oleh Alquran. Untuk asbab nuzul ini metodenya adalah memahami konteks dan teksnya agar muncul pemahaman yang benar. Dan asbab an-nuzul fi kadza yaitu tidak ada peristiwa khusus yang melatarbelakanginya namun Alquran ingin menciptakan sebuah budaya baru, seperti ayat-ayat Qashash. Selama ini asbab an-nuzul hanya dipahami sebagai konteks masa dahulu. Sebenarnya mungkin sekarang dibutuhkan penerapan asbab an-nuzul pada zaman sekarang.

[1] Anggota tim pembuatan tafsir tematik kemenrian agama RI dan dekan Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta. Sekaligus alumnus Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Sleman, Yogyakarta. Diskusi ini dilaksanakan hari Jum’at, 24 Februari 2017, di Aula Konplek 1 Ponpes Sunan Pandanaran. [Miftahuddin]

Tinggalkan komentar