Referensi Qira’at

كتاب السبعة_ابن مجاهد – Kitab as-Sab’ah Karya Ibnu Mujahid

نزول القرآن على سبعة أحرف – Nuzul al-Qur’an ‘ala Sab’ah Ahruf Karya Manna al-Qattan

مباحث في علم القراءات  – Mabahist fi Ulum al-Qur’an

Sabab Nuzul al-Qur’an

 

Konsep Sabab an-Nuzul Alquran Perspektif Konvensional

Sabab an-Nuzul secara terminologis merupakan suatu sebab yang karnanya ayat Alquran diturunkan, adakalanya merupakan jawaban dari suatu pertanyaan atau penjelasan dari sebuah peristiwa. Sabab an-Nuzul dalam perspektif konvesional dibagi menjadi dua, pertama ayat Alquran yang turun diawali dengan adanya sebab ayat tersebut diturunkan (sababi), kedua ayat Alquran yang diturunkan tanpa melalui adanya suatu sebab (ibtida’i). Ayat-ayat sababi sendiri masih dirinci lagi menjadi dua, yaitu riwayah dan diroyah. Riwayah adakalanya dinyatakan dengan sharih (jelas) dan ghairu sharih (tidak jelas), namun harus melalui periwayatan yang shahih.

ijaz

Perspektif konvensional hanya menerima asbab an-nuzul dengan melalui periwayatan yang shahih, dan tidak menerima periwayatan yang tidak shahih (dloif) apalagi tidak ada periwayatan yang menjelaskannya. Dengan demikian, melihat dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka berpendapat bahwa tidak semua ayat memiliki asbab an-nuzul atau turun dengan tanpa memiliki sebab.

Konsep Sabab an-Nuzul Alquran Perspektif Fazlur Rahman

Fazlur Rahman mengenalkan konsep sabab an-nuzul-nya  yaitu double movement (gerakan ganda). Gerakan pertama, yakni situasi sekarang ke masa Alquran diturunkan. Gerakan kedua, situasi Alquran diturunkan dengan melihat kondisi sosio historis masyarakat Arab, yang kemudian direalisasikan ke masa sekarang. Sedangkan, untuk merealisasikan Alquran dari masa diturunkannya ke masa sekarang, harus memperhatikan konteks mikro dan makro ketika Alquran diturunkan. Dengan konsepnya ini, Fazlur Rahman berharap dapat mengaplikasikan ideal moral (tujuan dasar moral yang dikesankan Alquran), sebab ideal moral berlaku sepanjang masa dan tidak berubah-ubah. Dengan demikian akan terbukti bahwa Alquran adalah shalih li kulli zaman wa makan.

ijaz1

Konsep Sabab an-Nuzul Alquran perspektif Amin Abdullah

            Amin Abdullah dalam masalah sabab an-nuzul, ia menghadirkan teori qodim dan jadid. Sama halnya dengan Fazlur Rahman, dia juga mengacu pada konteks zaman. Menafsirkan Alquran dengan konteks zaman sekarang dengan menyesuaikan dan melihat konteks pada masa Alquran diturunkan. Konteks yang ditekankan Amin Adullah adalah jadid (konteks realitas zaman sekarang), dengan melihat dan disesuaikan dengan qodim (konteks masa lampau ketika Alquran turun) yang memperlihatkan dan menumbuhkan ideal moral. Sehingga dapat membuktikan Alquran shalih li kulli zaman wa makan.

 

Konsep Sabab an-Nuzul Alquran Perspektif al-Jabiri

            Seperti halnya perspektif konvensional, al-Jabiri juga berpendapat bahwa asbab an-nuzul dapat diketahui berdasarkan riwayah dan diroyah. Berbeda dengan perspektif konvensional yang mengharuskan riwayah dengan periwayatan yang shahih, al-Jabiri justru mengabaikan kualitas dari periwayatan tersebut. Al-Jabiri menerima sabab an-nuzul dengan jalan riwayah dan dirayah, namun keduanya memiliki syarat-syarat tertentu. Riwayah merupakan konsep qodim (konteks ketika Alquran diturunkan), ja’alul Qur’an ma’ashiran linafsihi. Dirayah merupakan konsep jadid (konteks zaman sekarang), ja’alul Qur’an ma’ashiran lana.

ijaz3

Konsep Sabab an-Nuzul perspektif Nasr Hamid Abu Zayd

Menurut Nasr Hamid Alquran adalah sebuah teks, dan sabab an-nuzul merupakan pembentuk konsep teks. dalam memahami sabab an-nuzul, Nasr Hamid sangat berbeda dengan ulama konvensional, yang hanya berpacu dengan periwayatan yang shahih. Menurutnya, sabab an-nuzul dapat diungkapkan melalui pengetahuan tentang konteks eksternal (riwayat) dan internalnya (teks itu sendiri). Konsep eksternal dan internal terkadang berjalan beriringan dan terkadang berjalan sendiri-sendiri. Analisis teks ini adalah upaya untuk menyingkap maknanya. Mengetahui sabab an-nuzul tidak sekedar mengamati sejarah-sejarah yang menyebabkan teks turun. Namun pengetahuan ini bertujuan untuk memahami teks dan menghasilkan maknanya, dan pengetahuan tentang sebab akan akan menghasilkan pengetahuan mengenai musabab (akibat) yang nantinya akan memunculkan pemahaman mengenai hikmah at-tasyri’ (alasan aturan tertentu diturunkan).

Sama halnya dengan ulama mufassirin kontemporer lainnya, kosep sabab an-nuzul juga mengacu pada konteks zaman. Merealisasikan teks untuk konteks zaman sekarang dengan tidak lupa untuk menengok kembali kepada konteks masa teks dibentuk. Dengan menganalisa teks dan upaya menyingkap makna teks dengan mempertimbangkan sisi eksternal dan internal.

ijaz4Kesimpulan

Sabab an-nuzul. Dengan melihat pendapat-pendapat mufasirin, dengan demikian sabab an-nuzul bukanlah pengetahuan yang hanya mempunyai perspektif tunggal. Namun sabab an-nuzul merupakan sesuatu yang ijtihadi. Sehingga tidak ada perspektif tunggal mengenai sabab an-nuzul. [Afrokhul Banat]

Qashash Al-Qur’an

Kajian Atas Dinamika dan Perkembangan Kisah-Kisah Alquran

Qashash (Kisah) Alquran Perspektif  Konvensional

Kisah secara etimologi berasal dari kata qass yang berarti mencari atau mengikuti jejak.[1] Sedangkan kata qasas adalah bentuk plural yang berarti dikisahkan. Di dalam al-Qur’an juga dijelaskan kata qasas dengan beberapa artian yang berbeda. Qasas berarti mengikuti jejak atau juga berarti berita yang berurutan.

Sedangkan secara terminologi, al-qasas al-Qur’ani   berarti berita tentang keadaan umat masa lalu, nabi-nabi terdahulu dan peristiwa yang telah terjadi.[2] Karena, di dalam al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri, dan peninggalan atau jejak setiap umat. Dengan definisi tersebut, kejadian apapun di masa lalu yang termaktub di dalam al-Qur’an termasuk dalam kategori kisah yang diberitakan al-Qur’an. Dalam kitab tafsir, pendefinisian kisah maju selangkah walau dengan berbagai artian yang berbeda. Misalnya, M. Quraisy Shihab yang lebih spesifik mendefinisikan kisah al-Qur’an sebagai berita tentang kejadian-kejadian gaib tentang masa lampau.[3] Al-Qur’an mengungkap berbagai macam peristiwa dan hal-hal ghaib. Mulai dari kejadian masa lampau yang tidak diketahui oleh manusia, hingga peristiwa yang akan terjadi di masa yang akan datang dan masa kini yang belum diketahui manusia.

Selaras dengannya, Ibnu Asyur dalam muqaddimah al-Tahrir wa al-Tanwir juga mengartikan kisah sebagai kabar suatu peristiwa atau kejadian yang gaib.[4] Implikasinya adalah apapun realita kehidupan pada saat zaman Rasulullah tidak termasuk ke dalam kategori kisah al-Qur’an. Al-Razi dalam kitab tafsirnya Mafatih al-Ghaib mengartikan qasas sebagai hikayat atau cerita.[5] Selain itu ia juga menjelaskan bahwa definisi kisah adalah sebagai kumpulan perkataan yang membawa manusia kepada hidayah agama. Serta menunjukkan kepada kebenaran serta memerintahkan untuk mencari sebuah keselamatan.[6] Dimana kesemua pendapat tersebut mengarah kepada fungsi dan legitimasi kebenaran kisah al-Qur’an.

Dinamika Paradigma Penafsiran Kisah al-Qur’an

Kajian terhadap kisah yang ada di dalam al-Qur’an selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Perkembangannya meliputi pergeseran metode, pendekatan serta pemahaman terhadap kisah itu sendiri. Berbagai macam tafsiran terhadap kisah al-Qur’an juga banyak muncul dengan berbagai arti. Ada yang berpendapat bahwa kisah dalam al-Qur’an itu adalah sebuah realitas sejarah, keindahan sastra, keadaan psikologis penerima wahyu dan dakwah Muhammadiyah.

Al-Thabari[7] dalam karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir ay al-Qur’an.[8] Ia merupakan mufassir “tradisional” terkemuka dengan kitab tafsir terlengkap dan sangat berpengaruh terhadap mufassir setelahnya sehingga karyanya dijadikan kitab induk.[9] Ia mengungkapkan bahwa kisah merupakan suatu kebenaran sejarah. Ia menggunakan pola tematis dalam menafsirkan kisah sesuai dengan mushaf utsmani. At-Thabari juga menyesuaikan kisah dengan sejarah dan mempertemukannya dengan kisah Israiliyat. Akibatnya, penuturan serta penjelasan kisah Thabari dalam tafsirnya terkesan bertele-tele. Karena ia seorang sejarawan, maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek historis ia jelaskan secara panjang lebar, dengan dukungan cerita-cerita pra-Islam.

Seperti apa yang dipersepsikan M. Arkoun, barangkali al-Tabari berkeinginan untuk menggarap suatu sejarah yang selengkap-lengkapnya tentang  masyarakat-masyarakat  yang  berada  di  bawah  kekuasaan  yang  relatif langsung  dari  norma-norma  yang  bersifat  meluruskan  dalam  wacana  al-Qur’an.[10]

Berbeda dengan Thabari, Sayyid Qutb (w. 1966 M) dalam karyanya al-Taṣwir al-Fanni fi al-Qur’an melakukan pendekatan berbeda dalam menginterpretasi kisah dalam al-Qur’an. Ia mengungkapkan bahwa kisah dalam al-Qur’an adalah sebuah perantara pendukung dakwah Muhammad.[11] Ia memahami kisah dengan melakukan kajian kesusastraan tanpa mempertemukannya dengan kisah israiliyat. Ia berkeyakinan bahwa aspek terpenting dari kisah-kisah tersebut bukanlah faktualitas atau realitas historisnya. Kisah-kisah tersebut merupakan simbol-simbol keagamaan yang harus ditangkap pesan moral dan hidayahnya. Selaras dengan Sayyid Qutb, Harun Yahya dan Khalafullah juga melakukan kajian yang sama terhadap kisah al-Qur’an.[12]

Setelah kajian kesusastraan terhadap kisah al-Qur’an al-Tahami Naqrah dalam karyanya Sikulujiyyah al-Qissah fi al-Qur’an melakukan pendekatan berbeda dalam mengupas kisah al-Qur’an yaitu melalui pendekatan psikologis. Sistematika yang diusung olehnya adalah ia mengikuti tatanan tartib mushafi yang tentunya kajian yang ia lakukan hanya terhadap surat-surat yang mengandung ayat-ayat kisah.

Selanjutnya M. Abed Al-Jabiri yang meyakini bahwa kisah dalam al-Qur’an bukanlah realitas sejarah dan keindahan sastra tetapi sebagai al-qasas al-muqaddas yaitu kisah yang memiliki nilai sakral. Menurutnya, kisah-kisah yang tertuang dalam al-Qur’an adalah sebagai pendukung dakwah muhammadiyah sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya oleh Sayyid Qutb.

Kisah Perspektif Khalafullah

Al-Qur’an sebagai al-Haqq tentunya menyimpan seluruh kebenaran yang termuat dalam isinya.[13] Seperti yang diutarakan Khalafullah dalam desertasinya, ia berasumsi bahwa kisah-kisah yang tertera dalam al-Qur’an bukan semata-mata data historis, melainkan merupakan narasi yang bisa dimasukkan dalam bingkai sastra yang sarat dengan simbol-simbol keagamaan berupa ibrah atau hidayah. Kajian yang ia lakukan membuahkan hasil yang berbeda dengan karya-karya sebelumnya. Karyanya ini memberi wawasan baru dalam studi kisah al-Qur’an.[14]

Berangkat dari berbagai pengertian tadi, Khalafullah mendefinisikan kisah sebagai sebuah karya sastra yang dihasilkan dari imajinasi pengisah atas suatu kejadian tertentu atau tokoh tertentu terlepas semua itu terjadi atau tidak. Selanjutnya, Khalafullah membagi kisah menjadi tiga kategori. Pertama, sejarah. Suatu kisah yang tokoh-tokoh tertentu seperti para nabi, rasul dan kisah-kisah orang terdahulu diyakini sebagai sebuah realitas sejarah. Kedua, perumpamaan. Kisah yang ditujukan untuk menjelaskan sebuah kejadian atau suatu nilai yang tidak memerlukan realitas sejarah sebagai pembuktiannya. Ketiga, Lagenda atau Mitos. Kisah yang bertujuan menguatkan pemikiran atau suatu penafsiran atas pemikiran. Ini juga dijadikan instrument yang menarik yang ditujukan kepada pendengar.

Menurut Khalafullah terjadi kesalahan pada sarjana konvensional yang menganggap teks-teks kisah sebagai teks yang ambigu atau mutasyabihat. Gagasan tersebut muncul akibat kejanggalan yang dirasakannya terhadap penafsiran kisah belakangan. Dimana lebih dipentingkan aspek historis dari pada pembangunan kisah itu sendiri. Akibatnya adalah penjelasan yang dituangkan dalam tafsir mereka cenderung bertele-tele dan tidak to the point. Juga ketergantungan mereka mempertemukan kisah dengan israiliyat[15], perkiraan analisa serta berbagai analisis yang mereka lakukan juga akhirnya tidak dapat menemukan makna tersirat dalam al-Qur’an. Hal tersebut disebabkan kefanatikan mereka terhadap metode sejarah dan lama jangka waktu yang dipakai dalam penggunaan metode tersebut. Akhirnya, tafsir mereka tidak serat dengan pembaharuan dan juga hal ini merupakan sebuah kemunduran.[16]

Sementara Islamis Barat memperlakukan al-Qur’an sebagai data historis, sehingga mereka terjebak dalam asumsi adanya perkembangan dalam karakter dan pelaku kisah. Mereka keliru memahami tujuan kisah al-Qur’an. Sehingga timbul pertanyaan benarkah terjadi sebuah kisah dalam belantika sejarah, kapan dan bagaimana?. Hal tersebut menurut Khalafullah disebabkan karena al-Qur’an cenderung mengabaikan detail kesejarahan, yang salah satu fungsinya adalah memberikan peluang yang lebih besar kepada penerima dan pembaca tentang pesan moral yang dibawa al-Qur’an.[17]

Namun, pemikiran Khalafullah ini tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan tak terlepas di sisi lain juga ada kelebihan yang ia torehkan dalam karyanya tersebut. Khalafullah pada awalnya, menolak asumsi bahwa al-Qur’an memuat data historis dan kefaktualan sejarah. Namun kemudian, ia mengklasifikasikan model kisah dengan kategori sejarah salah satunya. Selanjutnya, ketidakkonsistenan Khalafullah dalam mempertahankan ide dasarnya bahwa seluruh kisah hanyalah fiksi dan kisah moral belaka. Seperti yang dijelaskan di atas secara langsung ia membarengi konsep tarikhiyyah dalam penjelasan kisahnya. Terakhir, tidak adanya kejelasan pembatasan kategori kisah antara yang faktual dan fiksi.

Dualisme wajah penafsiran (sejarah dan sastra) yang seakan bersebrangan satu sama lain, akhirnya mematahkan dan menunjukkan kelemahan implikasi teoritik dari masing- masing perspektif. Pada periode selanjutnya, untuk mendamaikan dua mata bilah pisau tersebut muncul pemikiran M. Abed Al-Jabiri yang menengahi keduanya.[18] [Durrotun Nafisah]

 

[1] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2011), hlm, 435.

[2] Ibid., hlm 435-436.

[3] M. Quraisy Shihab, Mukzizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 193-195.

[4] Ibnu Asyur, dalam muqaddimah al-Tahrir wa al-Tanwir

[5] Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al– Fikr, 1990), Juz. 2 hlm. 181

[6] Penafsiran al-Razi pada surat Ali Imran ayat 62. Lihat Ibid., hlm 703.

[7] At-Thabari dilahirkan di Amul, sebuah kota di Iran, 12 mil sebelah selatan Laut Kaspia di akhir tahun 839 M. dan wafat di Baghdad pada tanggal 26 Syawal tahun 310 H/16 Februari 933 M. Lihat Khalid Haddad, 12 Tokoh Pengubah Dunia, (Jakarta: Gema Insani, 2009), hlm. 124.

[8] At-Thabari sangat termasyur di Barat. Biografinya pertama kali diterbitkan di Leiden pada tahun 1879-1901 M. oleh Julius Wellhausen dalam bukunya The Arab Kingdom and its Fall. Tafsir at-Thabari pertama kali diterbitkan pada tahun 1903, lima tahun setelah C. Brockelmann menerbitkan edisi pertama Geschichte der Arabischen Literatur-nya. Dalam karyanya Brockelmann menggolongkan at-Thabari sebagai seorang sejarawan. Meskipun demikian, at-Thabari pada mulanya bukan seorang sejarawan, melainkan seorang teolog. O. Loth, penemu tafsir at-Thabari mengutip pendapat al-Mas’udi (w.956) yang menyatakan bahwa at-Thabari adalah seorang teolog. Lihat J.J.G.  Jansen,  Diskursus  Tafsir  Al-Qur’an  Modern  Terj.  Hairussalim dan Syarif Hidayatullah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1997), hlm. 91. dalam footnote 6.

[9] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, (Yogyakarta: Forum kajian Budaya dan Agama (FkBA), 2001), hlm. 307.

[10] M. Arkoun, Kajian  Kontemporer  al-Qur’an,  terj.  Hidayatullah, (Bandung:  PUSTAKA, 1998), hlm. 124.

[11] M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2006), hlm. 29.

[12] Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan “Kitab Sejarah”, hlm. 9.

[14] M. Nur Kholis Setiawan, (Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar,), hlm. 36.

[15] Rosihon Anwar, Melacak (Unsur-unsur Israiliyat dalam Tafsir at-Tabari dan Ibn Katsir), hlm. 112.

[16] Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 2.

[17] Muhammad A. Khalafullah, Al-Qur’an Bukan “Kitab Sejarah”, hlm. 15.

[18] M. Abed Al-Jabiri, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Markaz Dirasat al-Wihdah al-Arabiyyah, 2006), hlm. 259.