Pendahuluan
Islam adalah agama yang meletakkan manusia pada posisi yang sama, tidak peduli baik itu laki-laki maupun perempuan. Allah pun berfirman bahwa makhluk yang paling dekat di sisi-Nya kelak bukanlah laki-laki atau perempuan, melainkan manusia yang paling bertaqwa, bisa laki-laki maupun perempuan. Namun pada kenyataan historisnya perempuan termarginalkan, atau menjadi makhluk kedua setelah laki-laki. Kasus inilah yang menimbulkan adanya pemikiran mengenai kesetaraan gender, yang dimunculkan oleh orang-orang yang merasa perlu adanya pembelaan terhadap kaum yang lemah. Beberapa tokoh feminis menyampaikan ide-idenya dengan pendekatan Alquran, seperti Amina wadud, Asghar Ali Enginer, Rif’at Hasan, dan Nasaruddin Umar.
Penulis dalam makalah ini hanya akan memfokuskan kepada salah satu tokoh saja, yakni Asghar Ali Engineer, yang mempunyai pemikiran fenomenal yakni, “teologi pembebasan”. Berangkat dari ide teologi pembebasannya itu dia melahirkan salah satu gagasan feminisnya yakni “pembebasan perempuan”. Makalah ini berisi tentang ide-ide pembebasan perempuan yang diusulkan oleh Engineer. Namun, sebelum masuk pada inti pembahasan penulis terlebih dahulu mencantumkan sedikit pengenalan tentang Asghar Ali Engineer, kemudian epistemologi pemikiran yang digunakan Engineer untuk menerapkan hermeneutika feminisnya, baru kemudian masuk pada pembahasan mengenai ide pembebasan perempuan.
- Selayang Pandang tentang Engineer
Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam lingkungan keluarga ulama ortodoks Bohro pada tanggal 10 Maret 1939 di Sulumber, Rajastan (dekat Udaipur) India. Ayah Asghar Ali Engineer bernama Syeikh Qurban Husein. Beliau adalah seorang penganut kuat paham Syiah Ismailiyah dan berpikiran cukup terbuka untuk berdialog dengan penganut agama lain. Beliau adalah seorang sarjana Islam terpelajar yang turut membantu pendirian pimpinan ulama Bohro. Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam kondisi dimana kehidupan warga Bohro sangat memprihatinkan. Yang mana pada saat itu berlakunya sistem menindas, sistem itu tidak lain hanyalah suatu mesin-mesin besar untuk mengumpulkan sejumlah uang dari pengikutnya yang diawasi oleh sebuah kelurga ulama dari kalangan dai. Warga Bohro rata-rata hidup dalam ketakutan. Setiap upaya ketidakpatuhan akan dapat menghancurkan hidup mereka.
Dengan tekun ia mempelajari literatur-literatur keagamaan dari berbagai sumber yang ditulis oleh kalangan Islam maupun Barat, baik dari kalangn tradisional maupun modern. Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga mempelajari Alquran dan hadis, juga fiqh. Dari keterpaduan upayanya dalam mempelajari agama ditambah dengan pengalaman hidupnya yang berhadapan dengan serangkaian eksploitasi, membuatanya menjadi seorang pemikir sekaligus aktivis yang berpandangan liberal, revolusioner, dan demokratis.
Keberhasilannya menjadi seorang pemikir Islam memang tidak berangkat dari pendidikan formalnya. Latar belakang keluarga yang merupakan penganut taat aliran Syi’ah Ismailiyyah membentuknya menjadi seorang yang sangat konsen pada ajaran agama. Ayahnya yang merupkan seorang ulama Syi’ah, mengajarkan kepadanya Bahasa Arab dan berbagai khazanah pemikiran Islam, klasik maupun modern. Engineer adalah seorang da’i, yang mana dalam tradisi Syi’ah Ismailiyyah haruslah tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman.[1]
Ayahnya mengirimnya ke sekolah umum dan menyarankan untuk belajar teknik atau kedokteran. Namun Asghar Ali Engineer tertarik memilih belajar teknik sipil di Fakultas Teknik di Vikram University, Ujjain, India, dan lulus dengan mendapat gelar doctor. Tidak berhenti sampai disitu, perjalanan intelektual Engineer belum berakhir. Akan tetapi dia aktif menulis diberbagai media masa. Beberapa karya Asghar Ali Engineer tersebut antara lain:
- Islam and Revolution (New Delhi: Ajanta Publication, 1984)
- Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990)
- The Right of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992)
- Islam and Pluralism (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999)
- Islam the Ultimate Vision (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999)
- The qur’qn, women and modern society (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1999).[2]
- Epistemologi Pemikiran Ali Engineer
Asghar Ali Engineer dalam pemikirannya lahir dari epistemologi burhani, yang model pemikirannya bersumber dan berdasarkan pada realitas.[3] Menurut Engineer, setiap mufasir memiliki semesta intelektualnya sendiri, yang itu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ia memandang realitas.[4] Oleh karena itu, interpretasi setiap mufasir itu harus dilihat dalam prespektif sosiologis mereka. Atas dasar asumsi seperti itulah maka, bagi Engineer, penafsiran ayat-ayat Alquran harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks pengalaman dan kesadaran sosiologis yang ada.[5] Dalam kajian penafsirannya terhadap Alquran, Engineer sering menggunakan aspek sejarah sosial dimana ayat itu turun yang kemudian dikontekskan ke dalam konteks problem kekinian.[6] Kaitannya dengan wacana gender dalam Alquran, Engineer mengaplikasikan tawaran hermeneutikanya dalam memahami Alquran dengan memanfaatkan beberapa pendekatan: historis, sosiologis-antropologis dan filosofis.[7]
Sejarah bukanlah mitos atau sesuatu yang bersifat semena-mena yang sama sekali tidak ada hubungan sebab-akibat sosial. Bagi Engineer Alquran samasekali tidak mengabaikan determinasi sejarah. Tetapi sebaliknya sangat serius memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Karena pendekatannya yang historis inilah ia sangat memperhatikan aspek ruang dan waktu. Pendekatan sosisologis-antropologis dalam memahami Alquran menjadi sangat penting karena Alquran muncul pada situasi dan kondisi sosial tertentu. Menurut Engineer, terjadinya ketimpangan dalam berbagai penafsiran Alquran adalah karena para mufasir mengabaikan konteks sosio-antropologis yang meliputi pewahyuan Alquran. Maka menjadi naif kalau ayat-ayat yang merespon problem dalam situasi dan kondisi sosiologis tersebut digeneralisasi. Pendekatan filosofis digunakan Engineer terutama dalam memperkokoh kerangka teologi pembebasannya.[8]
Sebagaimana yang dikutip Ahmad Baidowi, dalam konteks pemikiran keislamannya, Engineer lebih memfokuskan diri pada persoalan-persoalan teologi pembebasan yang memberikan kerangka teoritik dalam menyebarkan pemikiran keagamaan kepada umat Islam. Untuk itu Engineer menawarkan pemikiran, filsafat serta hermeneutika guna memahami ayat-ayat Alquran. Teologi pembebasan, merupakan isu sentral Engineer dalam tulisan-tulisannya. Ia berupaya mencairkan kebekuan teologi konvensinal yang hanya menyinggung persoalan metafisika dan ritualisme seraya mengabaikan berbagai problem kontemporer. Asghar Ali Engineer mengedepankan fokus gagasannya pada persoalan egalitarianisme, yang terkait dengan konsep-konsep keadilan sosial, politik, ekonomi, keluarga dan jenis kelamin.[9]
- Pembebasan Perempuan
Sejarah awal Islam mengatakan bahwa Islam datang justru mengangkat kemuliaan perempuan yang pada masa pra-Islam sangat termarginalkan. Namun, pada kenyataannya Islam menjadi salah satu agama yang menjadi sorotan dalam kaitannya dengan keadaan atau status perempuan dalam strata sosial dan aturan yang diberikan agama terhadap perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam praktek keseharian, di mana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekspresikan kebebasan individunya, terbatas oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suara kesaksiannya pun tidak berarti. Fenomena ini telah disorot tajam oleh Asghar Ali Engineer, dengan melontarkan berbagai ide tentang pembebasan perempuan.
Di antara ide pembebasan perempuan yang diajukan Engineer adalah mengenai asal-usul manusia. Masalah yang dihadapi perempuan dalam Islam mengenai asal-usul penciptaan manusia yang mana selama ini konsep yang dibangun adalah perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Kemudian yang terjadi dengan adanya konsep itu berarti antara perempuan dan laki-laki mempunyai asal-usul penciptaan yang berbeda. Kemudian muncul konsekuensi pemahaman yang melahirkan konsep patriarki. Konsep itu lahir bukan tidak berdasarkakn apa-apa, melainkan konsep itu lahir atas dasar QS. an-Nisa’ ayat 1. Yang mana dalam ayat tersebut kata yang ditunjukkan untuk asal-usul penciptaan makhluk hidup adalah nafs. Secara umum penafsiran terhadap kata nafs itu ada dua yakni, pertama bermakna jenis atau sumber yang sama, kedua bermakna diri Adam.[10]
Sedangkan Engineer kata nafs ditafsirkan dengan “jiwa” makhluk hidup, pemaknaan ini lebih bersifat netral daripada pemaknaan yang disampaikan umumnya mufasir. Artinya Allah telah menciptakan manusia terdiri dari dua jenis kelamin, yang bersumber dari jiwa yang sama. Kemudian ungkapan yang menyatakan bahwa “Allah telah menciptakan pasangannya dari jenisnya sendiri” menurut Engineer mengandung makna “Allah telah menciptakan pasangan bagi laki-laki (Adam) yaitu perempuan (Hawa) dari jenis yang sama”.[11] Berarti dengan pemaknaan yang seperti itu tidak ada perbedaan sama sekali asal-usul penciptaan antara laki-laki dan perempuan.
Melihat dari penafsiran Engineer mengenai ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Engineer sangat tidak setuju dengan penafsiran klasik yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari penafsiran yang seperti itu menjadi salah satu faktor munculnya anggapan bahwa perempuan itu lebih rendah daripada laki-laki. Dalam masalah ini Engineer tidak terlalu menjelaskan secara rinci, karena dia tidak terlalu konsentrasi pada masalah ini.
Selain masalah tentang asal-usul penciptaan manusia, masalah yang dihadapi perempuan dalam Islam yang diungkapkan Engineer adalah bahwa secara historis telah terjadi dominasi peran laki-laki yang menyebabkan doktrin ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Yang mana doktrin itu telah dibenarkan Alquran dengan penafsiran-penafsiran oleh laki-laki yang bertujuan untuk mengekalkan dominasi mereka.[12] Engineer mengatakan bahwa pada kenyataannya memang sangat sedikit penafsir-penafsir yang mengetahui hak-hak wanita yang sebenarnya dalam Islam. Engineer juga menegaskan bahwa hak-hak wanita yang telah digariskan di dalam syari’at tidak hanya didasarkan pada teks Alquran namun juga pada Hadis Nabi dan pendapat para fuqaha’, yang secara jelas bahwa syari’at itu jga bercampur dengan orang yang tidak lepas dari konteks zaman ketika dia hidup.[13]
Masalah lain yang dihadapi perempuan adalah masalah poligami. Poligami merupakan isu keadilan gender yang sering diperbincangkan. Karena poligami berkaitan dengan hubungan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga yang mana itu juga berhubungan dengan konteks keadilan bagi perempuan. Salah satu yang mendorong adanya poligami adalah penafsiran sepihak para mufasir yang itu seakan-akan menguntungkan pihaknya, dengan melupakan keadilan bagi pihak lain. Karena kebanyakan mufasir klasik adalah laki-laki.
Berbicara mengenai poligami dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi yang berkembang di dunia Arab waktu itu. Kondisi real yang berlangsung ketika itu adalah posisi kaum laki-laki yang lebih tinggi di atas perempuan. Hal ini ditandai dengan ketergantungan yang luar biasa dari kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Sehingga ada kenyataan yang harus diterima oleh perempuan bahwa dia sangat bergantung pada laki-laki.[14]
Poligami dipraktikkan secara luas oleh masyarakat pra-Islam, luas di sini dalam artian tidak ada batasan jumlah istri untuk seorang laki-laki. Selain itu juga tidak ada sama sekali gagasan tentang keadilan terhadap istri-istri tersebut. Para suamilah yang memutuskan siapa yang paling ia sukai di antara istri-istri tersebut. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada jalan lain untuk proses keadilan. Ayat yang menjadi dasar dalam persoalan poligami ini adalah QS. an-Nisa ayat 3. Menurut Engineer ayat ini diturunkan bukan untuk menyetujui adanya poligami, namun ayat ini turun sebagai batasan. Namun bukan berarti Alquran menerima poligami, tapi karena pelarangan secara utuh tidak memungkinkan untuk diterima dalam situasi yang ada pada waktu itu, maka Alquran membolehkan menikah lagi hingga empat. Hal itu dengan ketentuan memperlakukan istri mereka dengan adil, jika tidak dapat memenuhi syarat tersebut maka satu saja. Dengan demikian maksud yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami.[15]
Untuk menafsirkan ayat tersebut Engineer memang tidak menggunakan pendekatan linguistik, sehingga dia tidak secara rinci, malah tidak sama sekali menafsirkan secara bahasa, menganalisis perkata. Mengenai tafsiran ayat secara kebahasaan dia lebih sering mengutip pendapat para ulama penafsir klasik seperti ar-Razi dan at-Tabari. Mengenai ayat tersebut Engineer mengutip pendapat at-Tabari dan ar-Razi bahwa maksud utama ayat tersebut adalah untuk berbuat keadilan, baik kepada anak yatim maupun kepada para istri. Yang pada intinya Alquran ingin sekali melindungi kepentingan kaum perempuan dan memberikan keadilan kepada mereka.[16]
Dalam penafsiran al-Razi, dijelaskan bahwa berkaitan dengan ungkapan wa inkhiftum anla tuqsithu fi al-yatama pada awal ayat merupakan ungkapan yang berfungsi sebagai persyaratan. Kemudian jawab syaratnya adalah ungkapan fa ankihu ma thaba lakum.[17] Kemudian al-Razi juga menyampaikan konteks pada waktu ayat itu turun, dia mengutip sebuah periwayatan dari Ikrimah yang mengatakan bahwa ada laki-laki yang sudah beristri kemudian menjadi wali anak yatim. Setelah hartanya habis untuk menafkahi semua istrinya, dia mengambil harta anak yatim untuk kebutuhan istri-istrinya. Karena itulah Allah berfirman dalam ayat tersebut bahwa “jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap harta anak yatim” karena punya istri banyak, maka janganlah kamu menikah dengan empat orang istri. Hal itu (menggunakan harta anak yatim untuk menafkahi istri-istrinya) merupak suatu hal yang sangat biasa dilakukan oleh orang Arab Quraisy.[18]
Kesimpulan
Alquran bersifat normatif dan sosiologis. Ajaran-ajarannya memiliki relevansi dengan zaman sekarang. Ajaran-ajaran yang demikian seharusnya tidak diperlakukan sebagai nilai yang normatif. Ajaran ini harus dilihat dalam konteks di mana ajaran tersebut harus diterapkan. Asghar Ali Engineer merupakan salah satu mufasir yang meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada kata final dalam menafsirkan Alquran, karena perbedaan konteks mengharuskan adanya penafsiran yang sesuai dengan konteks itu. Sehingga konteks merupakan salah satu sumber penting dalam menafsirkan Alquran.
Kaitannya dengan hermeneutika feminisnya, Engineer sangat menolak adanya konsep patriarkhi yang sangat melekat pada mufasir klasik dan mengklasifikasikan ayat Alquran menjadi dua (normatif dan sosiologis). Kemudian pengaplikasian hermeneutika feminisnya dapat dilihat dalam penafsiran ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan gender, yang mana pada makalah ini penulis hanya mencantumkan dua kasus saja yakni, asal-usul penciptaan manusia dan poligami. Dalam masalah asal-usul penciptaan manusia Engineer berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada satupun ayat yang menyatakan secara jelas bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, menurutnya antara laki-laki dan perempuan itu ya asal-usul penciptaannya sama. Sedangkan dalam masalah poligami, Engineer mengetakan bahwa pada dasarnya Islam tidak menginginkan adanya poligami, kebolehan poligami bersifat kontekstual dan tidak berlaku secara universal. [Afrakhul Banat]
DAFTAR PUSTAKA
Baidowi, Ahmad, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005.
Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cicik Farcha Assegaf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
_________________, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba, 2014.
Thohiri, M. Kholid, “Keadilan Gender (Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Nasaruddin Umar)”, Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2009.
[1] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer, (Bandung: Nuansa, 2005), hal. 136-137.
[2] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), hal. 73-75.
[3] M. Kholid Thohiri, “Keadilan Jender (Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Nasaruddin Umar)”, Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin UIN SUKA. 2009), hal. 67.
[4] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cicik Farcha Assegaf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 15.
[5]Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam…, hal. 6.
[6] M. Kholid Thohiri, Keadilan Jender (Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Nasaruddin Umar), Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta…, hal. 70.
[7] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer…, hal. 145.
[8] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer…, hal. 145-147.
[9] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer…, hal. 139.
[10]Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 182.
[11]Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 182.
[12] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 4.
[13] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 236.
[14] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 224.
[15] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan…, hal. 111 – 113.
[16]Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan…, hal. 113.
[17] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 225.
[18] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 227.