Pembebasan Perempuan dalam Pemikiran Asghar Ali Engineer

Pendahuluan

Islam adalah agama yang meletakkan manusia pada posisi yang sama, tidak peduli baik itu laki-laki maupun perempuan. Allah pun berfirman bahwa makhluk yang paling dekat di sisi-Nya kelak bukanlah laki-laki atau perempuan, melainkan manusia yang paling bertaqwa, bisa laki-laki maupun perempuan. Namun pada kenyataan historisnya perempuan termarginalkan, atau menjadi makhluk kedua setelah laki-laki. Kasus inilah yang menimbulkan adanya pemikiran mengenai kesetaraan gender, yang dimunculkan oleh orang-orang yang merasa perlu adanya pembelaan terhadap kaum yang lemah. Beberapa tokoh feminis menyampaikan ide-idenya dengan pendekatan Alquran, seperti Amina wadud, Asghar Ali Enginer, Rif’at Hasan, dan Nasaruddin Umar.

Penulis dalam makalah ini hanya akan memfokuskan kepada salah satu tokoh saja, yakni Asghar Ali Engineer, yang mempunyai pemikiran fenomenal yakni, “teologi pembebasan”. Berangkat dari ide teologi pembebasannya itu dia melahirkan salah satu gagasan feminisnya yakni “pembebasan perempuan”. Makalah ini berisi tentang ide-ide pembebasan perempuan yang diusulkan oleh Engineer. Namun, sebelum masuk pada inti pembahasan penulis terlebih dahulu mencantumkan sedikit pengenalan tentang Asghar Ali Engineer, kemudian epistemologi pemikiran yang digunakan Engineer untuk menerapkan hermeneutika feminisnya, baru kemudian masuk pada pembahasan mengenai ide pembebasan perempuan.

  1. Selayang Pandang tentang Engineer

Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam lingkungan keluarga ulama ortodoks Bohro pada tanggal 10 Maret 1939 di Sulumber, Rajastan (dekat Udaipur) India. Ayah Asghar Ali Engineer bernama Syeikh Qurban Husein. Beliau adalah seorang penganut kuat paham Syiah Ismailiyah dan berpikiran cukup terbuka untuk berdialog dengan penganut agama lain. Beliau adalah seorang sarjana Islam terpelajar yang turut membantu pendirian pimpinan ulama Bohro. Asghar Ali Engineer dilahirkan dalam kondisi dimana kehidupan warga Bohro sangat memprihatinkan. Yang mana pada saat itu berlakunya sistem menindas, sistem itu tidak lain hanyalah suatu mesin-mesin besar untuk mengumpulkan sejumlah uang dari pengikutnya yang diawasi oleh sebuah kelurga ulama dari kalangan dai. Warga Bohro rata-rata hidup dalam ketakutan. Setiap upaya ketidakpatuhan akan dapat menghancurkan hidup mereka.

Dengan tekun ia mempelajari literatur-literatur keagamaan dari berbagai sumber yang ditulis oleh kalangan Islam maupun Barat, baik dari kalangn tradisional maupun modern. Di samping itu, Asghar Ali Engineer juga mempelajari Alquran dan hadis, juga fiqh. Dari keterpaduan upayanya dalam mempelajari agama ditambah dengan pengalaman hidupnya yang berhadapan dengan serangkaian eksploitasi, membuatanya menjadi seorang pemikir sekaligus aktivis yang berpandangan liberal, revolusioner, dan demokratis.

 Keberhasilannya menjadi seorang pemikir Islam memang tidak berangkat dari pendidikan formalnya. Latar belakang keluarga yang merupakan penganut taat aliran Syi’ah Ismailiyyah membentuknya menjadi seorang yang sangat konsen pada ajaran agama. Ayahnya yang merupkan seorang ulama Syi’ah, mengajarkan kepadanya Bahasa Arab dan berbagai khazanah pemikiran Islam, klasik maupun modern. Engineer adalah seorang da’i, yang mana dalam tradisi Syi’ah Ismailiyyah haruslah tampil sebagai pembela umat yang tertindas dan berjuang melawan kezaliman.[1]

Ayahnya mengirimnya ke sekolah umum dan menyarankan untuk belajar teknik atau kedokteran. Namun Asghar Ali Engineer tertarik memilih belajar teknik sipil di Fakultas Teknik di Vikram University, Ujjain, India, dan lulus dengan mendapat gelar doctor. Tidak berhenti sampai disitu, perjalanan intelektual Engineer belum berakhir. Akan tetapi dia aktif menulis diberbagai media masa. Beberapa karya Asghar Ali Engineer tersebut antara lain:

  1. Islam and Revolution (New Delhi: Ajanta Publication, 1984)
  2. Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990)
  3. The Right of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992)
  4. Islam and Pluralism (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999)
  5. Islam the Ultimate Vision (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999)
  6. The qur’qn, women and modern society (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1999).[2]
  1. Epistemologi Pemikiran Ali Engineer

Asghar Ali Engineer dalam pemikirannya lahir dari epistemologi burhani, yang model pemikirannya bersumber dan berdasarkan pada realitas.[3] Menurut Engineer, setiap mufasir memiliki semesta intelektualnya sendiri, yang itu tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ia memandang realitas.[4] Oleh karena itu, interpretasi setiap mufasir itu harus dilihat dalam prespektif sosiologis mereka. Atas dasar asumsi seperti itulah maka, bagi Engineer, penafsiran ayat-ayat Alquran harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks pengalaman dan kesadaran sosiologis yang ada.[5] Dalam kajian penafsirannya terhadap Alquran, Engineer sering menggunakan aspek sejarah sosial dimana ayat itu turun yang kemudian dikontekskan ke dalam konteks problem kekinian.[6] Kaitannya dengan wacana gender dalam Alquran, Engineer mengaplikasikan tawaran hermeneutikanya dalam memahami Alquran dengan memanfaatkan beberapa pendekatan: historis, sosiologis-antropologis dan filosofis.[7]

Sejarah bukanlah mitos atau sesuatu yang bersifat semena-mena yang sama sekali tidak ada hubungan sebab-akibat sosial. Bagi Engineer Alquran samasekali tidak mengabaikan determinasi sejarah. Tetapi sebaliknya sangat serius memperhatikan peristiwa sejarah serta pengaruh-pengaruhnya yang menentukan. Karena pendekatannya yang historis inilah ia sangat memperhatikan aspek ruang dan waktu. Pendekatan sosisologis-antropologis dalam memahami Alquran menjadi sangat penting karena Alquran muncul pada situasi dan kondisi sosial tertentu. Menurut Engineer, terjadinya ketimpangan dalam berbagai penafsiran Alquran adalah karena para mufasir mengabaikan konteks sosio-antropologis yang meliputi pewahyuan Alquran. Maka menjadi naif kalau ayat-ayat yang merespon problem dalam situasi dan kondisi sosiologis tersebut digeneralisasi. Pendekatan filosofis digunakan Engineer terutama dalam memperkokoh  kerangka teologi pembebasannya.[8]

Sebagaimana yang dikutip Ahmad Baidowi, dalam konteks pemikiran keislamannya, Engineer lebih memfokuskan diri pada persoalan-persoalan teologi pembebasan yang memberikan kerangka teoritik dalam menyebarkan pemikiran keagamaan kepada umat Islam. Untuk itu Engineer menawarkan pemikiran, filsafat serta hermeneutika guna memahami ayat-ayat Alquran. Teologi pembebasan, merupakan isu sentral Engineer dalam tulisan-tulisannya. Ia berupaya mencairkan kebekuan teologi konvensinal yang hanya menyinggung persoalan metafisika dan ritualisme seraya mengabaikan berbagai problem kontemporer. Asghar Ali Engineer mengedepankan fokus gagasannya pada persoalan egalitarianisme, yang terkait dengan konsep-konsep keadilan sosial, politik, ekonomi, keluarga dan jenis kelamin.[9]

 

  1. Pembebasan Perempuan

Sejarah awal Islam mengatakan bahwa Islam datang justru mengangkat kemuliaan perempuan yang pada masa pra-Islam sangat termarginalkan. Namun, pada kenyataannya Islam menjadi salah satu agama yang menjadi sorotan dalam kaitannya dengan keadaan atau status perempuan dalam strata sosial dan aturan yang diberikan agama terhadap perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negara-negara Islam terlihat jelas dalam praktek keseharian, di mana kaum perempuan mendapat kesulitan dalam bergaul, mengekspresikan kebebasan individunya, terbatas oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja dan gerak dinamisnya, bahkan suara kesaksiannya pun tidak berarti. Fenomena ini telah disorot tajam oleh Asghar Ali Engineer, dengan melontarkan berbagai ide tentang pembebasan perempuan.

Di antara ide pembebasan perempuan yang diajukan Engineer adalah mengenai asal-usul manusia. Masalah yang dihadapi perempuan dalam Islam mengenai asal-usul penciptaan manusia yang mana selama ini konsep yang dibangun adalah perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Kemudian yang terjadi dengan adanya konsep itu berarti antara perempuan dan laki-laki mempunyai asal-usul penciptaan yang berbeda. Kemudian muncul konsekuensi pemahaman yang melahirkan konsep patriarki. Konsep itu lahir bukan tidak berdasarkakn apa-apa, melainkan konsep itu lahir atas dasar QS. an-Nisa’ ayat 1. Yang mana dalam ayat tersebut  kata yang ditunjukkan untuk asal-usul penciptaan makhluk hidup adalah nafs. Secara umum penafsiran terhadap  kata nafs itu ada dua yakni, pertama bermakna jenis atau sumber yang sama, kedua bermakna diri Adam.[10]

Sedangkan Engineer kata nafs ditafsirkan dengan “jiwa” makhluk hidup, pemaknaan ini lebih bersifat netral daripada pemaknaan yang disampaikan umumnya mufasir. Artinya Allah telah menciptakan manusia terdiri dari dua jenis kelamin, yang bersumber dari jiwa yang sama. Kemudian ungkapan yang menyatakan bahwa “Allah telah menciptakan pasangannya dari jenisnya sendiri” menurut Engineer mengandung makna “Allah telah menciptakan pasangan bagi laki-laki (Adam) yaitu perempuan (Hawa) dari jenis yang sama”.[11] Berarti dengan pemaknaan yang seperti itu tidak ada perbedaan sama sekali asal-usul penciptaan antara laki-laki dan perempuan.

 Melihat dari penafsiran Engineer mengenai ayat tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Engineer sangat tidak setuju dengan penafsiran klasik yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Karena dari penafsiran yang seperti itu menjadi salah satu faktor munculnya anggapan bahwa perempuan itu lebih rendah daripada laki-laki. Dalam masalah ini Engineer tidak terlalu menjelaskan secara rinci, karena dia tidak terlalu konsentrasi pada masalah ini.

Selain masalah tentang asal-usul penciptaan manusia, masalah yang dihadapi perempuan dalam Islam yang diungkapkan Engineer adalah bahwa secara historis telah terjadi dominasi peran laki-laki yang menyebabkan doktrin ketidakadilan antara laki-laki dan perempuan. Yang mana doktrin itu telah dibenarkan Alquran dengan penafsiran-penafsiran oleh laki-laki yang bertujuan untuk mengekalkan dominasi mereka.[12] Engineer mengatakan bahwa pada kenyataannya memang sangat sedikit penafsir-penafsir yang mengetahui hak-hak wanita yang sebenarnya dalam Islam. Engineer juga menegaskan bahwa hak-hak wanita yang telah digariskan di dalam syari’at tidak hanya didasarkan pada teks Alquran namun juga pada Hadis Nabi dan pendapat para fuqaha’, yang secara jelas bahwa syari’at itu jga bercampur dengan orang yang tidak lepas dari konteks zaman ketika dia hidup.[13]

Masalah lain yang dihadapi perempuan adalah masalah poligami. Poligami merupakan isu keadilan gender yang sering diperbincangkan. Karena poligami berkaitan dengan hubungan perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga yang mana itu juga berhubungan dengan konteks keadilan bagi perempuan. Salah satu yang mendorong adanya poligami adalah penafsiran sepihak para mufasir yang itu seakan-akan menguntungkan pihaknya, dengan melupakan keadilan bagi pihak lain. Karena kebanyakan mufasir klasik adalah laki-laki.

Berbicara mengenai poligami dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari konteks situasi yang berkembang di dunia Arab waktu itu. Kondisi real yang berlangsung ketika itu adalah posisi kaum laki-laki yang lebih tinggi di atas perempuan. Hal ini ditandai dengan ketergantungan yang luar biasa dari kaum perempuan terhadap kaum laki-laki. Sehingga ada kenyataan yang harus diterima oleh perempuan bahwa dia sangat bergantung pada laki-laki.[14]

Poligami dipraktikkan secara luas oleh masyarakat pra-Islam, luas di sini dalam artian tidak ada batasan jumlah istri untuk seorang laki-laki. Selain itu juga tidak ada sama sekali gagasan tentang keadilan terhadap istri-istri tersebut. Para suamilah yang memutuskan siapa yang paling ia sukai di antara istri-istri tersebut. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada jalan lain untuk proses keadilan. Ayat yang menjadi dasar dalam persoalan poligami ini adalah QS. an-Nisa ayat 3. Menurut Engineer ayat ini diturunkan bukan untuk menyetujui adanya poligami, namun ayat ini turun sebagai batasan. Namun bukan berarti Alquran menerima poligami, tapi karena pelarangan secara utuh tidak memungkinkan untuk diterima dalam situasi yang ada pada waktu itu, maka Alquran membolehkan menikah lagi hingga empat. Hal itu dengan ketentuan memperlakukan istri mereka dengan adil, jika tidak dapat memenuhi syarat tersebut maka satu saja. Dengan demikian maksud yang dituju oleh Islam sesungguhnya adalah monogami.[15]

Untuk menafsirkan ayat tersebut Engineer memang tidak menggunakan pendekatan linguistik, sehingga dia tidak secara rinci, malah tidak sama sekali menafsirkan secara bahasa, menganalisis perkata. Mengenai tafsiran ayat secara kebahasaan dia lebih sering mengutip pendapat para ulama penafsir klasik seperti ar-Razi dan at-Tabari. Mengenai ayat tersebut Engineer mengutip pendapat at-Tabari dan ar-Razi bahwa maksud utama ayat tersebut adalah untuk berbuat keadilan, baik kepada anak yatim maupun kepada para istri. Yang pada intinya Alquran ingin sekali melindungi kepentingan kaum perempuan dan memberikan keadilan kepada mereka.[16]

  Dalam penafsiran al-Razi, dijelaskan bahwa berkaitan dengan ungkapan wa inkhiftum anla tuqsithu fi al-yatama pada awal ayat merupakan ungkapan yang berfungsi sebagai persyaratan. Kemudian jawab syaratnya adalah ungkapan fa ankihu ma thaba lakum.[17] Kemudian al-Razi juga menyampaikan konteks pada waktu ayat itu turun, dia mengutip sebuah periwayatan dari Ikrimah yang mengatakan bahwa ada laki-laki yang sudah beristri kemudian menjadi wali anak yatim. Setelah hartanya habis untuk menafkahi semua istrinya, dia mengambil harta anak yatim untuk kebutuhan istri-istrinya. Karena itulah Allah berfirman dalam ayat tersebut bahwa “jika kamu takut tidak bisa berlaku adil terhadap harta anak yatim” karena punya istri banyak, maka janganlah kamu menikah dengan empat orang istri. Hal itu (menggunakan harta anak yatim untuk menafkahi istri-istrinya) merupak suatu hal yang sangat biasa dilakukan oleh orang Arab Quraisy.[18]

Kesimpulan

Alquran bersifat normatif dan sosiologis. Ajaran-ajarannya memiliki relevansi dengan zaman sekarang. Ajaran-ajaran yang demikian seharusnya tidak diperlakukan sebagai nilai yang normatif. Ajaran ini harus dilihat dalam konteks di mana ajaran tersebut harus diterapkan. Asghar Ali Engineer merupakan salah satu mufasir yang meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada kata final dalam menafsirkan Alquran, karena perbedaan konteks mengharuskan adanya penafsiran yang sesuai dengan konteks itu. Sehingga konteks merupakan salah satu sumber penting dalam menafsirkan Alquran.

Kaitannya dengan hermeneutika feminisnya, Engineer sangat menolak adanya konsep patriarkhi yang sangat melekat pada mufasir klasik dan mengklasifikasikan ayat Alquran menjadi dua (normatif dan sosiologis). Kemudian pengaplikasian hermeneutika feminisnya dapat dilihat dalam penafsiran ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan gender, yang mana pada makalah ini penulis hanya mencantumkan dua kasus saja yakni, asal-usul penciptaan manusia dan poligami. Dalam masalah asal-usul penciptaan manusia Engineer berpendapat bahwa sebenarnya tidak ada satupun ayat yang menyatakan secara jelas bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, menurutnya antara laki-laki dan perempuan itu ya asal-usul penciptaannya sama. Sedangkan dalam masalah poligami, Engineer mengetakan bahwa pada dasarnya Islam tidak menginginkan adanya poligami, kebolehan poligami bersifat kontekstual dan tidak berlaku secara universal. [Afrakhul Banat]

DAFTAR PUSTAKA

Baidowi, Ahmad, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer, Bandung: Nuansa, 2005.   

Engineer, Asghar Ali, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cicik Farcha Assegaf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

_________________, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba, 2014.

Thohiri, M. Kholid, “Keadilan Gender (Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Nasaruddin Umar)”, Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2009.

[1] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer, (Bandung: Nuansa, 2005), hal. 136-137.   

[2] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), hal. 73-75.

[3] M. Kholid Thohiri, “Keadilan Jender (Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Nasaruddin Umar)”, Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin UIN SUKA. 2009), hal. 67.

[4] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cicik Farcha Assegaf, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hal. 15.

[5]Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam…, hal. 6.

[6] M. Kholid Thohiri, Keadilan Jender (Studi Komparasi Pemikiran Asghar Ali Engineer dan Nasaruddin Umar), Skripsi Fak. Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta…, hal. 70.

[7] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer…, hal. 145.

[8] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer…, hal. 145-147.

[9] Ahmad Baidowi, Tafsir Feminis: Kajian Perempuan dalam Al-Qur’an dan Para Mufasir Kontemporer…, hal. 139.

[10]Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…,  hal. 182.

[11]Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 182.

[12] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur‟an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 4.

[13] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 236.

[14] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 224.

[15] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan…,  hal. 111 – 113.

[16]Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan…,  hal. 113.

[17] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 225.

[18] Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer…, hal. 227.

Hadis Misoginis

Pendahuluan

            Dengan adanya semangat rahmatan li al-‘alamiin, Islam menjadi agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai pemersatu manusia. Hal ini bukan hanya menjadi semangat namun juga terbukti dengan adanya dalil-dalil naqli–baik Alquran maupun hadis– yang menjadi sumber-sumber hukum. Namun, adanya perkembangan zaman menuntut hukum ikut berkembang. Sumber-sumber hukum Islam yang datang lebih dari 1400 tahun tetap dapat terimplikasi melalui interpretasi terhadapnya, membawa manusia yang hidup pada zaman yang telah dilaluinya tetap dalam ranah teks meskipun berbeda pada cara pengkontekstualisannya.

Dewasa ini pentingnya hak asasi manusia menjadi sesuatu yang sangat disadari oleh manusia. Dengan adanya hak asasi manusia, manusia semakin menyadari batas masing-masing individu maupun kelompok, sehingga semakin tercipta toleransi antara sesama manusia. Dengan kesadaran tersebut penulis berasumsi bahwa toleransi bukan hanya soal kesataraan, tetapi lebih pada kesadaran untuk menghormati fakta bahwa Tuhan tidak menciptakan realitas dengan ‘adil’, bukan dengan ‘kesataraan’.

Pengertian Misogini

            Misoginis berarti hater of women, kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan. Misogini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan. Kebencian terhadap wanita dapat ditemukan dalam banyak mitologi dari dunia kuno serta berbagai agama.[1]

            Dalam sejarah umat manusia, budaya yang ada telah menempatkan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi terhadap perempuan. Perempuan biasa dianggap makhluk nomor dua baik secara eksistensi maupun kualitas. Di antara sebab dari problem ini menurut para pembela perempuan, apabila dirunut dalam kehidupan beragama juga disebabkan oleh adanya hadis-hadis yang muatannya‚ mendiskreditkan perempuan atau apa yang disebut Fatima Mernissi sebagai ‘hadis misoginis’. Maka tidak mengherankan apabila budaya patriarkhi yang ada semakin terkuatkan oleh teks-teks tersebut.[2]

Beberapa Hadis Misoginis

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ أَخْبَرَنِي زَيْدٌ هُوَ ابْنُ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى ثُمَّ انْصَرَفَ فَوَعَظَ النَّاسَ وَأَمَرَهُمْ بِالصَّدَقَةِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ تَصَدَّقُوا فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمَّا صَارَ إِلَى مَنْزِلِهِ جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِم

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ja’far berkata, telah mengabarkan kepada saya Zaid dia adalah putra Aslam dari ‘Iyadh bin ‘Abdullah dari Abu Sa’id Al Khurdri radliallahu ‘anhu; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam keluar menuju lapangan tempat shalat untuk melaksanakan shalat ‘Iedul Adhha atau ‘Iedul Fithri. Setelah selesai Beliau memberi nasehat kepada manusia dan memerintahkan mereka untuk menunaikan zakat seraya bersabda: “Wahai manusia, bershadaqahlah (berzakatlah) “. Kemudian Beliau mendatangi jama’ah wanita lalu bersabda: “Wahai kaum wanita, bershadaqahlah. Sungguh aku melihat kalian adalah yang paling banyak akan menjadi penghuni neraka”. Mereka bertanya: “Mengapa begitu, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita”. Kemudian Beliau mengakhiri khuthbahnya lalu pergi. Sesampainya Beliau di tempat tinggalnya, datanglah Zainab, isteri Ibu Mas’ud meminta izin kepada Beliau, lalu dikatakan kepada Beliau; “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, ini adalah Zainab”. Beliau bertanya: “Zainab siapa?”. Dikatakan: “Zainab isteri dari Ibnu Mas’ud”. Beliau berkata,: “Oh ya, persilakanlah dia”. Maka dia diizinkan kemudian berkata,: “Wahai Nabi Allah, sungguh anda hari ini sudah memerintahkan shadaqah (zakat) sedangkan aku memiliki emas yang aku berkendak menzakatkannya namun Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa dia dan anaknya lebih berhak terhadap apa yang akan aku sedekahkan ini dibandingkan mereka (mustahiq). Maka Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda: “Ibnu Mas’ud benar, suamimu dan anak-anakmu lebih barhak kamu berikan shadaqah dari pada mereka.

 

Jalur Sanad

•  Sa’id bin Abi Maryam Al Hakam bin Muhammad bin Salim •  Nama Lengkap : Sa’id bin Abi Maryam Al Hakam bin Muhammad bin Salim

•  Kalangan : Tabi’ul Atba’ kalangan tua

•  Negeri semasa hidup : Maru

•  Wafat : 224 H

•  Iyadl bin ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah

 

•  Nama Lengkap : Iyadl bin ‘Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah

•  Kalangan : Tabi’in kalangan pertengahan

•  Negeri semasa hidup : Maru

•  Zaid bin Aslam

 

•  Nama Lengkap : Zaid bin Aslam

•  Kalangan : Tabi’in kalangan pertengahan

•  Negeri semasa hidup : Madinah

•  Wafat : 136 H

•  Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsir •  Nama Lengkap : Muhammad bin Ja’far bin Abi Katsir

•  Kalangan : Tabi’ut Tabi’in kalangan tua

•  Negeri semasa hidup : Madinah

•  Sa’id bin Abi Maryam Al Hakam bin Muhammad bin Salim

 

•  Nama Lengkap : Sa’id bin Abi Maryam Al Hakam bin Muhammad bin Salim

•  Kalangan : Tabi’ul Atba’ kalangan tua

•  Kuniyah : Abu Muhammad

•  Negeri semasa hidup : Maru

•  Wafat : 224 H

Hadis Penguat (Syawahid)

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَنْبَأَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ الْهَادِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِي لُبٍّ مِنْكُنَّ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ أَمَّا نُقْصَانِ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا مِنْ نُقْصَانِ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِيَ مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا مِنْ نُقْصَانِ الدِّينِ

 

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rumh telah memberitakan kepada kami Al Laits bin Sa’d dari Ibnu Al Had dari Abdullah bin Dinar dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Wahai para wanita, perbanyaklah sedekah dan istighfar, sungguh saya melihat kebanyakan kalian adalah penghuni neraka.” Lalu seorang wanita berbadan gemuk dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kami yang paling banyak masuk ke dalam neraka?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkhianati perlakuan suami, saya tidak pernah melihat makhluk berakal yang akal dan agamanya kurang selain kalian.” Wanita tersebut kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang di maksud dengan kekurangan akal dan agama?” beliau menjawab: “Adapun akalnya kurang disebabkan karena kesaksian dua orang wanita sama dengan kesaksian seorang laki-laki, ini termasuk dari kekurangan akal. Kalian berdiam beberapa hari tidak shalat dan berbuka di bulan Ramadan adalah bukti kurangnya agama kalian.

 

Kontekstualisasi Hadis

            Dalam menyikapi hadis di era saat ini perlu diadakannya beberapa penyelidikan yang terkait dengan empat hal yang meliputi; pertama, penyelidikan terhadap substansi (matan) hadis. Kedua, berkaitan dengan periwayatan. Ketiga, penyelidikan terhadap kondisi historis. Dan keempat, penyelidikan terhadap konsekuensi moral dan sosialnya.[3] Menurut penulis, hal-hal yang berkaitan dengan misoginis (baik Alquran maupun hadis), bukan terletak pada persoalan utama pembahasannya (teks hadis), tetapi lebih kepada pemahaman terhadap teks tersebut.

            Seperti dalam kasus hadis Bukhari no.1369 yang sebenarnya mengungkapkan pentingnya bershadaqah dan melakukan kebaikan, juga pentingnya taat kepada suami. Namun sehubungan dengan teks yang menyatakan bahwa mayoritas penghuni neraka adalah wanita, hadis ini pun disalahartikan dengan mencoba memutarbalikkan pemahamannya oleh beberapa kalangan.

Selain dalam teks hadis Bukhori no.1369, teks yang menyatakan bahwa mayoritas penduduk neraka adalah perempuan, ternyata memiliki banyak redaksi yang yang berbeda-beda. Dalam salah satu riwayat mengatakan sholat yang telah usai dikerjakan Nabi saat itu adalah shalat gerhana matahari,[4] pendapat lain mengatakan shalat shubuh di hari Jum’at.[5] Dalam satu riwayat hadis Nabi yang lain, kembali dijelaskan tentang penyebab kekurangan akal dan agama seorang wanita, namun dalam riwayat lain, Nabi tidak ditanya dan tidak pula memberi keterangan terkait hadis ini. Di sini, penulis berasumsi bahwa riwayat yang menyatakan bahwa kurangnya akal dan agama wanita adalah karena haid perlu kembali diteliti secara cermat. Keraguan penulis akan hal-hal yang tidak sesuai dengan pribadi Nabi yang digambarkan sebagai sosok sempurna, juga banyaknya riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa Nabi sangat menghormati wanita akan membawa kontradiksi berkepanjangan.

Kesimpulan

            Ajaran agama yang telah dianut oleh pemeluknya secara tidak lagsung juga merupakan batas-batas yang kadang tidak bisa “diterima” oleh manusia. Hal ini yang kemudian mendasari adanya beberapa gesekan-gesekan antara hak asasi manusia (HAM) dan agama, termasuk juga hadis misoginis. Hak asasi manusia yang seharusnya menjadi landasan-landasan adanya hukum –termasuk hukum Islam– kemudian diputarbalikkan dan justru “diadu”. Perdebatan panjang yang “belum” selesai itupun berimbas pada kemaslahatan umat yang “dialihkan” pada persoalan pemahaman tersebut. [Nur Muhammad Abdullah]

Daftar Pustaka

Amaliya, Nila Khoiru, Kritik Hadis Misoginis Perspektif Khaled M. Abou el-Fadl, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis

Syarah Bukhari li Ibn Bathal juz 3 bab al-Shadaqah fi al-Kusuuf

Syarah Bukhari li Ibn Bathal juz 3, bab fii Qaul Allah

Sumber Internet:

http: // wikipedia.org/ wiki/ Hadis_Misoginis.

[1] http: // wikipedia.org/ wiki/ Hadis_Misoginis, diakses pada 30 Oktober 2016, pada pukul 20.30

[2] Nila Khoiru Amaliya, “Kritik Hadis Misoginis Perspektif Khaled M. Abou  el-Fadl”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis

[3] Ibid

[4] Lihat Syarah Bukhari li Ibn Bathal juz 3 bab al-Shadaqah fi al-Kusuuf

[5] Ibid, bab fii Qaul Allah

Kajian Ekologi Islam: Pembacaan Atas Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an karya Mujiyono Abdillah

Pendahuluan

            Pandangan-pandangan seputar ekologi[1] dan agama tidak terlihat saat agama Islam pertama kali muncul di tanah saudi Arabia. Masalah mengenai ekologi barulah muncul pada akhir-akhir ini saat banyak bencana yang timbul dikarenakan ulah tangan manusia, seperti global warming, tanah longsor, banjir, dan lain sebagainya. Agama sebagai dasar pandangan hidup manusia dianggap ikut berperan dalam kerusakan yang dilakukan manusia,[2] tak terkecuali agama Islam. Ada sebuah ungkapan yang tegas disampaikan oleh Mary Evelyn Tucker & John A. Grim, “tidak ada satu tradisi religius atau perspektif filosofis pun yang mempunyai solusi ideal (terbaik) bagi krisis lingkungan”.[3] Sedangkan sikap tandingan atas kebrutalan manusia terhadap lingkungan disampaikan oleh Naess, seorang tokoh penganjur ekosentrisme yang mengungkapkan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa di atasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan secara sains dan teknologi ternyata kurang tepat untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dibutuhkan sebuah pemahaman baru tentang alam semesta yang bisa menjadi landasan perilaku manusia.[4]

            Mujiyono Abdillah dalam bukunya Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an mencoba ikut andil dalam mendamaikan antara agaama Islam, lingkungan, dan manusia. Dengan menggunakan metode tematik dan bercorakkan tafsir ‘ilmy, Mujiyono berusaha menyampaikan tentang konsep ekologi yang dibangun oleh Alquran dengan cara merekonstruksi pemaknaan ayat dan memunculkan istilah-istilah ekologi. Tak kalah penting dari konten buku ini, yakni tujuan penulisan adalah timbulnya kesadaran manusia mengenai pentingya lingkungan hidup yang kita tempati dan mencegah pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan manusia. Beberapa rumusan masalah yang ingin disampaikan oleh pemakalah adalah seperti apa konsep antara Islam dan lingkungan? Bagaimana konsep yang dibentuk Alquran dalam perspektif Mujiyono Abdillah? Dan bagaimana seharusnya konsep antara Tuhan, manusia, dan lingkungan?

 

Sekilas Tentang Penulis

            Mujiyono Abdillah, lahir di Temanggung, 15 Februari 1959, adalah ketua jurusan Siyasah Jinayat fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang. Setelah tamat dari Madrasah Ibtidaiyyah (1970), suami Djazimah Ahmad ini melanjutkan ke PGAN 6 tahun 1976, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1983, S2 PPS IAIN ar-Raniri Banda Aceh 1993, dan kemudian menempuh jenjang S3 di PPS IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2000. Karirnya dimulai sebagai dosen bahasa Arab pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo (1986 – 1993), dosen Metodologi Studi Islam (Dirasah Islamiyyah) 1993 sampai buku ini diterbitkan, dan Kaur TU BPM IAIN Walisongo (1988 – 1990).

            Persoalan limgkungan yang kemudian diangkat menjadi tema disertasinya, sebenarnya sudah lama menjadi “kegemarannya”. Ia pernah menjadi direktur Pusat Studi Islam dan Lingkungan (PSIL) IAIN Walisongo 1995 – 1999. “Kalau setiap IAIN harus punya ciri khas, maka saya ingin menjadikan studi lingkungan dalam perspektif Islam sebagai ciri khas IAIN Semarang”, ujarnya suatu ketika di kantor yayasan Paramadina, Jakarta. Sebagai akademisi, Mujiyono telah menulis ratusan makalah untuk seminar, sebagian di antaranya tentu mengenai persoalan Islam dan lingkungan hidup yang menjadi hobinya. Di antara karyanya seputar lingkungan adalah “Fikih Pemanasan Global” (makalah seminar, 2000), “Pengaruh Lingkungan Terhadap Konseptualisasi Ajaran Agama” (makalah seminar, 2000), “Konseptualisasi Fikih Lingkungan” (Entri Buku, 1995), dan “Antisipasi Banjir: Perspektif Spiritual Religius Islam” (makalah seminar, 1996).

            Masih terkait dengan isu lingkungan hidup, ayah dari empat anak masing-masing Alifa Noora Rahma Bentayona, Zuha Muharrik al-Ahdafi Benyona, Zia Amala Wafi Benyona, dan Asyfa Widaya Benyona, ini juga adalah juru bicara KAWULA (Kerukunan Warga Terkena Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen). Aktifitas lain Mujiyono juga menjadi koordinator SC Komite Penyelamat Petani Tembakau dan Anggota BP Forum Kota Semarang. Selain buku Agama Ramah Lingkungan ini, ia juga tengah menulis buku mengenai fikih lingkungan.

Keterkaitan Islam dan Lingkungan

            Dalam kajian-kajian mengenai hubungan ekologi dan agama, sejauh pembacaan penulis hampir mayoritas mendasari kajiannya dengan memaknai kekhalifahan manusia di bumi yang tertuang dalam teks suci surat al-Baqarah ayat 30. Beberapa menuliskan bahwa tugas manusia sebagai adalah memakmurkan bumi dengan melakukan:, pertama, al-intifa’ yakni mengambil manfaat dan menggunakan sebaik-baiknya. Kedua, al-i’tibar yaitu mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri, seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah. Ketiga, al-ishlah ialah memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan kemaslahatan dan kemakmuran manusia, dan tetap terjaganya harmoni kehidupan alam.[5] Buku lainnya mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip etis yang dipresentasikan pleh Faraz Khan, seorang ahli mengenai Islam dan lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut adalah, pertama memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan dimana saja. Ketiga, menjadi penjaga (khalifah) di bumi. Keempat, menjaga kepercayaan Tuhan (amanah). Kelima, berjuang menegakkan keadilan (‘adl). Terakhir kelima, menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam (mizan).[6]

            Hal sejalan juga diungkapkan oleh Mujiyono Abdillah dalam bukunya Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Kesamaannya adalah masih dalam taraf pembahasan seputar manusia beragama (baca: Islam) yang menguasai lingkungan. Agama Islam ditempatkan sebagai suprastruktur ideologis masyarakat muslim yang diyakini memiliki konsep mengenai lingkungan, walaupun secara nyatanya masih sangat sedikit masyarakat muslim yang mampu melakukannya. Keunikan teori yang berusaha diungkapakan oleh Mujiyono adalah dirinya mengungkapkan belum adanya konsep Islam yang jelas mengenai lingkungan. Mujiyono berusaha menggunakan pendekatan entropy law, yakni hukum yang menyatakan bahwa untuk mengantisipasi masalah lingkungan, pengelolaan lingkungan harus mengaitkan antara pendekatan fisik dengan spiritual religius sekaligus. Kekuatan spiritual religius sangat berpeluang dijadikan lokomotif dalam perspektif alam-lingkungan.[7]

Pendekatan Teks Suci dalam Masalah Ekologi

            Dalam bukunya, Mujiono Abdillah menggunakan model tematik, yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat yang membahas mengenai lingkungan. Corak penafsiran yang digunakan adalah Tafsir ‘Ilmy.[8] Di bawah ini akan penulis cantumkan beberapa penafsiran Mujiyono Abdillah dalam kaitannya dengan istilah-istilah ekologi.

Pemaknaan Lafadz as-Sama’ (السماء)

            Ungkapan yang digunakan oleh Alquran untuk memperkenalkan jagad raya adalah kata as-sama’ dan derivasi bentuk jamaknya yakni as-samawat. Secara etimologis term as-sama’ dan derivasinya berakar pada kata samaa, yasmuu, sumuwwan, wa samaa’an yang berarti meninggi, menyumblim, dan sesuatu yang tinggi. Sedangkan secara terminologi, kata as-sama’ dan derivasinya berarti langit, jagad raya, ruang angkasa, dan ruang waktu. Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 30:

…….الذي جعل لكم الأرض فراشا وبناء

Dialah, Tuhan yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan jagad raya sebagai ruangan bagimu.[9]

]Masih dalam satu buku dan ayat yang sama, namun berbeda subbab, Mujiyono memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap kata as-sama’, dengan memaknainya dengan ‘atmosfer’  menjadi yang menjadikan bumi sebagai lingkungan hidup bagi manusia dan atmosfer sebagai pelindung keseimbangan ekosistem. Hal ini terjadi karena pendekatan ayat tersebut mengunakan suduut pandang meteorologi (tafsir meteorologis). Setelah pemaknaan tersebut Mujiyono melanjutkannya dengan menjelaskan bagaimana atmosfer bekerja lapisan-lapisan pembentuknya sehingga terciptalah langit sebagai pelindung bumi.[10]

Pemaknaan Lafadz al-Ardlh (الأرض)

            Secara kuantitas kata ruang tempat atau bumi, al-ardl digunakan dalam Alquran sebanyak 463 kali. Sedangkan secara kualitas kata al-ardl memiliki dua makna, pertama bermakna lingkungan planet bumi yang sudah jadi dengan konotasi tanah sebagai ruang tempat organisme, wilayah tempat kehidupan manusia, dan fenomena geologis. Kedua, bermakna lingkungan planet bumi dalam proses menjadi, yakni proses penciptaan dan kejadian planet bumi. Namun untuk kajian ekologis maka makna yang digunakan adalah pemaknaan pertama. Contoh diambil dari surat 16 ayat 15:

وألقى فى الأرض رواسي أن تميد بكم…..

Tuhan menjadikan gunung sebagai penyangga keseimbangan ekosistem bumi dan manusia…

Dari situ dapat diambil pemahaman bahwa kata al-ardl digunakan dalam konotasi ekosistem. Sebenarnya masih banyak pemaknaan mengani lafadz al-ardl yang bermakna ekologi dalam buku Mujiono Abdillah, seperti maknanya sebagai habitat dan lingkungan hidup. Namun kesempitan penulis untuk tidak menuliskan semuanya dan cukup mengambil salah satu contoh saja. Dan dari sini pun dapat diambil kesimpulan bahwa lafadz al-ardl juga digunakan sebagai bukti perhatiannya terhadap konsep ekologi.[11]

Pendekatan Qur’ani Mengenai Bencana Alam

            Mujiyono juga membahas mengenai bencana ekologi kekinian. Dalam bukunya disampaikan dua hal, yakni banjir dan pemanasan global. Dalam pembahasan banjir konsentrasinya kepada teori neo-telogi banjir yang mengungkapkan bahwa pengkisahan banjir dalam Alquran bukan hanya karena adzab Tuhan kepada umatnya (konsep banjir tradisional), melainkan ada sangkut-pautnya dengan ulah tangan manusia. Sedangkan untuk pemanasan global Mujiyono menekankan pada tiga aspek, bumi sebagai tempat hidup ideal, langit sebagai pelindung kehidupan, dan pemanasan global sebagai kiamat antropogenik.[12] Masih sejalan dengan pemikiran Mujiyono, Tafsir Tematik keluaran Kemenag pun juga membahas mengenai bencana-bencana alam, dan tampaknya pun lebih banyak variasinya seperti gempa bumi, banjir, pemanasan global, angin puting beliung, dan lain sebagainya. Namun pembahasan dalam tafsir kemenag ini belum begitu mendalam dan hanya sepintas-sepintas.[13]

Hubungan Tuhan-Manusia-Lingkungan

            Secara keseluruhan, Mujiyono Abdillah dalam bukunya menggunakan konsep trilogi antara Tuhan, manusia, dan lingkungan. Dalam teori trilogi Tuhan diletakkan sebagai pencipta mutlak lingkungan dan manusia. Manusia memiliki strata berada di atas lingkungan yakni sebagai ‘khalifah’. Sedangkan lingkungan ditempatkan sebagai suatu yang harus diurus, yang diamanatkan kepada manusia, yang menjadi pengingat bagi manusia tentang keberadaan Tuhan.

Namun penulis kurang sependapat dengan konsep final yang dibangun oleh Mujiyono Abdillah. Penulis lebih setuju dengan teori ekosenstris yang berpendapat bahwa lingkungan dan manusia haruslah setara. Alasan penulis mengambil pendapat ini adalah pada masa sekarang keberadaan manusia itu sendiri merupakan sebuah masalah bagi keseimbangan ekologi dunia. Hal ini karena sifat konsumsi yang tinggi dalam memenuhi kebutuhannya.[1] Konsep lain yang ditawarkan oleh penulis adalah konsep dwilogi dimana yang ada hanya Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaannya yang di dalamnya termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Pemahaman ini sebenarnya sangatlah sederhana, karena yang dibutuhkan saat ini adalah penyadaran kepada manusia bahwa jika alam ini rusak maka manusia pun akan punah.

Kesimpulan

            Pembahasan mengenai ekologi muncul karena timbulnya permasalahn-permasalahan dengan alam yang diakibatkan oleh tangan-tangan manusia. Pembahasan ini memiliki banyak sekali sudut pandang, salah satunya adalah agama. Mujiono Abdllah berusaha membuat konsep islami mengenai ekologi dengan pendekatan Qurani, dengan cara memvariasikan antara pemaknaan ayat-ayat Alquran dengan  dunia ekologi modern. Keterkaitan antara ekologi, manusia, dan Tuhan sebenarnya memiliki beberapa bentuk. Konsep trilogi yang diajukan dirasa penulis kurang tepat untuk diterapkan karena posisi manusia yang masih berada di atas, sehingga konsep dwilogi yang menjadi saran jalan keluar yang diberikan penulis. Karena keseimbangan nyatanya belum dapat terjadi walaupun teori tentang pemanfaatan lingkungan yang baik telah banyak dielu-elukan.

(Muhammad Miftahuddin)

Daftar Pustaka

 Abdul Mustaqim dan Alim Roswantoro (editor), Antologi Isu-isu Global Dalam Kajian Agama dan Filsafat, Idea Press: Yogyakarta, 2010.

Audrey R. Chapman, dkk., Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, terj. Dian Basuki dan Gunawan Admiranto, Mizan: Bandung, 2007.

Ibrahim Abdul-Matin, Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam, terj. Aisyah, Zaman: Jakarta, 2012.

Kementrian Lingkungan Hidup & Majlis  Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam, Deputi Komunikasi Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah: ttp, 2011.

Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (editor), Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Menara Kudus Jogja: Yogyakarta, 2004.

Muchlis M. Hanafi (editor), Pelestarian Lingkungan Hidup: Tafsir Al-Qur’an Tematik, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama: Jakarta, 2012.

Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.

Sahiron Syamsuddin (editor), Jurnal Nun, Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara, AIAT: Yogyakarta, 2015.

 

[1] Untuk lebih jelasnya silahkan baca Audrey R. Chapman, dkk., Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, terj. Dian Basuki dan Gunawan Admiranto, Mizan: Bandung, 2007.

[1] Ekologi adalah cabang sains  yang mengkaji habitat dan interaksi di antara benda hidup dengan alam sekitar. Perkataan ini dicipta oleh pakar biologi Jerman dan pengikut Darwin pada tahun 1866 Ernst Haeckel dari perkataan Greek (oikos berarti rumah dan logos berarti rumah). Kini, istilah ekologi ini telah digunakan secara meluas dan merujuk kepada kajian saling hubungan antara organisme dengan sekitarnya, dan juga saling hubungan dalam organisme itu sendiri, atau lebih singkatnya disebut dengan hubungan timbal balik makhluk hidup dan rumahnya. Lihat Nizar Ali “Pencegahan Dampak Global Warming dan Ekologi dalam Perspektif Hadis Nabi”, dalam Abdul Mustaqim dan Alim Roswantoro (editor), Antologi Isu-isu Global Dalam Kajian Agama dan Filsafat, Idea Press: Yogyakarta, 2010, hal. 151.

[2] Pendapat ini diungkapkan oleh Lynn White Jr. yang mengungkapkan bahwa agama menciptakan konsep dualisme antara manusia dan alam. Alam diciptakan untuk manusia, dan tugas manusia adalah menggunakan alam ini. White juga memperjelasnya dengan mengungkapkan bahwa dualisme ini telah menjadi kehendak Allah. Lihat, Martin Harun “Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah…”, dalam Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, hal. xiv-xv.

[3] Mary Evelyn Tucker & John A. Grim “Pengantar” dalam Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (editor), Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 8.

[4] Kementrian Lingkungan Hidup & Majlis  Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam, Deputi Komunikasi Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah: ttp, 2011, hal. 3.

[5] Nizar Ali “Pencegahan Dampak Global Warming dan Ekologi dalam Perspektif Hadis Nabi”, dalam Abdul Mustaqim dan Alim Roswantoro (editor), Antologi Isu-isu Global Dalam Kajian Agama dan Filsafat, Idea Press: Yogyakarta, 2010, hal. 152.

[6] Ibrahim Abdul-Matin, Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam, terj. Aisyah, Zaman: Jakarta, 2012, hal. 25.

[7] Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an,  hal. 1-7.

[8] Tafsir ‘Ilmy ialah sebuah usaha memahami ayat-ayat Alquran dengan menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Lihat, Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Menara Kudus Jogja: Yogyakarta, 2004, hal. 127.

[9] Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, hal. 42-44.

[10] Ibid., hal. 92-94.

[11] Ibid., hal. 44-47.

[12] Ibid., hal. 77-98.

[13] Muchlis M. Hanafi (editor), Pelestarian Lingkungan Hidup: Tafsir Al-Qur’an Tematik, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama: Jakarta, 2012, hal. 239-244. Lihat juga Abdul Mustaqim, “Teologi Bencana Dalam Perspektif Alquran” dalam Sahiron Syamsuddin (editor), Jurnal Nun, Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara, AIAT: Yogyakarta, 2015, Volume 1 no 1, hal. 91-112.