Jadal dalam Al-Qur’an

Pengertian Etimologi
Kata Jadal berarti memintal anyaman dengan kuat. Di antara Derivasinya al-Ajdal (burung elang), al-Jadlatu (alat penumbuk lesung), al-Jadal (sengitnya pemusuhan).
Kata Jadal setara dengan kata argument (alasan atau perbedaan pendapat), debat, perselisihan dan lain sebagainya.

Dalam KBBI berarti, pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.

Pengertian Jadal Menurut al-Tufi
Kata Jadal berasal dari; al-Jadlu (kokoh, mematenkan), al-Jadalatu (bumi/tanah), al-Mijladu (istana), dll. Semuanya bermakna kuat (al-Quwwah), tercegah (imtina’), kokoh (al-Syad), mematenkan (al-ihkam). Mengibaratkan kedua belah pihak dalam perdebatan (Jadal) saling memperkokoh bangunan argumentasi masing-masing, dengan berusaha menjatuhkan lawannya serta mempertahankan argumentasi dirinya.
Jadal adalah ilmu atau alat yang digunakan untuk membungkam argumen lawan dengan menggunakan dalil dan argumen tertentu. al-Tufi hlm. 4.

⦁ Metode Jadal al-Qur’an Ada Dua Tipe:
1. Metode yang mengandalkan kekuatan retorika (keterampilan bahasa) dan logika.
2. Metode yang mengandalkan kelihaian meruntuhkan mental lawan. Hlm. 36. (55).
Pembagian ini bersifat aksentuatif, dalam arti masing-masing berpotensi untuk memiliki dua kekuatan ini, namun satu di antaranya adalah dominan.

Metode Pertama (Metode yang mengandalkan kekuatan retorika (keterampilan bahasa) dan logika.)
1. Al-Istidlal al-Hamli, yaitu penyusunan argumentasi dengan mengawinkan premis-premis tertentu. Metode ini sering dipakai oleh para filsof dan pakat teolog. Kemustahilan bertemunya dua hal pada ruang dan waktu yang sama misalnya.

Contoh ayat: Surat ke-6 ayat 76-80, Subjek: Ibrahim-Kaumnya, Topik: Tuhan Alam Semesta.

2. Al-Istidlal al-Istisna’iy, yaitu membangun sebuah argumentasi dengan membuat pengandaian mengenai sesuatu (objek yang dibahas). Maksud dari metode ini, yaitu mustadil menyandarkan keabsahan sebuah pernyatan (malzum) pada sesuatu yang inhern di dalamnya (lazim). Dalam artian bila lazim salah (tidak ada), maka demikian pula yang terjadi pada malzum. Bila metode ini dipakai untuk menghadapi orang yang menyembah matahari, maka akan ada untaian premis:

“Bila matahari adalah Tuhan (malzum), maka niscaya ia tidak akan lenyap di malam hari.”

Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk meniadakan meniadakan lazim dari suatu pernyataan. Dengan kata lain, mementahkan argumen lawan dengan menyebutkan kemustahilannya dikarenakan tidak tercukupinya syarat untuk menuju kepada maksud argumen tersebut.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 21-24, Subjek: Allah-Kaum Kafir, Topik: Ibadah kepada Allah.

3. Qiyas al-Dilalah, membangun argumentasi dengan menggunakan suatu ungkapan yang dapat menunjukkan (menjadi dilalah) kepada apa yang dimaksud.

Contoh metode ini, Ungkapan “cairan” ini tidak dapat digunakan untuk menghilangkan hadas yang dimaksudkan untuk menyebut bahwa benda tersebut tidak dapat menghilangkan najis.

Contoh ayat: Surat ke-14 ayat 9-14, Subjek: Para rasul-Kaumnya, Topik: Wujud Tuhan.

4. Al-Istifar, yaitu metode sanggahan dalam Jadal al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan meminta pihak lawan untuk menjelaskan kata-kata yang masih ambigu dari argumentasi yang telah ia sampaikan.

Contoh ayat: Surat ke-20 ayat 47-55, Subjek: Fir’aun, Musa dan Harun, Topik: Kenabian Musa dan Harun.

5. Fasad al-Wad’i wa al-I’tibar, adalah menyanggah dengan menunjukkan kesalahan mustadil dalam pengambilan landasan argumentasi.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 84-85, Subjek: Allah-Ahli Kitab, Topik: Larangan membunuh dan lain sebagainya.

6. Al-Man’, secara literal berarti menolak atau mencegah. Metode ini dipakai untuk menyatakan keberatan hati Mu’tarid menerima pernyataan Mustadil, baik disertai dengan pendapat Mu’tarid atau tidak. Dalam praktiknya, metode ini hampir sama dengan makna i’tirad, karena itu, dalam banyak kesempatan metode ini disertai dengan metode jadal lainnya.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 11-13, Subjek: Mukminun-Munafiqun, Topik: Ajakan untuk beriman.

7. Al-Taqsim, adalah metode untuk menanggapi pernyataan seseorang. Kerja metode ini dijalankan dengan menimbulkan keraguan di benal Mustadil, yaitu dengan menyebutkan rincian kemungkinan pemaknaan lain dari sebuah kata yang dinyatakan Mustadil.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 94, Subjek: Allah-Kaum Yahudi, Topik: Pengakuan Yahudi bahwa Mereka adalah Putera Tuhan.

8. Al-Qad, adalah metode menyanggah dengan jalan mencela pernyataan Mustadil, dengan alasan bahwa pernyataan itu dapat menimbulkan sebuah sesuatu yang justru jauh dari kemaslahatan (kebaikan).

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 30-33, Subjek: Allah-Malaikat, Topik: Penunjukan Adam sebagai Khalifah.

9. Qiyas al-I’adah, metode ini untuk menghadapi mereka yang tidak percaya kepada adanya pencipta alam semesta serta mengingkari adanya hari kebangkitan dan kehidupan setelah mati.

Metode ini dijalankan dengan menggambarkan kekuasaan Allah untuk menghidupkan orang mati, menciptakan langit di Bumi, mengeluarkan api dari pohon dan lain sebagainya.

Contoh ayat: Surat ke-6 ayat 1-2, Subjek: Allah-Kaum Kafir, Topik: Pencipta Alam Semesta.

10. Al-Mu’aradah, adalah metode Jadal dengan menunjukkan pertentangan (kontradiksi internal) dalam pernyataan lawan (mustadil). Metode ini juga bisa dilakukan dengan mengatakan bahwa pernyataan Mustadil justru merugikan dirinya sendiri. Maksud dari ayat di dalamnya bahwa ajaran tersebut adalah ajaran terdahulu.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 135, Subjek: Allah-Kaum Yahudi dan Nasrani, Topik: Anggapan Kaum Yahudi dan Nasrani tentang Hidayah.

11. Al-Farqu, metode ini dipakai bila seorang pendebat menghadapi pernyataan yang menyamakan dua hal yang berbeda. Jadi fungsinya adalah membatalkan analogi dua hal berbeda dengan menyebutkan keunikan jawaban. Metode ini juga bisa dijadikan jawaban bagi pertanyaan yang menggunakan metode al-Istifar.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 258, Subjek: Ibrahim-Namrud, Topik: Tuhan Alam Semesta.

12. Al-Qaul bi al-Mujab, metode ini digunakan untuk menjawab pernyataan yang memiliki landasan yang tidak tepat. Metode ini ialah dengan menerima sebagian pernyataan mustadil dan meluruskan jalan pikirannya yang tidak tepat tersebut.

Contoh ayat: Surat ke-11 ayat 25-34, Subjek: Nuh-Kaumnya, Topik: Seruan kepada Tauhid.

13. Al-Sabru wa al-Taqsim, metode ini adalah metode sanggahan dengan mengajukan pernyataan mengenai alasan pernyataan lawan.

Contoh ayat: Surat ke-6 ayat 143-144, Subjek: Allah-Kaum Kafir, Topik: Haramnya binatang.

Metode Kedua (Metode yang mengandalkan kelihaian meruntuhkan mental lawan)
1. Al-Intiqal, adalah berpindah dari pemakaian suatu argumen pada argumen lainnya, dengan andaian bahwa lawan tidak menguasai argumen pertama sehingga tidak dapat menjawabnya. Di satu sisi ini, perpindahan ini menunjukkan sportifitas mustadlil, dengan memberikan penyampaian yang mampu dicerna lawannya. Perpindahan itu juga menunjukkan kelebihluasan wawasan mustadlil dari lawanya.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 258, Subjek: Ibrahim-Namrud, Topik: Tuhan Alam Semesta.

2. Al-Naqd, adalah metode debat dengan cara memancing mental lawan agar mengeluarkan pernyataan yang nantinya akan menjebak dirinya-sendiri.
Untuk melakukannya, seorang pendebat dituntut memiliki kepiawaan menggiring alur pikir lawan untuk kemudian menjeratnya dengan pernyataan sendiri.

Contoh ayat: Surat ke-2 ayat 91, Subjek: Rasul-Kaum Yahudi, Topik: Seruan untuk mematahi ajaran al-Qur’an. 

(Muh. Sabiq Basyiri Abdul Mu’thi)

Majaz dalam Al-Qur’an

Alquran merupakan karya sastra terbesar yang telah bertahan selama berabad-abad. Dalam proses penurunannya, Alquran juga memperhatikan bahasa wilayah penurunannya sehingga tidak lepas dari gaya bahasa wilayah tersebut. Dalam konteks ini adalah Bahasa Arab. Bahasa Arab pada masa itu merupakan pusat dari peradaban sastra. Dalam dunia sastra Arab, penggunaan unsure-unsur majaz dan hakikat tidak bisa lepas. Keduanya akan selalu muncul dalam aspek bahasa karena akan berimbas kepada makna, maksud, dan tujuan sebuah lafadz muncul. Seperti itu pula bahasa yang digunakan Alquran. Alquran yang telah mengkalim dirinya menggunakan bahasa Arab tak lepas dari dua unsure tersebut. Tulisan ini akan mencoba membahas sedikit sisi majazi dalam Alquran beserta bagaimana konsep-konsep yang membentuknya.

Konsep dasar yang harus dibangun sebagai fondasi adalah bahwa pembahasan hakiki dan majazi ini berkisar pada pembahasan struktur bahasa (nadzm) Alquran. Jadi tidak bisa lepas dari topik apa yang sedang dibahas dalam ayat atau lafadz tersebut. Pengertian hakiki sendiri adalah suatu lafadz yang digunakan dan dimaksudkan sesuai apa adanya. Kesesuaian ini adakalanya sesuai dalam aspek kebahasaan, aspek syar’iyyah atau aspek adat bahasa yang berlaku. Semisal kata rafa’ (رفع) yang berarti secara bahasa adalah “mengangkat”. Namun, jika dalam pembahasan gramatikal Arab (Ilmu Nahwu) kata rafa’ merupakan label pangkat terhadao lafadz seperti halnya nashab (نصب) dan yang lainnya. Kedua ialah Majazi, merupakan sebaliknya, yakni penggunaan lafadz dalam sebuah kalam namun dengan maksud atau makna yang tidak selaras dengan lafadznya. Ibnu Jinny menyatakan bahwa majazi memuat tiga makna atau tujuan, yakni perluasan makna (اتساع), penguatan makna (تأكيد) , dan penyerupaan, perumpamaan, atau pengandaian (تشبيه).

Majazi atau biasa biasa disebut majaz memiliki berbagai macam bentuk dan pembagian. Penulis akan mencoba mengemukakan beberapa majaz yang cukup berpengaruh dan sering digunakan.

Pertama, Isti’aroh atau biasa disebut majaz personifikasi. Yakni majaz menggunakan pengungkapan kalimat lain dalam menggambarkan sesuatu karena ada kesamaan. Kita ambil contoh surat ad-Dukhan ayat 29 yang berbunyi :

فما بكت عليهم السماء والأرض وماكانو منظرين

“Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi penangguhan waktu.”

Pada ayat itu, kata “menangis” disandarkan dengan bumi dan langit, padahal keduanya tidak bisa menangis. Dalam tafsir Ibnu Kasir dijelaskan bahwa maksud dari ayat itu adalah tiadanya amal baik bagi pasukan firaun yang mati ditenggelamkan. Karena jika seseorang memiliki amal baik maka pasti akan ada yang menangisinya.

Kedua, adalah tasybih yakni perumpamaan sesuatu terhadap sesuatu karena adanya titik kesamaan. Strukturnya adalah musyabbah (yang diserupakan), musyabbah bih (sesuatu yang untuk diserupakan), dan wajh tasybih (sisi kesamaan). Semisal contoh “Hidung mancung Amna seperti hidung Pinokio”. Hidung Amna adalah musyabbah, hidung pinokio adalah musyabbah bih, dan mancung adalah wajh tasybih.

Tertulis dalam Alquran surat al-Anfal ayat 22:

إن شر الدواب عند الله الصم البكم الذين لايعقلون

“Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-orang yang tidak mengerti.”

Kata “dabbah” disini digunakan untuk mewakili manusia padahal biasanya digunakan untuk sebutan hewan melata atau hewan berkaki empat. Sisi persamaan keduanya adalah sama-sama diciptakan oleh Allah. Bahkan dalam ayat lain pada surat al-A’raf ayat 179 diksi yang digunakan adalah “an-‘Am” yang bermakna “hewan ternak”.

Ketiga, ziyadah yang berarti tambahan. Yakni tambahan jika dihilangkan tidak merubah makna aslinya. Bentuk tambahan ini bisa berupa tiga bentuk.

Pertama, dalam bentuk Isim, yakni ada pada tiga lafadz, ism (اسم), wajh (وجه), dan mitslu (مثل). Kita ambil contoh lafadz:

بسم الله الرحمن الرحيم

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.”

Lafadz ism di situ tidak memiliki makna sebenarnya sebagai “nama” karena yang dimaksud di situ adalah esensi Allah itu sendiri yang maha pemurah dan maha penyayang.

Contoh lain adalah ayat ويبقى وجه ربك ذو الجلال والإكرام . Lafadz wajh di situ tidak memiliki makna apapun karena yang memiliki keagungan dan kemulyaan adalah Allah.

Kedua, berbentuk fi’il (kata kerja), contohnya ada pada surat Thaha ayat 15:

إن الساعة ءاتية أكاد أخفيها لتجزى كل نفس بما تسعى

“Sungguh hari kiamat akan, Aku merahasiakan (waktunya) agar setiap orang dibalas sesuai dengan apa yang telah dia usahakan.”

Di situ lafadz akaadu tidak memiliki makna.

Ketiga, berbentuk huruf. Ziyadah dalam bentuk ini banyak berlaku dalam Alquran. Contohnya huruf kaf pada surat as-Syura ayat 11, huruf maa pada surat Ali Imran ayat 159. Namun bukan berarti bentuk-bentuk ziyadah di atas menjadi konsep final. Pada kenyataannya, banyak konsep ziyadah yang ditemukan dalam literatur-literatur lain yang berbeda dengan kaidah di atas. Semisal surat Yusuf ayat 86. Lafadz batstsiy dan huzni merupakan kata yang sinonim (mutarodif) yang dalam teks tersebut berfungsi sebagai penguat (ta’kid).

Keempat adalah nuqshan (pengurangan) yang berarti pengurangan kalimat. Sebenarnya banyak istilah yang digunakan oleh ulama dalam hal ini. Ada ulama yang menyebutnya dengan istilah hadzf (pembuangan), idlmar (tersembunyi) dan masih banyak lagi. Terlepas dari semua definisi istilah-istilah tersebut, intinya adalah ketiadaan suatu lafadz ataupun huruf dalam sebuah redaksi ayat (berikutnya disebut dengan hadzf).

Ibnu Nuruddin mengemukakan tiga klasifikasi dalam pembahasan hadzf ini. Yakni pengurangan dalam bentuk ism (kata benda), fi’il (kata kerja), dan huruf.

Contohnya pada surat al-Baqarah ayat 60 yang berbunyi فقلنا اضرب بعصاك الحجر فانفجرت… (artinya: lalu Kami berfirman “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”, maka memancarlah…) di situ ada kalimat yang dibuang. Jika diperlihatkan menjadi فقلنا اضرب بعصاك الحجر فضربت وانفجرت….

Sedangkan Abdurrahman ‘Akk mengklasifikasikan hadzf ini setidaknya menjadi tiga bagian yang dibahas dalam bab at-Taqdir wa al-Hadzf.

Pertama, ialah susunan syarat-jawab­ yang jawabnya dihilangkan. Ayat yang menjadi contoh pembahasan ini adalah surat ar-Ra’du ayat 31. Beberapa ulama mengatakan bahwa jika dibunyikan kembali, jawab itu berbunyi: لكــان هذا القرأن  atau berbunyi  لكفرتم بالرحمن.

Susunan yang kedua adalah jawab-soal (pertanyaan dan jawaban). Pembuangan pertanyaan maupun jawaban di sini sangat sering digunakan oleh Alquran. Kita ambil contoh surat al-Baqarah ayat 112, yang berbunyi:

بلى من أسلم وجهه لله وهو محسن

“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri siapa menyerahkan diri kepada Allah dan diaberbuat baik,….”

Dalam Alquran lafadz bala (بلى) dan na’am (نعم) digunakan untuk menjawab pertanyaan. Na’am berfungsi untuk jawaban konfirmatif sedangkan bala untuk jawaban yang afirmatif, walaupun keduanya sama-sama bermakna “iya”. Ayat di atas merupakan sebuah jawaban, namun jika dicari pertanyaanya pada ayat sebelumnya tidak akan ditemukan, karena memang sudah terbuang. Jika diperlihatkan pertanyaan tersebut harus selaras dengan jawaban tersebut: أليس من أسلم وجهه لله وهو محسن.

Model sebaliknya bisa dilihat dalam surat at-Tin ayat 8, yang berbunyi:

أليس الله بأحكم الحاكمين

“Bukankah Allah hakim yang paling adil?”

Ayat ini merupakan ayat terakhir yang berarti tidak adanya jawaban terhadap pertanyaan ayat tersebut. Jika diperlihatkan kembali bunyi jawaban tersebut adalah بلى وأنا على ذلك من الشاهدين.

Model ketiga dari hadzf ini adalah mukhatab (lawan bicara) berjumlah lebih dari satu, namun yang disebut hanya orang yang ingin dituju oleh mutakallim (yang bicara). Contohnya adalah pada surat Thaha ayat 49:

قال فمن ربكما يموسى

“Dia (Fir’aun) berkata, “Siapakah Tuhanmu berdua wahai Musa?

Penggunaan kata ganti kumaa (kata ganti untuk menunjuk dua orang) pada lafadz tersebut harusnya ditujukan kepada Musa dan Harun. Namun, di situ hanya Musa yang disebut karena memang yang dituju oleh mutakallim, yang dalam konteks ini adalah Fir’aun, hanyalah Musa.

Klasifikasi kelima adalah taqdim wa ta’khir. Ialah pembalikan susunan dengan cara mendahulukan susunan yang harusnya ditempatkan diakhir. Dalam kaidahnya, mendahulukan penyebutan bukan berarti kejadian dan hukumnya ditetapkan lebih dahulu. Masuk ke contoh lihatlah surat Ali Imran ayat 55:

إذ قال الله ياعيسى إني متوفيك ورافعك إليّ

(Ingatlah), ketika Allah berfirman: “Hai Isa, sesungguhnya aku mewafatkanmu dan mengangkatmu padaku”.

Penyebutan متوفيك lebih dahulu daripada رافعك . Namun yang dimaksudkan di sini adalah Nabi Isa diangkat dulu ke langit kemudian wafat. Sebab, mendahulukan penyebutan bukan berarti kejadiannya lebih dahulu, dan hal ini sudah sangat biasa dalam kalam Arab. Contoh lainnya adalah surat an-Naml ayat 28:

….فألقه إليهم ثم تولى عنهم فانظر….

……Lalu jatuhkanlah kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah…

Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah setelah menjatuhkan suratnya kepada ratu Bilqis, burung Hud-hud diperintahkan untuk memperhatikan responnya. Lalu setelah itu barulah berpaling pulang untuk melaporkan kepada Nabi Sulaiman.[Miftahuddin]

I’jaz Al-Qur’an Dari Masa ke Masa

Menurut Nasr Hamid Abu Zayd, I’jaz adalah bagaimana karakteristik teks yang membedakannya dari teks-teks lain dalam kebudayaan, dan yang menjadikannya lebih unggul daripada teks-teks tersebut.[1] Sedangkan Manna al-Qaththan mendefinisikan i’jaz ialah kenampakan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.[2] Hampir serupa dengan yang disampaikan oleh Manna, disampaikan oleh Quraish Shihab bahwa mukjizat didefinisikan sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu, untuk mendatangkan atau melakukan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu.[3] Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa I’jaz pada dasarnya adalah sesuatu hal luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh kebiasaan pada masa itu.

Mengenai konsep I’jaz dalam Alquran sendiri telah banyak dikaji oleh banyak kalangan. Telah banyak karya yang membahas mengenai I’jaz al-Qur’an. Karyanya pun selalu bermunculan dalam masa yang berbeda-beda, sehingga memunculkan karakteristik I’jaz yang beragam. Tulisan ini akan mencoba mengkaji mengenai perkembangan I’jaz dari masa ke masa dengan menggunakan buku karya Dr. Issa J. Boullata sebagai referensi utama yakni I’jaz al-Qur’an al-Karim ‘Abra at-Tarikh yang telah diterjemahkan ke dalam versi bahasa Indonesia, dengan judul Al-Qur’an yang Menakjubkan.

Konsep mengenai I’jaz Alquran sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Nabi dan para sahabat, walaupun tidak spesifik menggunakan istilah “I’jaz”. Istilah I’’jaz baru dicetuskan pertama kali oleh Abul Hasan ar-Rummani pada tahun 996 M. dalam karyanya al-Nukat fi I’jaz al-Qur’an. Sejarah I’jaz timbul tidak terlepas dari kedua kubu besar yang berseteru mengenai hakikat Alquran. Muktazilah dan Sunni. Muktazilah yang berpendapat bahwa Alquran adalah Hadits (baru) dengan dalih bahwa senyatanya Alquran ini terikat oleh huruf-huruf. Juga konsepsi penurunan Alquran yang berarti bahwa Alquran merupakan perbuatan dari Kalamullah. Sedangkan golongan Sunni yang diwakili oleh Abu al-Hasan al-Asy’ariy, yang dulunya mengikuti aliran Muktazilah, dan Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya berpendapat bahwa Alquran yang dibawakan oleh Nabi Muhammad merupakan kalam Allah yang majazy dan masih ada kalam Allah yang hakiki yang bersifat Qadim yakni sifat Allah ‘kalam’.[4] Dari sini timbul pemahaman bahwa Muktazilah berpegang bahwa Alquran menjadi sumber inspirasi yang bisa digali sedalam-dalamnya oleh manusia karena telah turun dalam bahasa manusia (sifatnya antroposentris). Sedangkan golongan Sunni memiliki pemahaman bahwa Alquran merupakan bukti realitas dari Kalamullah yang hakiki yang berada di Lauh Mahfudz sehingga manusia hanya bisa memahami sebagian makna Alquran saja.

Dalam konsep I’jaz, tokoh-tokoh yang berkembang nantinya banyak yang bermunculan dari kubu Muktazilah. Hal ini karena pemahaman terhadap Alquran yang memang menjadi landasan hidup bagi manusia sehingga penggalian terhadap Alquran cukup serius dilakukan. Untuk mempermudah pembahasan kali ini, akan dipaparkan rangkuman tabel perkembangan I’jaz.[5]

No Tokoh Wafat Karya
1 Hisyam al-Fuwathi 218 H / 833 M
2 an-Nazhzham 232 H / 846 H
3 Abu Utsman al-Jahizh 255 H / 869 M Hujjah al-Nubuwwah
4 Nazhm al-Qur’an
5 Ali bin Raban ath-Thabari 250 / 864 M ad-Din wa ad-Dawlah
6 As-Sijistani 316 H / 928 M
7 al-Balkhi 322 H / 933 M
8 Ibn al-Ikhsyid 326 H / 937 M
9 Abu al-Hassan al-Rummani 386 H / 996 M. al-Nukat fi I’jaz al-Qur’an
10 Abu Sulaiman al-Khaththabi 388 H / 998 M Bayan I’jaz al-Qur’an
11 Abu Bakar M. Al-Baqillani 403 H / 1013 M I’jaz al-Qur’an
12 Qadhi Abdul Jabbar 415 H / 1025 M al-Mughni fi Abwab at-Tawhid wa al-Adl
13 Abdul Qahir al-Jurjani 470 H / 1078 M Dalail al-I’jaz
14 Asrar al-Balaghah
15 az-Zamakhsyari 538 H / 1144 M al-Kasysyaf
17 Fakhruddin ar-Razi 606 H / 1209
18 as-Sakkaki 626 H / 1229
19 Burhanuddin al-Biqai 885 H / 1480 M Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ay wa as-Suwar
16 Muhammad Abduh 1905 M Risalah at-Tauhid
      Tafsir al-Manar
20 Abdul Alim 1993 M
21 Na’im al-Himshi Menyusul Abdul Alim
22 Abdul Karim al-Khatib 1964 I’jaz alQur’an
23 Musthafa Shadiq al-Rafii 1973 M I’jaz al-Qur’an wa al-Balaghah wa an-Nabawiyyah
24 Sayyid Quthub 1966 M al-Muqtathaf (1939)
Masyahid al-Qiyamah fi al-Qur’an
25 Aisyah Abdurrahman bintu Syahthi 1998 M Tafsir al-Bayan
26 M. Quraish Shihab   Mukjizat al-Qur’an

 

Konsep I’jaz pada awalnya condong kepada dakwah Muhammadiyah, yaitu dalam rangka penyebaran agama Islam dengan cara mengalahkan hujjah-hujjah yang diutarakan oleh lawan, biasanya permasalahan yang dibahas adalah masalah teologi. Model lain I’jaz pada masa awal ini adalah penyampaian berita-berita gaib dan kabar-kabar masa dahulu yang pada masa itu sangat sulit untuk ditemukan. Kecondongan I’jaz ini sampai pada masa al-Jahiz dan ath-Thabari. Salah satu yang cukup menarik adalah konsep sharfah yang dikeluarkan oleh an-Nazhzham, seorang tokoh Muktazilah.[6]

Masuk ke masa Abu al-Hasan ar-Rummani, konsep I’jaz lebih condong kepada dunia Balaghah. Ar-Rummani adalah tokoh pertama yang menggunakan istilah “I’jaz” yang disandingkan dengan lafal “Alquran”. Ar-Rummani menegaskan bahwa balaghah Alquran berada pada puncak keindahan, sementara manusia hanya mampu mencapai tingkat balaghah yang paling rendah.[7] Seiring berkembangnya masa, muncul tokoh-tokoh I’jaz Alquran yang pembahasan Balaghah semakin terfokus. Seperti al-Baqillani yang fokus I’jaz-nya pada uslub (gaya bahasa) Alquran. Ahli Balaghah lain yang menjadi sorotan adalah Abdul Qahir al-Jurjani yang mengemukakan konsep nadzm dalam I’jaz Alquran. Menurutnya, I’jaz Alquran terletak pada pemilihan kata (diksi) lalu menyusunnya dengan pola tertentu hingga tampak makna yang dimaksudkan. Al-Jurjani merupakan bapak strukturalisme yang pertama kali mengemukakan secara final konsep penataan dan susunan (nazhm) Alquran.[8]

Pada masa berikutnya muncul Muhammad Abduh dengan tafsirnya al-Manar dan kitab teologinya Risalah Tauhid. I’jaz Abduh tidak terpaku dengan kajian Balaghah yang menurutnya begitu rumit. Abduh mencoba memperkenalkan pandangan baru dalam pemahaman I’jaz Alquran. Fokus yang diambil Abduh lebih kepada bagaimana Alquran menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat muslim, layaknya seperti pada zaman Nabi dan para sahabat yang menjadikan Alquran sebagai sumber inspirasi. Hal ini terbukti dengan tafsirnya yang bercorak al-adab al-ijtima’iy (civil society: orientasi kepada masyarakat).[9]

Namun pada periode berikutnya muncul nama Sayyid Quthub yang mengembalikan kembali pemahaman I’jaz Alquran ke dalam dunia Balaghah. Menurutnya, Alquran mengungkapkan dengan gambaran konkrit imajinatif terhadap makna-makna abstrak, suasana jiwa, pemandangan yang terlihat, dalam setiap uslub-uslub-nya. Sehingga berpengaruh terhadap jiwa pendengar.[10] Hal yang hampir serupa muncul pada masa Aisyah Abdurrahman bintu Syathi. Dalam kajian I’jaz-nya, Bintu Syathi (nama pena) mengemukakan bahwa I’jaz Alquran bukan hanya sekedar keterkaitan antar kata, diksi, ataupun uslub-uslubnya. I’jaz Alquran yang dikemukakan hingga mencapai tataran huruf-hurufnya, semisal adalah huruf qasam (sumpah).[11]

Berikutnya, karya dalam hal I’jaz Alquran pada masa sekarang adalah karya M. Quraish Shihab. Di dalamnya terdapat tiga pembahasan I’jaz yang dikemukakan oleh Quraish Shihab yakni dalam tataran bahasa, isyarat ilmiah, dan pemberitaan gaib. Hal baru yang diajukan oleh Quraish Shihab adalah bahwa Alquran mengandung isyarat-isyarat ilmiah yang ternyata banyak tersingkap dalam perkembangan zaman. Bahkan hingga sekarang banyak peneliti yang mengkaitkan penemuan-penemuan mereka dengan Alquran. Dalam bukunya Quraish Shihab memberikan contoh ihwal reproduksi manusia, ihawal kejadian alam semesta, ihwal pemisah dua laut, dan masih banyak yang lain.[12] [Miftahuddin]

[1] Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LkiS, 2002, hal. 170.

[2] Manna’ Khalil Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq el-Mazni, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2015, hal. 323.

[3] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan Pustaka, 2014, hal. 25.

[4] Husein Aziz, Bahasa Al-Qur’an: Perspektif Filsafat Ilmu, Jawa Timur: Pustaka Sidogiri, 2010, hal. 38-58.

[5] Issa J. Boullata, Al-Qur’an yang Menakjubkan, terj. Bachrum B., dkk., Jakarta: Lentera Hati, 2008, hal. 1-26.

[6] Sharfah adalah adanya intervensi Allah kepada bangsa Arab dalam ketidakmampuan mereka menyaingi Alquran. Ketidakmampuan mereka bukan karena keunggulan yang terdapat dalam teks, melainkan karena kekuasaan Allah. Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, hal. 180-181.

[7] Issa J. Boullata, Al-Qur’an yang Menakjubkan, hal. 2.

[8] Ibid., hal. 14-15. Lihat juga, Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, hal. 180-181

[9] Ibid., hal. 16. Lihat juga, Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, hal. 110.

[10]Ibid., hal. 20.

[11] Ibid., hal. 190.

[12] M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, hal. 169-196.

I’jazul Qur’an Prespektif Mohammed Arkoun

           Menurut Arkoun, membahas mukjizat di dalam al-Qur’an berarti menerapkan berbagai metode analisa linguistik dan kesusastraan kepadanya yang berdasar pada naskah-naskah tertulis. Pertama adalah, jika melalui bahasa kegamaan kita tentunya menangkap keseluruhan perwujudan ekspresif dari jiwa keagamaan: gerak tubuh, ucapan, liturgy dan kemudian tulisan. Melalui semua itu, bahasa keagamaan mengungkapkan dan menyatakan hubungannya yang mutlak dengan yang absolut dimana jiwa keagamaan itu menghayatinya. Orang hampir tak mengetahui bahwa makna yang dihayati dalam berbagai liturgy itu terpancar dalam berbagai interpretasi. Jika harus selalu mengungkap kembali, maka harus dalam perihal permanen dari wujud yang berpencaran dan mencari bukti nyata dalam masa depan dari suatu harapan berbagai pijakan masa lampaunya.[1]

Oleh karena itu bagaimana membahas mukjizat dalam al-Qur’an tanpa menyetujui suatu pendirian reduktif terhadap bahasa keagamaan? Menururt Arkoun pertanyaan ini lebih penting daripada mengubah hakikat dan fungsi mukjizat menurut pengertian orang beriman dan kafir.[2] Mukjizat mempunyai fungsi kognitif yang utama, hal ini dengan terkagumkan oleh keindahan dan kekayaan kalam itu, oleh daya yang mengagumkan daya ciptaan yang begitu manusia mengalami secara sadar dan secara mendalam keberadaan Tuhan.

Pada hal ini Arkoun mengusulkan suatu pendekatan, yakni penedektan leksikal dan kesusatraan untuk membangun kembali sistem konotasi yang memengaruhi hubungan persepsi kesadaran di dalam al-Qur’an. Analisa bidang konseptual mukjizat dan bidang leksikal yang saling berkaitan menunjukan keindahan dasar-dasar leksikal tertentu. Masalah tentang kerangka-kerangka persepsi dan representasi mental (kesadaran) muncul secara jelas di dalam al-Qur’an.[3]

Kesan pertama dikejutkan oleh keberagaman dan kekerapan kosakata yang berkaitan dengan ruang dan waktu di dalam al-Qur’an. Seperti kata benda, ardh (bumi) dan sama’ (langit). Masing-masing muncul 451 dan 310 kali, ‘alamin yang dipahami dengan arti alam-alam, digunakan 73 kali. Ungkapan waktu juga sangat kaya dan nampaknya juga sangat jelas. Pertama, perlu dicatat pentingnya oposisi sebelum dan sesudah dari waktu antar kehidupan dan kematian. Dalam keadaan sebelum dan sesudah spiritual ini, menunjukan suatu kesebeluman dan kesudahan yang benar benar kronologis. Al-Qur’an menggunakan terminologi lazim dari waktu konkret: sanah (tahun): 19, “ am (tahun):9 dan lain sebagainya. [4]

Kita dapat mengamati berdasar catatan catatan itu, bahwa naskah al-Qur’an menyisihkan sekali (persoalan) mukjizat dan memberikan penyesuaian-penyesuaian yang bersifat ruang dan waktu dari satu pengetahuan positif.

Selanjutnya, status psikolinguistik dan kekerapan presepsi di dalam al-Qur’an juga sangat penting untuk tujuan kajian disini. Disini ada sejumlah dasar leksikal yang lalu menerima pembatasan-pembatasn intelektualis ketika spekulasi teologis-filosofis dikembangkan. Terjdi pada kata ‘aqala-yang menurunkan kata aql yang berarti nalar, daya tangkap, benak; ‘aqil dimaknai sebagai manusia bernalar, usia (menerima) tanggung jawab etika keagamaan; ma’qul menjadi dapat dinalar; ta’aqqul diartikan perenungan (refleksi). Semua bentuk bentuk ini tidak terdapat dalam al-Quran kecuali dalam bentuk sderhana ‘aqala/ya’qilu yang digunakan 49 kali. Dengan memahami berbagai determinasi ‘aqala berarti mengikat, menambahkan seekor bintang untuk menjaganya agar tidak lari. Juga, berarti membayar hutang darah (pembunuhan) dengan membatalkan hukuman (bebas).[5]

Tiga fakta yang sangat penting mengenai presepsi kesadaran: pertama, organ –organ dan berbagai mekanisme presepsi adalah pendukung-pendukung yang penting dalam formasi dan penampaan kesadaran orang beriman. Kedua, pemutusan menandai yang bukan presepsi karena ketakmampuan atau penolakan-penolakan yang disengaja atas nama suatu semesta tanda yang lain. Ketiga, disini perlu ditegaskan tipe keajaiban yang paling murni dan diterapkan ke dalam al-Qur’an.[6] Pendekatan leksikal merupakan momentum pertama dari suatu analisa linguistik yang disertai analisa kesusastraan.[7]

Bagi Arkoun, bagaimana khazanah yang menelaah “berbagai keajaiban ciptaan” harus diselidiki dalam dua prespektif yang saling melengkapi : dapat mengkaji al-Qur’an di dalamnya sebagai kepercayaan, khayalan, kemungkinan yang diimpikan oleh kesadaran muslim yang tunduk, sepanjang sejarahya, pada tekanan-tekanan psiko budaya yang begitu baragam. Kedua, harus ada kesadaran linguistik arab, meskipun didominasi oleh kepentingan religius untuk membuktikan watak kemukjizatan kitab, telah benar-benar menangkap, baik secara intuitif maupun teoritis.[8]

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat, bahwa pandangan terhadap mukijzat al-Qur’an itu juga tergantung pada objek kajian yang dianggap sebagai i’jaz, ada yang menaggap bahwa i’jaz itu terletak pada susunannya. Atas dasar ini juga mempunyai kelemahan teori. Ada juga yang menganggap i’jaz terletak pada bentuknya yang sehingga harus melalui pendekatan linguistik. Mohammed Arkoun lebih condong pada pendapat yang kedua. Menurutnya secara linguistik kajian i’jaz bisa dikaji.

Fungsi Kognitif Mukjizat

Setelah dijelaskan di atas, ada dua butir yang harus didalami, yakni pendukung gambaran ciptaan dan mukjizat sebagai pendukung ontologi Qur’ani. Dalam hal ini Arkoun hanya menunjukan kerangkanya saja, tidak menyelesaikan penyelidikan ini. [Siti Amilatus Solikhah]

ijaz amila

[1] Mohammed Arkoun, Kajian Kontemporer al-Qur’an, Bandung: Pustaka, 1998, hal. 149.

[2] Ibid., hal. 151.

[3] Ibid., hal. 152.

[4] Ibid.,hal. 155.

[5] ibid.

[6] Ibid., hal. 158.

[7] Ibid., hal.161.

[8] Ibid., hal. 163.