Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik karya Syu’bah Asa

 

Pendahuluan

Secara garis besar penafsiran Al-Qur’an mengalami tiga generasi, yaitu: periode klasik[1], periode pertengahan[2], dan periode kontemporer.[3] Pada ketiga generasi tersebut tentunya kitab tafsir akan mengalami perbedaan, entah dari segi corak atau metode yang digunakan dalam penafsiran masing-masing pengarangnya tergantung konteks pada masa itu.

Periode kontemporer ini dari abad kedua belas sampai saat ini. Tafsir pada periode ini merupakan ikhtisar dan kumpulan dari tafsir-tafsir periode klasik dan pertengahan, disamping itu ada juga pendapat-pendapat dan ijtihad.[4] Gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang sangat kritis melihat produk-produk penafsiran Al-Qur’an.[5] Penafsiran Al-Qur’an pada periode ini dilatarbelakangi dengan tujuan pembaharuan pemikiran dan pemahaman Islam.[6]

Di Indonesia sendiri, perkembangan karya tafsir lahir dari ruang sosial-budaya yang beragam. Sejak era ‘Abd ar-Rauf As-Sinkili (1615-1693 M) pada abad 17 M hingga era M. Quraish Shihab pada era awal abad 21 M. Pada rentang waktu lebih empat abad itu, karya-karya tafsir AL-Qur’an Indonesia lahir dari tangan para intelektual Muslim dengan basis sosial yang beragam. Mereka ini juga yang memainkan peran sosial yang beragam pula, seperti sebagai penasehat pemerintah (mufti), guru, atau kiai di pesantren, surau atau madrasah.[7] Dalam makalah ini, penulis hanya akan membahas salah satu kitab tafsir periode kontemporer yaitu dalam cahaya Al-Qur’an yang ditulis Syu’bah Asa.

Tentang Penulis

Syu’bah Asa lahir dari keluarga religius di Pekalongan pada tanggal 21 Desember 1941. Ayahnya seorang pengusaha batik di lingkungan penghafal AL-Qur’an di desa Kerandan, Pekalongan Selatan. Ketika masih duduk di bangku Madrasah Menengah ia telah mempelajari dengan baik sirah Nabi Muhammad SAW. diusia yang muda ia telah menulis novel remaja “cerita di pagi cerah” seteah karangan pertamanya dimuatdi majalah batik pada 1957.[8]

Pada Desember 1960, ia masuk IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat. Selama menjadi mahasiswa ia mengajar anak-anak dan berkhutbah. Ia menjadi guru pengganti di sekolah dulu ketika belajar ilmu balaghah. Selama dua tahun, ia menjadi dosen muda partikelir mata kuliah ekstrakulikuler drama di fakultas IKIP Negeri yakni tempat bertemu dengan calon istrinya.[9] Selain itu ia juga belajar privat kitab kuning kepada seorang kiai di Lempuyangan. Pernah juga menjadi santri kalong di Krapyak Yogyakarta.[10]

Kemudian pada era tahun 1950-1969, Syu’bah dikenal sebagai seniman dan aktif di teater Muslim serta bengkel teater Yogyakarta.[11] Pada tahun 1970, ia menjadi redaktur musik di majalah Ekspres yang merupakan cikal bakal majalah Tempo. Ketika di Tempo, ia merupakan penulis kritik teater yang paling tajam dan ajek. Pada saat itu, ia menjabat sebagai redaktur senior yang sebelumnya menjadi redaktur pelaksana kompartemen agama dan budaya. Dengan jabatannya ini, ia banyak menulis tentang agama dan permasalahan sosial.[12]

Setelah keluar dari majalah Tempo pada 1987, ia menjadi ketua sidang redaksi majalah Editor, lalu pindah menjadi Wakil Pimpinan redaksi Harian Pelita. Di ujung karir sebagai wartawan, ia bekerja di majalah Panji Masyarakat. Disinilah ia menulis tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, tepat di akhir penghujung kekuasaan rezim Orde Baru. Syu’bah menghembuskan nafas terakhirdi Rumah Sakit Pusat Islam Muhammadiyyah, Pekajangan, Pekalongan Jawa Tengah Pada Ahad, 24 Juli 2011 pukul 17.00 WIB pada usia kurang lebih 70 tahun.[13]

Latar Belakang Penulisan Tafsir

Buku tafsir ini bermula dari artikel-artikel tafsir yang ditulis Syu’bah Asa di majalah mingguan Panji Masyarakat setiap minggu. Jika dilihat dari data yang disertakan di setiap akhir tulisannya, tulisan tulisan itu dibuat dalam rentang waktu 1997 hingga 1999. Sebagai kumpilan artikel yang terpenggal dan demi publikasi media massa, tema-tema yang diambil Syu’bah Asa sangat beragam dan kontekstual yakni sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang muncul pada saat tafsir itu ditulis . judul “Dalam Cahaya Al-Qur’an” yang dipakai dalam buku ini sendiri sebetulnya adalah nama rubrik di majalah Panji Masyarakat yang sengaja disediakan bagi Syu’bah untuk menulis artikel tersebut.[14]

Setiap ayat yang dikemukakan dalam tafsir ini disesuaikan dengan kejadian waktu itu dan saat itu. Karena memang tafsir ini bermula dari tafsir yang dimuat dalam Panji Masyarakat. Sehingga setiap ayatnya merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa yang populer di Indonesia. Tafsir ini bisa dikatakan sesuai dengan jiwa-zaman (Zeit geist) pada periode Reformasi. Dengan membaca tafsir ini orang akan tahu bagaimana kaum intelektual Islam (paling tidak penulisnya) membaca zamannya dari sudut pandang Al-Qur’an.[15]

 

Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Polituk

Dalam tafsir ini memiliki 57 tema yang kemudian dibagi menjadi tujuh bagian. Secara keseluruhan bagian tersebut berbicara tentang masalah-masalah kontekstual yang terjadi di Indonesia, seperti keadilan, pelanggaran HAM, kekerasan, kekuasaan yang korupsi dan keberagaman yang sebatas stempel.[16]

Dalam segi penulisannya ia menggunakan model tematik yaitu dengan fokus pada satu ayat yang dianggap relevan dan penting dengan tema pembahasannya. Kemudian penulisan ayatnya, ia hanya menuliskan terjemahannya saja yang disebutkan surat keberapa dan ayatnya. Letak terjemahannya dituliskan dibawah tema yang akan ia tafsirkan. Misalnya dalam pembahasan tema kepada bangsa-bangsa, kemudian ia letakkan terjemahan dibawahnya Q. 49: 13,[17] sebagai ayat yang relevan; tentang agama-agama dikutip Q. 2: 148.[18] Pada satu ayat yang dipilih, ia kemudian akan menghubungkannya dengan ayat yang lain dengan memanfaatkan teori munasabah. [19] Dan pada saat mengurai produk tafsir biasanya ia mengkomparasikan pendapat beberapa mufassir kemudian ia mentarjihnya atau hanya menampilkannya saja.[20]

Syu’bah Asa dalam melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an ia merujuk pada berbagai sumber. Pertama Al-Qur’an, ketika ia menafsirkan sebuah ayat Al-Qur’an maka ia menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain. Contohnya pada tema Kepada Bangsa-bangsa yaitu Q.S. Al-Hujurat: 13 yakni:

Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.[21]

 Para ulama, menafsirkan laki-laki dan perempuan pada ayat diatas dengan tiga tafsiran, yaitu Adam dan Hawa, ibu dan bapak bagi tiap orang, sperma dan telur. Namun yang jadi krusial adalah kata “bangsa-bangsa” dalam terjemahan diatas. Sedangkan pengertian “bangsa” saat ini anakronistis, apalagi bila dihubungkan dengan nation state, negara bangsa yang lebih merujuk kepada kesatuan politik daripada keturunan, sehingga tidak bisa dicari padanannya dalam struktur masyarakat Arab. Karena bangsa adalah pengundangan kesetaraan harkat dan laranga terhadap sikap diskriminatif jenis apapun. Kemudian ayat tersebut akan dihubungkan dengan surah Rum ayat 22.[22]

Kedua, hadis. Ketika mengutip hadis biasanya beliau tidak merujuk langsung pada kitab hadis namun mengutip dari tafsir karya mufassir lain.[23] Ketiga, merujuk pada tafsir-tafsir lain. Contohnya pada tema Kepada Bangsa-bangsa, ia menafsirkan dengan Q.S. Al-Hujurat: 13. Dalam menafsirkan ayat tersebut, Syu’bah Asa menggunakan penafsiran Thabari dan Qurthubi untuk pembahasan makna sya’b dan qabilah.[24] Dan yang keempat, menggunakan ijtihad mufassir.

Kemudian dalam bukunya juga Syu’bah Asa menggunakan analisis sosio-historis sebagai salah satu aspek penting. Tafsir ini tidak terpaku pada asbab al-nuzul sebagai rujukan utama, tetapi mufassir mengajak pembaca merasuki berbagai kondisi masyarakat saat suatu teks terproduksi. Hal ini dilakukan dalam rangka menemukan makna ayat yang sesuai. Tampilan dari uraiannya memang terkesan pendek. Kemungkinan ini disebabkan resiko tafsir yang ditulis untuk sebuah media massa mingguan. Selain itu penulis juga dikejar deadline dan halaman yang disediakan juga dibatasi sehingga kurang leluasa dalam menjabarkan suatu ayat.[25]

Pendekatan yang digunakan dalam tafsir ini yaitu kontekstual, dimana beliau memandang realitas kehidupan sebagai medan keberangkatan penafsiran. Pendekatan kontekstual yang ditempuh Syu’bah Asa dalam buku tafsirnya adalah sebagai usaha memposisikan Al-Qur’an sebagai kritik sosial. Di tengah euforia reformasi, pada saat tafsir ini ditulis, berbagai tuntutan agar bangsa Indonsia berbenah. Karya tafsir ini gerakannya dari praksis ke reflektif yakni daro bawah ke atas. Oleh karena itu membaca tafsir dengan pendekatan kontekstual ini, pembaca harus pandai dan jeli dalam mecari hal-hal yang umum dari pernyataan yang konkret.[26]

Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, tafsir Dalam Cahaya Al-Qur’an karya Syu’bah Asa adalah respon dari peristiwa-peristiwa yang muncul pada Indonesia saat itu. Dalam buku tafsirnya terdiri dari 57 tema yang dibagi menjadi tujuh bagian. Dimana ditulis dengan metode tematik. Dengan menggunakan pendekatan sosio-historis. (Nur Khasanah)

  

Daftar Pustaka

Aliyah, Himatul, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, Desember 2015.

Asa, Syu’bah, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000).

Djalal, Abdul, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990).

Gusmian, Islah,  “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016.

Gusmian, Islah,  “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika”, Nun, Vol. 1, No. 1, 2015.

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2003).

Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014.

Musbikin, Imam, Mutiara Al-Qur’an, (Madiun: Jaya Star Nine, 2014).

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2011).

Permono, Syaichul Hadi, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975).

 

Footnote

[1] Tafsir masa ini dimulai dari abad pertama hingga abad ketiga hijriyah. Tafsir pada masa klasik ini dimulai dari penafsiran Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat, lalu penafsiran yang dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in. Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, hlm. 226

[2] Pada generasi pertengahan (permulaan abad ke-4 sampai abad ke-11), ini menafsirkan Al-Qur’an dengan dasar dirayah (tafsir bil ma’qul), yaitu tafsir dengan berdasarkan ilmu nahwu, balaghah dan lain sebagainya. Mereka membersihkan kitab-kitab tafsir dari riwayat-riwayat israiliyyat dan nashraniyyat, dan mulai pemeriksaan itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk akal dan keterangan-keterangan yang nyata. Tafsir model seperti ini dikembangkan oleh golongan mu’tazilah. Dalam abad ini pula seluruh ayat i’tiqad ditafsirkan dengan mempergunakan fikiran. Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1975), hlm. 76-77.

[3] Imam Musbikin, Mutiara Al-Qur’an, (Madiun: Jaya Star Nine, 2014), hlm. 27.

[4] Syaichul Hadi Permono, Ilmu Tafsir Al-Qur’an Sebagai Pengetahuan Pokok Agama Islam), hlm. 77-78.

[5] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2011), hlm. 58-59.

[6] Abdul Djalal, Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), hlm. 31.

[7] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia: Sejarah Dan Dinamika”, Nun, Vol. 1, No. 1, 2015, hlm. 4.

[8] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, Maghza, Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016, hlm. 69.

[9] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, Hermeneutik, Vol. 9, No. 2, Desember 2015, hlm 359.

[10] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 69.

[11] Ibid.

[12] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 478.

[13] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 69.

[14] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 95.

[15] Kuntowijoyom “Kata Pengantar” dalam Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. x.

[16] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 70.

[17] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 3.

[18] Ibid., 9.

[19] Islah Gusmian, “Tafsir Al-Qur’an dan Kritik Sosial: Syu’bah Asa dalam Dinamika Tafsir al-Qur’an di Indonesia”, hlm. 70.

[20] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, hlm. 365.

[21] Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13.

[22] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 7-8.

[23] Himatul Aliyah, “Epistemologi Tafsir Syu’bah Asa”, hlm. 367.

[24] Syu’bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik, hlm. 8.

[25] Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Al-Qur’an, 210-211.

[26] Ibid., 154.

Tinggalkan komentar