Kajian Ekologi Islam: Pembacaan Atas Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an karya Mujiyono Abdillah

Pendahuluan

            Pandangan-pandangan seputar ekologi[1] dan agama tidak terlihat saat agama Islam pertama kali muncul di tanah saudi Arabia. Masalah mengenai ekologi barulah muncul pada akhir-akhir ini saat banyak bencana yang timbul dikarenakan ulah tangan manusia, seperti global warming, tanah longsor, banjir, dan lain sebagainya. Agama sebagai dasar pandangan hidup manusia dianggap ikut berperan dalam kerusakan yang dilakukan manusia,[2] tak terkecuali agama Islam. Ada sebuah ungkapan yang tegas disampaikan oleh Mary Evelyn Tucker & John A. Grim, “tidak ada satu tradisi religius atau perspektif filosofis pun yang mempunyai solusi ideal (terbaik) bagi krisis lingkungan”.[3] Sedangkan sikap tandingan atas kebrutalan manusia terhadap lingkungan disampaikan oleh Naess, seorang tokoh penganjur ekosentrisme yang mengungkapkan bahwa krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini hanya bisa di atasi dengan merubah secara fundamental dan radikal cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam lingkungannya. Tindakan secara sains dan teknologi ternyata kurang tepat untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Dibutuhkan sebuah pemahaman baru tentang alam semesta yang bisa menjadi landasan perilaku manusia.[4]

            Mujiyono Abdillah dalam bukunya Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an mencoba ikut andil dalam mendamaikan antara agaama Islam, lingkungan, dan manusia. Dengan menggunakan metode tematik dan bercorakkan tafsir ‘ilmy, Mujiyono berusaha menyampaikan tentang konsep ekologi yang dibangun oleh Alquran dengan cara merekonstruksi pemaknaan ayat dan memunculkan istilah-istilah ekologi. Tak kalah penting dari konten buku ini, yakni tujuan penulisan adalah timbulnya kesadaran manusia mengenai pentingya lingkungan hidup yang kita tempati dan mencegah pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan manusia. Beberapa rumusan masalah yang ingin disampaikan oleh pemakalah adalah seperti apa konsep antara Islam dan lingkungan? Bagaimana konsep yang dibentuk Alquran dalam perspektif Mujiyono Abdillah? Dan bagaimana seharusnya konsep antara Tuhan, manusia, dan lingkungan?

 

Sekilas Tentang Penulis

            Mujiyono Abdillah, lahir di Temanggung, 15 Februari 1959, adalah ketua jurusan Siyasah Jinayat fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang. Setelah tamat dari Madrasah Ibtidaiyyah (1970), suami Djazimah Ahmad ini melanjutkan ke PGAN 6 tahun 1976, Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 1983, S2 PPS IAIN ar-Raniri Banda Aceh 1993, dan kemudian menempuh jenjang S3 di PPS IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2000. Karirnya dimulai sebagai dosen bahasa Arab pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo (1986 – 1993), dosen Metodologi Studi Islam (Dirasah Islamiyyah) 1993 sampai buku ini diterbitkan, dan Kaur TU BPM IAIN Walisongo (1988 – 1990).

            Persoalan limgkungan yang kemudian diangkat menjadi tema disertasinya, sebenarnya sudah lama menjadi “kegemarannya”. Ia pernah menjadi direktur Pusat Studi Islam dan Lingkungan (PSIL) IAIN Walisongo 1995 – 1999. “Kalau setiap IAIN harus punya ciri khas, maka saya ingin menjadikan studi lingkungan dalam perspektif Islam sebagai ciri khas IAIN Semarang”, ujarnya suatu ketika di kantor yayasan Paramadina, Jakarta. Sebagai akademisi, Mujiyono telah menulis ratusan makalah untuk seminar, sebagian di antaranya tentu mengenai persoalan Islam dan lingkungan hidup yang menjadi hobinya. Di antara karyanya seputar lingkungan adalah “Fikih Pemanasan Global” (makalah seminar, 2000), “Pengaruh Lingkungan Terhadap Konseptualisasi Ajaran Agama” (makalah seminar, 2000), “Konseptualisasi Fikih Lingkungan” (Entri Buku, 1995), dan “Antisipasi Banjir: Perspektif Spiritual Religius Islam” (makalah seminar, 1996).

            Masih terkait dengan isu lingkungan hidup, ayah dari empat anak masing-masing Alifa Noora Rahma Bentayona, Zuha Muharrik al-Ahdafi Benyona, Zia Amala Wafi Benyona, dan Asyfa Widaya Benyona, ini juga adalah juru bicara KAWULA (Kerukunan Warga Terkena Pelebaran Jalan Ngaliyan-Mijen). Aktifitas lain Mujiyono juga menjadi koordinator SC Komite Penyelamat Petani Tembakau dan Anggota BP Forum Kota Semarang. Selain buku Agama Ramah Lingkungan ini, ia juga tengah menulis buku mengenai fikih lingkungan.

Keterkaitan Islam dan Lingkungan

            Dalam kajian-kajian mengenai hubungan ekologi dan agama, sejauh pembacaan penulis hampir mayoritas mendasari kajiannya dengan memaknai kekhalifahan manusia di bumi yang tertuang dalam teks suci surat al-Baqarah ayat 30. Beberapa menuliskan bahwa tugas manusia sebagai adalah memakmurkan bumi dengan melakukan:, pertama, al-intifa’ yakni mengambil manfaat dan menggunakan sebaik-baiknya. Kedua, al-i’tibar yaitu mengambil pelajaran, memikirkan, mensyukuri, seraya menggali rahasia-rahasia di balik alam ciptaan Allah. Ketiga, al-ishlah ialah memelihara dan menjaga kelestarian alam sesuai dengan kemaslahatan dan kemakmuran manusia, dan tetap terjaganya harmoni kehidupan alam.[5] Buku lainnya mengungkapkan mengenai prinsip-prinsip etis yang dipresentasikan pleh Faraz Khan, seorang ahli mengenai Islam dan lingkungan. Prinsip-prinsip tersebut adalah, pertama memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan dimana saja. Ketiga, menjadi penjaga (khalifah) di bumi. Keempat, menjaga kepercayaan Tuhan (amanah). Kelima, berjuang menegakkan keadilan (‘adl). Terakhir kelima, menjalani kehidupan yang seimbang dengan alam (mizan).[6]

            Hal sejalan juga diungkapkan oleh Mujiyono Abdillah dalam bukunya Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Kesamaannya adalah masih dalam taraf pembahasan seputar manusia beragama (baca: Islam) yang menguasai lingkungan. Agama Islam ditempatkan sebagai suprastruktur ideologis masyarakat muslim yang diyakini memiliki konsep mengenai lingkungan, walaupun secara nyatanya masih sangat sedikit masyarakat muslim yang mampu melakukannya. Keunikan teori yang berusaha diungkapakan oleh Mujiyono adalah dirinya mengungkapkan belum adanya konsep Islam yang jelas mengenai lingkungan. Mujiyono berusaha menggunakan pendekatan entropy law, yakni hukum yang menyatakan bahwa untuk mengantisipasi masalah lingkungan, pengelolaan lingkungan harus mengaitkan antara pendekatan fisik dengan spiritual religius sekaligus. Kekuatan spiritual religius sangat berpeluang dijadikan lokomotif dalam perspektif alam-lingkungan.[7]

Pendekatan Teks Suci dalam Masalah Ekologi

            Dalam bukunya, Mujiono Abdillah menggunakan model tematik, yakni dengan mengumpulkan ayat-ayat yang membahas mengenai lingkungan. Corak penafsiran yang digunakan adalah Tafsir ‘Ilmy.[8] Di bawah ini akan penulis cantumkan beberapa penafsiran Mujiyono Abdillah dalam kaitannya dengan istilah-istilah ekologi.

Pemaknaan Lafadz as-Sama’ (السماء)

            Ungkapan yang digunakan oleh Alquran untuk memperkenalkan jagad raya adalah kata as-sama’ dan derivasi bentuk jamaknya yakni as-samawat. Secara etimologis term as-sama’ dan derivasinya berakar pada kata samaa, yasmuu, sumuwwan, wa samaa’an yang berarti meninggi, menyumblim, dan sesuatu yang tinggi. Sedangkan secara terminologi, kata as-sama’ dan derivasinya berarti langit, jagad raya, ruang angkasa, dan ruang waktu. Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 30:

…….الذي جعل لكم الأرض فراشا وبناء

Dialah, Tuhan yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan jagad raya sebagai ruangan bagimu.[9]

]Masih dalam satu buku dan ayat yang sama, namun berbeda subbab, Mujiyono memberikan pemaknaan yang berbeda terhadap kata as-sama’, dengan memaknainya dengan ‘atmosfer’  menjadi yang menjadikan bumi sebagai lingkungan hidup bagi manusia dan atmosfer sebagai pelindung keseimbangan ekosistem. Hal ini terjadi karena pendekatan ayat tersebut mengunakan suduut pandang meteorologi (tafsir meteorologis). Setelah pemaknaan tersebut Mujiyono melanjutkannya dengan menjelaskan bagaimana atmosfer bekerja lapisan-lapisan pembentuknya sehingga terciptalah langit sebagai pelindung bumi.[10]

Pemaknaan Lafadz al-Ardlh (الأرض)

            Secara kuantitas kata ruang tempat atau bumi, al-ardl digunakan dalam Alquran sebanyak 463 kali. Sedangkan secara kualitas kata al-ardl memiliki dua makna, pertama bermakna lingkungan planet bumi yang sudah jadi dengan konotasi tanah sebagai ruang tempat organisme, wilayah tempat kehidupan manusia, dan fenomena geologis. Kedua, bermakna lingkungan planet bumi dalam proses menjadi, yakni proses penciptaan dan kejadian planet bumi. Namun untuk kajian ekologis maka makna yang digunakan adalah pemaknaan pertama. Contoh diambil dari surat 16 ayat 15:

وألقى فى الأرض رواسي أن تميد بكم…..

Tuhan menjadikan gunung sebagai penyangga keseimbangan ekosistem bumi dan manusia…

Dari situ dapat diambil pemahaman bahwa kata al-ardl digunakan dalam konotasi ekosistem. Sebenarnya masih banyak pemaknaan mengani lafadz al-ardl yang bermakna ekologi dalam buku Mujiono Abdillah, seperti maknanya sebagai habitat dan lingkungan hidup. Namun kesempitan penulis untuk tidak menuliskan semuanya dan cukup mengambil salah satu contoh saja. Dan dari sini pun dapat diambil kesimpulan bahwa lafadz al-ardl juga digunakan sebagai bukti perhatiannya terhadap konsep ekologi.[11]

Pendekatan Qur’ani Mengenai Bencana Alam

            Mujiyono juga membahas mengenai bencana ekologi kekinian. Dalam bukunya disampaikan dua hal, yakni banjir dan pemanasan global. Dalam pembahasan banjir konsentrasinya kepada teori neo-telogi banjir yang mengungkapkan bahwa pengkisahan banjir dalam Alquran bukan hanya karena adzab Tuhan kepada umatnya (konsep banjir tradisional), melainkan ada sangkut-pautnya dengan ulah tangan manusia. Sedangkan untuk pemanasan global Mujiyono menekankan pada tiga aspek, bumi sebagai tempat hidup ideal, langit sebagai pelindung kehidupan, dan pemanasan global sebagai kiamat antropogenik.[12] Masih sejalan dengan pemikiran Mujiyono, Tafsir Tematik keluaran Kemenag pun juga membahas mengenai bencana-bencana alam, dan tampaknya pun lebih banyak variasinya seperti gempa bumi, banjir, pemanasan global, angin puting beliung, dan lain sebagainya. Namun pembahasan dalam tafsir kemenag ini belum begitu mendalam dan hanya sepintas-sepintas.[13]

Hubungan Tuhan-Manusia-Lingkungan

            Secara keseluruhan, Mujiyono Abdillah dalam bukunya menggunakan konsep trilogi antara Tuhan, manusia, dan lingkungan. Dalam teori trilogi Tuhan diletakkan sebagai pencipta mutlak lingkungan dan manusia. Manusia memiliki strata berada di atas lingkungan yakni sebagai ‘khalifah’. Sedangkan lingkungan ditempatkan sebagai suatu yang harus diurus, yang diamanatkan kepada manusia, yang menjadi pengingat bagi manusia tentang keberadaan Tuhan.

Namun penulis kurang sependapat dengan konsep final yang dibangun oleh Mujiyono Abdillah. Penulis lebih setuju dengan teori ekosenstris yang berpendapat bahwa lingkungan dan manusia haruslah setara. Alasan penulis mengambil pendapat ini adalah pada masa sekarang keberadaan manusia itu sendiri merupakan sebuah masalah bagi keseimbangan ekologi dunia. Hal ini karena sifat konsumsi yang tinggi dalam memenuhi kebutuhannya.[1] Konsep lain yang ditawarkan oleh penulis adalah konsep dwilogi dimana yang ada hanya Tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaannya yang di dalamnya termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan lain sebagainya. Pemahaman ini sebenarnya sangatlah sederhana, karena yang dibutuhkan saat ini adalah penyadaran kepada manusia bahwa jika alam ini rusak maka manusia pun akan punah.

Kesimpulan

            Pembahasan mengenai ekologi muncul karena timbulnya permasalahn-permasalahan dengan alam yang diakibatkan oleh tangan-tangan manusia. Pembahasan ini memiliki banyak sekali sudut pandang, salah satunya adalah agama. Mujiono Abdllah berusaha membuat konsep islami mengenai ekologi dengan pendekatan Qurani, dengan cara memvariasikan antara pemaknaan ayat-ayat Alquran dengan  dunia ekologi modern. Keterkaitan antara ekologi, manusia, dan Tuhan sebenarnya memiliki beberapa bentuk. Konsep trilogi yang diajukan dirasa penulis kurang tepat untuk diterapkan karena posisi manusia yang masih berada di atas, sehingga konsep dwilogi yang menjadi saran jalan keluar yang diberikan penulis. Karena keseimbangan nyatanya belum dapat terjadi walaupun teori tentang pemanfaatan lingkungan yang baik telah banyak dielu-elukan.

(Muhammad Miftahuddin)

Daftar Pustaka

 Abdul Mustaqim dan Alim Roswantoro (editor), Antologi Isu-isu Global Dalam Kajian Agama dan Filsafat, Idea Press: Yogyakarta, 2010.

Audrey R. Chapman, dkk., Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, terj. Dian Basuki dan Gunawan Admiranto, Mizan: Bandung, 2007.

Ibrahim Abdul-Matin, Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam, terj. Aisyah, Zaman: Jakarta, 2012.

Kementrian Lingkungan Hidup & Majlis  Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam, Deputi Komunikasi Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah: ttp, 2011.

Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (editor), Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Menara Kudus Jogja: Yogyakarta, 2004.

Muchlis M. Hanafi (editor), Pelestarian Lingkungan Hidup: Tafsir Al-Qur’an Tematik, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama: Jakarta, 2012.

Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.

Sahiron Syamsuddin (editor), Jurnal Nun, Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara, AIAT: Yogyakarta, 2015.

 

[1] Untuk lebih jelasnya silahkan baca Audrey R. Chapman, dkk., Bumi yang Terdesak: Perspektif Ilmu dan Agama Mengenai Konsumsi, Populasi, dan Keberlanjutan, terj. Dian Basuki dan Gunawan Admiranto, Mizan: Bandung, 2007.

[1] Ekologi adalah cabang sains  yang mengkaji habitat dan interaksi di antara benda hidup dengan alam sekitar. Perkataan ini dicipta oleh pakar biologi Jerman dan pengikut Darwin pada tahun 1866 Ernst Haeckel dari perkataan Greek (oikos berarti rumah dan logos berarti rumah). Kini, istilah ekologi ini telah digunakan secara meluas dan merujuk kepada kajian saling hubungan antara organisme dengan sekitarnya, dan juga saling hubungan dalam organisme itu sendiri, atau lebih singkatnya disebut dengan hubungan timbal balik makhluk hidup dan rumahnya. Lihat Nizar Ali “Pencegahan Dampak Global Warming dan Ekologi dalam Perspektif Hadis Nabi”, dalam Abdul Mustaqim dan Alim Roswantoro (editor), Antologi Isu-isu Global Dalam Kajian Agama dan Filsafat, Idea Press: Yogyakarta, 2010, hal. 151.

[2] Pendapat ini diungkapkan oleh Lynn White Jr. yang mengungkapkan bahwa agama menciptakan konsep dualisme antara manusia dan alam. Alam diciptakan untuk manusia, dan tugas manusia adalah menggunakan alam ini. White juga memperjelasnya dengan mengungkapkan bahwa dualisme ini telah menjadi kehendak Allah. Lihat, Martin Harun “Taklukkanlah Bumi dan Berkuasalah…”, dalam Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, hal. xiv-xv.

[3] Mary Evelyn Tucker & John A. Grim “Pengantar” dalam Mary Evelyn Tucker & John A. Grim (editor), Agama, Filsafat, dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hal. 8.

[4] Kementrian Lingkungan Hidup & Majlis  Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam, Deputi Komunikasi Lingkungan Hidup dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementrian Lingkungan Hidup, dan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah: ttp, 2011, hal. 3.

[5] Nizar Ali “Pencegahan Dampak Global Warming dan Ekologi dalam Perspektif Hadis Nabi”, dalam Abdul Mustaqim dan Alim Roswantoro (editor), Antologi Isu-isu Global Dalam Kajian Agama dan Filsafat, Idea Press: Yogyakarta, 2010, hal. 152.

[6] Ibrahim Abdul-Matin, Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola Alam, terj. Aisyah, Zaman: Jakarta, 2012, hal. 25.

[7] Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an,  hal. 1-7.

[8] Tafsir ‘Ilmy ialah sebuah usaha memahami ayat-ayat Alquran dengan menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Lihat, Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy: Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Menara Kudus Jogja: Yogyakarta, 2004, hal. 127.

[9] Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an, hal. 42-44.

[10] Ibid., hal. 92-94.

[11] Ibid., hal. 44-47.

[12] Ibid., hal. 77-98.

[13] Muchlis M. Hanafi (editor), Pelestarian Lingkungan Hidup: Tafsir Al-Qur’an Tematik, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama: Jakarta, 2012, hal. 239-244. Lihat juga Abdul Mustaqim, “Teologi Bencana Dalam Perspektif Alquran” dalam Sahiron Syamsuddin (editor), Jurnal Nun, Jurnal Studi Alquran dan Tafsir di Nusantara, AIAT: Yogyakarta, 2015, Volume 1 no 1, hal. 91-112.

2 pemikiran pada “Kajian Ekologi Islam: Pembacaan Atas Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an karya Mujiyono Abdillah

Tinggalkan komentar