Ragam Penafsiran Ayat Poligami

Abstrak

Poligami memang selalu menampilkan banyak kontroversi, baik dari orang orang non-muslim maupun orang orang muslim. Meskipun poligami diperbolehkan dalam al-Qur’an dengan syarat tertentu, tetapi dalam pengaplikasiannya poligami masih memiliki perspektif yang tidak terlalu baik dalam masyarakat, pandangan tersebut bukan tanpa alasan, dengan beberapa dampak negatif yang diketahui masyarakat atas poligami tentunya. Dalam beberapa hal dan yang paling sering diangkat dari poligami adalah keadilan, serta sikap rela perempuan atas tindakan di-madu tersebut, terlepas dari tujuan pribadi atau alasan lainnya. Tulisan ini akan mengangkat bagaimana keadilan menjadi dasar utama dalam poligami dan sedikit membahas tentang hal yang terkait seperti anak yatim.

 Kata Kunci: poligami, keadilan, anak yatim

 

Pendahuluan

Keobjektifan pembacaan terhadap suatu tema tidak akan terlepas dari tujuan yang akan disimpulkan dari pembacaan tersebut, bisa dilihat dari tema poligami masih menjadi tema kontroversi bila dibahas dan dikaji, menghasilkan pihak yang pro serta kontra. Tentu saja dua hal ini menjadi pertimbangan pengkajian yang tak pernah usai. Lebih dari itu, ada beberapa tokoh dalam mengkaji ini lebih memilih sisi lain dari pada ini, nilai dari hukum poligami misal, yang menyangkut terhadap keadilan yang sebenarnya maupun tujuan yang dibangun saat ayat poligami itu turun.

Dalam tulisan ini, penulis akan menyuguhkan pembacaan keragaman penafsiran tentang ayat poligami, dari perbedaan makna term “keadilan” dalam ayat yang berbeda yang diindikasi masih memiliki hubungan yang terikat sampai penyebab serta tujuan ayat poligami turun, yang dibilang untuk menyelamatkan janda serta anak yatim, tentunya setiap kesimpulan dari pengkajian ini akan selalu berbeda sesuai dengan asumsi dan permasalahan yang dibangun. Kemudian dari pada itu, kajian ini tidak lebih dari perbedaan pengetahuan dalam suatu kajian, serta memberikan sedikit pembacaan berbeda dengan melihat tujuan tertentu

Pengertian dan Sejarah Poligami

Poligami berasal dari kata poly dan gami. Poly berarti banyak dan gami berarti nikah, artinya banyak nikah. Istilah ini digunakan bagi fenomena dimana manusia yang melakukan banyak nikah.[1] Artinya yang telah mempunyai seorang istri dan menikah lagi tanpa menceraikan istri yang pertama.

Berabad-abad sebelum Islam datang dan diwahyukan, masyarakat manusia diberbagai belahan dunia, telah mengenal dan mempraktekkan poligami. Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Di Jazirah Arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami, malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku mempunyai istri sampai ratusan.[2]

Tentunya, suatu kebiasaan tidak akan mudah hilang begitu saja, pun dengan poligami tentunya hal ini sudah ada ejak zaman Arab pra islam. Sebelum Islam datang, setidaknya dikenal empat macam jenis perkawinan:[3]

  1. perkawinan istibda’, yaitu perkawinan seorang laki-laki dan seorang perempuan dan setelah menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena kebangsawananya dengan maksud mendapatkan anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian setelah hamil suami mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri.
  2. perkawinan al-maqthu’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan ibu tirinya, sudah menjadi tradisi arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri mendiang ayahnya. Dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri itu sampai sampai anak tersebut dewasa.
  3. perkawinan al-rahthun, yaitu perkawinan poliandri, perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya, lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang ditunjuk itu harus mau menerima dan mengakui bahwa bayi itu sebagai anaknya.
  4. perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah, masyarakat Arab ketika itu menganggap hal yang demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.
  5. perkawinan badal, adalah sebuah perkawinan dimana dua orang suami bersepakat tukar menukar istri tanpa melalui talak, tujuannya semata-mata untuk memuaskan hasrat seksual mereka.
  6. perkawinan al-syigar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya atau saudara perempuannya dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya (tukar menukar anak atau saudara perempuan).

semua bentuk pernikahan pra Islam ini sangat terkait dengan situasi antropologi historis masyrakat pada saat itu.[4] artinya, hal tersebut ada dan terjadi ditengah-tengah nilai yang berlaku pada saat itu. didalam poligami saat itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.

Ayat Tentang Poligami dan Ragam Penafsirannya

Syariat islam memperbolehkan poligami dengan batasan empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami khawatir berbuat zhalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka hendaknya tidak berpoligami. [5]Sebagaimana dalama firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 3:

Artinya: Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(QS. An-Nisa Ayat 3)

Menurut Syahrur, ayat tersebut memiliki jenis kalimat yang ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumnya yaitu karena menggunakan kata “wain….” kata ini merupakan kalimat bersyarat dalam konteks hak tehadap anak yatim yang terkait dengan surat al-Nisa’ ayat 2. sedangkan bila dilihat dari sudut pandang hudud, maka ayat tersebut memiliki kaitan yang erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial. Selain itu ayat tersebut memiliki dua macam al-hadd yaitu al-hadd al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kauf (secara kualitas).[6]

Secara kuantitas surat An-nisa ayat 3 ini menjelaskan bahwa jumlah minimum istri yang diperbolehkan adalah satu dan jumlah maksimal adalah empat.[7] Dan bila ada seseorang yang beristri lebih dari itu dia telah menyalahi hudud Allah. Pemahaman seperti ini menurut Syahrur disepakati tanpa melihat konteks dan kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).[8]

Menurut Syahrur secara kualitas, sirri yang diamaksudkan disini adalah perawan (bikr) atau janda (armalah). Bila dilihat dari ayat tersebut jelas menggunakan shigah syarth yaitu dengan kata lain bagi istri pertama tidak disyratkan apakah dia perawa atau janda tetapi untuk istri selanjutnya disyaratkan janda yang mempunyai anak yatim.[9]

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah dalam ayat diatas, tidaklah bertentangan dengan firman Allah Swt. Dalam Surat An-Nisa ayat 129:

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah maha pengampun, maha penyanyang.

Kalau ayat tersebut seolah-olah bertentangan dengan masalah berlaku adil, pada ayat 3 surat Al-Nisa, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil. Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut disini adalah adil dalam masalah lahiriyah bukan kemampuan manusia. Berlaku adil yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang. [10]

Dalil berdasarkan hadis, terdapat beberapa hadis membolehkan poligami di antaranya “Rasulullahsaw berkata kepada ghailand bin salamah ketika ia masuk Islam dania memiliki 10 istri” milkilah 4 orang istri dan ceraikanlah lainnya”. (H.R. al-Nasa’i). Secara adaptatif kedua ayat diatas dipahami kebolehan poligami sifatnya bersyarat, secara kuantitas maksimal 4 orang dan secara kulaitas dapat berlaku adil. Meskipun demikian perdebatan di kalangan ulama tidak pernah selesai, interprtasi egitu beragam baik syarat kualitas maupun syarat kuantitasnya.[11]

Menurut Abduh, apabila seorang laki-laki mampu memberikan hakhak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan kacaulah penghidupan keluarga. Padahal tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tanggaadalah adanya kesatuan dan saling menyanyangi antar anggota keluarga. Ini menunjukkan bahwa Abduh sangat menekankan keadilan kualitatifyang hakiki, seperti perasaan sayang dan kasih, yang semuanya tidak dapat diukur dengan angka-angka. Hal ini sesuai dengan makna yang dikandung dalam istilah yang digunakan oleh al-Qur’an yaitu ‘adalah, yang memang memiliki makna yang lebih kualitatif.[12]

Bahkan Muhammad Abduh berfatwa bahwa poligami itu hukumnya haram. Dengan alasan: pertama, hampir mustahil, sebab Allah sudah jelas mengatakan dalam QS.4:129 bahwa lelaki tidak akan mungkin berbuat adil. Kedua, buruknya perlakuan para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban untuk memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Ketiga, dampak psikologis anak-anak dari hasil pernikahan poligami. Mereka tumbuh dalam kebencian dan pertengkaran sebab ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istri yang lain. Syeikh Muhammad Abduh juga menjelaskan hanya Nabi Muhammad saja yang dapat berbuat adil sementara yang lain tidak, dan perbuatan yang satu ini tak dapat dijadikan patokan sebab ini kekhususan dari akhlak Nabi kepada istri istrinya. Abduh membolehkan poligami hanya kalau istri itu mandul[13]

Bagi Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kasyaf mengatakan, bahwa poligami itu suatu rukhshah(keringanan) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadlan ketika dalam perjalanan.[14] Berbeda dengan Syaltut, ia mengatakan bahwa keadilan itu diserahkan kepada setiap individu, apakah orang itu mampu berlaku adil dalam berpoligami, kemudian dia jawab sendirilah depan Allah.[15] sedang al-Ghazali mengatakan dalam Islam, lelaki bujang yang tidak mampu menikah dianjurkan puasa, menurutnya seorang lelaki tidak akan mampu berlaku adil. Ghazali melihat dalam pernikahan tidak boleh ada paksaan. Seorang wanita boleh menerima atau menolak untuk dimadu.[16] Berbeda lagi dengan Yusuf al-qardlawi ia amengatakan ia tidak setuju terhadap pendapata yang mengtakan bahwa poligami itu haram. Hukumnya tetap boleh, bukan karna haram karena melihat kepada berbagai kemaslahatan. Orang yang melakukan poligami harus berkeyakinan penuh bahwa dia mampu berlaku adil tanpa khawatir terjatuh dalam kezaliman seperti keetrangan surah An-nisa’ ayat 3.[17]

Dilihat dari kesejarahan, menikah merupakan fenomena sosial, dan surat An-Nisa ayat 3 itu turun untuk menjawab, atau sebagai solusi atas fenomena sosial yakni guna menyelamatkan para janda dan anak yatim serta harta mereka. Kemudian dari pada itu, pada zaman sekarang poligami tidak hanya dianggap melulu sebagai permasalahan, melainkan juga sebagai solusi, dengan catatan hal hal yang mendesak mengharuskan untuk berpoligami, populasi wanita lebih banyak dari kaum lelaki misal, menjadi salah satu alasan nantinya. Kesimpulan sederhana diambil dari penafsiran sederhana yang disampaikan oleh bapak Hasan Mahfudh.

Kesimpulan

            Tema poligami memang tidak akan ada habisnya jika dibahas, selalu menampilkan sisi lain jika di interkoneksikan dengan pendekatan lain. dalam makalah ini penulis hanya menampilkan keragaman penafsiran serta hal hal apa saja yang menyangkut dengan tema ini, seperti keadilan saja terdapat banyak pendapat tentangnya, tentu pendapat pendapat itu tidak terlepas dari keobjektifan si penafsir. Lebih dari pada itu, penulis menyimpulkan bahwa zaman pada mileniall poligami menjadi suatu permasalahan bukan suatu solusi. [Siti Amilatus Solihah]

Footnote

[1] Budhi Rajab, “meninjau poligami: perspektif antropologis dan keharusan mengubahnya” dalam jurnal perempuan, no 31, hal 70. Lihat juga, Siti Musdah Mulia, Islam menggugat Poligami, Yogyakarta: Gramedia, Pustaka Utama, 2004, hal 43. Bandingkan dengan Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996, hal, 84.

[2] Siti Musdah Mulia, Islam menggugat Poligami, hal 45.

[3] Abraham Silo Wilar, Poligami Nabi, Yogyakarta: Pustaka Rhlah, 2006, hal 37-38

[4] Leila Ahmed, Wanita dan Gneder dalam Islam: akar-akar historis perdebatan modern, Jakarta: lentera Basritama, 1992, hal 45-49.

[5] Edi darmawijaya, “poligami dalam hukum islam dan hukum positif(tinjauan hukum keluarga turki, tunisia dan indonesia) dalam ” Gender equality: Iternasional journal of child and gender studies, Vo; 1. No 1, Maret 2015,hal 29.

[6] Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan,” dalam Sawwa, volume 7. Nomor 2, april 2012, hal 8.

[7] Lebih dari itu, bilangan dua, tiga dan empat pada surat An-Nisa ayat 3 trsebut harus dipahami sebagai finalitas (ihdad) yang hanya berlaku pada masa awal Islam (masa kenabian). Ayat tersebut sangat bersifat sosiologis, historis dan ekonomis. Jumlah empat merupakan terobosan yang berani dari Islam seklaigus sebagai koreksi atas tradisi poligami tanpa batas yang berlaku pada saat itu. Kemudian, kalau dilihat dari sisi kebolehan poligami, berdasarkan perspektif munasabah ayat bi al ayat yang dibolehkan adalah mengawini janda-janda yang mempunyai anak yatim. Akan tetapi, dalam realitasnya ayat ini oleh para pemegangnya sering dieksploitasi untuk kepentingan pribadi. Mohammad Syahrur mengemukakan bahwa isu krusial dalam ayat-ayat poligami adalah keadilan pada janda-janda dan anak-anak yatim. lihat lebih lanjut Ali Imron HS, “menimbang poligami dalam hukum perkawinan” dalam jurnal ilmiah ilmu hukum QISTI Vol 6 no. 1 januari 2012. Hal 11-12.

[8] Siti Hikmah, “Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan,” dalam Sawwa, volume 7. Nomor 2, april 2012, hal 8.

[9] Ibid.

[10] Ibid. Lihat juga Quraish Shihab, Wacana al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996, hal 111.

[11] Nispul Khoiri, “Poligami Dalam Hukum Kekeluargaan Islam: Indonesia, Turki, Tunisia, dan afganistan” dalam An-Nasdwah, Vol XVIII, No 1, januari-juni 2013, hal 117.

[12] Siti Hikmah, Fakta Poligami Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan, , hal 9.

[13] Bahkan menurut Abduh praktek poligami merupakan praktek perbudakan. Islam tidak mengajarkan hal seperti itu. fenomena ini menurut Abduh adalah jahiliah yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Lihat lebih lanjut Edi darmawijaya, “poligami dalam hukum islam dan hukum positif(tinjauan hukum keluarga turki, tunisia dan indonesia), hal 30.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Ibid.

Tinggalkan komentar