Naskh-Mansukh

KONSEKUENSI TEORITIK MENGENAI KONSEP NASAKH AL-QUR’AN

Pembahasan teori naskh ini merupakan pembahasan yang keberadaannya diakui oleh ulama, yaitu merupakan bukti besar bahwa adanya dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Sebab, dalam konsep pemahaman naskh disini adalah pembatalan hukum, baik itu berupa penghapusan dan pelepasan teks yang menunjukkan hukum dari bacaan (tidak dimasukkan dalam kodifikasi al-Qur’an), atau membiarkan teks tersebut tetap ada sebagai petunjuk adanya “hukum” yang di mansukh. Dalam pembahasan ini pun masih banyak perdebatan dalam menentukan ayat naskh dan ayat yang di mansukh. Dari perbincangan tersebut maka timbullah beberapa perspektif yang mengungkap ada atau tidaknya naskh wa mansukh. Berikut akan dibahas mengenai beberapa perspektif yaitu konvensional dan M. Abed al-Jabiri.

  • Konsep Nasakh Perspektif Konvensional

Teori naskh yang mempunyai istilah nasikh wa mansukh. Dapat dipahami bahwa dua term ini sama-sama merupakan derivasi dari kata benda naskh. Nasikh berkedudukan sebagai subjek dan mansukh berkedudukan sebagai objeknya. Secara etimologis kata naskh memiliki beragam makna, di antaranya adalah ibtal (pembatalan), izalah (penghapusan), tabdil (penggantian), naql (pemindahan), raf’ (pengangkatan), dan lain sebagainya. Sedangkan dalam tinjauan terminologis ada salah satu sarjana muslim yang mengatakan naskh dan mansukh sebagai raf’ (pengangkatan) yang dilakukan oleh syari’ kepada suatu hukum tertentu dengan dalil syar’i yang turun belakangan. Teori dasar yang digunakan oleh prespektif konvensional mempunyai pembagian tersendiri, adakalanya arkan (pokok), aqsam (macam-macam) dan ta’mil (penggunaan). Setiap bagian tersebut mempunyai cabang masing-masing. Begitu juga nantinya akan dilengkapi dengan beberapa paradigma baik ulama klasik dan kontemporer. Sebagaimana sketsa yang tergambar di bawah ini:

save

 

save1

 

Dalam prespektif konvensional pastinya banyak para ulama yang berpendapat sehingga juga terdapat kerincuhan di dalamnya, dalam arti lain perdebatan yang tak pernah usang. Dari perdebatan itu pun merupakan suatu ijtihad yang telah dilakukan oleh mereka. Seperti contoh salah satu asumsi yang menyatakan adanya penghapusan ayat, akan tetapi hukumnya masih berlaku. Jelas ayat itu menimbulkan keambiguan bagi orang yang tidak mengetahui sebab-sebab nya.

  • Konsep Nasakh Perspektif M. Abed al-Jabiri

Al-Jabiri memandang bahwa tidak ada naskh dalam al-Qur’an. Semua yang telah dikonsepsikan olehnya bukan dimaksudkan dalam kerangka “penghapusan”, akan tetapi hanya sebagai wujud dari proses pentahapan dalam kontruksi hukum yaitu dari ‘am ke khas, dari mutlaq ke muqayyad. Setelah mengetahui bagan di atas golongan akomodatif yang menempati ruang kritis, al-Jabiri berpendapat sekaligus mengkritik terhadap teori naskh intelektual muslim konvensional.

save1

Titik fokus yang membuat ambigu dalam teori ini, terletak pada bagian rejektif yang menyatakan tidak adanya naskh. Sedangkan fungsi dari ayat naskh tersebut untuk melegimitasi al-Qur’an. Dalam artian ayat tersebut telah disempurnakan. Otomatis ayat yang dahulu sudah tidak digunakan, akan tetapi hanya bersifat ibadah saja dalam membacanya. Perdebatan mengenai diterima atau ditolaknya teori naskh pada dasarnya tergantung bagaimana cara berfikir masing-masing. Sebab dalam pemahaman mengenai teori naskh tidak ditemukan perspektif tunggal.

Red: Sabiq Basyiri dan Samia Hasan Salim

Muhkam-Mutasyabih

1. Ulama konvensional dalam pembahasan Muhkam dan Mutasyabihat mengemukakan setidaknya tiga dalil yakni pada surat Hud :1, az-Zumar : 23, dan Ali Imran:7. Dari ketiga dalil ini QS. Ali Imran lah yang dalam teksnya dengan jelas membahas keduanya. Bunyi ayatnya adalah :

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ

dalil inilah yang dianggap oleh ulama konvensional bahwa al-Qur’an mengungkapkan tentang anatomi tubuhnya yang terdiri dari dua hal, yakni ayat muhkam dan ayat mutasyabih. Hingga akhirnya memunculkan banyak pendapat di kalangan ulama konvensional mengenai definisi dari dua hal tersebut. Dalam bukunya, Syekh Manna’ Khalil Qaththan merangkum seluruhnya menjadi tiga:

  • Muhkam adalah ayat yang maksud ayatnya dapat diketahui oleh manusia, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah.
  • Muhkam adalah ayat yang mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak wajah.
  • Muhkam adalah ayat yang diketahui maksudnya secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain (khash), sedangkan mutasyabih adalah ayat yang memerlukan penjelasan ayat lain (‘am).

paint

2. M. Abed al-Jabiri dalam menganalisa Q.S. Ali Imran : 7 menggunakan dua metode analisis yakni analisis struktur ayat yang tercipta dari ayat pertama sampai delapan dan kesejarahan tentang bagaimana ketika ayat tersebut diturunkan (sirah nabawiyah). Dari analisis struktur delapan ayat tersebut lahir empat gagasan pokok, yakni (1) keesaan Allah (2) Taurat dan Injil (3) pembentukan di dalam rahim (4) hati yang condong pada kesesatan. Empat ide pokok ini bagi al-Jabiri berbicara dalam konteks teologis, bukan syariah, dan ini dipergunakan untuk melawan para penentang nabi (al-rad ala al-mukhalifin). Hal ini didukung oleh sirah nabawiyah karangan Ibnu Ishaq bahwa tujuh ayat tersebut muncul dikarenakan adanya dialog antara Nabi dengan Nasrani Najran yang membahas tentang ketuhanan Isa sebagai putra dari Allah dikarenakan Isa tidak memiliki bapak. Di sinilah Nabi memunculkan term ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat di sini dimaknai sebagai beragam tanda, indikator, dan realitas kawniyyah yang menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah beragam tanda yang Allah kehendaki untuk menetapkan sesuatu di luar kebiasaan bagi para Nabi dan Rasul-Nya sebagai bukti akan kebenaran, contoh mudahnya adalah mukjizat para nabi.

paint

 

Red: M. Miftahuddin

Muhkam-Mutasyabih, Konvensional dan Al-Jabiri

Setidaknya, ada beberapa pendapat dari berbagai kalangan akademisi baik konvensional maupun kontemporer. Beberapa yang telah terangkum adalah:

1. Ulama konvensional dalam pembahasan Muhkam dan Mutasyabihat mengemukakan setidaknya tiga dalil yakni pada surat Hud :1, az-Zumar : 23, dan Ali Imran:7. Dari ketiga dalil ini QS. Ali Imran lah yang dalam teksnya dengan jelas membahas keduanya. Bunyi ayatnya adalah :

هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ

dalil inilah yang dianggap oleh ulama konvensional bahwa al-Qur’an mengungkapkan tentang anatomi tubuhnya yang terdiri dari dua hal, yakni ayat muhkam dan ayat mutasyabih. Hingga akhirnya memunculkan banyak pendapat di kalangan ulama konvensional mengenai definisi dari dua hal tersebut. Dalam bukunya, Syekh Manna’ Khalil Qaththan merangkum seluruhnya menjadi tiga:

  • Muhkam adalah ayat yang maksud ayatnya dapat diketahui oleh manusia, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maksudnya hanya diketahui oleh Allah.
  • Muhkam adalah ayat yang mengandung satu wajah, sedangkan mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak wajah.
  • Muhkam adalah ayat yang diketahui maksudnya secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain (khash), sedangkan mutasyabih adalah ayat yang memerlukan penjelasan ayat lain (‘am).

paint

2. M. Abed al-Jabiri dalam menganalisa Q.S. Ali Imran : 7 menggunakan dua metode analisis yakni analisis struktur ayat yang tercipta dari ayat pertama sampai delapan dan kesejarahan tentang bagaimana ketika ayat tersebut diturunkan (sirah nabawiyah). Dari analisis struktur delapan ayat tersebut lahir empat gagasan pokok, yakni (1) keesaan Allah (2) Taurat dan Injil (3) pembentukan di dalam rahim (4) hati yang condong pada kesesatan. Empat ide pokok ini bagi al-Jabiri berbicara dalam konteks teologis, bukan syariah, dan ini dipergunakan untuk melawan para penentang nabi (al-rad ala al-mukhalifin). Hal ini didukung oleh sirah nabawiyah karangan Ibnu Ishaq bahwa tujuh ayat tersebut muncul dikarenakan adanya dialog antara Nabi dengan Nasrani Najran yang membahas tentang ketuhanan Isa sebagai putra dari Allah dikarenakan Isa tidak memiliki bapak. Di sinilah Nabi memunculkan term ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat di sini dimaknai sebagai beragam tanda, indikator, dan realitas kawniyyah yang menunjukkan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah beragam tanda yang Allah kehendaki untuk menetapkan sesuatu di luar kebiasaan bagi para Nabi dan Rasul-Nya sebagai bukti akan kebenaran, contoh mudahnya adalah mukjizat para nabi.

 

paint