Kajian Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun Karya Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi

 

Pendahuluan

Sepanjang berjalannya waktu, kajian terhadap al-Qur’an tidak pernah lekang oleh zaman. Usia penafsiran al-Qur’an sama dengan usia al-Qur’an itu sendiri.[1] Sejak al-Qur’an diturunkan proses penafsiran pun langsung terjadi dimana Nabi Muhammad saw sebagai mufasir pertamanya.[2] Kajian terhadap al-Qur’an inilah yang juga merambah dan dirasakan nyata di Indonesia.Tempat-tempat kajian terhadap al-Qur’an di Indonesia pada masa itu bermula dari tempat-tempat seperti surau, langgar, masjid hingga pesantren.Bahkan pesantren sampai saat ini masih menjadi sentral kajian al-Qur’an. Al-Qur’an adalah shalih li kulli zaman wa makan.[3]Hal inilah yang kemudian menjadikan diskursus seputar penafsiran al-Qur’an tidak pernah mengenal kata usai. Namun ibarat samudera yang luas dan dalam, itulah al-Qur’an yang tidak akan pernah mengalami kekeringan walaupun telah, sedang dan akan terus di kaji dari berbagai segi dan metodologi. Tuntutan agar al-Qur’an dapat berperan dan berfungsi dengan baik sebagai pedoman dan petunjuk hidup untuk umat manusia, terutama di zaman kontemporer ini tidak akan pernah berhenti.

            Diantara ulama tafsir yang turut memperkaya khazanah tafsir adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (975-1058 M/ 364-450 H).Al-Mawardi dipandang sebagai tokoh pewaris dalam tradisi keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, politik, ekonomi, bahasa dan sastra, termasuk tafsir al-Qur’an. Dalam bidang ilmu tafsir al-Qur’an, al-Mawardi meninggalkan karya monumental dengan namaal-Nukat wa al-‘Uyun. Seperti yang telah penulis ungkapkan, bahwa setiap mufassir mempunyai setting history-nya sendiri, begitu juga al-Mawardi. Banyak faktor yang telah memberikan andil dalam penulisan al-Nukat wa al-‘Uyun, sehingga menghasilkan penafsiran yang cenderung rasional. Menarik untuk dikaji bagaimana al-Mawardi mendialogkan ilmu yang menjadi keahliannya, serta melihat seberapa besar jabatannya menjadi qadhi berimplikasi pada beberapa ayat-ayat hukum dalam kitab tafsirnya al-Nukat wa al-‘Uyun.

 

Biografi Penulis

Kitab al-Nukat wa al-‘Uyun merupakan sebuah karya kitab tafsir yang ditulis oleh Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i al-Baghdadi. Beliau lahir di Basrah pada tahun 346 H / 974 M. Al-Mawardi merupakan nisbat kepada ma’ al-ward (ma’: air; al-ward: mawar), yaitu sebutan untuk profesi keluarga al-Mawardi sebagai pembuat dan penjual air bunga mawar.[4] Sedangkan al-Bashri merupakan nisbat kepada tempat kelahirannya, yaitu kota Bashrah. Sebutan al-Syafi’i menunjukkan bahwa ia merupakan pengikut mazhab Syafi’i. Sementara al-Bagdadi merupakan nisbat kepada tempat al-Mawardi menghabiskan lebih banyak masa hidupnya hingga ia wafat di sana yaitu kota Baghdad pada tahun 450 H/1058 M.[5]

Tahqiq dan Publikasi

Berdasarkan analisa penulis, kitab al-Nukat wa al-‘Uyûn ditulis pada masa daulah Dinasti Abbasiyah di  bawah supremasi Dinasti Buwaihi (945-1055).[6] Dalam muqodimahnya al-Mawardi mengungkapkan alasannya menulis kitab al-Nukat wa al-‘Uyun. Berawal dari fakta bahwa tidak semua ayat dalam al-Qur’an dapat dipahami dengan mudah maknanya. Maka al-Mawardi pun membagi ayat al-Qur’an ke dalam dua jenis: ada ayat yang zhahir dan jelas (ظاهر جليّ), sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam. Dan ada pula ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya (غامض خفيّ), di sinilah ulama berperan khusus untuk memberikan pemahaman yang benar terhadap ayat tersebut.Kemudian al-Mawardi melanjutkan perkataannya bahwa terhadap ayat-ayat yang zhahir dan jelas, dapat dipahami dengan hanya sekedar membacanya saja. Namun terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya, al-Mawardi menawarkan dua cara, yaitu: naql (riwayat) dan ijtihad (rasional). Inilah yang membuat al-Mawardi merasa terpanggil jiwanya untuk ikut berkontribusi dengan cara menulis sebuah kitab yang memuat kumpulan-kumpulan ta’wil dan tafsir. terhadap ayat-ayat yang tersembunyi dan sulit dipahami maknanya tersebut.[7]

Tafsir al-Mawardi termasuk kitab tafsir singkat yang mencakup ayat-ayat Al-Qur’an secara komplit dengan metode bayani dan adabi (metode interpretasi dan sastra). Al-Mawardi memperhatikan aspek-aspek bahasa sehingga beliau memaparkan asal-usul kata dan menjelaskan maknanya dengan mengambil penjelasan dari peribahasa dan syair yang terkait kemudian menghubungkannya dengan makna yang dikehendaki oleh ayat. Dalam tafsir ini, beliau juga menghimpun berbagai pandangan dari ulama terdahulu dan terkini serta tidak lupa untuk memberikan penjelasan dan komentar pada semua ayat-ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan.[8]

Sebelum memulai penafsiran, penulis menyampaikan beberapa kajian pendahuluan yang mencakup keterangan alasan penyusunan buku dan metodologi penulisan yang beliau gunakan. Penulis menyinggung segi i’jaz Al-Qur’an, dan menjelaskan hukum bahwa ijtihad untuk mengungkap makna-makna Al-Qur’an merupakan tindakan yang dibenarkan serta mendorong untuk senantiasa memahami dan merenungi makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an.[9]

Seusai memberikan pengantar tentang tafsir yang beliau susun dan karakteristik utama yang dimilikinya, ia berkata :

“Makna eksplisit yang gamblang dapat dipahami dengan sekedar membaca, sedangkan makna yang terpendam sulit diungkap dan ditangkap kecuali dengan dua cara, yaitu memahami riwayat yang ada dan melakukan ijtihad. Melihat kondisi seperti ini, saya terobsesi untuk secara khusus menyingkap makna yang terpendam dan menginterpretasikan ayat yang mengandung makna njlimet melalui kitab ini. Saya akan menyampaikan berbagai pandangan ulama generasi awal dan generasi berikutnya serta kesepahaman dan perselisihan yang terjadi diantara mereka. Saya juga akan mengutarakan makna alternatif yang muncul di dalam benak saya. Makna alternatif yang saya maksudkan untuk membedakan antara pandangan saya pribadi dengan pandangan yang kutipkan dari ulama terdahulu.Saya tidak akan berkomentar tentang makna eksplisit ayat karena saya anggap pembaca telah mampu mengerti dan memahaminya sendiri dengan baik, agar tulisan saya nantinya lebih fokus dan lebih intens membahas makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat Al-Qur’an“.[10]

Kitab ini pernah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, pada tahun 1412 H/1992 M, yang di tahqiq oleh Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim yang seluruhnya sebanyak 6 jilid dengan ukuran 24 cm,[11] dengan jumlah halaman:

  • Jilid I berisi muqqodimah pentahqiq, muqqodimah mushonnif, surat al-Fatihah sampai An-Nisa’ (548 halaman).
  • Jilid II berisi surat al-Maidah sampai surat Hud (512 halaman).
  • Jilid III berisi surat Yusuf sampai al-Anbiya’ (477 halaman).
  • Jilid IV berisi surat al-Hajj sampai surat Fatir (480 halaman).
  • Jilid V berisi surat Yasin sampai surat As-shof (531 halaman).
  • JilidVI berisi surat al-Jum’ah sampai surat an-Nas, disertai dengan daftar isi. Urutan surat ini didasarkan pada urutan mushaf roshm Utsmani (380 halaman).

Pada tahun 1402 H/1982 M, kitab ini pernah diterbitkan oleh Kementrian Wakaf Kuwait.[12] Karya lain dari al-Mawardi selain al-Nukat wa al-‘Uyun, di antaranya, al-Ahkam al-Shultahinyyah, Adabul Wazir “Qawanin al-Wizarah wa Siyasat al-Mulk“, Adab al-Dunya wa al-Din, Adab al-Qashi. Ini merupakan bagian dari buku Al-Hawi, Nashihat Al-Muluk, Al-Amtsal wa Al-Hikam.[13]

Resepsi Masyarakat

Sebagaimana pernyataan Sayyid Ali al-Iyazi dalam kitabnya al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum. Mengenai riwayat Israiliiyyat, sikap al-Mawardi, meskipun tafsir yang ia tuliskan tergolong singkat, cenderung mengutip hadis-hadits tidak valid dan tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Beliau juga tidak jarang menyampaikan kabar Israiliyyat yang nyeleneh. Sebagai contoh, al-Mawardi mengadopsi cerita tentang Harut dan Marut dari tukang cerita Yahudi. Selain itu juga cerita tentang Nabi Sulaiman dan dialog diantara beliau dengan setan serta cerita lain yang diselipkan ke dalam tafsirnya. Anehnya, al-Mawardi tidak menunjukkan gelagat untuk menjauhi atau bahkan mengkritik cerita-cerita tersebut.[14]

Untuk persoalan teologi, al-Mawardi berhalauan Mu’tazilah meski dari tampilan luar beliau tidak menyatakan secara gamblang bahwa beliau termasuk pengikut paham tersebut. Terkadang ia mengarahkan ke pemikiran tersebut secara lembut dan terkadang al-Mawardi menyuguhkan kepada kita selaku pembaca berbagai bentuk penafsiran sederhana terhadap suatu ayat padahal sebenarnya diantara pendapat-pendapat yang disebutkan tidak ada satu pun pendapat yang bertentangan dengan pola pikir Mu’tazilah. Al-Subky sebagaimana yang dikutip oleh peneliti Dr. ‘Adnan Zurzur di sela-sela pembiacaraan biografi Al-Mawardi telah menyusun artikel sederhana yang membahas Tafsir Al-Mawardi dan kritikan tajam yang ia layangkan kepada al-Mawardi. Al-Subky berkata[15]:

“Tafsir Al-Mawardi sangat berbahaya karena memuat konten yang menipu maupun mengecoh yang berisi takwil orang-orang sesat. Konten tesebut disematkan dengan tampilan yang apik sehingga tidak terlacak kecuali oleh para ahli. Di sisi lain, penulis juga seorang yang tidak begitu dikaitkan dengan sindikat penyebaran sekte Mu’tazilah sehingga konten tersebut mungkin diragukan dan semakin sulit untuk ditelusuri. Penulis hanya menyatakan bahwa beliau berijtihad tetapi secara diam-diam beliau mengarahkan pembaca untuk menyetujui sikap-sikap sekte teologi Mu’tazilah”.

Di akhir kalimat, Al-Subky berkata :

“Al-Mawardi bukan seorang Mu’tazilah tulen karena beliau tidak selalu sejalan dengan pemikiran-pemikiran pokok paham Mu’tazilah semisal dalam kasus “ Al-Qur’an adalah Makhluk’. Namun, beliau sepakat dengan Mu’tazilah dalam memahami konsep Qadar[16] Allah.”

Setelah mengutip respon Al-Subki terhadap Tafsir Al-Mawardi. ‘Adnan Zurzur turut memberikan komentar sebagai berikut:

“Bagaimana pun juga, Al-Mawardi telah meletakkan tafsir beliau diatas fondasi aliran Mu’tazilah dan metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Terlepas dari persoalan apakah Al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka pada beberapa kasus atau tidak dan terlepas apakah beliau menyatakan degan tegas mengikuti aliran Mu’tazilah ataupun tidak.”

Corak Tafsir Al Mawardi

            Menurut bentuk atau sumbernya, tafsir Imam al-Mawardi adalah termasuk ke dalam golongan tafsir bi al-ma’tsur, yaitu sesuatu yang bersumber dari nash al-Qur’an sendiri yang berfungsi menjelaskan, memerinci terhadap sebagian ayat lainnya, dan yang bersumber dari apa yang diriwayatkan dari Rasul, para sahabat, dan para tabi’in. Menurut Iyaziy, tafsir al-Mawardi ini tergolong tafsir lughawi, karena seringnya beliau menjelaskan makna ayat al-Qur’an dengan pendekatan sastra melalui berbagai syair.[17]

            Namun demikian, corak bahasa bukan satu-satunya corak tafsir al-Mawradi, karena tafsir ini memiliki karakteristik dalam beberapa bidang di antaranya:

  1. Mengumpulkan berbagai pendapat salaf dan khalaf terkait makna ayat
  2. Analisis bahasa yang mendalam di dalam menjelaskan makna ayat
  3. Keahliannya dalam bidang fiqh

            Bila ditinjau dari muqoddimah Tafsir al-Mawardi, sang pengarang yaitu Abu Hasan Ali Ibn Muhammad ibn Habib al-Basry mengatakan bahwa penafsirannya bercorak pada sastra bahasa yang menggunakan beberapa pena’wilan-pena’wilan dari berbagai ulama, baik dari ulama salaf sampai ulama’ khalaf, sehingga banyak pendapat tentang suatu pembahasan ayat atau surat di dalamnya, sehingga terdapat pula kesamaan-kesamaan atas penawilannya dan begitupun yang bertentangan.[18]

Langkah-Langkah Penafsiran

            Produk penafsiran tidak berwajah tunggal, melainkan sangat beragam seiring dengan keragaman kecenderungan,  motivasi, misi yang diemban, perbedaan kedalaman dan ragam ilmu yang dikuasai dan perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari seorang mufassir. Berbagai metode dan corak tafsir pun bermunculan. Para pengamat tafsir lalu berusaha mengelompokkan metode dan corak tafsir yang beragam itu berdasarkan sudut tinjauan tertentu. Lahirlah kemudian metode tafsir, seperti metode tahliliy, ijmaliy, muqarin dan mawdhu’iy.[19]

Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam kitab ini, setidaknya dapat diketahui melalui pernyataan al-Mawardi dalam muqaddimah tafsirnya, sebagaimana yang telah penulis ungkapkan pada sub gambaran umum kitab yang menjadi karakteristik tersendiri bagi al-Mawardi.Al-Mawardi menginterpretasi ayat Al-Qur’an dengan cara menyebutkan nama surat, memastikan status makkiyah atau madaniyyah dan menuturkan riwayat-riwayat yang ma’tsur terkait dengan surat. Baru kemudian menjelaskan tafsirannya dengan disertai asbab al-nuzul. Setelah itu, beliau lantas mulai menjelaskan makna kosakata dan menyebutkan latar belakang ayat diturunkan. Orientasi al-Mawardi berkisar pada aspek Bayyani dan asal-usul bahasa dengan berbekal pemahaman terhadap peribahasa atau syair yang terkait. Kemudian iamenjelaskan beberapa komentar ulama yang beliau didapati secara global dan menjabarkan masing-masing pendapat secara berurutan, semisal terdapat empat atau tiga komentar. Iabiasanya juga menyebutkan nama ulama yang berkomentar serta melakukan analisa untuk menentukan pendapat mana yang lebih kuat. Namun, al-Mawardi juga tak jarang hanya sekedar mengutip beberapa komentar ulama tanpa menyertakan analisa lebih lanjut.[20]

Berdasarkan analisa Sayyid Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mawardi juga menjelaskan perbedaan bacaan (qira’at).Diantara metode lain yang digunakan penulis adalah memaparkan berbagai pandangan fiqh yang berlandaskan pada penjelasan Imam Al-Syafi’i saat beliau menafsirkan ayat-ayat bermuatan hukum. Meski demikian, al-Mawardi secara tersirat juga merujuk pada pandangan dari Madzhab berhalauan Ahlus Sunnah yang lain.Sikap yang dipegang teguh oleh al-Mawardi adalah menggunakan rasio untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Makna lebih mendalam tidak mungkin diungkap kecuali dengan mengerahkan usaha lebih dalam merenungi ayat dengan akal. Al-Mawardi tidak hanya membahas kasus-kasus yang bersifat penting dan mendasar serta tidak menyetujui pemahaman yang dangkal. Beliau juga menentang orang yang tidak memperbolehkan menyingkap makna Al-Qur’an dengan bekal ijtihad akal yang tidak disokong oleh teks real dan valid yang diriwayatkan dari generasi terdahulu dengan dalih bahwa rasul pernah berkata : “ Orang orang mengkaji Al-Qur’an dengan rasionya, Ia jelas-jelas salah meski ia memperoleh kebenaran.”[21] Menanggapi kelompok tersebut, al-Mawardi dengan lantang melontarkan sangkalan sebagai berikut :

“Orang dengan tingkat intelektualitas yang rendah dan wawasan yang minim tidak berani melangkah lebih jauh. Mereka memaknai hadis tersebut dengan dangkal lantas menolak segala bentuk usaha ilmiah untuk mengungkap lebih jauh makna Al-Qur’an meski dengan berbekal dalih yang berbobot, selama usaha tersebut secara tekstual tidak dibarengi dengan riwayat yang valid atau diakui legalitasnya. Ini merupakan penyelewengan dari perintah Allah yang mengajak berdialog dengan hamba-Nya melalui bahasa Arab (yang jelas). Dia telah mengingatkan bahwa diantara makna rumit yang tersimpan di dalam Al-Qur’an, terdapat teka-teki dan misteri yang sulit dicerna. Makna tersebut akan tetap jadi teka-teki dan misteri selama kita tidak menyelami firman Allah. Allah menjelaskan lebih lanjut kandungan makna tersebut ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan mudah dipahami serta mampu memutus komunikasi yang tidak sinkron antara Allah dan hamba serta Allah telah melapangkan kepada hamba-Nya jalan untuk menapaki hukum-hukum yang terpendam sebagaimana firman Allah : “Pasti akan diketahui oleh orang-orang diantara kalian yang mengungkapnya“. Andai kata pemahaman mereka (kelompok yang tidak setuju penggunaan rasio dalam penafsiran Al-Qur’an) benar, niscaya firman Allah tidak akan bisa dipahami dan maksud dari firman tersebut tidak pula dapat ditangkap. Dengan kata lain firman Allah hanya akan menjadi teka-teki yang tetap menjadi misteri. Hal ini tidak mungkin dikehendaki Allah. Dengan demikian, pemikiran mereka yang menolak telah terbantahkan dan mentakwil ayat Al-Qur’an merupakan alternatif demi mencapai pemahaman yang memadai ketimbang hanya mengandalkan pemaknaan ayat dari bungkus luarnya saja. Semoga Allah menyelamatkanku dari pemahaman yang menyatakan pasrah menerima Al-Qur’an dengan segala misterinya yang mengarah pada tindakan untuk tidak menggunakannya.”[22]

Sumber Penafsiran

Di dalam menafsirkan al-Mawardi menggunakan sumber-sumber, diantaranya:

Qira’at

Al-Mawardi memperhatikan aspek keanekaragaman qiraat. Untuk ranah ini, ia mengacu pada buku-buku yang ada di zamannya, semisal kitab Ibnu Khawalih yang berjudul Al-Qiraat As-Syadzzat, Al-Hujjat fi ‘Ilal Al-Qiraat Al-Sab’i karya Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ahmad Al-Farisi dan kitab Al-Muhtasab fi Tabyin Wujuh Syawaz Al-Qiraat dan kitab Al-Iidah yang sama-sama ditulis oleh Abul Fath ‘Utsman bin Jinni.[23]

Tafsir bil Ma’tsur

Merujuk Kitab “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an” karangan Ibn Jarir al-Thabari[24] merupakan kitab tafsir yang menjadi referensi dalam tafsir al-Mawardi. Misalnya saja, dalam menafsirkan Surat al-Nisa’ [4]: 34.

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله واللاتي تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا

Potongan ayat واهجروهن في المضاجع dikomentari oleh al-Mawardi dengan mengemukakan lima pendapat, dan pada poinke-5 al-Mawardi mengutip pendapat al-Thabari sebagai berikut:

والخامس: هو أن يربطها بالهجار وهو حبل يربط به البعير ليقرها على الجماع، وهو قول أبي جعفر الطبري.

Kelima, istrinya diikat dengan “al-hajjar”, yaitu sejenis tali pengikat unta agar ia tidak lepas ketika pembuahan. Ini adalah pendapat Abu Ja’far al-Thabari.[25]

 

Selain itu, ia juga menukil dari Muqotil bin Khayyan dan Muhammad bin Ishaq bin Yasar teman seperjuangannya.[26]

Sumber Bahasa dan Nahwu

Dalam bahasa semantik dan nahwu al-Mawardi menggunakan sumber yang banyak dan beraneka ragam, seperti menukil dari al-Kasai, al-Farai, al-Ahfaz, Tsa’lab, Mubarad, Az-Zujaj. Dari sekian pengarang dalam kajian makna-makna al-Qur’an mendapat sumber dari Ubaydah dari kitabnya Majaz al-Quran dan Rumani dari kitabnya Jami’ liIlmil Quran, seperti menukil dari Kholil bin Ahmad, Syaibuwiyah, dan Umar bin Ila’.[27]

Sumber Fiqh

Pada masa al-Qadir berkuasa (381 H/991 M – 423 H/1031 M), karir al-Mawardi meningkat setelah ia menetap kembali di Baghdad. Berkat keahliannya dalam bidang hukum Islam, al-Mawardi pernah diminta oleh penguasa pada saat itu untuk menyusun kompilasi hukum dalam mazhab Syafi’i, yang selanjutnya dinamakan al-Iqra’. Pada tahun 423 H, al-Qadir wafat. Maka anaknya al-Qa’im menggantikannya sebagai khalifah.Karir al-Mawardi pada masa khalifah al-Qa’im (1031-1074 M) semakin meningkat.Ia mulai menampakkan perannya yang penting dalam pemerintahan khalifah. Ia senantiasa berkecimpung dalam politik pemerintahan dengan menjadi utusan khalifah untuk mengambil bai’ah dari rakyat. Di samping itu, pada saat itu juga ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan berbagai tokoh pimpinan dari kalangan Bani Buwaihi dan Seljuk (Iran).[28]

Contoh Penafsiran Al-Mawardi terhadap Kata Khalifah: Suatu Kompirasi

            Arti khalifa adalah secara etimologi berasal dari kata kholafa, yakhlufu yang memiliki beberapa pengertian yaitu mengganti, memberi ganti, dan menanempati tempatnya. kata khalifah sendiri mempunyai pengertian pengganti atau penguasa.[29] Kata khalifah dalam al-Qur’an setelah ditelusuri dengan Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Al-Baqi ditemukan bahwa khilafah juga berasal dari kha-la-fa yang berarti kepemimpinan. Hal ini terdapat dalam berbagai makna.Pertama, generasi pengganti.Kedua, suksesi generasi dan kepemimpinan.Ketiga,proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah. Keempat, pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah.Jadi, kata khilafah atau khalifah dalam arti kepemimpinan jelas ada di dalam al-Qur’an.[30]

Ayat yang akan disinggung untuk menjelaskan tentang kepemimpinan Islam akan diwakili dalam surat al-Baqoroh ayat 30 dan surat Shad ayat 26 yang menurut hemat penulis cukup mewakili keberadaankata khalifah dalam al-Quran dan mampu menjelaskan secara komprehensif arti khalifah dalam konteks kepemimpinan.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُواْ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاء وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Rabb berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.[31]

            Al-Mawardi menafsirkan bahwa ayat ini dinilai dengan penyampaian keputusan Allah pada para malaikat tentang rencananya mennciptkan manusia di bumi. Penyampaian ini bias jadi setelah proses penciptaan alam raya dan kesiapannya untuk dihuni manusia pertama atau Adam dengan nyaman, pendapat ini dikemukakan oleh Al-Mufadhil. Ketika mendengar rencana tersebut, para malaikat bertanya tentang makna penciptaan tersebut. Mereka menduga bahwa khalifah ini akan merusak dan menumpahkan darah. Dugaan itu mungkin berdasarkan pengalaman mereka sebelum terciptanya manusia, dimana ada makhluk yang berlaku demikian, atau bisa juga berdasarkan asumsi bahwa karena yang akan ditugaskan menjadi khalifah bukan malaikat, pasti makhluk itu berbeda dengan mereka yang selalu bertasbih mensucikan Allah SWT. Pernyataan itu juga bias lahir dari penamaan Allah terhadap malaikat yang akan diciptakan itu dengan khalifah, Kata ini mengesakan makna pelerai perselisihan dan penegak hokum sehingga dengan demikian pasti ada di antara mereka yang berselisih dan menumpahkan darah, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas. Semua itu adalah dugaan, namun apapun latar belakangnya yang pasti mereka (malaikat) bertanya kepada Allah bukan berkeberatan atas rencanaNya dan bisa saja bukan Adam yang mereka maksud dalam hal berselisih, merusak, dan menumpahkan darah anak cucunya.[32]

Berbeda dengan Al-Zamakhsary ketika menafsirkan khalifa di dalam al-Qur’an terkait surah al-Baqarah ayat 30.Dalam tafsirnya Zamakhsyari yakni al-Kasyaf menjelaskan, bahwa manusia di turunkan ke muka bumi dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, kesemuanya memiliki potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah di muka bumi.kesemuanya itu merupakan bagian dari hal yang ditakdirkan oleh Allah SWT.[33] Hal tersebut menurut hemat penulis tak lepas dari hadis Rasululllah yang mengungkapkan bahwa semua muslim adalah pemimpin bagi muslim lainnya, dan dilanjutkan hingga komponen terkecil. Sehingga potensi-potensi menjadi seorang pemimpin atau khalifah adalah menjadi suatu keniscayaan.

Kholifah adalah orang yang kedudukannya sebagai pengganti atau bertugas menggantikan selain-Nya.Adapun makna dari “kholifah darimu sekalian”, adalah karena mereka sekalian adalah penduduk bumi, maka mereka menjadi kholifah bagi Adam dan semua keturunan-keturunannya.Mengenai apakah pengucapannya dalam maksud kata khalifa itu sendiri dengan menggunakan lafal kholaif ataukah khulafa’?Zamakhsyari lebih memaksudkan atau menekankan pada penggunaan kholifah Adam.Tujuan dari mengambil kata tersebut adalah untuk menyebut anak turunnya Adam, seperti dalam contoh penuturan konteks kata Abil Qabailah dengan menggantinya menjadi Mudhor dan Hasyim. Atau yang diharapkan dari ungkapan “pengganti” atau “penerus”, maka yang dimaksudkan adalah satu atau sama saja dari beberapa opsi tersebut.[34]

Adapun dibaca kholiqoh, maka yang Zamakhsyari maksudkan adalah “pengganti dariku”, karena adam adalah pengganti Tuhan di muka bumi-Nya begitujuga dengan nabi-nabi yang lainnya.[35]Jadi, Zamakhsyari memberikan penekanan pada penggunaan redaksi kata yang berbeda-beda tersebut tak lepas dari maksud yang diharapkan berbeda-beda. Sebagaimana apa yang dihadirkan pada beberapa penggunaan redaksi yang berbeda-beda di atasa. Namun, bukan berarti yang disajikan dengan redaksi yang berbeda-beda tersebut memiliki dampak makna yang berebda pula. Namun, di beberapa konteks juga ada beberapa redaksi yang berbeda, namun memiliki implikasi makna yang sama saja atau serupa.

Ayat lain yang berbicara tentang khalifah di antaranya adalah surat Shad:

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”[36]

Kesimpulan

            Tafsir karangan Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i yang berjudul al-Nukat wa al-Uyun ini mencakup seluruh ayat-ayat al-Quran (30 juz utuh). Karakter yang sangat menonjol dari al-Mawardi adalah tafsir bi al-ra’yi. Menurut al-Mawardi, yang namanya tafsir adalah menyibak yang samar ke yang jelas, sehingga bisa dikatakan apa gunanya sebuah tafsir yang memaparkan sesuatu yang telah diketahui oleh halayak umum. Secara umum, kitab tafsir ini dapat dicirikan sebagia berikut: menghimpun pendapat-pendapat ulama tafsir yang lain, baik sebelumnya maupun sezamannya. Analisa yang mendalam dari sisi kebahasaan.Keterlibatan dalam membatasi beberapa pendapat yang ada, meskipun tanpa disertai penyebutan sumber pengambilannya.Tidak hanya terbatas pada hadis-hadis, ragam bacaan, da hukum-hukum fiqih.Pendukung fanatik madzhab Syafi’i, bahkan termasuk salah satu tokohnya. Dan yang terakhir yakni menghimpun pendapat-pendapat ahli kalam, sekaligus menarjihnya. [Ariyanto & Ning Dian Kamelia]

 

[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2013, hal 105-106.

[2] Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Quran, Jakarta: Al-Huda, 2006, hal. 377.

[3]Asumsi ini membawa implikasi bahwa problem-problem sosial keagamaan di era kontemporer tetap dapat dijawab oleh al-Qur’an dengan cara melakukan kontekstualisasi dan aktualisasi penafsiran secara terus-menerus, seiring dengan semangat dan tuntutan problem kontemporer. Karena al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan bukan saja untuk orang-orang dulu di zaman Nabi saw, tetapi juga untuk orang sekarang bahkan sampai hari kiamat. Prinsip-prinsip universal al-Qur’an dapat dijadikan pijakan untuk menjawab tuntutan perkembangan zaman yang bersifat temporal dan partikular. Uraian selengkapnya, baca Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, Yogyakarta: Adab Perss, 2012, hal. 154.

[4] Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1dalam tarjamatul muallifSayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim (Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1992), hlm. 9.

[5] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawarth with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 1.

[6] Dinasti ini berdiri atas prakarsa Abu Syuja’ Buwaih, yaitu seorang berkebangsaan Persia dari Dailam. Ketiga anaknya: ‘Ali (‘Imad al-Daulah), Hasan (Rukn al-Daulah) dan Ahmad (Mu’izz al-Daulah). Kemunculan mereka dalam panggung sejarah Bani ‘Abbas bermula dari kedudukan panglima perang yang diraih ‘Ali dan Ahmad dalam pasukan Makan ibn Kali dari dinasti Saman. Dengan berdirinya Dinasti Buwaih, aliran Mu’tazilah bangkit lagi, bergandengan dengan kaum Syi’ah. Akibat persahabatan kaum Mu’tazilah dengan kaum Syi’ah Zaidiyah, karya-karya kaum Mu’tazilah pada periode kebangkitan kedua banyak yang diamankan, dan mulai pertengahan kedua pada masa abad ini banyak diterbitkan. Lihat, Machasin, “Peradaban Islam Masa Daulah Abbasiyah: Masa Kemunduran” dalam Siti Maryam, dkk, Sejarah Peradaban Islam: dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 113. Lihat juga, Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Darasah Islamiyah II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 69.

[7]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 6.

[8] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, t. th.),  hlm. 726.

[9]Ibid.

[10]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun,hlm.6. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa al-Mawardi berusaha keluar dari paradigma tafsir konvensional, yang menafikan peranan makhluk dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabihat.Sebagaimana yang diungkapkan Kholid Utsman as-Sabt, yaitu “Di dalam al-Qur’an secara umum jika Allah menafikan peranan makhluk akan suatu hal dan menetapkan diriNya, maka secara bersamaan Allah telah menafikan persekutuan untuk Allah sendiri” Ini artinya ta’wilan hanya Allah yang mengetahui. Lihat, Kholid bin Utsman as-Sabt, Qawaid at-TafsirJam’an wa Dirasatan, Vol. 2, bab Nafi (Madinah: Dar Ibnu Affan, t. th), hlm. 520.

[11] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 723.

[12]Ibid.

[13]Ibid., hlm. 724. Lihat juga al-Nukat wa al-‘Uyun dalam muqoddimah Sayyid bin Abd al-Maqshud bin Abd ar-Rahim, Juz 1, hlm. 9.

[14] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[15] Ibid, hlm. 727. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Di sini kaum Mu’tazilah lebih menekannkan penggunaan rasio dalam menafsirkan. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 82.

[16]Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat utlak lagi.Sepert terkandung dalam uraian nadhir, kekeuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham muktazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan.Tuhan tidak bisa lagi bebrbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan tidak adil bahkan dzolim.Ibid., hlm. 119.

[17]Iyaziy, Al-Mufasirun…, hlm. 723

[18]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, hlm. 6

[19] Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 3.

[20] Muhammad Ali al-Iyazi, al-Mufassirun: Hayyatuhum wa Manhajtuhum, hlm. 726.

[21]Ibid.,hlm. 728.

[22]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 34-35. Apa yang diungkapkan al-Mawardi sama halnya seperti yang diungkapkan Thabathaba’i. Ia berpendapat tentang ayat mutasyabbihat, yaitu “dapat dipahaminya seluruh al-Qur’an oleh semua manusia, tak terkecuali terhadap ayat-ayat yang selama ini dikelompokkan oleh ulama sebagai ayat mutasyabbihat yang diposisikan secara diametral dengan ayat muhkamat. Ayat mutasyabbihat adalah ayat yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai ayat yang tidak dapat diketahui makna hakikinya kecuali Allah.Anggapan ini, jelas Thabathaba’i tidak sesuai dengan QS. Ali Imran [3]: 7 dan ayat lain. Karena, dalam pandangannya al-Qur’an dengan jelas mensifati dirinya dengan sifat-sifat seperti cahaya, petunjuk, dan penjelas.Dengan sifat-sifatnya ini, setiap manusia dapat menemukan jalan untuk mengetahui maksud al-Qur’an. Lihat, Wahyono Abdul Ghafur, Millah Ibrahim dalam “Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an” Karya Muhammad Husein Ath-Thabathaba’i (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2008), hlm. 81.

[23]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 7.

[24] Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib At-Thabari, imam mujtahid mutlak, pengarang banyak kitab, dari keluarga Amal Tabrustan. Lahir di Tabrustan hatun 224 H, meninggalkan negerinya untuk menuntut ilmu pada usia 12 tahun pada tahun 236 H. Melalangbuana ke berbagai negeri seperti Mesir, Syam, Irak, lalu menetap di Baghdad hingga tutup usia tahun 306 H. Merupakan salah satu imam terkenal yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Menurut Adz-Dzahabi, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an merupakan tafsir terhebat, paling termasyhur dan menjadi rujukan pertama dalam tafsir naqli (bi al-ma’tsur), selain itu juga menjadi rujukan penting bagi tafsiraqli (bi ar-ra’yi) karena mengandung istinbath, pemaparan berbagai pendapat disertai tarjih yang berpegang pada nalar dan penelitian yang akurat. Lihat, selengkapnya Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, Juz 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1976), hlm. 147-149.

[25]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 482.

[26]Ibid.hlm. 7.

[27]Ibid.

[28] Mohammad Yaqub Khan, A Political Study of M-Mawardi with Special Reference to the Concept of Legitimacy, Tesis of University of Leeds, 2001, hlm. 11.

[29] Ahmad Awarson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif), 1997, hal. 362.

[30] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadhil al-Qur’an Karim, (T.T: TP, T.TH), hlm. 521.

[31] QS. Al-Baqarah [2]: 30.

[32]Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi al-Bashri, Al-Nukat wa al-‘Uyun, Juz 1,hlm. 93-98.

[33] Abi Al-Qasim Muhammad ibn Umar Az-Zamakhsary, Al-Kasyaf (Riyadh: Maktabah Al-Abikan, t.t), hlm. 251.

[34]Ibid.

[35]Ibid.

[36] QS. Shad [38]: 26.

KAJIAN KRITIS ATAS JAMI’ AL-BAYAN ‘AN TA’WIL AL-QUR’AN KARYA ABI JA’FAR MUHAMMAD BIN JARIR AT-THABARI (W. 223 H)

Pendahuluan

            Alquran adalah kitab suci umat Islam yang terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat. Alquranmemuat berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang dapat dikaji oleh semua orang dari berbagai kalangan, baik oleh ilmuwan bahkan orang awam. Setiap sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan umat manusia, pasti ada informasinya dalam Alquran. Setiap menggali ilmu Alquran dari sisi manapun, niscaya akan melahirkan sebuah cabang atau ranting ilmu pengetahuan. Tak terkecuali dalam bidang tafsir. Tafsir selalu saja memberi berbagai perspektif yang berbeda, baik dari segi metode, corak, sumber pendekatan dan lain sebagainya.

     Sejak zaman sahabat hingga sekarang, banyak sekali para mufassir yang mengabdikan hidupnya untuk menafsirkan Alquran, tak terkecuali imam at-Thabari. Ia adalah begawan atau jawara tafsir sejak zaman klasik hingga era sekarang. Setting historis lingkungan hidupnya ikut memberi peran terhadap pemikiran keilmuannya. Jami’ Al-Bayan ‘An Ta’wil Alquran merupakan salah satu karya fenomenal yang mejadi rujukan utama hingga sekarang. Untuk lebih lengkapnya, tulisan ini akan membahas segala sesuatu tentang cara penafsiran dan tentang kitab tafsir at-Thabari tersebut.

 

Mengenal Lebih Dekat at-Thabari

             Salah satu kitab tafsir konvesional yang bereksistensi hingga sekarang  ialah  Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alquran karya Ibn Jarir at-Thabari. Nama lengkap beliau ialah Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Katsir Ibn Ghalib Abu Ja’far at-Thabari al-Amuli.[1] Namun informasi lain menyebutkan bahwa nama lengkap at-Thabari ialah Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir Ibn Yazid Ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli.[2] Nama kunyahnya ialah Abu Jafar Muhammad, namun lebih dikenal dengan sebutan at-Thabari. Meskipun nama kunyahnya Abu Ja’far, namun dia tidak memiliki anak bernama Ja’far. Dan bahkan para sejarah sepakat bahwa beliau tidak pernah menikah. Ia lahir pada pada akhir 224 H atau awal 225 H atau sekitar 839-840 M, dan meninggal pada tahun 311 H/ 923 M.Tanah Kelahirannya ialah kota Amul, Ibu Kota Thabaristan, Iran.[3] Sehingga nama belakangnya al-Amuli adalah penisbatan dari tanah kelahirannya.[4]

          Secara historis, ath-Thabari hidup pada masa kejayaan Islam. Islam telah menyebar ke berbagai wilayah, begitu pula dengan pemikiran para ilmuan yang turut membentuk cara pandang masyarakat Islam dimana mereka bertempat tinggal. Pada waktu yang sama, muncul berbagai mazhab fiqh dan tafsir. Terdapat kecenderungan komunitas muslim awal dengan munculnya paham Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain sebagainya. Di sisi lain muncul pula golongan ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah sekitar tahun 200 H.[5] Kontribusi sekte-sekte lain juga turut meramaikan panggung sejarah umat Islam. Kompleksitas yang dialami at-Thabari menggugah sensitifitas keilmuannya, khususnya dalam bidang pemikiran Islam dengan cara memberikan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulisnya. Pergulatan madzhab yang dia alami mengantarkan at-Thabari pada keberhasilan dialog yang ia lakukan dengan Alquran sebagai petunjuk yang tidak lagi diragukan. Hal ini salah satunya terkait dengan cara pandang at-Thabari terhadap ayat-ayat mutasyabihat.[6]

Aktivitas Pendidikan dan Keilmuan At-Thabari

            At-Thabari hidup tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang cukup memberikan konstribusi terhadap masalah pendidikan terutama bidang keagamaan. Bersamaan dengan situasi Islam yang sedang berada pada puncak kegemilangan di bidang pendidikan, yaitu pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah.[7] Kondisi tersebut secara psikologis turut berperan dalam mencetak kepribadian at-Thabari dan kecintaannya terhadap ilmu. Iklim kondusif seperti itulah secara ilmiah telah mendorongnya untuk mencintai ilmu sejak dini.[8]

          Karir pendidikan at-Thabari dimulai di kampung halamannya, kota Amul. Ia diasuh oleh ayahnya sendiri. Ketika berumur 7 tahun, ia telah menyelesaikan hafalan Alquran dan menjadi imam shalat. Dan ketika berumur 9 tahun telah mencatat hadis. Semangat belajarnya sangat tinggi, demi menuntut ilmu ia melakukan rihlah keilmuan ke beberapa negara, diantaranya ialah: Bashrah, Rayy, Kufah, Syria dan Mesir di usia yang terhitung dini.[9] Abu Bakar memasuki wilayah Baghdad untuk belajar kepada Ahmad Ibn Hanbal, namun ketika di tengah perjalanan ia mendengar kabar bahwa Ahmad ibn Hanbal telah wafat, seketika ia memutar haluan menuju dua kota besar, Basrah dan Rayy. Di Bashrah ia belajar kepada Muhammad ibn ’abd al-A’la al-San’ani, Muhammad ibn Musa al-Harasi dan Abu al-‘As’as Ahmad bin al-Miqdam, ‘Amad ibn Musa al-Qaraz, Basyar ibn Mu’ad, Abi As’ats, Muhammad ibn Basyar dan Abu al-Jawza’ Ahmad bin Usman,  Di Rayy ia belajar kepada Ibnu Humayd, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Humayd al-Razi, serta belajar ilmu hadis kepada al-Musanna bin Ibrahim al-Ibili.[10]

             At-Thabari Kemudian melanjutkan perjalanan ke Kufah, ia berguru kepada Abi Karib Muhammad ibn ‘Ila Alhamdani dan Ismail bin Musa serta Hannad bin al-Sari dalam bidang tafsir. At-Tabari berkunjung kembali ke Baghdad untuk belajar Qiraat dan fiqih di bawah bimbingan Ahad bin Yusuf al-Sa’labi, al-Hasan ibn Muhammad al-Sabbah al-Za’farani dan Abi Sa’id al-Astakhari. Tak puas dengan ilmu yang didapatkannya, ia berkunjung ke beberapa kota untuk belajar gramatika Arab dan qiraat. Warsy dan Qalun ikut berkontribusi terhadap keilmuan Thabari. Kota Baghdad menjadi domisili terakhir at-Thabari. Ia wafat pada hari Senin, 27 Syawal 310 H atau 17 Februari 923 M dalam usia 83 tahun.[11]

            Adapun murid-murid at-Thabari ialah Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin Nashir, Ahmad bin Qasim bin Abdullah bin Mahdi, Ahmad bin Kail bin Khalaf, Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid at-Tamimi, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub al-Lakhmi, Abdullah bin Ahmad bin Ja’far bin Khudyan at-Turki, Abdullah bin Ahmad bin Ru;yah bin Sulaiman bin Zair, Abdullah bin Hasan Abu Syu’aib al-Kharoni, Abdullah bin ‘Adi bin Abdullah al-Jurjani, Muhammad bin Ahmad bin Hamdan bin ’Ali, Muhammad bin Daud bin Sulaiman , Muhammad bin Abdullah (Abu Bakar Syafi’i), Muhammad bin Abdullah Abu al-Maqdal al-Sayati al-Kufi, dan masih banyak lagi[12]

Karya-karya

              At-Thabari memiliki banyak sekali melukis karya dalam berbagai bidang semasa hidupnya. Dalam Bidang hukum yaitu Adab al-Manasik, Al-Sadar fi al-Usul, Basit, Ikhtilaf, Khafif, Latif al-Qaul fi ahkam Syara’i al-Islam, Mujaz, Radd ‘ala Ibn ‘Abd al-Hakam. Sedangkan dalam bidang Alquran ada Fasl Bayan fi al-Qiraat, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Kitab al-Qiraat. Dalam bidang Hadis ialah, ‘Ibarah al-Ru’ya, Tahzib, Fada’il, dan Al-Musnad al-Mujarrad. Pada bidang teologi ada, Dalalah, Fada’il ‘Ali ibn Abi Thalib, Radd ‘ala zi al-Asfar, Al-Radd ‘ala al-Harqusiyyah, Sarih dan Tabsyir atau juga disebut al-Basyir fi Ma’alim al-Din. Dalam bidang etika keagamaan adalah Adab al-Nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah, Fada’il wa Mujaz dan Adab al-Tanzil. sedangkan dalam bidang sejarah ialah, Zayl al-Muzayyil, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, dan Tahzib al-Asar. Ada beberapa karya at-Thabari yang belum dipublikasikan yakni Ahkam Syara’i al-Islam, Ibarat al-Ru’ya, dan al-Qiyas. Karya lain dalam bentuk mansukrip antara lain: Sarih al-Sunnah, Rami al-Qaws, al-Aqidah, al-Jami’ al-Qira’at al-Masyhurah wa al-Syawaz, Hadis al-Himyar, al-Risalah min Tiff al-Qawl fi al-Bayan ‘an Usul al-Ahkam. Jumlah karya yang pernah ditulis oleh at-Thabari tidak bisa kita hitung dengan jelas, sebab masih banyak karya yang lenyap, semisal tentang fiqih mazhab Jaririyah.[13]

Sekilas tentang Tafsir at-Thabari

Latar Belakang Penulisan

             Semasa hidup at-Tabari, akhir abad ke 9 hingga pertengahan abad 10 M, kaum muslimin dihadapkan pada pluralitras etnis, religius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Di samping itu pula di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu keislaman tersendiri setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi hadis. Tafsir telah mengalami perkembangan pesat secara metodologis dan substansial, munculnya aliran tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi turut memberikan warna terhadap pemikiran muslim. selain itu pula munculnya aliran rasional keagamaan seperti yang telah disebutkan dalam biografi ath-Tabari cukup menggugah sensifitas keilmuannya khususnya bidang pemikiran Islam dengan jalan melakukan respon dan dialog ilmiah lewat karya tulis. Salah satu karya tulisnya ialah kitab tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Faktor-faktor tersebut menjadi latar belakang ditulisnya tafsir ini.[14]

Sistematika Penulisan

             Kitab tafsir at-Thabari berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, nama ini lebih fenomenal dibanding judul yang ia berikan sendiri, yaitu Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ay al-Qur’an. Kitab ini ditulis pada akhir abad ketiga hijriah dan mulai diajarkan kepada muridnya dari tahun 283 sampai 290 hijriah. [15] Kitab tafsir Thabari ialah kitab tafsir pertama dan paling masyhur yang menjadi rujukan utama hingga sekarang. Tafsir ini terdiri dari 30 juz dengan 12 jilid[16]. Kitab ini pertama kali dicetak ketika Thabari berumur 60 tahun. Dengan dicetaknya buku ini, terbukalah khazanah keilmuan tafsir.[17]

               Kitab tafsir ini telah dicetak dua kali di Mesir. Menurut Ibnu as-Subukhi bentuk kitab yang sekarang  adalah ringkasan dari kitab aslinya. Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan dalam kurun waktu yang lama ditemukan di rumah seorang Amir Najeed yang benama Hamad ibn Amir Abd al-Rasyd. Dalam versi lain disampaikan Goldziher bahwa kitab ini ditemukan pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20.[18]

              Tafsir berbahasa Arab ini telah dicetak ulang beberapa kali, diantaranya ialah: Kairo, Percetakan Bulaq sebanyak 30 juz dan 12 Jilid, diterbitkan tahun 1323 H. Kemudian dicetak di Mesir oleh Maktabah Mushtofa al-Baby al-halbi pada tahun 1373 H sebanyak 30 juz dan 12 jilid ditulis oleh Ahmad Saad ‘Ali. Dicetak pula di Beirut oleh Dar al-Kutub al-‘ilmiyyah cetakan pertama pada tahun 1412 sebanyak 12 jilid. Kemudian tafsir yang dijadikan oleh penulis ialah cetakan Kairo ditahqiq oleh Dr. Abdullah bin ‘Abd al-Muhsin at-Turki sebanyak 30 juz, cetakan pertama pada tahun 1422 oleh Markas al-Buhus wa al-Dirasat al-‘arabiyyah al-Islamiyyah sebanyak 30 Juz.[19]

            Sistematika tafsir Tabari dapat dipetakan sebagai berikut:

No. jilid Jumlah halaman Isi
1 1 192 Muqaddimah tahqiq, muqaddimah penulis kitab, dan manuskrip kitab.
2 II 765 Tafsir surah al-Baqarah ayat 1-163
3 III 774 Tafsir surah al-Baqarah ayat 164-224.
4 IV 722 Tafsir surah al-Baqarah ayat ayat 224-267
5 V 742 Tafsir surah al-Baqarah ayat 268- Ali Imron 119.
6 VI 744 Tafsir s. Ali Imron hingga an-Nisa ayat 35
7 VII 742 An-Nisa 36-172
8 VIII 768 Al-Maidah
9 IX 700 Al-Maidah dan al-An’am
10 X 693 Al-An’am-m al-A’raf
11 XI 720 Al-A’raf- at-Taubah
12 XII 671 At-Taubah- Hud
13 XIII 763 Yusuf- Ibrahim
14 XIV 693 Al-Hijr- Bani Isroil
15 XV 665 Al-Isra’- Maryam
16 XVI 662 Toha- al-Hajj
17 XVII 701 Al-Mu’minun- Asy-syu’ara’
18 XVIII 666 An-Naml – as-Sajdah
19 XIX 675 Al-Ahzab – As-Soffat
20 XX 684 Shat – az-Zuhruf
21 XI 623 Ad-Dukhon – at-Thur
22 XII 687 An-Najm – al-Munafiqun
23 XIII 625 At-Taghabun – al-Mursalat
24 XIV 764 An-Naba’ – an-Nas
25 XV – XVI 1420 Tentang kitab, penyunting dan penulis

 Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayan

            Secara umum metode-metode penafsiran yang dipakai hingga sekarang terdapat empat macam, yaitu: metode tahlily, Ijmali, muqarran serta maudhu’i atau tematik.[20] metode tahliliy atau yang dinamakan oleh Baqir al-Shadr sebagai metode tajzi’iy adalah metode tafsir yang mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alqurandari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana yang tercantum di dalam mushaf. Segala segi yang dianggap penting oleh seorang mufasir tahliliy diuraikan. Bermula dari kosa kata, asbabun nuzul, munasabah dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini walapun dinilai sangat luas, ia tidak menyelesaikan suatu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan sisanya atau selanjutnya ada pada ayat lain.[21]

             Para ilmuan banyak yang mengklaim bahwa tafsir yang dikarang oleh at-Thabari ini merupakan tafsir dengan metode tahlili dengan orientasi penafsiran bi al-ma’tsur dan bi ar-ra’yi. Sekalipun at-Thabari sangat kental dengan riwayat-riwayat penafsir, namun untuk menentukan makna secara tepat, ia juga menggunakan ra’yu.[22] Corak penafsiran at-Thabari pada kitabnya ialah sejarah dan bahasa. Sebagai ahli sejarah, ia menyampaikan berbagai riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat , tabi’in, tabi’i tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan. Melalui pendekatan bahasa, ia menggunakan bahasa Arab sebagai pegangan, bertumpu pada syair-syair kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, bersikap acuh terhadap aliran-aliran ilmu gramatika bahasa.[23]

      Dari sisi linguistik, at-Thabari sangat memperhatikan penggunaan bahasa Arab sebagai pegangan, bersandar pada syair-syair Arab kuno ketika menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran gramatika. Contoh dari penggunaan syair adalah ketika menjelaskan kata “Faridhah” beliau menggunakan syair sebagai berikut

كانت قريضة ما اتيت كما كان الرتاء قريضة الرحيم

Sesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajib dikenanakan rajam.

            Kemudian beliau juga menampilkan qiraat, karena beliau memang ahli qiraat. Contohnya ialah dalam menjelaskan ayat مالك يوم الدين Abu Ja’far berkata: para ahli qiraat berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada yang membaca “ملك يوم الدين” dengan memendekkan mim dan diantaranya juga membaca “مالك يوم الدين” dengan memanjangkan mim.[24]

            Menempuh jalan istinbath dan pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samar i’rabnya. Dalam rangka melengkapi keterangan tentang pengetahuan suatu ayat, disajikan kisah-kisah israiliyat dari tokoh Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam yang dipandang lebih akurat dan dikenal oleh masyarakat Arab. Terkadang Tabari juga melakukan kritik terhadapnya. Sebagai seorang ilmuan ia tidak terjebak dalam belenggu taqlid, terutama dalam ranah fiqh. Ia berusaha menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham. Ketika berhadapan dengan persoalan kalam, terutama yang menyangkut soal akidah, mau tidak mau ia terlibat dikusi yang cukup intens. Hal ini nampak terhadap pembelaannya terhadap ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah pada saat berhadapan dengan pandangan Mu’tazilah. Walaupun sebenarnya ia telah berusaha mengambil posisi moderat.[25]

Secara ringkas langkah-langkah  metodologis yang dipakai at-Thabari dalam menafsirkan Alquran ialah:

  • Menyajikan riwayat dengan teliti, misalnya dalam menyebutkan sanad dan pencantuman riwayat. Apabila ia hendak menafsirkan suatu ayat ia berkata, “Pendapat-pendapat mengenai tafsir atau ta’wil ayat ini adalah begini atau begitu.” Lalu beliau menafsirkannya berdasar pada sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan secara lengkap yakni dengan metode tafsir bi al-ma’tsur . beliau juga menggunakan komparasi kritis, artinya memaparkan segala riwayat atau pendapat yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan, kemudian mentarjihnya.[26]
  • At-Thabari menjauhkan dari penafsiran yang berorientasi bi al-ra’yi. Dalam beberapa riwayat ia melarang tafsir dengan orientasi bi al-ra’yi, karena menurutnya penafsiran kitab Allah tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dari keterangan Rasulullah saw.
  • Menggunakan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat terhadap kalimat yang lain.
  • Menyajikan syair dan menggali prosa Arab ketika menjelaskan makna kosa kata. Terkadang disebutkan nama pengarangnya dan terkadang hanya syairnya.
  • Menampilkan qiraat dalam rangka mengungkapkan makna ayat.
  • Menempuh jalan tafsir dan ta’wil.
  • Melakukan penafsiran ayat dengan ayat atau
  • Memperhatikan i’rab.
  • Memaparkan berbagai pendapat di bidang fiqih kemudian mengemukakan pendapatnya. [27]

           

Komentar Ulama

            Berkata Abu ‘Abbas bin sarij: Muhammad ibn Jarir ialah seorang faqih yang alim, seorang laki-laki yang menguasai berbagai ilmu, diantaranya: ilmu qiraat, tafsir, hadis, fiqih, sejarah serta banyak ilmu lainnya. ia adalah seorang penulis yang produktif hingga akhir hayatnya. Di antara karyanya ialah: Tarikh al-Umm wa al-Muluk yang menjadi salah satu rujukan utama dalam bidang sejarah. Kemudian qiraat serta kitab kumpulan pendapat ulama.

            Muhammad Abduh juga mengomentari tafsir at-Thabari, adapun pendapatnya ialah: “kitab yang terpercaya di kalangan penuntut ilmu, karena pengarangnya telah melepaskan diri dari belanggu taqlid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan  paham  yang dapat menimbulkan perpecahan.” Dikatakan oleh Philip K. Hitti bahwa sebagai penafsir, at-Thabari telah membangun tradisi tafsir paling awal sekaligus penulis kitab tafsir paling tebal, ia telah memulai karir intelektualnya sejak berada pada masa kanak-kanak. At-Thabari adalah seorang Mufassir yang karya monumentalnya tentang sejarah dunia menjadi buku sejarah paling lengkap dan menjadi rujukan utama para sejarawan.

            Dalam pandangan Imam Khatib al-Baghdadi, Ibnu Jarir at-Thabari adalah seorang imam terkemuka yang ucapannya dijadikan rujukan karena keutamaannya. Ia menghimpun banyak ilmu yang tidak dimiliki oleh ulama lain pada masanya. Ia hafal kitabullah, sangat menguasai ilmu Alqurandan benar-benar paham tentang hukum-hukumnya. Ia ahli hadis, sangat mengetahui metode-metodenya, yang shahih dan dhaifnya, nasikh mansukhnya dan menguasai ucapan para sahabat, tabi’in dan para ulama sesudah mereka selain menguasai soal halal haram, tentang aneka ragam berita perjalanan umat manusia.[28] Dikatakan pula oleh suyuti bahwa kitab tafsir Ibnu Jrir merupakan kitab tafsir paling agung dan bermutu. Berisi kutipan berbagai pendapat dan tarjih sebagiaanya atas sebagian yang lain, istinbath, i’rab, yang dengannya ia mengungguli kitab-kitab tafsir yang lebih dahulu.[29] Tak kalah dengan pendapat para ulama di atas, Ignaz Goldziher sebagai orientalis juga mengungkapkan bahwa kitab tafsir Jami’ al-Bayan adalah karya puncak tafsir aliran tradisional. Dalam ranah Islam, tafsir tersebut dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dan terpenting dari tafsir bi al-ma’tsur.[30]

 

Penafsiran at-Thabari Tentang Ayat-Ayat Miskin dan Yatim

            Agama Islam adalah agama yang memerintahkan umatnya untuk berbuat baik kepada anak-anak yatim. Salah satu surat yang membahas tentang anjuran berbuat baik kepada anak yatim ialah surah al-An’am ayat 152, yang berbunyi:

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia sampai dewasa. (QS. Al-An’am: 152)

          Ditafsirkan oleh at-Tabari yang dimaksud dengan احسن dalam ayat tersebut ialah صلاحه وتثميره yaitu menjaga dan mengembangkanbhartabanakbyatim sesuai dengan hadis Nabi, “Muhammad bin Husain telah menceritakan kepadaku, telah berkata Muhammad bin Husain: Ahmad bin Mufadhol telah menceritakan padaku, telah berkata Muhammad bin Husain Asbath telah menceritakan padaku dari Asy-Syuda’ “dan janganlah kamu mendekati  harta anak yatim kecuali dengan cara yang baik. Kemudian kembangkanlah oleh kamu harta anak yatim.” Dalam redaksi yang sama juga diungkapkan dalam surah al-Isra’ ayat 34, yang berbunyi:

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا

 Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat hingga ia sampai dewasa dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.

            Allah memerintahkan dalam ayat tersebut agar tidak mendekati harta anak yatim dengan memakan harta mereka secara berlebihan akan tetapi dekatilah mereka dengan perbuatan yang baik dan bagus dan persaudaraan dengan cara mereka yang demikian itu dengan mengusahakanmterhadapmhartamanakmyatim agar dapat bertambah dan memberikan kebaikan. Qotadah berkata tentang ayat

ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا

           Ketika turun ayat ini para sahabat mencampurkan harta mereka dengan harta anak yatim mereka mencampuradukkan dengan anak yatim di dalam makanan mereka atau memakan makanan mereka dan sebagainya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Dan jika kamu mencampuradukkan harta dengan harta anak yatim maka mereka itu adalah saudara kamu, dan Allah Maha mengetahui perkara yang baik dari perkara yang buruk. Maka anak yatim itu orang-orang yang lemah. Muhammad bin Abdul A’la menceritakan Muhammad bin Tsur dan Mu’mar dari Qatadah tentang ayat ولا تقربوا مال اليتيم ada para sahabat yang mencampuradukkan harta mereka dengan harta anak yatim dan mereka tidak memberi makan sampai turun ayat ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن hal ini sependapat dengan Ibnu Jain menceritakan padaku Yunus mengabarkan pada kamu Ibnu Wahab berkata: Ibnu Jain menafsirkan اوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذلك خير واحسن تاءويلا   ditafsirkan dengan memakan harta mereka dengan baik jika kamu memakan bersamanya membutuhkan harta tersebut bapakku berkata yang demikian itu tentang firman Allah واتوا اليتامى اموالهم ولا تتبدٌل الخبيث بالطيب ولا تاكلوا اموالهم الى اموالكم انه كان مسؤلا ditafsirkan dengan samapi waktu remaja di dalam pikirannya dan mengurusi hartanya dan dapat berlaku baik terhadap kelakuannya di dalam agama dan firman Allah ولا تقربوا مال اليتيم الاٌ بالٌتي هي احسن حتٌى يبلغ اشدٌه, و اوفوا بالعهد انٌ العهد كان مسؤلا. Maksudnya penuhilah janji yang kamu adakan perjanjian kepada manusia di dalam kebaikan antara ahlul harbi dan Islam dan di dalam suatu antara kamu semua dan jual beli perserikatan sewa menyewa dan lainnya.[31]

Penutup

               At-Thabari adalah salah satu begawan mufassir yang berhasil menjadi salah satu tokoh yang disegani oleh para Mufassir klasik hingga sekarang. Ia menulis tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran dengan beberapa corak yaitu sejarah dan bahasa. Bentuk penafsiran yang ia pakai ialah gabungan antara bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi. Metode yang ia pakai ialah metode tahlily dengan sistematika ttartib mushafi yaitu tafsir dimulai dari juz satu hingga juz tiga puluh. Tafsir ini mejadi rujukan utama oleh para mufassir, terbukti dengan ditahqiqnya tafsir ini oleh beberapa orang dan lembaga. Sumber pendekatan yang Tabari lakukan dalam menafsirkan Alquransangat beragam yaitu dari Alquranitu sendiri, hadis nabi, perkataan sahabat, tabi’in serta tabi’i tabi’inqiraat, i’rab, prosa atau syair arab kuno dan kisah-kisah israiliyyat.

              Tafsir ini dianggap sebagai tafsir yang pertama dan utama karena memuat ensiklopedi Islam selain juga karena tafsir ini bersifat moderat, artinya penafsir mengambil jalan tengah terhadap permasalahan-permasalahan yang sebelumnya telah diungkapkan. Terdapat banyak lagi keistimewaan kitab ini. Dari sisi keilmuan, at-Tabari adalah salah ulamayang hebat. Rihlah keagamaan serta setting sosial at-Tabari ikut memberi andil terhadap pemikiran Tabari. Kehebatan at-Tabari dapat dilihat dari komentar positif para ulama terhadapnya serta banyaknya buku-buku yang dikarangnya. [Fatima]

[1] At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir, Jami’ul Bayan an Takwilil Qur’an, Beirut: Darul Fikr, 2005, hal. 11.

[2] Muhammad Bakar Isma’il, Ibn Jarir al-Thabari wa Manhajuh fi al-Tafsir, Kairo: Dar al-Manar, 1991, hal. 9-10.

[3] Sebuah kota di Iran, 12 km sebelah selatan Laut Kaspia. Namun riwayat lain menyebutkan bahwa Tabaristan adalah sebuah distrik perbukitan di Persia di sepanjang pantai selatan Laut Kaspia. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014, hal. 488. Daerah yang penduduknya gemar konflik, dan biasanya alat yang digunakan adalah Tabar (kapak), sebagai senjata tradisional untuk menghadapi musuh. Itulah sebabnya nama panggilan lebih dikenal dengan sebutan al-Tabari yang diambil dari nama kulturalnya. M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 4, No. 1, 2003, hal. 3.

[4] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, Hal. 21.

[5] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 5.

[6] Contohnya dalam menafsirkan QS. 3:7, sekalipun at-Thabari menggunakan dua ayat dimana terjadinya kata tasyabaha dan tasyabih yang digunakan pada konteks berbeda tetap saja mereka memiliki arti dasar yang sama, yakni ambigu dan sulit untuk dipahami. At-Thabari kemudia mengindentifiskasi mutasyabih dengan bahan tersembunyi dalam al-Qur’an., pengetahuan yang terbatas hanya kepada Allah. Seperti arti dari huruf misterius (hurul al-muqata’ah, kedatangan hari kiamat, kenampilan kristus dan dajjal sebelum hari akhir) identifikasi ini at-Thabari lakukan tergantung pada laporan dari asbabun nuzul ayat ini diturunkan. Sahiron Syamsudi, Muhkam and Mutashabih An Analytical Study of al-Tabari’s and al-Zamakhsari’s Interpretitios of Q.3:7, dalam jurnal “Qur’anic Studies, Vol. 1, No. 1 tahun 1999, hal. 68.

[7] lebih rincinya, at-Tabari hidup pada masa pemerintahan khalifah al-Mutawakkil (847-861), salah satu khalifah besar dari Dinasti Abbasiyah. Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid. I, Jakarta: UI-Press, 2013, hal. 64.

[8] Ibid., hal. 3.

[9] Disebutkan juga bahwa at-Tabari pernah melakukan rihlah keilmuan ke daerah Persia dan Irak. Semangat belajar Tabari juga terhitung luar biasa, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa selama 40 tahun at-Tabari menulis 40 lembar setiap hari. Philip K. Hitti, History of The Arabs, diterj. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014, hal. 489.

                   [10] Muhammad Husain adz-Dazahabi,  Tafsir wal Mufassirun,  Kairo: Maktabah Wahbah, 2000. Hal. 148.

[11] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 5.

[12] At-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir, Jami’ul Bayan an Takwilil Qur’an,hal. 36-39.

[13] Al-Dawudi, Tabaqat al-mufasirun, hal. 111.

[14] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal.12-13.

[15] Abu ja’far

[16]Ali al-Iyazi, Muhammad, al-Mufassirun: Hayyatuhun wa Manhajuhum, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, t.th

[17] Muhammad Husain adz-Dazahabi,  Tafsir wal Mufassirun, 

[18] Ibid., hal. 25.

[19] Ali al-Iyazi, Muhammad, al-Mufassirun: Hayyatuhun wa Manhajuhum, Kairo, Dar al-Kutub al-Haditsah, t.thhal.399.

[20] Nasarudin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hal. 374.

[21] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam kehidupan Masyarakat, (Bandung:Mizan, 2013), hal. 129-130.

[22] A. M. Ismatullah, “Konsepsi Ibnu Jarir Al-Thabari tentang Al-Qur’an, Tafsir dan Takwil”, Jurnal Fenomena, Vol. IV, No.2, 2012, hal. 14.

[23] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 12.

[24] Skripsi hal. 24.

[25] M. Yusuf, “Jami’ al-Bayan fi Tafsir Alqurankarya Ibn Jarir al-Tabari: Telaah Terhadap metode dan Karakteristik Penafsiran”, hal. 13-14.

[26] Manna’ al-Khattan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, diterj. Aunur Rafiq Al-Mazni, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2012, hal. 454.

[27] Nur Alifah, “Israiliyyat dalam Tafsir ath-Thabari dan Ibnu Katsir: Sikap ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap Penyusupan Israiliyyat dalam Tafsirnya, Skripsi, Program Sarjana UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, 2010, hal. 24-25.

[28] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Ensiklopedia Tafsir Jilid 1, diterj. Nabhani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2010, hal. 196.

[29] Nawawi bertutur, “Umat ini bersepakat bahwa tidak ada satu kitab tafsirpun sebaik kitab Ibnu Jarir.” Ibid., hl. 197-198.

[30] Taufik Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Divisi Muslim Demokratis, 2011, hal. 406.

[31] Hal. 20-22.